Regret

Rapuh
Please Subscribe to read the full chapter

Stage One : Regret

Pairing : Mother-Son!Minjae, Yunjae, Siwon

Disclaimer : All casts are belong to their self and God, Agnes Monica and her label company

Inspired : Rapuh by Agnes Monica

Warning : Un-betaed, Family, Romance, Genderswitch, OOC, AU and Angst.

( 。・_・。)人(。・_・。 )

Bunyi cardiograph adalah satu-satunya suara yang terdengar sangat jelas di ruangan besar nan putih itu. Mesin yang berfungsi untuk mengetahui detak jantung seseorang masih berdetak atau tidak itu juga merupakan ironi untukku. Jika mesin itu berfungsi dengan baik berarti orang yang terbaring tak berdaya tersebut masih hidup. Dia masih bernafas mesti matanya tertutup. Namun di satu sisi, aku ingin agar semua penderitaannya berakhir. Dalam hatiku ada keinginan agar mesin itu hanya mendengungkan satu nada yang flat.

Argh! Jung Changmin! Apa yang kau pikirkan?! Apa kau mendoakan ibu kandungmu sendiri untuk mati?! Masih ada harapan Changmin. Masih ada harapan untuk umma hidup. Umma pasti hidup. Suatu hari, dia akan membuka matanya dan menatapku lagi dengan kedua matanya yang besar yang selalu memancarkan kasih sayangnya untukku.

Kasih sayang yang tak pernah aku balas selayaknya seorang anak.

Umma, aku mohon… bangunlah. Berikan aku kesempatan untuk memohon maaf kepadamu. Berikan aku memohon pengampunan darimu. Berikan aku kesempatan memperbaiki semua kesalahanku.

“Changmin?” suara berat appaku membuatku tersentak. Bergegas aku menghapus airmata yang tiba-tiba saja keluar ketika aku menatap wajah umma yang semakin lama semakin pucat.

“Kau masih disini?” tanyanya datar. Aku tersenyum pilu mendengar pertanyaannya. Pertanyaannya itu seperti dia tidak ingin agar aku didekat umma meski aku pun sadar dia berhak bersikap seperti itu. Appaku memang berhak bersikap seperti itu karena disini akulah yang bersalah. Hanya saja, perih rasanya mengetahui bahwa appa sampai bersikap dingin seperti itu.

“Apa aku tidak boleh berada disini appa?” tanyaku balik tidak bermaskud menghakimi sikap appa. Pertanyaan itu kelur begitu saja dari mulutku. Appa sepertinya merasa tidak enak karena selanjutnya dia terlihat canggung.

“Bukan begitu Min, tapi…”

“Apa appa takut aku akan menyakiti umma lagi?”

“Changmin…” lirihnya perlahan. Aku masih memandangnya dengan senyum terpatri di wajahku. Senyum pilu yang selalu menghiasi wajahku setiap aku mencoba tegar menghadapi kenyataan pahit yang aku hadapi sekarang ini. Kenyataan pahit yang terjadi karena kebodohanku sendiri. Kami berdua terdiam sejak pertanyaanku terlontar kepada appa. Aku tahu pertanyaan itu sungguh tidak seharusnya aku layangkan kepada appa, tetapi aku ingin tahu apakah pria di depanku ini masih menyalahkan aku atas kejadian yang menimpa umma.

Kami berdua seperti patung dan terus membisu sampai appa menghela nafas panjang lalu membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu.

“Changmin, kau tahu appa bertanya karena kau belum pulang sejak kemarin. Kau pasti lelah. Biar appa yang menjaga umma sekarang.” Sahut appa kembali datar dan terkesan dingin. Sepertinya dia memang masih menyalahkan aku. Seharusnya aku tahu dan tanpa perlu orang pintar pun, aku mengerti bahwa hal itu wajar jika aku berada di posisinya sekarang.

Aku tahu dan aku mencoba agar terlihat tegar. Akan tetapi aku juga hanya remaja belasan tahun yang belum cukup kuat untuk menanggung ini semua. Aku tidak ingin menangis dan membuat appaku merasa kasihan padaku tapi airmataku selalu saja mengkhianatiku dan keluar dengan sendirinya. Tanpa aku sadari kata-kata yang selalu aku ucapkan sejak umma mengalami kejadian mengerikan itu terulang lagi.

“Aku minta maaf appa. Aku minta maaf. Ak…aku… Aku anak durhaka… Aku…”

“Sudahlah. Airmatamu takkan bisa mengembalikan waktu.” Potong appa tegas lalu mengalihkan wajahnya dariku. Aku memandang appa yang menarik kursi tempatku duduk tadi, mendudukinya, lalu menggenggam tangan umma sambil membelai rambut umma, sesekali menyibak poni umma dan membelai wajah umma dengan lembut.

“Appa…” aku mencoba memanggilnya lagi, berharap dia mau melihat ke arahku dan kami bisa membicarakan permsalahan kami. Berharap aku bisa meminta maaf kepadanya. Berharap dia mau memaafkan aku. Namun harapan itu pupus ketika suara bass-nya sekali lagi menyela ucapanku dengan tegas.

“Pergilah. Kau butuh istirahat.”

“Appa, aku masih mau berada dekat umma.” Aku mencoba membujuk appa agar membiarkan aku tetap di samping umma namun sekali lagi aku harus menelan pil pahit penolakan dari appaku sendiri.

“Pergilah! Appa yang akan menjaga umma!” perintahnya tanpa bisa aku bantah. Aku hanya mampu melihat punggungnya yang sama sekali tidak berbalik hanya untuk sekedar menatapku dan berbicara empat mata denganku. Airmata yang sedari tadi ingin sekali aku kendalikan agar tidak mengalir, sekarang aku biarkan keluar dengan deras. Percuma saja aku berusaha kuat jika dari ke hari appa masih saja bersikap dingin kepadaku. Airmataku paling tidak bisa membawa sedikit beban hati ini meski terkadang aku berharap mereka membawa semuanya hingga aku tak perlu merasa terpuruk seperti sekarang.

“Kumohon pergilah Min... Appa… Appa sedang tidak ingin melihatmu sekarang.” Lirih appa lebih pelan dari tadi. Aku menutup matanya dan meski berat, aku menuruti permintaan appa beranjak meninggalkan ruangan itu. Ruangan yang sudah menjadi kamar setia bagi aku, appa dan terlebih lagi bagi umma selama dua tahun ini.

Mungkin lebih baik aku menceritakan apa yang sudah menimpa umma sampai dia koma seperti sekarang. Mungkin lebih baik aku menceritakan bagaimana kejamnya aku sebagai seorang anak. Betapa tidak tahu dirinya aku, betapa tidak tahu berterima kasihnya aku atas kasih sayang dan segala perhatian yang telah diberikan oleh umma dan mengapa aku tidak menyalahkan appa yang selalu bersikap seakan aku seorang pembawa sial dalam kehidupannya. Kisah yang aku sendiri pun sebenarnya malu dan terlalu pedih untuk diceritakan. Tapi inilah kenyataan hidupku. Inilah yang membuatku akan selamanya merasa bersalah. Kebenaran atas kejadian yang menimpa umma.

Flashback

“Jaejoong! Kim Jaejoong!” teriakku lantang memanggil orang yang seharusnya aku panggil umma. Umma. Cih! Mana mau aku memanggil perempuan penggoda itu sebagai umma. Perempuan yang sudah mengkhianati appa, mengkhianati appa dengan rekan kerja appa sendiri.

Aku melihat umma berpelukan mesra dengan seorang pria yang aku kenal sebagai rekan kerja appa selama ini. Orang itu juga sudah aku anggap seperti pamanku sendiri, tapi mengapa mereka tega berbuat keji seperti ini terhadap appa. Padahal appa sedang sakit keras.

Aku yakin mereka berdua merencanakan merampas semua harta kekayaan appa setelah dia tiada lalu setelah itu mereka akan meneruskan hubungan terlarang mereka. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan menghancurkan mereka berdua, terutama wanita iblis seperti Kim Jaejoong itu.

“KIM JAEJOONG!!! Lama sekali sih?!!” teriakku lagi. Aku tidak akan pernah bersikap sopan terhadap perempuan berbisa itu. Biar dia tidak betah dan pergi saja sekalian.

“Minnie… Sudah pulang sayang?” tanyanya dengan suara selembut mungkin. Cih! Munafik! Padahal dibalik semua kelembutannya itu tersimpan niat busuk menjatuhkan appa. Lihat saja Kim Jaejoong, akan aku buat dirimu menderita sebagaimana kau telah membuat appaku menderita.

“Dari tadi aku sudah pulang! Aku lapar! Siapkan makan siangku!” perintahku kepadanya selayaknya dia adalah pembantu rumah ini. Sekilas aku bisa melihat raut wajahnya yang berubah sendu dan menahan tangis. Tapi aku tidak tertipu dengan wajah memelasnya itu. Dia pintar berakting.

“Eh… Ya sayang… Sebentar…” sahutnya terbata lalu beranjak meninggalkan aku dan pergi ke dapur. Sepeninggalan wanita itu, ada seseorang yang menepuk bahuku pelan dan orang itu adalah appa.

“Changminie…”

“Appa? Kenapa appa keluar kamar? Keadaan appa masih lemah.”

“Tidak apa-apa Minnie. Mana ummamu?” tanyanya dengan ekspresi penuh cinta. Aku menatap appa iba karena dia bisa dengan mudahnya jatuh kepada pesona wanita itu.

“Jangan sebut dia ummaku, appa. Aku tidak punya umma seperti dia.” Tukasku dengan nada sinis. Appa sepertinya terkejut dengan perkataanku lalu sedetik kemudian berteriak marah kepadaku.

“Shim Changmin! Jaga mulutmu! Dia itu ummamu!”

“Aku tidak sudi punya umma pengkhianat seperti dia appa!”

“Changmin… Kau salah sangka nak. Ummamu tidak seperti itu.”

“Kenapa appa selalu membela umma?! Dia jelas-jelas berselingkuh dan appa tahu itu?! Kenapa appa tidak buang saja dia dan cari perempuan yang lebih pantas untuk jadi istri appa dan umma untukku?! Lebih baik aku punya ibu tiri yang baik ketimbang umma kandung tapi seperti wanita berbisa macam Kim Jaejoong.”

“CHANGMIN!!” teriak appa menggelegar di ruangan yang cukup luas itu. Aku menatap appa dengan pandangan tidak percaya. Seumur hidupku, appa tidak pernah membentakku seperti tadi dan sekarang appa membentakku karena wanita itu.

Kami terdiam, mencoba mengerti apa yang sudah terjadi sampai mendadak appa batuk-batuk dengan keras.

“Uhuk…uhuk…”

“Appa!”

“Uhuk…uhuk… Hoek!!”

“APPA!!” pekikku kaget ketika appa memuntahakan sesuatu berwarna merah. Aku menatap takut dan cemas ke arah appa karena ditangannya ada gumpalan darah yang begtu banyak. Aku langsung berteriak sekuat yang aku bisa, meminta bantuan. Aku panik, panik sekali dank arena itu pulalah, aku sampai tidak sadar telah memanggil satu nama yang aku tidak mau sebut lagi.

“UMMAA!! Umma, tolong umma! Appa! Appa bertahanlah…” aku terus mencoba memberi semangat kepada appa sekaligus meminta bantuan kepada wanita yang telah melahirkan aku. Kami bergegas membawa appa ke rumah sakit dan berharap appa bisa sembuh dan baik-baik saja. Hanya saja harapan kami belum bisa terwujud karena malam itu juga, appa dinyatakan meninggal dunia karena kanker paru-parunya sudah menyebar dan kondisi appa yang ternyata sudah sangat parah. Pengobatan appa selama ini tidak mampu membantunya untuk terus hidup. Dia meninggal tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Aku menangis meratapi kepergian appa yang begitu cepat. Aku menangis karena appa meninggal dengan membawa luka di hatinya, dengan membawa kepedihan karena wanita dengan status ummaku itu. Ya, karena umma dan pria sialan itu yang telah mengkhianati appa. Aku membenci keduanya. Aku membenci mereka yang tampak sama sekali tidak bersalah karena telah membuat appa meninggal. Aku muak melihat sandiwara mereka yang berpura-pura sedih dan terpukul gara-gara kematian mendadak appa.

Terlebih lagi Kim Jaejoong, perempuan iblis itu. Airmata buaya. Aku benci kau. Aku membencimu Kim Jaejoong. Akan kuhancurkan hidupmu. Akan kupastikan kau hidup menderita, lebih menderita daripada appa.

Sebulan Setelah Pemakaman

“Kim Jaejoong!!! Kim Jaejoong!!!” hariku dimulai lagi dengan teriakan memanggil nama sialan itu. Setelah aku berteriak beberapa kali, aku melihat sosoknya tergopoh-gopoh mendekatiku.

“Changmin? Kenapa kau berteriak seperti itu sayang?” tanyanya masih dengan sikap yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Padahal aku tahu benar akal bulusnya.

“Kenapa? Kenapa kau bilang?! Kau itu tolol atau memang sengaja lupa dengan apa yang tadi kau perbuat?” cibirku kepadanya. Sebenarnya yang dia perbuat tadi mungkin terlihat wajar karena dia orang tuaku namun aku tidak suka. Aku sudah muak melihat dirinya yang sebentar lagi akan berstatus menjadi Jung Jaejoong.

Ternyata benar dugaanku, setelah kepergian appa mereka langsung terbuka dengan hubungan mereka. Dasar manusia kejam. Beraninya mereka akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dua bulan lagi. Pintar mereka memainkan permainan mereka dengan melangsungkan pernikahan setelah 100 hari kepergian appa. Hal itu justru membuatku muak, muak, dan muak!

“Umma salah apa sayang?” tanyanya lagi sok polos, merasa dia tidak berdosa sama sekali.

“Cih. Umma? Umma kau bilang? Sejak kapan aku punya umma seperti kau?!”

“Minnie…”

“Sudahlah! Kau jangan mengalihkan pembicaraan. Mengapa tadi kau datang ke sekolahku?! Sudah aku bilang jangan sekali-kali datang ke sekolah. Apalagi kau sampai datang dengan bajingan tidak tahu diri itu! Mengaku-aku sebagai appaku lagi. Appaku hanya satu!”

“Kalian tahu apa yang teman-temanku bilang saat tadi kalian datang?! Mereka bilang aku anak yang beruntung karena ummaku bisa langsung mendapatkan pengganti appaku. Mereka juga bilang lelaki biadab itu jauh lebih baik dari appa! Aku jadi bahan cemoohan mereka! Kalian membuat aku malu!

“Minnie… dengarkan umma dulu sayang…”

“Diam! Dasar perempuan tidak tahu diri! Dasar perempuan matre! Perempuan…”

Plak!! Perkataan pedasku terpotong karena sebuah tamparan yang keras di pipi kiriku. Aku memegang pipiku yang terasa perih dan panas, namun rasa ini tidak sebanding dengan rasa di hatiku ketika mengingat betapa merananya appa karena kedua orang yang berdiri di depanku ini.

“Berani keluar satu hinaan lagi kepada ummamu, maka aku takkan segan-segan Jung Changmin!” gertak pria selingkuhan umma, si sok tahu Jung Yunho. Dan apa itu, memanggilku Jung Changmin. Memangnya aku anaknya apa? Jadi anak tirinya saja aku tak sudi apalagi harus memakai marganya. Aku berdecak remeh sembari mengusap sedikit darah di sudut bibirku karena tergores cincin yang dipakai oleh Yunho. Aku memandanginya seraya menantang pria brengsek itu untuk berbuat lebih jauh dari sekedar tamparan.

“Cih… Datang juga pria sok tahu. Kenapa? Kau tidak suka aku menghina kekasihmu? Asal kau tahu saja teman, dia itu murahan. Nanti saat kau tidak sekaya dan sesehat sekarang, dia pasti mening

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
narmin #1
Chapter 1: English??????? Plzzzz
Hanmie #2
Chapter 1: nyeseeekkk banget sih ini.. T_T
Maynidit
#3
Chapter 2: lanjut chingu
Mydeluluworld #4
Chapter 1: Ummmmaaaaaaa....
Ko sedih gini sih Nao. Kirain awal udah sad nah akhirnya bakal happy ending ternyata oh ternyata.. Ya Tuhan!!!!!
Coba dijelasin dari awal kan ga bakalan ada salah paham kaya gini. Semua bisa bahagia. Tapi alasan yg misahin Yunho sama Jaejoong itu apa? Kenapa dia bisa nikah sama Shim appa?
ChangNeen
#5
Chapter 1: aaaaaaaaahhhhhhhhhh, kenapa ini menyedihkan bget kyk gni?! hiks hiks hiks kasian minnie,
knpa mereka gk jelasin aja dr awal sm minnie,
y ampun smpe minnie udah ngeracau gitu ngomongny k jaejae, itu sedih bgeeet, T.T