Hospital
Marquee ReflectionAku panik dan tidak bisa menenangkan diri sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Nama Jongin yang terus ku ucapkan tidak membuatnya sadarkan diri dan mataku terus mengeluarkan air mata. Darah Jongin yang terus keluar dari tubuh membuatku semakin ngeri dan dengan susah payah perawat yang menangani Jongin menyumbat darah yang keluar. Selang oksigen yang menempel di hidung Jongin belum berfungsi banyak saat dalam perjalanan ke rumah sakit, karena Jongin masih belum sadarkan diri.
Jangan mati, Jongin. Jangan mati.
Walau aku tidak ingin mengucapkannya, tapi tetap saja, kecil dalam hati aku khawatir dengan hal terburuk yang mungkin bisa terjadi.
Sesampainya di rumah sakit, Jongin langsung dibawa ke Instalasi Gawat Darurat. Saat aku menemani Jongin masuk ke dalam, perawat yang lain mencegahku dan melarangku masuk.
“Nona, tolong tunggu di luar ruangan, biar kami saja yang menangani dan kami akan berusaha semaksimal mungkin.” Ujar perawat itu dan matanya menelusuri tubuhku dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu ia berbalik dan pergi dari hadapanku, beranjak ke ruangan yang berbeda dan berbicara dengan seseorang di balik kaca. Lalu dia dan seorang yang lain menghampiriku kembali. “Tolong rawat nona ini.” Perawat itu kemudian pergi menyusul Jongin.
Aku diam tak berkutik, perawat berperawakan kecil dan ramping ini menuntunku ke ruangan di mana ia berada sebelumnya dan mendudukanku di atas kursi empuk tak berlengan. Tangannya bergerak sangat cepat menggapai beberapa benda dan setelah yang ia butuhkan terlengkapi, ia duduk di depanku. Aku mengintip tanda pengenalnya dan mengeja ‘Park Seul’ di dalam hati. Kurasa ia seorang perawat magang, karena di bagian atas di tanda pengenalnya, tertulis nama sebuah institut kesehatan ternama di negeri ini. Dari tampangnya, kira-kira ia menginjak umur awal duapuluhan.
Ia meraih lenganku dan aku terduduk sesenggukan, menerima perlakuannya tanpa perlawanan.
“Jongin akan baik-baik saja, kan? Dia tidak akan terluka parah, kan? Jongin…” rengekku tidak tahu malu pada si perawat, aku kembali mengucurkan air mataku.
“Tenanglah, pacarmu akan baik-baik saja, dia pasti pria yang kuat, dia akan selamat. Jangan terlalu khawatir.” Ucapnya lembut dan menyunggingkan senyum penuh keyakinan. Dan entah bagaimana, rasanya senyum yang ia berikan itu membuatku seolah tegar dan sesenggukanku mulai mereda.
Aku tahu apa yang ia katakan adalah salah saat menyebut Jongin sebagai pacarku, tapi aku tidak repot-repot untuk meralatnya dan membiarkannya begitu saja, toh Jongin pernah jadi pacarku.
Saat perawat Park mengoleskan cairan yang baunya sangat menyengat dan aku tak tau cairan apa itu, aku mulai merasakan nyeri di lenganku semakin menjadi-jadi, lenganku ikut tergores kaca saat mencoba menyadarkan Jongin sebelum ambulans datang.
Perawat Park berdiri di samping tubuhku dan meraih leherku, mengoleskan cairan yang sama dan membuatku meringis kesakitan. Aku baru tahu di sana juga ada luka, aku bisa membayangkan seperti apa tampangku saat ini. Pasti aku sangat kacau dan babak belur.
Setelah ia mengoleskan cairan itu ke seluruh luka di tubuhku, kini ia mengoleskan cairan lain yang kuduga semacam betadin ke atas luka-luka yang telah dibersihkan. Cairan itu membuat lukaku semakin perih dan aku memejamkan mata menikmati sensasi yang ditimbulkan. Ia mengoleskan betadin itu ke lengan, leher dan bibirku, ke seluruh luka. Terakhir, ia membuat perban di lengaku dengan kain kasa dan tak lupa menempelkan plester di sisi-sisinya.
“Selesai. Kau harus istirahat, nona.” Ujarnya tetap tersenyum dan membereskan kapas dan kain kasa yang sudah tidak terpakai.
“Terima kasih perawat Park.” Aku membalas senyumannya. Yang kemudian disusul dengan gelak tawa yang keluar dari mulutnya.
“Panggil saja Park Seul, tidak perlu seresmi itu.”
Aku meringis canggung, malu karena ia lebih suka dipanggil dengan namanya saja. “Baiklah, Park…Seul. Kalau begitu kau memanggilku … Eunjoo saja.” Ucapku terbata.
“Oke, Eunjoo eonni. Karena kau pasti lebih tua dariku.” Ia mengedipkan salah satu matanya, “Temui aku jika kau butuh sesuatu.”
Aku mengangguk dan beranjak ke luar ruangan, kembali duduk di ruang tunggu dan menanti dokter segera keluar memberitahuku kabar terbaru tentang Jongin sesegera mungkin. Tanganku masih bergetar dan di dalam hati aku terus mengucapkan nama Jongin, berharap yang terbaik untuknya.
Kurogoh ponsel di dalam saku dan menekan nama Yoomi di kontak telepon. Aku sempat berpikir untuk menghubungi Yoomi, tapi aku tak tega membangunkannya karena sekarang jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Jadi kuputuskan untuk mengiriminya pesan, memberitahunya aku sedang di rumah sakit dan memintanya untuk membawakanku beberapa pakaian waras untuk bisa ku pakai, mengingat pakaianku saat ini sudah tidak layak pakai karena banyak goresan kaca dan robek di beberapa tempat. Tapi aku akan bertahan memakainya hingga pagi nanti.
Setelah beberapa menit berlalu, dokter keluar dari ruangan dan memberitahuku kabar Jongin.
“Nona, pacarmu baik-baik saja, ia tidak sadarkan diri karena berada di bawah pengaruh alkohol. Setelah efek samping dari alkohol di dalam tubuhnya menghilang, ia akan sadarkan diri. Tolong lengkapi administrasi pasien terlebih dulu, maka pacarmu akan segera mendapat ruangan untuk rawat inap.”
“Baik, dokter. Terima kasih.”
Oke, sepertinya semua orang di sini salah mengerti Jongin adalah pacarku, tapi aku tidak peduli. Yang penting Jongin sekarang sudah baik-baik saja. Dan brengsek kau, Jongin! Membuatku khawatir setengah mati, kukira kau sekarat, ternyata kau mabuk! Ugh.
Setelah pergi mengurusi urusan di bagian registrasi, aku langsung menuju ke kamar di mana Jongin di rawat. Ruangan itu sangat familiar, lalu aku mengingatnya dalam beberapa ingatan, ruangan yang sama saat kakakku dirawat inap karena gejala demam berdarah dan ruangan yang sama juga saat aku mengalami gejala tifus. Ironis sekali menging
Comments