Epilogue 2 - Chajatta

Till We Meet Again
Please Subscribe to read the full chapter

Daniel duduk di belakang mejanya dalam diam. Matanya memandang kosong. Asap rokok masih mengepul di tangan kanannya namun abunya sudah demikian panjang sehingga terjatuh begitu saja ke lantai kamarnya. Entah sudah berapa batang rokok yang dia habiskan hari itu tapi itu tidak bisa membantunya berpikir. Pikirannya semakin lama semakin kalut dan itu membuatnya tidak kuliah selama  beberapa minggu.

Namun demi menjaga image-nya sebagai seorang artis besar di masyarakat, dia harus selalu tampil rapi dan riang. Wajahnya memperlihatkan kegembiraan, walaupun hatinya tidak. Semenjak semua kegiatannya selesai, saat itu dia sedang menikmati masa-masa liburnya sebagai artis.

Meski dibilang masa-masa libur, tapi Daniel sama sekali tidak merasa rileks. Sepanjang waktu dia hanya mengurung diri di dalam kamarnya. Dia tidak tertarik bergabung dengan teman-temannya, bahkan tidak berkeinginan untuk menyalakan lampu kamarnya meski hari sudah malam. Kamarnya jauh dari kesan rapi. Dia membongkar dan mengeluarkan semua hal yang bisa mengingatkannya kepada kakak angkatnya.

Kehilangan Josh adalah sebuah pukulan telak baginya. Dia sungguh merasa menyesal meninju Josh waktu itu. Sekarang dia paham kenapa Josh menyegel ingatannya. Meski dia melakukannya tanpa tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ternyata itu sungguh membawa efek padanya. Seandainya saja ingatannya tidak dikembalikan, kondisi psikologinya pasti tidak separah ini.

Sudah cukup lama dia bernaung dalam kondisi menyedihkan ini. Dia merasa harus keluar dan membebaskan dirinya dari rasa bersalah sekaligus rasa kehilangan yang mendalam. Namun dia tidak tahu harus mulai dari mana.

Dia menatap puntung rokok yang masih melekat di antara jari-jari tangannya, dan teringat kata-kata Josh sebelum pertempuran besar itu dimulai yang memintanya untuk berhenti merokok. Penyesalan selalu datang terlambat. Begitulah istilah yang sering dia dengar.

Tapi itu lebih baik daripada tidak pernah menyesal sama sekali. Daniel bangkit dari duduknya, mengumpulkan semua puntung rokok beserta asbaknya dari atas meja dan mulai membersihkan kamarnya yang hampir dua minggu ini tidak pernah dia bersihkan. Dia melempar semua puntung rokok beserta asbaknya ke dalam tempat sampah. Dia menemukan beberapa bungkus rokok beserta sebungkus rokok yang masih utuh di kamarnya. Setelah meremasnya hingga tidak berbentuk, dia melempar semuanya ke tempat sampah.

Dalam hitungan jam, kamarnya yang tadinya begitu kotor sekarang berubah menjadi sangat bersih. Tidak biasanya dia membersihkan kamar sendiri, namun hari itu dia benar-benar ingin melakukannya sendiri. Bahkan dengan tegas dia menolak bantuan dari ibunya.

Daniel telah mencetak sendiri beberapa fotonya bersama Josh di dunia ‘itu’ dan membingkainya. Setelah membersihkan foto-foto itu dengan kain lap basah, dia menaruh salah satu foto di mejanya. Daniel menghentikan kegiatannya sejenak, lalu menatap foto itu dengan baik. Josh kelihatan senang sekali di sana. Senyumnya terkembang seperti anak kecil. Tersenyum pahit, dia melanjutkan kegiatan bersih-bersihnya dengan membersihkan meja itu dengan hati-hati.

Ketika semuanya telah selesai, Daniel kembali duduk di depan mejanya, menarik laci panjangnya dan mengeluarkan sesuatu dari situ. Itu adalah Analyzer yang Josh berikan untuknya. Entah sudah berapa kali dia membuka-buka isinya, melihat semua foto yang ada di sana. Namun belum sekalipun dia berani membuka file video yang ada di dalamnya.

Dia menghabiskan sisa hari itu melihat semua rekaman video yang ada. Beberapa kali dia tertawa-tawa melihat hasil rekaman Junsu dan Changmin. Dan dia juga merasa geli melihat Josh yang memarahi tingkah konyol yang lain. “Kalian sudah dewasa!” serunya dengan lagak marah, meski di wajahnya tersungging senyuman sumringah.

Ketika malam menjelang, dia merasa lelah. Karena jumlahnya sangat banyak, jadi dia yakin butuh waktu berminggu-minggu untuk menyelesaikannya. Sebelum mematikan benda itu, dia menyusuri file-file yang ada di sana. Pasti jumlah video yang mereka buat ada ratusan. Dalam prosesnya menyusuri file-file itu, tiba-tiba ada sesuatu yang menyita perhatiannya. File itu memiliki nama yang urut seperti halnya yang lain namun tanpa ekstensi.

Penasaran, Daniel mengganti nama dan secara iseng memberikan ekstensi pada file itu. Dia terperanjat ketika membuka file itu.

* * *

Junsu melangkah memasuki flat-nya sudah lama tidak ditinggalkannya sambil menyeret kopernya. Dia menghempaskan diri ke sofa panjang lalu menghela napas, berusaha membuang rasa lelahnya sejenak. Dia dan yang lain baru saja kembali dari tur konser JYJ di LA. Meski lelah, dia merasa puas dengan konser itu. Dia merasa beruntung sekelompok dengan Jaejung karena hampir semuanya berhasil ditanganinya dengan teliti, mulai dari tata panggung, timing, hingga pemilihan kostum.

Junsu bangkit dari duduknya, lalu menuju lemari es. Dengan pelan dipukulnya pintu lemari es itu sehingga membuka. Setelah mengambil air es lalu meneguknya, dia beralih ke perlengkapan sound system-nya. Dia menunduk hendak mencari beberapa lagu ketika matanya menatap sesuatu tepat di samping televisi.

Ada sebuah surat dan dua keping Bluray Disc di sana. Tulisannya dalam bahasa Inggris. Dan dia bisa membaca nama penulisnya. Daniel Radcliffe.

Pasti kumpulan foto yang diminta Jaejung Hyung, pikirnya tanpa berniat membaca surat itu terlebih dahulu. Dia terlalu lelah untuk membacanya sekarang. Setidaknya bagian translator di kepalanya sudah agak tersendat saat itu. Jadi dia memutuskan untuk membacanya besok.

Sebelum dia tertidur, dia memutuskan untuk menelpon Jaejung terlebih dahulu. Junsu menekan-nekan beberapa tombol di ponselnya. “Hyung—“ katanya ketika mendengar seberangnya mengangkat telepon. “Ada surat dari Daniel. Kurasa untukmu.”

“Akhirnya.” balas Jaejung. “Aku sudah menunggunya selama berbulan-bulan. Besok aku dan Yuchun akan ke tempatmu.”

Besoknya, ketika hari sudah agak siang, Jaejung dan Yuchun muncul di flat Junsu. Mereka masuk begitu saja karena keduanya sudah tahu passcode milik Junsu. Saat itu Junsu baru saja selesai mandi, dia berdiri di ruang tamu, dan tampak sedang memegang secarik kertas. Dia tidak terkejut ketika Yuchun dan Jaejung masuk.

“Hyung—“ katanya tanpa menoleh.

“Wae?” balas Jaejung dan Yuchun bersamaan.

“Kurasa surat ini bukan hanya untukmu.” katanya lalu menyodorkan kertas itu kepada Jaejung dan Yuchun.

Keduanya menatap surat itu sejenak.

“Ah,” kata Yuchun paham.

“Biar kutelpon Yunho.” kata Jaejung, “Semoga mereka berdua tidak ada jadwal hari ini.”

* * *

To all of DBSK members (I still don't know how to spell your boyband name, sorry)

 

I have to apologize for the intrusion I made but I have to get into Junsu's flat in order to give you this letter along with 2 Bluray Discs for you. I don't want anyone else, beside you 5 to find out what's inside the discs.

If you ask me what's this about, I’ll say that it's about my foster brother, Josh, which I think you already considered him as your older brother as much as I did.

The first disc is about him, of course. A record from the very first time he became a Guardian until the last moment before he was gone into ‘that’ place. A place called ‘Corona’ by us. I think you should look into it. I have to beg professor Ico weeks before I get my hand on this. She didn't want to give it, but when I mentioned that he already treat you as his brothers, she finally understand and gave me this record voluntarily.

It's quite long record, considering the many years he has since the first time he became a guardian. So I decided to cut it and take the important parts, especially battles, just for you to know to know how much he had grown until the last time we saw him and about his dedication by becoming a guardian.   This is a very valuable record to us, especially to me, and I hope you won't share it to anyone else.

The second disc is also contains records.

As we all know, Josh gave me his Analyzer the night before those things happened. It contains records of our moments in that place. The videos, pictures you guys took, and also a message for us. Yes, he left a message for each of us. I kept crying each time I saw this video. This came from the bottom of his heart, I can tell you that much. There's one thing that I never forget about, is at the last part of his message.

I can't tell you much further. I think it will be better if you better watch it yourself. I know your English is better now, so I'll leave it at that. And I suggest all of you to watch it together.

Sincerely yours,

 

Daniel Radcliffe.

 

P.S. If you ever need some help, just call me. I presume Josh will do the same if he’s still with us. I'll be your friend as much as he wants me to be, I think.

* * *

Surat itu berakhir di situ. Mereka semua menatap surat itu dengan lesu.

“Jujur, aku agak takut untuk menontonnya.” kata Yuchun.

“Aku juga.” kata Jaejung. “Tapi kita tidak akan tahu pesan apa yang dia berikan pada kita.”

Mereka terdiam sangat lama. Bahkan Yunho pun tidak bicara.

“Baiklah.” kata Changmin memutuskan. “Biar Junsu Hyung saja yang menontonnya terlebih dahulu. Nanti baru ceritakan pada kita. Bagaimana?”

“Sirheo!” kata Junsu protes. “Kita nonton sama-sama.”

“Kau saja Changmin.” kata Yunho. “Sekali-sekali menjadi magnae yang baik bagi para Hyung-nya.”

Dan mereka pun mulai berdebat mengenai siapa yang lebih dahulu menontonnya.

“Aish, jinjja…” keluh Yuchun sambil berdiri. Dia menyambar BD pemberian Daniel dan langsung memasukkannya ke dalam player. Semua membisu ketika sejumlah menu pun tampil di layar televisi. Yuchun mengambil remote lalu mulai melihat-lihat video itu. Mereka semua tegang melihat daftar video yang ada. Ternyata ada begitu banyak momen yang mereka rekam.

“Coba cari yang judulnya agak aneh.” kata Jaejung menyarankan.

“Ah, itu dia.” kata Yuchun ketika melihat tulisan, Josh’s message di salah satu video tersebut. Namun ketika dia menyorot video itu, tiba-tiba dia berhenti. Jarinya seakan membeku di atas tombol play.

Yang lain memandanginya dengan heran ketika keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Butuh bantuan Junsu untuk menekan jari Yuchun yang masih berada di atas tombol play.

Video mulai berjalan. Mereka mendengar Josh tertawa kecil. Wajahnya tidak kelihatan, tentu saja karena dia sedang memegang kamera. Dia mengarahkan lensa kamera ke wajah setiap orang yang sedang tidur di lantai. Josh terkikik lagi.

“Eh, ini waktu—“ kata Junsu mengingat-ingat.

“—kurasa pada hari Sarah dan Rebecca datang.” tanggap Yunho.

“Aku tidak tahu kalau dia merekam wajah tidur kita.” kata Changmin. “Jangan-jangan Josh itu stalker?” Dan dia mendapat serangan bantal dari keempat temannya yang lain.

“Kalau bicara hati-hati, magnae.” kata Yunho ketus. “Kau lupa siapa dia? Hyung tidak akan melakukan hal semacam itu.”

“Ya, ya. Maafkan aku. Aku cuma bercanda.” kata Changmin meminta maaf sementara yang lain masih memukulinya.

Mereka kembali beralih ke layar televisi.

Josh masih terkikik seru ketika meletakkan kamera itu di meja dan menatap lensa kamera itu. Dia mengenakan kaos oblong dan celana jins dengan wujud Eterna-nya, persis seperti yang mereka ingat.

“Aku tidak pernah tahu kalau wajah kalian begitu lucu kalau sedang tidur.” katanya geli. “Semua image yang kalian bangun serasa—poof! Hilang begitu saja.” Dia lalu menghela napas, mencoba mengendalikan diri.

“Oke, kurasa kita lewati saja basa-basinya, yah?” katanya kemudian. “Tapi aku harap sewaktu kalian menonton ini kalian semua baik-baik saja.” Dia jeda sejenak. “Aku harus mengatakan bahwa aku sangat senang bisa berkenalan dengan kalian semua. Sungguh.” Dia terdiam lagi. “Aku merasa kalau waktu kita untuk kembali kian dekat, jadi aku pikir ada baiknya jika aku menitipkan pesan ini, hanya untuk jaga-jaga terhadap kemungkinan terburuk.”

Dia menghela napas dalam-dalam. “Aku sudah lama tahu kalau dunia ini adalah dunia yang khusus dibuat untukku. Dunia yang akan memenjarakanku selamanya. Aku merasa siap untuk itu, meski dalam kenyataannya aku masih berusaha mencari jalan keluar.

“Kehadiran kalian telah memberiku semangat yang baru. Semangat yang telah sempat memudar di dalam diriku kembali menyala ketika melihat kalian yang membutuhkan pertolongan. Jadi aku mempertaruhkan segalanya untuk kalian, meski itu adalah usahaku yang terakhir. Aku melarang kalian keluyuran sembarangan, memaksa kalian berlatih melompati gedung, memaksa kalian tinggal dalam satu rumah, dan juga melarang kalian melakukan kegiatan yang kalian suka. Selain bernyanyi dan berlatih dance, aku memberikan terlalu banyak batasan untuk kalian. Untuk semuanya itu, aku minta maaf

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
only-yuri
#1
i wish i knew indonesian ><
this looks like a good story ;)
ningekaputri #2
Chapter 15: huwaaaa sweeettt,,,ending yg sweet. Jujur jln cerita na menarik. Serasa baca novel petualangan. Krn mmg udh smpe ending hehe. Menarik, gaya tulisn na menarik. Smua fantasi yg d bwt bisa bwt aq msh k dunia khayal. Keren. Thx for sharing your story^^
ningekaputri #3
Chapter 1: hai,,,new reader here^^ numpang baca ya,,langsung tertarik pas baca ch 1 :)
lyelf15 #4
Chapter 15: Daebak!!!
mianhae, komennya langsung chap akhir... keren banget fantasy nya..
semuanya keliatan nyata walau ada beberapa kalimat yg rada berat buatku /slap/
seneng banget genre ini...
izin baca ff mu yg lainnya ya..
gomawo udah buat story ini^^