Conversation

Get Lost In Indonesia

 

Bruk! “Haaaaah!” Aku menjatuhkan diri ke kasur. Aku mengabari Donghae lewat skype, dan kelihatannya aman-aman saja—publik tidak mengetahui aku ada di Indonesia. Tapi apa ya, yang akan aku lakukan di perdesaan nanti?

Hae Na? Tiba-tiba saja aku teringat tentang anak tadi. Aku berharap kami bisa berteman layaknya yang benar-benar teman, atau at least dia nggak membenciku. Mr. Sanggah orang yang baik, seharusnya anaknya juga punya sikap seperti itu juga. Yah, mungkin kalau belum kenal memang begitu. Semoga semakin hari sikapnya semakin baik. Benar yang dikhawatirkan Mr. Sanggah, aku juga takut kalau cepat bosan di desa karena tidak ada teman, atau merasa homesick terlalu cepat, bahkan mungkin saat baru saja sampai. Ah…capek juga memikirkan apa yang akan dilakukan.

“Cho-Kyuhyun!” Seseorang mengguncang-guncangkan tubuhku, mencoba membangunkanku. Aku menggeliat, kemudian mendapati Mr. Sanggah ada di sampingku. “Sudah pukul 3 sore, kita harus berangkat ke airport sekarang.” Ujarnya. Aku langsung bangkit dan duduk.

“Ah, baiklah—maaf aku ketiduran.” Aku mengusap-usap mataku. “Em, Ajeosshi, dimana ya letak kamar mandinya?” Tanyaku.

“Di dekat dapur, di sebelah kamar Hae Na.” Mr. Sanggah menunjuk ke luar ruangan melalui pintu yang terbuka. “Tidak usah buru-buru, Cho-Kyuhyun! Santai saja ya, hahaha.” Ia tersenyum ramah dan aku membalas senyumnya sambil mengangguk. Mr. Sanggah keluar ruangan dan menutup pintu, membiarkan aku sendiri melakukan peregangan, kemudian beranjak dari kasur. Aku membuka pintu kamar dan terkaget melihat sosok perempuan setinggi daguku sedang mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu, tapi berhenti.

“Ku kira tidur lagi.” Katanya dengan santai, menurunkan tangannya. “Mobil sudah siap.” Ia melihat lurus ke arahku, dan aku masih membeku dengan kaku.

“I-iya… Aku… Ke kamar mandi dulu, ya?” Ujarku gugup.

“Ya. Sebelah sana.” Tangannya membentang menunjuk ke sebuah pintu, di sebelah kamarnya. “Kamar mandinya kecil, nggak apa, kan? Dan baru dibersihkan minggu lalu.” Lanjutnya dengan tanpa ekspresi.

“Oh, iya… tidak apa, terimakasih.” Aku menunduk padanya, kemudian pergi. Aku tidak menoleh ke belakang, tapi rasanya dia tidak bergerak dari tempatnya, sampai aku masuk ke dalam kamar mandi.

“Haaah…” Aku menggela nafas. Jadi grogi, kok tiba-tiba menyambut.

****

“Duh, macet!” Seseorang terdengar seperti mengeluh dengan bahasa Indonesia. Ia membanting tubuhnya ke jok mobil. “Jakarta benar-benar, ya! Masa macetnya parah sampai tidak bergerak seperti ini!” Lalu ia melanjutkan dengan beberapa umpatan yang tidak ku mengerti.

“Sabar ya, Mang Jajang. Maklumlah, Jakarta.” Sahut Hae Na, suaranya terdengar jelas karena ia duduk di sebelahku. Aku diam saja, mengamati mereka yang sepertinya sudah sangat capek menghadapi hidup di Jakarta. Sebelumnya aku sudah dikenalkan dengan Ja-jang(sshi), ia adalah orang yang suka bersih-bersih rumah mereka, dan sudah seperti saudara. Umurnya sekitar 25 tahunan, dan terlihat sebagai pekerja keras. Ia juga sering bekerja di Malang untuk mengurusi sawah Mr. Sanggah.

“Cho-Kyuhyun! Aku minta maaf, malah membeli tiket di jam yang salah! Seharusnya aku tahu, jam-jam setengah empat ini adalah waktu macet Jakarta—daerah sekitar sini!” Mr. Sanggah menoleh  ke arahku. Aku hanya  tersenyum dan mengangguk, mengatakan aku tidak apa-apa. “Oh, Hae Na! Sudahkah kalian bicara sesuatu?” Ia menoleh pada putrinya, kemudian tatapannya kembali terarah padaku.

“Oh, sudah. Aku… kami bicara sebelum berangkat, tentang dimana kamar mandi…”

“Bahahhaahahha!!” Serentak Mr. Sanggah dan Hae Na tertawa meledak, benar-benar terbahak-bahak. Aku menatap mereka heran, lalu kemudian Jajang juga tertawa walau tidak mengerti bahasa Korea, tapi sepertinya dia geli melihat sepasang bapak dan anak tertawa terpingkal-pingkal seperti itu. Aku tidak mengerti, hanya nyengir, apakah bicara tentang kamar mandi bukanlah sebuah percakapan yang bagus?

“Dia bilang kamar mandi! Obrolan apaan tuh!” Seru Hae Na keras dengan bahasa Indonesia, kemudian diikuti oleh tawa ayahnya dan Jajang. “Duh….dasar bego.” Ia mengelap genangan air di mata kanannya karena keasyikkan tertawa.

“Wahahah maaf, maaf, Cho-Kyuhyun! Aku terbawa pada candaanmu tadi, ahahah tertawa seperti ini sangat bebas, rasanya kau ini keluarga kami, hahaha!” Aku tertawa garing, merasa aneh dengan kejadian barusan. Daripada merasa seperti keluarga, kok rasanya malah lebih seperti korban bullying, ya? Aku menggaruk-garuk kepalaku.

“Ah, hey.” Hae Na seperti memanggil, kemudian aku menoleh. “We were kidding.” Katanya. Aku mengangguk, lalu tersenyum kaku. Aku melihat Mr. Sanggah sudah terlelap, sangat cepat. Lalu tatapanku mengarah ke Hae Na, ia sedang melihatku. “Aku harus memanggilmu apa? Siapa?” Tanyanya kemudian, aku agak kaget mendengar bahasa Koreanya yang lancar.

“Hm… apa saja boleh, sih.” Aku mengangkat bahu, tak tahu harus jawab apa. Hae Na terdiam sejenak, “’Oppa’? Anak perempuan yang lebih muda sering panggil begitu, kan… yah, kalau nggak keberatan.” Akhirnya aku bicara, dan Hae Na menoleh. Ia mengangguk-angguk.

“Kyuhyun oppa.” Akhirnya ia bicara, aku menoleh dengan mulut setengah terbuka. “Boleh.” Ujarnya, menatap ke arah lain. Aku masih terdiam tak percaya, tiba-tiba saja rasanya jadi akrab. Ia menyadari aku yang melihatnya, kemudian ia menatap balik. “Eh? Nggak  boleh, ya?” Ia menatapku bingung, sementara aku jadi tambah bingung.

“Bo…boleh, kok. Boleh!” Aku jadi salah tingkah dan membuatnya terkekeh. Sejenak ada keheningan diantara kami. Aku, Hae Na, dan Jajang juga Mr. Sanggah berdiam diri, tidak tahu apa topik yang bagus untuk dibicarakan. Aku akhirnya pasrah saja, bingung untuk memulai percakapan, sampai akhirnya justru Hae Na yang memulai duluan.

“Band mu namanya apa, sih?” Tanyanya, membuat mataku melebar.

“Super Junior.” Jawabku sedih, ternyata dia tidak tahu namanya. Hae Na ber-oh, kemudian diam lagi. “Oh, kamu nggak suka yang berbau-bau Korea gitu ya?”

“Bisa dibilang.” Jawabnya cepat tanpa menoleh. “Aku suka lagu barat.” Tambahnya. Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku, kemudian ada jeda setelahnya. “Anak perempuan kampusku rata-rata histeris kalau ada topik tentang Korea.” Masih tidak menoleh padaku, ia mengedikkan bahu. “Aku tahu Korea, terutama Seoul, punya tataan yang indah. Beda dengan Jakarta. Tapi kadang-kadang mereka juga melebih-lebihkan masalah drama dan boy-band dari sana. Menyebalkan.”

Syaraf belakang leherku menegang saat ia bicara acuh-tak-acuh seperti itu. “Ahaha aku tidak tahu bagaimana kondisinya, tapi masalah histeris, aku sudah melihatnya beberapa kali saat datang ke Indonesia sebelumnya.” Aku menggaruk tengkuk, hanya nyengir lebar walaupun dia tidak memperhatikan. “Tapi aku berterimakasih pada siapa saja yang mengidolakan Korea, aku merasa bangga dengan tempatku sendiri.” Ujarku, lalu melihat keluar jendela. “Dan tanpa orang-orang yang mendukung Super Junior, kami bukan siapa-siapa. Aku berterimakasih pada mereka.” Aku terus menatap keluar jendela setelah ucapanku, walaupun merasa kalau sebenarnya Hae Na menoleh. Saat aku menghadap ke arahnya, ia sudah melihat keluar jendela sambil memasang headset. Percakapan pun berakhir.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet