Chapter 1

Digits

CHAPTER 1

 

 

 

“Kau tidak pernah makan apa-apa,” ujar Victoria. “Sudah dua minggu belakangan ini kau begitu. Kau sakit?”

“Tidak.”

“Lalu ada apa?”

Luhan memainkan apel yang sudah dimakannya sedikit, mata emasnya berkelebat ke arah Victoria yang mulai menyantap kentang gorengnya. “Aku cuma tidak nafsu makan.”

“Kau tahu,” Victoria berdeham sembari melayangkan pandangannya ke arah anak-anak cewek yang dipergokinya sedang melihat ke arah Victoria dan Luhan, “kau mulai mencuri perhatian cewek-cewek disini. Sekedar informasi saja, Kim Hyuna dari kelas Sosiologi yang selalu duduk di sebelahmu itu sekarang tidak pernah berhenti menatapmu selama pelajaran.”

Kening porselen Luhan berkerut. “Siapa dia?”

Victoria menganga. “Astaga, kau tidak tahu? Ya ampun, jadi selama ini kau hidup di bawah karang? Luhan, dia kapten tim pemandu sorak sekolah kita! Kau tidak pernah melihat latihan mereka di lapangan?”

“Kau tahu persis aku tidak suka nongkrong di lapangan sepertimu.”

Kaleng soda jeruk yang dipegang oleh Victoria diputar-putarnya kemudian berguling. “Asal kau tahu, aku juga tidak. Maksudku, dia terkenal sekali disini. Tidak ada yang tidak tahu dia - kecuali kau, mungkin.”

Luhan cuma bisa memaksakan senyum kecil. Kemudian Victoria menggumamkan sesuatu seperti sedang mengutuk lampu kafetaria. Semua anak mengeluh dengan lampu kafetaria yang terlalu silau, tapi itu toh tak ada artinya sama sekali untuk Luhan. Ia menggigit apelnya pelan-pelan kemudian menelannya, sama pelannya. “Enak?” Dia menunjuk salad dan kentang goreng tanpa garam yang dimakan Victoria dengan menaikkan alisnya.

“Ini? Bagus untuk diet. Kau tidak pernah makan salad?”

“Aku tidak butuh diet,” jawab Luhan enteng.

Victoria menjawab dengan muram, tentu saja ia mengagumi teman barunya yang secara alami tampan dan langsing, meski matanya sedikit aneh. “Setidaknya makanan ini lebih bergizi daripada hanya sebutir apel yang kaumakan sekarang. Yakin kau tidak akan kelaparan? Kita masih ada tiga kelas lagi setelah ini.”

“Jangan khawatirkan aku,” rambut pirang Luhan bergoyang lembut. Di ujung matanya ia menangkap dua sosok laki-laki yang duduk lumayan jauh dari mereka. “Siapa mereka? Aku belum pernah melihatnya.”

Victoria mengerti maksud Luhan lalu dia mulai cekikikan sendiri. “Wajar saja kau tidak kenal mereka. Kau kan juga baru pindah kemari dua minggu yang lalu. Yang rambutnya hitam itu, namanya Kai. Yang rambutnya cokelat dan lebih lurus, dia Sehun.”

“Senior?”

“Ya, tapi jangan pedulikan mereka. Mereka tidak berkencan. Maksudku, mereka bukan homo, hanya saja tidak ada cewek yang menarik perhatian mereka sekarang ini.”

Dua cowok itu terlihat bercahaya. Di saat yang sama, misterius. Mereka berdua sama-sama jangkung dan rupawan. Cowok dengan rambut hitam yang mencuat-cuat itu lebih pendiam daripada yang berambut cokelat. Yang bernama Kai tanpa sengaja menengok ke sisi kirinya, menangkap mata kuning hazel milik Luhan.

Sepasang mata berwarna perunggu lembut itu menguarkan kesan polos dan menarik, cocok dengan sifatnya. Bertabrakan dengan mata Luhan yang tegas dan menyimpan banyak rahasia. Karena itu Luhan lebih tertarik dengan mata itu ketimbang mata-mata lain. Tetapi tidak lama karena Kai segera memalingkan wajahnya.

“Serius, jangan buang-buang waktumu, Luhan,” ujar Victoria sembari mengacungkan tomat segar yang ditusuk dengan garpu ke wajah Luhan, “lebih baik kita fokus saja ke ujian akhir. Kenapa kau malah pindah di akhir semester satu? Bukannya lebih baik kalau kau tetap tinggal di sekolah lamamu sampai lulus baru pindah kemari untuk mengikuti ujian masuk universitas?”

Jawaban Luhan terlalu tidak memuaskan Victoria. “Komplikasi.”

Luhan mengambil tasnya lalu menyelempangkannya di bahu kirinya. Dia tergoda untuk melewati meja Kai dan Sehun, tapi dia mengurungkannya. Yang menjadi masalahnya bukan lagi mata Kai. Tapi mata Sehun. Dia pernah melihat mata itu. Karena mata Sehun mirip dengan matanya sendiri.

Dia melewati kelas Kimia yang seharusnya menjadi kelasnya berikutnya dan langsung menuju tempat parkir. Volvo S60R hitamnya diparkir di ujung, jauh dari keramaian anak-anak yang memilih nongkrong di tempat parkir ketimbang di gedung sekolah atau kafetaria. Luhan mengunci semua pintunya lalu menyanyikan Creep dari Radiohead. Tangannya diletakkan di atas setir, meski dia belum memutuskan untuk membolos.

Mata Sehun tadi… warnanya biru. Benarkah biru? Ia tidak yakin.

Ruangannya tidak gelap, tapi Luhan tidak yakin warna matanya biru. Lebih terang. Seperti warna langit malam, menurutnya.

Tidak, itu tidak mungkin. Mana mungkin keenam-enamnya berkumpul di satu negara yang sama? Tapi… mata itu…

Tubuhnya bergidik memikirkan kemungkinan itu. Adrenalin menderas di sekujur tubuhnya, membuat bulu matanya yang tebal menyapu bola matanya yang keras. Selama ini yang dia tahu dia sendirian, dia bahkan harus meninggalkan keluarganya karena dia tahu tidak mungkin harus selamanya tinggal dengan mereka tanpa menyakiti mereka.

Kepindahannya pun sudah menjadi agenda rutin. Setiap enam bulan dia harus pindah dari kota satu ke kota yang lainnya, menghindari perhatian. Sudah lima tahun dia melakukan hal ini. Sejak kakak laki-lakinya masuk rumah sakit, Luhan langsung mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan rumahnya. Saat itu juga.

Bayangan sepasang mata Kai memenuhi benaknya. Ekspresi wajahnya saat itu sulit ditebak. Penuh dengan rasa penasaran, kekaguman yang mendadak, juga sedikit ketakutan. Luhan melengos saat menyadari ada sedikit dari bagian diri Kai yang takut kepadanya. Itu sudah pasti.

Lagu Stare dari Majorie Fair mengalun dan Luhan memindah tangannya dari setir ke kunci mobil lalu memutarnya. Dia hanya bisa pergi ke tempat seseorang, yang takkan dia sakiti dan yang tahu kebenarannya. Tentang Luhan, tentang segalanya. Saat dia menyetir, lengan jaketnya tersingkap dan menunjukkan sebuah simbol di pergelangan tangannya yang bisa disalahartikan sebagai tanda lahir.

Kenapa harus aku?

Itulah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawabnya selama belasan tahun terakhir. Pertanyaan itu memang ada benarnya. Dari sekian miliar penduduk bumi, kenapa harus Luhan? Kenapa harus Luhan yang menjadi Yang Kelima?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
SeHuNYeHeT94
#1
Chapter 15: i was upset and cry when i know luhan die, but this story so..best
lilacsky #2
Chapter 15: Dan kailu bersenang- senang selamanya. Bagus nih kailu fantasi dalam bahasa. Jarang banget. Buat lagi ya yang banyak. Cara kamu cerita rapi dan detil. Bagus..
YuaRei #3
Chapter 15: Aaaaa.....seneng banget dpet FF KaiLu...Horrrrreee, bgus banget dh FF nya toppp
clairenoona_887 #4
Chapter 15: demi apa fic nya baguss pke bngett!!
aaaa.. akhirnya nemu juga ff fantasy Kailu yg happy end.. :*
mssLEEKIM
#5
Chapter 3: wow....this is great
JiaHannie #6
Chapter 15: Good , amazing jangan end disini pliss !!
chyshinji
#7
Chapter 15: I want moooooooooooooooooreeeee,, Kailu momentnya sedikit sekaliiiiiiiiii,, huwaaaaaaaa,, nice story Authoorr,, keep writing ^^
chyshinji
#8
Chapter 14: yeeeeeeeeeeee Luhan hiduuuupp lagii,, ngomong ngomong Luhan bisa napas lagi tuh?? jadi bukan vampir lagi? Tapi tetep immortal?? kyaaaaaa
chyshinji
#9
Chapter 13: Huwaaaaa,, Luhan gak boleh mati,, lagipula dia imortal kan?? yang bisa bunuh dia cuman Kai kan?? jadi pasti masih hidup,, huwaaa
chyshinji
#10
Chapter 7: huwaaaaaa,, poor luhan,, kok kayaknya dari tujuh ini yang paling menderita Luhan sihh,, gimana dia mau suka sama orang kalo itu nanti bakal jadi boomerang buat dia kan >.<