Chapter 1

All of My Life
Please Subscribe to read the full chapter

Keramaian kota Seoul sore itu benar-benar berada pada puncaknya. Semua orang yang sudah seharian bekerja di kantor mereka masing-masing itu nampak berbondong-bondong, berjalan keluar dari tempat mereka menghabiskan hari untuk pulang.

Jalan beraspal yang besar penuh dengan mobil, motor dan bus umum yang sesak akan penumpang mulai dari anak-anak hingga dewasa. Semua orang di salah satu bus kota itu semakin berdesakan seiring dengan naiknya beberapa penumpang baru yang berasal dari halte dekat salah satu kantor besar.

Seorang pemuda berjaket hitam dengan celana biru yang awalnya duduk di belakang supir bus seketika berdiri ketika ia melihat ada seorang nenek yang sudah renta masuk ke dalam bus.

"Terima kasih banyak." ucap Nenek itu menepuk lengan pemuda yang baru saja memberinya tempat duduk dengan sebuah senyuman.

"Sama-sama, Nenek mau ke mana pergi sendirian?" balas pemuda itu dengan sangat ramah.

"Aku ingin menemui cucuku. Sudah lama dia tidak pulang ke rumah."

"Ah~ Nenek pasti sangat mengkhawatirkannya sampai membawa bungkusan sebanyak itu untuknya." tunjuk pria itu pada beberapa kotak makanan yang terbungkus kain abu-abu di pangkuan nenek tersebut.

Nenek itu pun bercerita tentang betapa khawatirnya ia pada sang cucu yang memilih untuk tinggal sendiran sejak dua tahun terakhir. Saat cucunya itu tak pulang selama sebulan atau lebih maka ia akan mengemasi beberapa makanan dari rumah untuk memenuhi kulkas sang cucu.

Pria itu dengan seksama mendengarkan setiap detil cerita nenek itu sampai tak terasa akhirnya ia tiba di halte tujuannya. Pria itu segera turun, tapi ia segera mengurungkan niatnya untuk berjalan pergi saat melihat nenek tadi ikut turun di halte yang sama dengannya.

Tak tega melihat seorang wanita tua berjalan seorang diri dengan barang bawaan yang berat di tangannya membuat pria itu menawarkan bantuan.

"Tidak apa-apa. Aku sudah biasa berjalan sendirian." tolak nenek itu merasa tak enak.

"Eih, bagaimana bisa saya pergi dan membiarkan Nenek sendirian. Biarkan lengan pria muda ini membantu membawa barang bawaan Nenek."

Nenek itu tak bisa berkata lagi ketika barang bawaannya itu sudah berpindah tangan. Dia tersenyum, menepuk punggung pria itu seraya mengucap terima kasih untuk yang kesekian kalinya.

Kedua orang itu pun berjalan beriringan. Selama perjalanan keduanya terlihat semakin akrab, keduanya saling bertukar cerita dan sesekali tertawa bersama karena hal konyol yang mereka ceritakan.

Setelah berjalan beberapa menit keduanya pun berhenti di depan sebuah gedung apartemen. Tak ingin merepotkan sang pemuda lebih lagi nenek itu pun menenteng kembali barang bawaannya.

"Nenek yakin akan masuk sendirian?"

"Jangan menghinaku, kekuatanku masih tak kalah jauh jika dibandingkan dengan anak muda seusiamu. Aku tidak setua itu."

"Haha, maaf kalau saya sudah membuat Nenek tidak senang."

"Yah, bagaimana bisa aku tidak senang sudah ditemani seorang pemuda sepertimu. Mendiang suamiku pasti cemburu diatas sana karena melihatku jalan dengan seorang pemuda tampan."

"Hahaha, kalau begitu saya pamit, hati-hati di jalan Nek." pria itu membungkuk memberikan salam kepada Nenek yang baru saja ia temui.

"Oh, kau juga Amber. Hati-hati di jalan. Terima kasih banyak karena kau sudah membantuku."

"Ne, sampai ketemu lagi Nek." pamit pria bernama Amber itu dengan senyum lebarnya.

Seiring dengan perginya Amber, Nenek itu pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju apartemen sang cucu.

Kantor kejaksaan yang sudah sepi karena beberapa pegawainya sudah pulang itu nampak sangat lengang. Namun, salah satu ruang kerja yang digunakan oleh seorang jaksa wanita yang terkenal gila kerja itu masih nampak terang.

Wanita itu membolak-balik berkas kliennya untuk yang kesekian kali saat mencoba memahami berkas kasus yang sedang ia tangani.

Melihat jarum jam di tangan membuat wanita muda itu tersadar jika waktu sudah teramat larut dan ia harus pulang untuk beristirahat. Wanita itu pun mengemasi barang-barangnya ke dalam tas tak lupa dengan beberapa berkas yang akan ia baca di rumah, wanita itu pun akhirnya pergi meninggalkan meja kerja dengan papan nama Jessica Jung dalam kegelapan.

Jessica mengembuskan nafas beberapa kali saat menunggu pintu lift yang akan membawanya naik menuju lantai 21 itu terbuka. Menjadi seorang jaksa bukanlah hal yang mudah, meskipun setiap hari menanggung sress tapi Jessica tetap saja bekerja dengan keras untuk membantu kliennya menghadapi masalah mereka.

Baru saja Jessica sudah bisa mencium bau sedap masakan seketika ia membuka pintu apartemen. Jessica pun bergegas masuk, semangatnya berlipat ketika melihat sepatu seseorang yang sangat ia sayangi tertata rapi di rak sepatu.

Jessica berteriak, memanggil nama pemilik sepatu tadi beberapa kali sambil berjalan cepat menuju dapur.

"Jam berapa ini? Kenapa kau baru pulang?"

"Kapan Nenek datang? Kenapa tidak menelfonku dulu?" Jessica memeluk neneknya den

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet