Chapter 5

Runaway With The Bachelor

 

Runaway with the Bachelor

by morinomnom

Chapter 5

.

Sehun’s POV

 

“Sehun-ah, kau benar-benar akan kembali ke Korea?”

 

Luhan-hyung bertanya padaku. “Mungkin. Tapi sepertinya tidak dalam waktu dekat. Atau, aku akan pergi ke Italia dulu—ada urusan kantor,” kataku padanya.

 

“Italia? Bagus! Aku dan Hayoon akan pergi Honeymoon kesana,” kata Luhan-hyung excited.

 

Sebaliknya denganku. Aku yakin wajahku menunjukkan sesuatu yang negatif sehingga Chanyeol-hyung dan Kai menatapku aneh.

 

“Kenapa? Apa ada masalah?” bisik Chanyeol.

 

Ani,” kataku cepat, lemudian berbalik, bertemu pandang dengan Hayoon. Tatapan matanya intens dan.... yah. Dadaku lagi-lagi berdebar keras. Sehun, sadarlah. Dia sudah menjadi milik  orang lain. Aku menundukkan kepala. “Luhan-hyung, aku akan kembali ke hotel,” kataku cepat. Luhan-hyung terlihat tidak suka. Dia tidak mau aku menginap di hotel, menurutnya tempat yang lebih baik untuk menginap itu tempatnya. Tapi aku menolak, dan ternyata pilihanku itu benar. Tidak seharusnya aku berada satu rumah dengan Hayoon, mau dia sudah menjadi milik orang lain ataupun masih lajang.

 

“Kalau kau mau pergi, telepon aku ya!” seru Luhan-hyung. Aku hanya mengangkat jempolku ke udara tanpa berbalik, dan berjalan cepat menuju kerumunan di gerbang. Tanpa sengaja aku melihat seseorang yang aku kenal.

 

“Yuyoong?” bisikku. Wanita itu—Yuyoong—berbalik. Astaga. Tentu saja Yuyoong di sini. Dia dan Hayoon kan sepupu.

 

“Sehun??” tanyanya, senyumnya berkilau namun sedikit gugup. “Apa kabar? Ternyata kau tidak berubah, malah tambah tampan,” kata Yuyoong dengan senyumnya yang lembut dan berkilauan.

 

Aku tersenyum. “Baik-baik saja,” jawabku singkat. Yuyoong mengalihkan pandang dan kepalanya celingukan. Dia terlihat sedang mencari seseorang. “Siapa yang kau cari?” tanyaku datar.

 

“Pendampingku. Aku tak melihatnya sejak tadi,” kata Yuyoong, khawatir.

 

“Kau kemari dengan pendamping?”Aku cukup terkejut. Yuyoong itu tipe perempuan yang sulit dekat dengan lelaki. Denganku saja butuh waktu tiga tahun dulu...

 

“Kau kira aku tak akan membawa pendampingkan, Oh Sehun-ssi?” tanyanya, pura-pura marah.

 

Aku hanya menghela napas lalu berkata, “Aku tak bisa membantumu, mian. Aku harus buru-buru pergi.”

 

“Tak apa, aku hanya khawatir padanya. Baiklah, aku akan pergi. Annyeong Sehun!” Dia berjalan, aura lembutnya tak berubah semenjak SMA. Aku menghela napas dan berbalik. Aku tak perlu menjelaskan hubunganku dengan wanita-wanita itu kan? Itu sama saja membuka sakit hatiku.

 

“Oh Sehun.”

 

Bisikan itu hadir di belakang telingaku. Aku mendongak, melihat pria setinggi seratus sembilan puluh. Aku berusaha untuk tersenyum. “Withlock,” kataku.

 

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya, menatapku dengan sopan—tapi jelas-jelas tangannya tidak. Aku berusaha untuk menekan tangannya yang mulai meraba pinggangku, seakan-akan menggodaku untuk ikut dengannya ke hotel terdekat. Tidak, tentu saja. Aku tidak semurah itu.

 

Fernando Withlock, rekan sejawat yang kutemui di konferensi di Italia. Setengah Italia dan setengah Jerman, dan tentu saja sama denganku, dan sama di sini memakai tanda kutip. Terobsesi denganku, sepertinya. Aku tidak menemukannya hot ataupun seksi seperti sebagian besar teman-temanku. Aku lebih suka mengejar dibanding dikejar. Karena itu aku menolak ajakannya—one night stand saja—saat bertemu. Kukira dia akan mundur, tak tahunya dia malah terus mengikutiku seperti ekorku terus menerus. Apakah malamku bisa jadi lebih berat? pikirku dengan menghela napas.

 

“Kau mengenal Luhan-hyung?” tanyaku sopan.

 

“Luhan?” katanya bingung, namun segera mengomposisi wajahnya kembali tenang. “Ah ya, tentu saja. Kami bertemu dia tempat bilyar setahun lalu, dan menjadi teman main semenjak itu.”

 

Bohong. Luhan-hyung tak pernah pergi ke tempat bilyar—tidak tanpa aku, atau Chanyeol-hyung tentu saja.

 

“Kalau begitu, semoga malammu menyenangkan. Permisi.” Aku hendak pergi ketika dia menggapai tanganku, api membara terlihat di matanya.

 

“Kau tak mau tinggal sebentar disini? Hanya sebentar? Kita bisa mempunyai waktu yang hebat, saat yang tepat, kau tahu. Aku, kau—dan hotel-hotel itu. Di mana saja. Oke?” Dia terlihat sangat desperate, tentu saja. Aku mencoba menahan ekspresi jijikku terhadapnya, tersenyum lalu mendorong bahunya.

 

Maybe next time. I have meeting to go. Bye.” Dan seperti itulah aku pergi.

 

Aku segera mendongakkan kepala ke supirku dan menyuruhnya untuk ke mobil duluan. Supirku yang berdiri patuh di depan gerbang menunduk dan segera berjalan ke mobil. Sesampainya di mobil, supirku membukakan pintu dan aku masuk. Tanpa banyak bicara dia segera berjalan memutar dan masuk ke tempat pengemudi ketika aku mendengar suara pintu terbuka dan tertutup dengan cepat. Aku kaget saat melihat ke samping, hanya untuk menemukan seorang lelaki yang familier berkeringat dan pucat, bersandar lemas di jok mobilku.

 

“Sedang apa kau di sini?” tanyaku datar. Aku sudah terbiasa dengan peristiwa-peristiwa mengejutkan dan memerlukan putaran otak yang luar biasa, jadi aku tak terlalu bingung dan kaget ketika manusia tidak sopan ini tiba-tiba masuk. Dia menutup mata, rambut hitamnya yang acak-acakan menutupi matanya. Dia menunduk sedikit, napasnya terdengar keras. Dari luar aku melihat beberapa orang menuju ke arah mobilku. Dia membuka mulut lemas, kemudian menutupnya. Sepertinya berusaha mengatakan sesuatu.

“Ja... lan...,” bisiknya. Aku terkejut ketika melihat orang-orang dengan jas hitam itu mengeluarkan sesuatu—pistol?!

 

“Tancap gas, Pak,” geramku. Anak ini akan kutuntut penjelasan.

 

Besok, ketika dia sudah bangun dan siap untuk mati.

 

 

~~~

 

 

Chaehyun’s POV

 

Aku sudah siap mati, nih.

 

Maksudku, kemarin aku bahkan tak ingat bagaimana dan kenapa aku bahkan bisa berlari dengan cepat. Aku lupa segala-galanya. Yang aku inginkan hanyalah pergi, pergi sejauh-jauhnya berharap nggak tertangkap orang-orang sialan itu. Tapi kenapa aku ada di atas tempat tidur yang empuk, king-size  lagi, dengan baju yang nyaman dan bebas darah?

 

Ini di mana, sih??

 

Jelas-jelas di sini bukan kamarku. Aku yakin itu, karena kamarku sudah penuh dengan poster-poster rockstar—Gwen Stefani, No Doubt, Gun n’ Roses, yang kayak gitu-gitulah. Kecuali jika ayahku merenovasi kamarku tanpa sepengetahuan diriku.

 

Waduh. Lancang benar kalau dia sampai melakukan hal itu.

 

Aku kaget ketika melihat seorang maid masuk dan mendorong troli kecil berisi sesuatu yang mengepul dan berbau harum. Brigghitta melakukan hal ini setiap pagi, jadi aku sedikit ketakutan jika ternyata aku memang benar-benar tertangkap dan kembali ke rumah jalan itu lagi.

 

Honey Milk, Nona?” tanya maid itu dengan ramah. Seketika aku menghela napas yang dari tadi aku tahan. Tidak ada yang menawariku Honey Milk di rumah. Brigghitta tak pernah suka memberikanku sesuatu yang manis, walaupun aku diam-diam memakan coklat yang dicurikan anak Brigghitta padaku.

 

“Oh. Oke, Thanks,” kataku kikuk dan mengambil susu itu dan meneguknya. Aroma madu dan hangatnya susu bercampur melelehkan seluruh keteganganku.

 

Sekarang yang aku harus lakukan adalah memikirkan langkah selanjutnya. Urusan siapa yang menyelamatkanku bisa belakangan. Aku toh akan pergi dari Prancis dan pergi ke negara lain—yang mana masih belum kuputuskan ke mana. Mengeluarkan uang terlalu banyak adalah hal yang berisiko, di samping aku takut tertangkap bea cukai terdekat karena memakai ID palsu, aku takut ayahku akan melacakku. Selain itu aku tak bisa bergerak dengan bebas jika hampir seluruh anak-anak buah ayahku yang berada di mana-mana itu mencariku di seluruh dunia. Jaringan internasional, banyaknya akses, uang, kemegahan perusahaan raksasa, semua itu dipegang oleh ayahku—sialan.

 

Setelah beberapa saat termenung dan berpikir keras, jawabanku hanya satu—Aku butuh pelindung.

 

Bukan bodyguard. Bodyguard itu bodoh dan hanya memiliki otot. Aku butuh satu yang punya otak dan jelas tidak idiot. Yang pasti, pelindung yang kuat, bisa diandalkan dan punya uang. Yang bisa kumanfaatkan. Dia yang akan melakukan semua hal untukku. Walau hal itu jelas-jelas nggak mungkin akan ku temukan, tapi berusaha adalah anugerah pemberian Tuhan. Jadi aku akan berusaha menemukannya. Kalau aku menemukannya, maka dia harus setuju. Aku akan memberikan apa pun sebagai imbalannya—tapi nanti, setelah aku bebas dan memiliki setengah saham milik ayahku.

 

Aku sudah mau meminum tegukan kedua ketika seseorang masuk ke dalam ruang tidur dan maid itu membungkuk dan segera mendorong troli kecilnya keluar.

 

Aku terbelalak melihat penyelamatku.

 

“Kau,” kataku, tak berhasil mengeluarkan kata-kata lain. Pertama, karena aku lupa namanya siapa. Kedua, karena dia memelototiku dengan tajam. Serius, apakah nggak ada yang namanya sopan santun di negara ini? Kenapa sih mereka suka banget memelototi orang yang bahkan belum mereka temui lebih dari lima hari?

 

“Ya, aku,” katanya datar. Dan suaranya! Urgh. Aku nggak tahu kenapa tapi aku merasa merinding mendengarkan suaranya yang dalam namun sangat datar itu.

 

“Kenapa aku bisa di sini?” tanyaku menaikkan alis.

 

Dia menatapku datar sejenak lalu berkata, “Kau yang tadi malam berlari menuju mobilku dan menyuruhku berjalan pergi,” ucapnya.

 

“Jadi kau yang menyelamatkan aku?” tanyaku. Paling tidak aku berusaha untuk terdengar sopan. Dia yang menyelamatkan aku, kalau nggak ada dia mungkin sudah sejak tadi aku nggak punya kesempatan untuk merasakan indahnya sinar matahari. Lagipula dia tidak mungkin seburuk itu kan? Dia pasti sangat baik hati karena mau menolongku. 

 

“Setelah berganti baju kau bisa langsung pergi dari sini.”

 

Wow. Aku tarik kata-kataku tadi.

 

“Nggak perlu kau omong juga aku sudah tahu, Kawan,” kataku marah.

 

Dia mengerutkan dahi dan membuka mulut, “Namaku bukan ‘kawan’. Namaku ‘Oh Sehun’, kau orang tak punya etika,” katanya.

 

“Oh, begitu? Kalau aku tak punya etika maka kau apa? Extremely-Rude-Boy?” tanyaku marah. Aku tidak suka diperintah-perintah dan disuruh melakukan apa yang harus aku lakukan.

 

“Terserah. Itu bajumu. Selamat tinggal,” katanya dingin, lalu keluar dari kamar. Aku menggigit gigiku. Ternyata nggak semua orang sebaik Yuyoong, eh? Seharusnya aku tahu itu. Aku segera membuka bajuku dan melihat ke depan cermin yang besar di semping tempat tidurku. Membenarkan letak perban yang sedikit longgar dan segera masuk ke dalam bajuku yang longgar. Sialan, ini tuksedo yang tadi malam aku pakai. Aku nggak mungkin jalan-jalan di tengah jalan dengan baju kayak gini. Sulit lho, lari-lari dari kejaran sekelompok orang berkacamata hitam dengan tuksedo putih. Di samping gerakan terbatas, kau jadi takut tuksedo putihmu terkena kotoran.

 

“Hey, Extremely-Rude-Boy,” seruku keluar. Tidak ada jawaban. Ah, tentu saja. Dia kan EXTREMELY RUDE AND UNSOCIABLE PERSON. Aku segera memakai bajuku yang terdahulu dan keluar hanya untuk menemukan koridor super panjang dan besar yang benar-benar mewah dan kelihatan seperit koridor istana negara di Amerika. Bukan berarti aku pernah pergi ke sana. Cuma sedikit hacking database dan aku bisa melihat seluruh dunia lewat internet. Hehe. Aku segera berjalan ke koridor untuk nyari dia, si rude person. Gila. Orang ini sekaya apa sih? Seluruh koridornya diisi oleh lukisan besar, vas mahal, pajangan-pajangan berkelas... tunggu. OH Sehun? OH? Apakah dia CEO dari Oh Group? Yang benar? Saingan terberat ayahku yang terkenal, ha! Tahu begini sejak tadi aku baik-baik saja dengan dia.

 

Tunggu.

 

Tiba-tiba kabel di kepalaku bersambung dengan cepat.

 

Kalau dia presiden dari Oh Grup. Berarti dia kaya.

 

Dan kuat.

 

Dan sangat, sangat berkuasa.

 

Aku nyengir.

 

 

~~~

 

Sehun’s POV

 

Aku sedang mengerjakan kertas-kertasku ketika pria itu masuk ke dalam ruanganku tanpa permisi. Aku mengangkat kacamataku, kejengkelan menutupi ubun-ubunku. Aku butuh mengerjakan paper ini dalam sekejap dan inilah dia, datang tanpa diundang untuk menghancurkan segala-galanya.

 

“Met pagi Pak Presiden CEO,” katanya, tersenyum terlalu lebar. Aku menaikkan alis. CEO? Sejak kapan dia tahu aku CEO? “Lucu jika melihatmu dengan segala jas itu di sini,” ejeknya. “Ku kira kau tipe orang kaya yang sombong dan malas banget.” Aku memandangnya malas sejenak dan langsung kembali ke paper-ku, berharap dia akan segera bosan dan pergi saja dari rumahku. Tiba-tiba dia berjalan ke arahku dan mengintip ke paper-paper-ku. “Hmmm.... saham yang dibeli dua puluh lima persen dengan profit tujuh persen? Hah. Apaan ini?” Dia tertawa dengan hidung. Kemarahan sampai di ujung kepalaku. Boleh saja jika dia mengejekku, tapi jangan disentuh pekerjaanku. Aku melakukannya semalaman asal dia tahu!

 

“Kalau kau ada waktu untuk mengejekku, maka lebih baik kau pergi dari sini. Pintu selalu terbuka lebar untukmu keluar,” kataku dingin.

 

Dia memandangku dan mendecak. “Morning sickness, huh? Ayolah, Presiden. Aku bisa membantumu menaikkan lebih banyak profit jika kau mau mendengar saranku,” katanya penuh kebanggaan. Aku bahkan tidak mendengarkan dia bicara. Anak ingusan mana tahu segala macam bisnis ini?

 

Mr. President, I demand you to look at me,” katanya. Aku tak mendengarnya, mengetik dan mengikut saham online yang aku lakukan sejak tadi. Saham kami terus saja turun tanpa sebab yang pasti. Aku sudah menghubungi konselor keuangan, bahkan sudah mencoba menghubungi beberapa banker pemilik nasabah, tapi tetap saja kami tidak mencapai ujung kesimpulan. Deposit, hampir saja collapse dan sudah sangat minim dan mendekati ambang tidak mencukupi. Aku menjilat bibirku yang terasa basah dan mencoba mencari data-data kekurangan dari perusahaan kami. “Minggir kau,” katanya, mendorong kursi berodaku dengan kaki jauh-jauh. That’s it.

 

“Kau orang tak beretika,” geramku marah. Dia menculik laptopku dan berjalan menuju ujung ruangan, jari-jarinya cepat menari-nari di atas keyboard. “Kau, kembalikan. Kembalikan laptopku, sekarang,” kataku penuh amarah. Tak pernah aku merasa semarah ini selama seumur hidupku. Bahkan lebih marah dari ketika Hayoon mengkhianatiku.

 

Dia hanya menjauh dariku yang mengejarnya. “Hmmm,” gumamnya. Aku menarik ujung kerahnya dan melemparnya ke belakang, sesegera mungkin menarik laptopku. Dia menjerit tertahan ketika punggungnya terkena ujung sofa. Aku tak peduli. “Apa ibumu tak pernah memberi tahumu bahwa menghancurkan pekerjaan orang lain itu tidak boleh?” desisku dingin.

 

“Aku membantumu, keparat!” serunya. Aku mengabaikannya dan memperhatikan laptopku. Ketika aku melihat layar laptopku, alangkah terkejutnya aku ketika aku melihat tabel periodik saham yang bertuliskan Oh Inc. mengalami peningkatan pesat. Aku menatap layar laptopku seperti seorang idiot yang baru saja belajar membaca. “Sudah kubilang, aku bisa melakukannya,” katanya, bangga.

 

Aku menatapnya datar. “Apa sebenarnya maumu?” tanyaku marah.

 

“Oh, kau tahu?” katanya senang. “Aku jadi nggak perlu repot-repot membujukmu lagi ya?” katanya dengan lega. Jadi sejak tadi dia hanya menginginkan sesuatu dariku. Bagus. Harusnya aku tahu hal itu sejak awal karena aku yang paling tahu rasanya diperlakukan seperti itu. “Aku lihat kau akan pergi ke Italia nanti,” katanya mengelus dagunya. Sialan. Dia pasti mengintip jadwalku di laptop ini. “Boleh aku ikut?”

 

Hening.

 

“Tidak.” Haruskah ada jawaban lain?

 

Senyumnya hilang. “Kenapa tidak?” tanyanya.

 

“Karena aku tidak menyukaimu.”

 

“Aku juga nggak, Kawan. Tenang saja.”

 

“Aku tak bepergian bersama seorang asing.”

 

“Bukankah kita sudah berciuman?” godanya.

 

Aku menatapnya datar dan tajam. Dia tak terlihat ketakutan atau terintimidasi. Aneh. “Kau nggak perlu tahu untuk apa, kenapa, dan mau apa aku ikut denganmu ke Italia. Aku sudah menyelamatkan nyawa perusahaan dan kariermu. Jadi aku menuntut apa yang harusnya kutuntut darimu,” katanya sambil menyeringai.

 

Aku tak suka caranya menyeringai.

 

“Apa kau baru saja memerasku? Karena aku pikir caramu salah melakukannya,” ucapku datar sambil mengecek mapku sekali lagi. Dia baru saja memeras orang yang salah. Di samping kebohongan, hal yang paling aku tak suka adalah pemerasan. Jelas, orang ini sudah menjadi orang yang paling ku benci nomor satu.

 

“Aku tidak memeras. Aku menuntut. Tadi, sahammu hampir collapse kan? Mungkin bagi seorang konglomerat biasa, satu saham kecil tidak akan berdampak apa pun. Hanya 0,3% dari seluruh saham yang ia punya. Hanya sekitar lima puluh trilyun yang akan hilang, aku benar, kan? Tapi bagi seorang Oh, kehilangan bahkan seperseribu persen dari satu saham saja sudah membuat dampak besar. Mudah saja. Hanya permainan domino orang-orang kaya—dampak sistematis. Aku benar, kan?” tebaknya. Aku terdiam, kenyataannya yang ia katakan adalah benar. darimana pula dia tahu teori sistematis? Aku menepuk wajahku dan menghela napas.

 

“Aku tetap tak akan membawamu pergi. Lagipula siapa kau?” kataku singkat. “Kau hanyalah lintah yang nyawanya ku selamatkan kemarin. Kalau tak ada aku, kau pasti sudah ditangkap orang-orang itu. Jadi, ku kira utangku sudah impas.”

 

“Aku bukan siapa-siapa. Dan aku juga tak bakal bilang kau tak menyelamatkanku. Tapi satu hal yang mungkin bakal membuatmu berubah pikiran.” Dia terlihat ragu dan sedikit gugup ketika mengatakannya, “Aku dengar tentang masalah di toilet di pernikahan teman Yuyoong kemarin.”

 

Yuyoong? Dia teman Yuyoong? Bagaimana bisa dia berteman dengan Yuyoong yang lembut dan baik hati?

 

“Kau dan si pengantin wanita,” katanya, wajahnya datar. DEG. Dadaku langsung terasa terisi oleh pasir. Dalam sekejap aku sudah mendorongnya ke dinding. Lukisan keluarga kecil yang tergantung di dinding bergetar, dan dia mengerang kesakitan. “Jangan. Kau. Katakan. Pada. Siapapun,” ancamku di depan wajahnya. Aku sangat marah. Dia memerasku. Kurang ajar—belum pernah aku merasa sehina dan semalu ini. Aku mengepalkan tanganku dan semakin keras kukepalkan ketika melihat dia menyeringai penuh kemenangan.

 

Really, Sehun-ssi? Kau mau selesaikan semuanya dengan kekerasan? Dan ku kira kau orang yang beradab, nggak kayak aku,” katanya santai. Walau begitu, wajahnya terlihat gugup, tak seperti suaranya. Dia juga kehabisan napas. Aku melemparkan dia ke lantai, dan dia terjatuh lemas. Dia menyentuh lehernya yang terlalu putih dan mendecak. “Huh. Kasar.”

 

“Kalau kau berani mengatakannya, kau akan mati,” kataku datar. Dia menatapku tak kalah datarnya.

 

“Aku tak takut mati. Aku hanya ingin kau membawaku bersamamu. Dan aku akan diam. Aman. Kau harus setuju,” katanya memaksaku. Aku mengerutkan dahi dan rahangku mengeras.

 

“Dan kalau aku tak mau?” tanyaku, berusaha untuk tenang.

 

“Sayang sekali kau harus mau. Kau berhutang satu dan mempunyai rahasia satu padaku, Sehun-ssi. Mau kau suka padaku atau nggak, kau harus menurutiku,” katanya lembut.

 

“Aku tidak pergi ke Italia untuk bermain-main. Kau hanya akan menggangguku,” kataku dengan marah.

 

“Kalau begitu aku akan bantu kau. Aku cukup mengerti bidang ekonomi, lihat?” katanya menyeringai, menunjuk ke arah laptopku. Aku tak bisa berkelit. Nyatanya adalah, dia sangat lihai dalam bidang yang sudah ku geluti selama bertahun-tahun semenjak berumur delapan belas tahun. Huh.

 

“Dan kenapa kau bahkan mau melakukan hal itu?”

 

Dia mengeras. “Harus nggak sih kau tahu, Kawan?”

 

“Harus. Dan bukan ‘Kawan’, tapi ‘Sehun-ssi’.”

 

“Terserah.” Dia melambaikan tangan. “Aku dikejar oleh sekelompok mafia. Selesai. The End. Tamat. Ending,” katanya, jelas-jelas enggan menceritakan semuanya.

 

“Kau pasti berbohong padaku,” kataku datar. 

 

“Tuh, kau tahu.” katanya santai.

 

“Aku tak suka dibohongi,” dampratku dingin.

