Caught
Marquee Reflection“Hei.” Ucapnya singkat.
Matanya menatapku was-was. Aku tidak tau apa yang sedang ia pikirkan dan aku tidak pernah tau apa yang selalu ia pikirkan. Tapi melihat bagaimana penampilannya saat ini, membuatku semakin bingung dan, tentu aku bertanya-tanya dalam hati kenapa dia ada di depan pintu kamarku saat ini. Rambutnya acak-acakan, tidak mengenakan jaket padahal cuaca sedang dingin, kantung matanya menghitam dan bahunya naik turun mengikuti napasnya yang cepat. Aku menatapnya bingung. Terakhir yang ku ingat dalam pertemuan terakhirku dengannya di kafe Minseok, Jongin tidak separah ini penampilannya, hampir dua bulan yang lalu dia masih seperti Jongin yang biasa.
Aku membuka pintu kamarku lebih lebar. Dalam sepersekian detik, Jongin melirik ke balik bahuku dan aku teringat bahwa ada Sehun di dalam. Memang dari pintu ia tidak akan terlihat sedang tidur di ranjang, tapi tetap saja aku harus berhati-hati. Aku kembali menutup pintuku dan menyisakannya selebar badanku. Jongin memperhatikan yang aku lakukan tapi aku berharap dia tidak curiga.
Ia tau aku tidak mempersilahkannya masuk, jadi ia langsung mengatakan tujuannya datang kemari.
“Bisa aku bicara denganmu?” katanya pelan. Bibirnya bergerak beberapa kali dan aku menunggunya mengatakan kata yang lain, tapi Jongin tidak mengatakan apapun lagi. Jadi setelah dia mengangkat tangannya memberi isyarat untuk keluar dari kamar dan mempersilahkanku untuk dengan senang hati meladeni keinginannya pagi ini, aku langsung mengangguk dan memintanya memberiku beberapa waktu untuk berganti pakaian atau setidaknya gosok gigi dan cuci muka.
Setelah sepuluh menit Jongin menunggu diluar kamar, aku berjalan keluar bersamanya melewati halaman depan dan menuju ke taman terdekat di sekitar komplek bangunan. Kami berjalan dalam diam dan saat kami melewati kedai kopi yang baru saja buka, Jongin membelikanku segelas Vanilla Macchiato, kopi favoritku sepanjang masa. Ia tau apa yang kusuka.
Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Aku mengira kami akan duduk di bangku yang tersedia di taman, tapi ternyata Jongin masih terus berjalan mengelilingi taman dan belum angkat bicara. Kecanggungan menyergapku, lebih pada kecanggungan karena tidak nyaman, bukan karena gugup atau apa. Aku hanya tidak terbiasa berdekatan dengan Jongin selama dua tahun terakhir, terlebih dengan kediamanaku padanya selama ini yang kelewat keterlaluan, tapi lain halnya dengan Jongin yang kelihatan lebih santai walaupun ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan dan sedang ia tahan-tahan.
Setelah hampir setengah perjalanan dan melewati setengah dari jalanan di sekitar taman, Jongin akhirnya melontarkan kata pertamanya padaku setelah terakhir kalinya ia membuka mulut adalah di depan kamar.
“Bagaimana kabarmu?” ia memutar kepalanya dan kini mengalihkan tatapannya padaku. Aku menghindari tatapannya dan menunduk mengalihkan perhatian.
“Baik.” Jawabku ragu sambil mengangguk-angguk. Masih tetap menundukan kepala.
Aku tidak benar-benar mengerti dengan apa yang ia tanyakan. Kabarku? Apa jawaban yang ingin ia dengar dariku? Kabar kesehatanku atau kabar perasaanku? Aku mendengus pelan. Menyingkirkan pikiran negatif yang kulanturkan tentang Jongin. Kesehatanku, ya, baik. Perasaanku, juga baik. Setidaknya saat ini, ketika Sehun mulai hadir lebih dekat dalam hidupku.
Aku tidak perlu−dan tidak ingin−menanyakan balik bagaimana kabarnya karena aku enggan. Aku tau selama ini dia masih tetap saja menungguku untuk kembali padanya dalam diam, selalu merasa bersalah dan melontarkan berlusin-lusin maaf. Tapi tetap saja apa yang telah ia lakukan tidak merubah apapun, kecuali akhirnya hubungan kami yang berakhir.
Aku membencinya, iya. Tapi aku membenci apa yang telah ia lakukan padaku, aku tidak membenci Jongin secara fisik, tapi aku membencinya karena telah menyakitiku dan membenci apa yang telah kami lakukan di masa lalu. Tapi karena aku hanyalah manusia biasa, sepertinya aku tidak bisa membenci orang hanya karena perilakunya saja tanpa membenci orangnya secara fisik, maka beginilah aku dengan Jongin. Aku selalu menghindarinya dan ia menjaga jarak denganku.
Aku telah memaafkan Jongin, tapi seperti yang kubilang sebelumnya, itu tidak merubah apapun lagi. Terlalu banyak lubang yang telah Jongin buat didalam hatiku dan dengan susah payah aku tambal setelah kami berakhir. Sekarang itu terasa lebih mudah saat Sehun datang. Aku hanya perlu menunggu kapan hatiku akan utuh kembali.
Baru saja aku menyebutkan nama Sehun didalam hati, tiba-tiba saja Jongin ikut menyebutkan namanya. Awalnya aku berpikir mungkin
Comments