Guests
Marquee ReflectionTepat setelah kepergian Gain, dokter yang menangani Jongin, berkunjung ke kamar dan memeriksa Jongin.
“Kesehatanmu sudah pulih kembali Tuan Kim, jangan melakukan pekerjaan tangan yang terlalu berat, atau lukamu akan kembali terbuka karena belum terlalu kering. Lalu kau harus langsung istirahat jika merasakan pening di kepala.” Tutur si dokter yang kutahu bermarga Shin itu.
Aku mengangguk-angguk mengerti di sampingnya dan Jongin juga melakukan hal yang sama di atas ranjang. Sementara dokter Shin mencatat sesuatu di clipboardnya, si perawat; yang membantu dokter Shin mengecek pasiennya, sedang mengatur kecepatan infus yang menancap di tangan kiri Jongin.
“Besok pagi kau sudah boleh pulang Tuan Kim.” Katanya, lalu menoleh ke arahku. “Nona Yoon, tolong lengkapi persyaratan di ruang administrasi untuk kepulangan Tuan Kim besok pagi.”
“Baik, dok.” Aku menuruti.
Dokter Shin dan perawatnya melenggang pergi dari kamar Jongin dan berkunjung ke kamar lainnya. Aku duduk di samping ranjang Jongin saat Jongin sedang mengawasi gerak-gerikku, aku terdiam. Jongin juga terdiam.
Kecanggungan muncul ke permukaan, membuatku saling pandang dengan Jongin dalam cara yang kaku, aku mengedipkan mata pelan, begitu juga Jongin. Rasanya ini sangat aneh, aku memalingkan wajah lalu berdiri menjauhi ranjang, ku dengar Jongin terkekeh tapi aku tidak berbalik untuk melihat wajahnya, meskipun konsentrasiku lari ke suaranya yang memenuhi ruangan. Dan itu membuatku tidak melihat jalan di depan sehingga aku menabrak meja di dekat sofa.
Bruk!
Sialnya, Jongin justru semakin menertawakanku dan aku bergerak kikuk memegangi lututku, berakhir duduk di atas sofa. Kuambil majalah yang sebelumnya sedang kubaca dan membalik lembar demi lembar tanpa memahaminya. Suasana justru berubah semakin canggung, ketika hanya aku dan Jongin, terperangkap dalam satu ruangan yang sama, tanpa mengetahui apa yang perlu kami bicarakan dan aku memilih untuk terdiam.
Tanganku sedang membolak-balik halaman di majalah yang sedang ku genggam dan melirik ke arah Jongin secara bersamaan, mengamatinya yang sedang terdiam tanpa kata. Tangannya yang terluka ia gerakkan naik turun, seperti sedang mengecek apakah tangannya akan baik-baik saja kalau ia gerakkan. Dan nyatanya, sedetik kemudian aku mendengar ia merintih kesakitan. Dasar bodoh, memangnya ia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh dokter sebelumnya? Lukanya belum kering sepenuhnya, tersentuh sedikit saja akan langsung sakit.
Aku menahan diri untuk tidak merutuk pada Jongin karena tindakannya yang sembrono. Aku tidak ingin terlihat perhatian pada Jongin. Tidak ketika aku bertekad untuk menjaga perasaanku pada Sehun dan menolak Jongin untuk kembali. Aku tak bisa melakukannya.
Tetapi seolah sudah menjadi semacam refleks untuk memarahi Jongin karena ceroboh, mulutku hampir setengah terbuka untuk mengeluarkan kata-kata sampai akhirnya suaraku tak kunjung keluar dan tercekat di tenggorokan. Aku benci ini. Takut Jongin akan salah sangka dengan perhatianku, sementara yang kumaksud adalah untuk menghentikan kecerobohan yang ia timbulkan.
Kutatap kembali majalah ditanganku, termenung ketika ingatanku melayang ke suatu kejadian. Sebuah kejadian yang sama persis seperti yang sedang ku lakukan saat ini. Sosok Sehun yang kulihat beberapa tahun lalu sedang duduk di kursi yang sama, menghujaniku dengan kata-katanya.
“Berhenti main game, atau kau mau sakitmu menjadi semakin parah? Apa untungnya main game sampe larut pagi? Lupa makan, lupa kesehatanmu sendiri, lupa waktu.”
Aku mendengus.
“Lihat hasilnya, kan? Kau justru terbaring begini di rumah sakit. Dan jujur saja, Eunjoo, wajahmu kusut sekali dan… jelek.”
Tawa Sehun menggema di ingatanku, terdengar sangat nyata di gendang telinga dan membuatku meringis kecut tak berdaya. Saat itu, saat ia menjengukku seorang diri kala aku sakit gejala tifus. Kalau dipikir-pikir, sepertinya saat di mana aku bertemu dengan Sehun musim gugur lalu tidak cukup dijadikan alasan mengapa aku jatuh hati pada Sehun. Sudah sejak lama aku jatuh hati padanya. Well, sebenarnya sebelum aku mempunyai ikatan dengan Jongin sebagai ‘pacar’ saat itu, aku pernah dekat dengan Sehun, Luhan, bahkan Kyungsoo. Tapi aku tak pernah benar-benar memberikan hatiku pada mereka sampai akhirnya Jongin yang berhasil mendapatkannya. Karena Jongin yang kupilih.
Tapi Sehun yang kukenal dulu dan sekarang ternyata berbeda jauh. Because people changes. Kalau memang aku harus menjalani suatu fase di mana aku digariskan untuk jatuh hati pada Sehun, aku lebih memilih jatuh hati di masa dulu daripada masa sekarang, sayangnya ada Jongin yang terlebih dulu membuat hatiku terjatuh di masa lalu, bukan Sehun. Saat sekaranglah yang membuatku jatuh hati padanya, di waktu yang salah.
Satu jam hampir berlalu ketika akhirnya Jongin membuka mulut angkat bicara memutus lamunanku.
“Kau ingat saat kita pergi ke tempat pakan hewan?” Jongin bertanya memecah kesunyian.
Aku mendongak dari majalahku dan mengintipnya sekilas, wajahnya menerawang ke langit-langit, berpikir. “Ya, aku ingat.”
“Kau ingat saat itu tanggal berapa?” tanyanya lagi, kali ini menolehkan wajahnya ke arah tempat dudukku.
“Hm? Aku tidak terlalu ingat, mungkin tanggal tiga belas atau empat belas Januari. Kenapa?” Jawabku lugas.
“Itu artinya kau tidak ingat.” Desahnya. Kutautkan alisku bingung, tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang Jongin bicarakan.
“Kenapa memangnya? Apa ada yang penting di hari itu?”
“Tentu saja penting. Saat itu tanggal empat belas Januari. Ulang tahunku.”
Kuputar ingatanku, saat itu memang tanggal empat belas dan Jongin berulang tahun. Apa yang dia harapkan saat itu? Ucapan selamat dariku? Bagaimana kalau aku tidak ingat sama sekali hari itu adalah ulang tahunnya? Karena sebenarnya aku benar-benar lupa dan tidak terpikir sampai hal itu.
“Aku tidak ingat, Jongin. Maafkan aku.” Kututup majalahku dan menatap Jongin yang sedang ngambek. Ia memanyunkan bibir dan membuatku memutar bola mataku sebal. Dasar Jongin.
Jongin mendengus dalam, lalu mengangkat selimutnya ke dada dan memejamkan mata.
“Lagi pula itu sudah terlewat dua bulan yang lalu. Sudah terlalu kadaluarsa jika aku mengatakannya sekarang, kan?” aku meringis, sedikit berharap ia tidak akan ngambek lagi.
Tapi Jongin justru kembali memandangku, kali ini ia duduk di tengah ranjang dan menatapku, menuding bangku kosong di samping ranjang dengan bibirnya yang manyun.
Wajahnya tak terbaca, antara kesal, kecewa, marah dan menyesal. Aku mengikuti permintaan tak terucapnya dan duduk di bangku yang Jongin maksud.
Tubuhku hanya beberapa inchi dari tubuhnya, lalu Jongin mengulurkan tangan.
“Ini…” ia menunjuk lenganku yang di perban, “Ini…” ia hampir menyentuh luka di bibirku yang mengering tapi aku mundur, “Ini…” ia menyentuh luka di leherku, “Karena kau lupa dengan ulang tahunku, makanya kau mendapat semua ini…” jelasnya.
Aku membelalakan mata lebar, inikah alasan Jongin?
“Maafkan aku…” ujar Jongin penuh penyesalan. Aku melihat penyesalannya sungguh-sungguh di dalam matanya yang hitam. Tapi itu justru membuatku ikut merasa bersalah juga karena telah melupakan ulang tahunnya. Bahkan, meskipun aku menganggapnya sebagai teman pun, aku tidak mengingatnya sama sekali.
“Jangan minta maaf, aku yang seharusnya minta maaf padamu, semuanya bermula karena kesalahanku, kan. Kalau saja aku tidak lupa dengan ulang tahunmu, kau pasti tidak akan begini.” Aku menunduk menatap tangannya dan refleks aku menggenggam tangannya yang bebas. “Lukaku belum seberapa jika dibandingkan dengan lukamu, lihatlah,” aku membandingkan luka-lukaku dengan luka Jongin yang lebih parah. Kurasakan tangannya membalas genggamanku. “Aku yang salah, Jongin.” Kutatap wajahnya yang mulai memerah. Entah karena perlakuanku terhadapnya atau karena ia sudah mulai sembuh dan wajahnya yang mulai terlihat segar.
Aku mempercayai yang terakhir, karena sebenarnya aku tidak ingin mengakui yang pertama.
“Bukankah sebelumnya kita telah sepakat? Untuk tidak menyalahkan salah satu pihak? Kita berdua yang salah, kalau begitu.” Ucapnya dengan senyum merekah, membuatku teringat dengan kesepakatan kami berdua pagi tadi.
Kuhela napas panjang, mengangguk mantap sambil merasakan tangan Jongin yang hangat dan ia mengeratkan genggamannya.
Tok tok tok.
Aku dan Jongin menoleh ke arah suara, ke pintu depan tepatnya, lalu melihat beberapa orang sedang berdiri di sana.
“Excuse me…” seru Jongdae dari balik pintu, ia langsung masuk ke dalam ruangan diikuti oleh Yixing, Wufan, Minseok, Lee In, Baekhyun, Luhan d
Comments