 

Dia menatapku bosan. “Dan aku nggak suka dikekang. Begini saja, bagaimana kalau kau membantuku dan aku akan membantumu? Kita nggak perlu saling menyukai untuk melakukan hal kayak gitu,” katanya singkat.

 

“Aku masih tidak mempercayaimu.” kataku datar.

 

Same here, by the way,” katanya ceria. “Nah, aku akan meminjam bajumu, boleh kan?” dia membuka lemari bajuku.

 

“Siapa yang menyuruhmu? Kau butuh uang?” kataku kemudian, mengabaikan perkataannya tentang bajuku. Siapa pun yang menyuruhnya datang kemari pastilah orang yang desperate menginginkan kemewahan dan uang. “Aku akan pinjam jas yang satu ini. Atau T-shirt yang ini,” katanya, mengabaikanku juga.

 

“Dengarkan aku!” seruku marah. Seumur hidup, aku tidak pernah berteriak, mengeluarkan keringat, terdengar semarah dan sekesal hari ini. Anak ini... he’s really something.

 

Dia menatapku sejenak lalu berkata datar, “Uang?” dia tertawa kecil, dan detik berikutnya dia berkata dingin, “Aku punya banyak uang. Yang aku nggak punya cuma Akses. Jadi, would you shut the ing up and just follow my request. Thank you. And you’re welcome.” Dia menutup pintu ruanganku, tapi kemudian menyembulkan kepalanya lagi. “Oh iya, aku akan meminjam kopermu. Aku akan butuh sedikit baju. Tenang saja, aku nggak bakal makan tempat kok. Ciao!” 

 

.

Chapter 5

----- End -----

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
morinomnom
subsribers runaway with the bachelor, upvote please?

Comments

You must be logged in to comment
Wjpark #1
Maaf, aku mau nanya sebelumnya. Ini ff hasil remake atau bukan? Soalnya, dulu banget aku kayak pernah baca ff ini. Tapi ff nya make bahasa inggris dan main cast nya itu HunHan. Terimakasih, dan maaf kalau aku salah kira hehe
Eunji07 #2
Chapter 31: satu kalimat yang aku ucapkan saat membaca baris terakhir di cerita ini, "yaaah kok udah tamat"

Jujur sebenarnya aku kurang suka ff yang menggunakan tulisan tidak baku. Tapi untuk cerita ini, pengecualian hahahaha. Aku SUKA SEKALIII. Terimakasih sudah membuat cerita yang keren, menarik, membuat penasaran, dan tentunya mengalir dengan indah dan menyenangkan sampai akhir cerita.
vinthisworld #3
Pengin baca ulang: "
Desirened
#4
Chapter 8: Keke, syarat ke 5-6 kek pengkaderan osis aja xD
sevenineLu #5
Jhoa Jhoa Jhoa
fukkdown #6
Chapter 31: 진짜 진짜 진짜 대박이다
alexellyn #7
Chapter 31: good job for the author. kenapa aku berharap ff ini ada sequelnya ya? rate-m pula. ckck. semangat untuk buat karya2 berikutnya~
luhaena241
#8
Chapter 31: Aku telat baru tau kalau 2 chapter akhirnya udah publish kkk.
Two thumbs up u/kamu!!
Suka banget bacanya dr awal, yt pertama" ngira ini ff hahhahah ga taunya bukan, hanya ada tokohnya saja yg seperti itu.
Alurnya panjang, keren, n detail tp tentu gak ngebosenin. Imajinasi kami tinggi n daebak bgt! Bagaimana kata demi kata kamu susun sehingga membentuk kalimat" yg apik terkemas didalam ff ini~
Ah, I can't talk anymore, just "two thumbs up" for you!! (y) (y)

Keep writing n fighting ne!!^^
Oiya, ngelawaknya jg dapet, terkocok" sangat ini perut kkkk
luhaena241
#9
Chapter 29: Akhirnya ff ini publish kembali!! Senangnya~ :*
Mnieunra #10
Chapter 31: >< FFnya bagusss banget haha..
Ampe greget bacany, awalny bingung mana chaehyun mana sehun ._. Tp lamalama udh nggak kok :)
keep writing '-')9