9: Terjebak

BrightWin ― Pejantan Tangguh

***

**

*

 

Tanggal 15 Februari.
 

Bright gusar. Sedikit lagi pertandingan akan dimulai. Namun kekasihnya belum juga tampak.

Sesuai permintaan Win, mereka tak bertukar nomor ponsel untuk sementara. Entah sampai kapan. Hanya Win dengan pikirannya yang tahu.

Bright tak keberatan. Dia tak mau memaksa dan dia menghargai keinginan Win.

Bright hanya takut kalau Win benar-benar tak datang hari ini. Itu artinya Win menolak dirinya. Dan Bright tak siap.

Berulang kali Bright melangkah ke tepian lapangan untuk memeriksa kedatangan Win. Namun dokter muda itu tak kunjung tampak.

Dengan rarapan terakhirnya, dia pun berlari ke arah pos kesehatan. Dia bertanya pada Toptap dan Beam. Win juga belum mengabari katanya.

Karena ditanyai, Bright akhirnya menceritakan pada Toptap dan Beam kejadian kemarin.

Toptap ingin mengomel. Ia sampai berdiri dengan tangan berkacak di pinggang. Dengan garang dia menunjuk wajah Bright.

Tapi melihat wajah Bright yang saat ini murung karena penolakan Win, niat itu urung. "Kau yakin kalau kau tak merusak kepercayaannya?" Pertanyaan barusan keluar dengan nada memastikan, bukan menghakimi.

"Sungguh, Phi! Aku tak melirik siapa pun. Aku benar-benar mencintai Win, tak ada yang lain."

Toptap berbagi tatap dengan Beam sebelum akhirnya kembali melihat Bright yang kini malah makin murung. Kakinya melangkah untuk makin dengan Bright lalu ia menepuk bahu dosen muda itu. "Hei, tenanglah. Kelinci itu pasti datang."

Bright yang tadi sempat tertunduk kini menatap Toptap. Dia memaksakan diri untuk tersenyum. Dia akan sangat senang kalau kalimat Toptap barusan menjadi kenyataan.

Tapi kalau Win tak datang, Bright juga tak bisa memaksa. Mungkin ada yang tidak Win sukai dengan caranya mendekati Win.

"Percaya padaku, dia juga menyukaimu."

Bright mendesah kasar. Ia berterima kasih karena Toptap sudah memberikan kata-kata manis.

Setelah melirik jam di dinding pos kesehatan, ia berpamitan pada Toptap dan Beam. Ia harus siap untuk pemanasan. Senyuman tak iklas ia gambar di bibirnya. Dua dokter itu tengah menyemangatinya agar tak putus asa.

Dia pun lanjut melangkah kembali ke lapangan.

Seperti anak merajuk, ia melangkah sambil menunduk dan menendang-nendang rumput yang tak salah apa-apa. Dia butuh meluapkan energinya agar tak berubah bentuk menjadi rasa amarah. Akan berbahaya jika memulai pertandingan dengan rasa amarah. Lawannya bisa cidera.

"Bright!"

Bright pun mengangkat kepalanya. Itu suara Joss. "APA!" tanpa sadar Bright membentak Joss karena kesal.

Namun dengan cepat rasa kesal itu berganti. Di sisi Joss tengah berdiri Win yang memegang kotak besar dan membagikan isinya pada orang-orang di sekitar lapangan.

Bright langsung berlari. Wajahnya semringah bukan main. Joss sampai mendelik jijik.

"Hei, kau membiarkan pacarku membawa barang berat!" omel Bright pada Joss.

Win menyadari kehadiran Bright. Ia menoleh lalu tersenyum. Namun tangannya kembali membagikan isi kotak besar itu.

Bright tak mampu berkata-kata. Ia hanya mengambil alih kotak itu dari tangan Win. Rasa senang membanjiri dirinya seperti popcorn yang matang di alat panggang, membuncah dan meletup-letup. Rasa kesal dan sedihnya tadi menguap dengan cepat.

Win sempat menolak ketika Bright ingin mengambil alih. Namun karena Bright memaksa, akhirnya Win mengalah. Ia lanjut membagikan isi kotak besar itu.

Setelah yakin semua orang di tepi lapangan mendapatkan bingkisan camilan, Bright membawa kotak dengan satu tangan. Satu tangannya lagi menarik Win untuk duduk.

Win mengambil isi kotak itu lalu menyerahkannya pada Bright. Bungkusan kecil berisi satu makarun dan permen.

Bright menerimanya. Ia baru sadar ada kertas yang ditempelkan di tiap bungkus camilan. Dengan senyum melebar ia membaca tulisan itu.

"Halo, Aku Win. Tolong dukung kekasihku. Namanya Bright."

Bright mengepalkan tangannya karena tingkah Win yang menggemaskan. Dia benar-benar ingin memeluk Win sekarang.

"Kau tahu, lama-lama aku mati kutu karena begitu mencintaimu." Bright menatap lekat wajah Win.

Win terkekeh. Dia mengalihkan perhatian dengan mengambil tas lalu mengeluarkan satu botol minuman. "Untukmu," katanya sambil menjulurkan tangan ke arah Bright. "Maaf, aku telat."

Bright tak mengambil botol minum itu. Dia malah memegang dadanya sendiri, tepat di bagian jantungnya. Ia seperti terpanah dengan kata-kata Win yang diiringi senyuman manis. Dengan berlebihan ia megap-megap, berpura kehabisan napas. "Aku benar-benar ingin memelukmu sekarang, Win." Akhirnya Bright mengatakan isi hatinya.

Win hanya tersenyum malu-malu lalu menggeleng ketika mendengar kalimat Bright barusan. "Jangan di sini."

Bright langsung berjongkok sambil menyembunyikan wajah di lututnya. Dia kemudian berteriak karena Win begitu menggemaskan di matanya.

Walaupun teriakannya separuh teredam karena ia tengah menyembunyikan wajah, Joss tetap mendengar teriakan Bright.

Dengan iseng si bongsor menendang Bright. Tentu saja Bright tersungkur. Namun Bright tertawa. Dia membaringkan tubuhnya lalu menghadap langit.

"WIN!! I LOVE YOU!!"

Teriakan Bright barusan berhasil membuat sorakan meledek mengisi lapangan. Win sampai menutup wajahnya karena malu.

Kekasihnya itu benar-benar konyol.

Ditambah setelah pertandingan selesai, dengan bangga Bright memamerkan fotonya dengan Win. Tulisan "Boyfie+Football" terhias di sana.

Lagi-lagi Bright dengan bangga memamerkan hubungannya. Dia dengan sombong pula membalas komentar-komentar iri.

Dan lagi-lagi Win hanya bisa tertawa ketika membaca cacian dan makian di kolom komentar foto itu.

Win bahagia.

Win bahagia        

 

=0_0=


 

Tanggal 16 Februari.
 

"Jangan memandangku seperti itu."

Win menaikkan kedua alisnya, bingung dengan ucapan Bright. Malam minggu kali ini, mereka habiskan di rumah Win. Lebih tepatnya lantai tiga ruko klinik gigi Win. Setelah pertandingan sepak bola antar dosen kemarin, Bright tak kembali ke kondo miliknya. Dia menginap di rumah Win dan menghabiskan waktu untuk bertukar cerita.

Lagipula memang Win yang mengundang Bright untuk menginap. Tentu saja Bright tak menolak. Ia senang jika Win mau mengenal dirinya lebih jauh.

Dan itu berlanjut hingga sekarang. Mereka berdua tengah duduk di meja makan. Bukan makan malam romantis, tapi kehadiran satu sama lain membuat mereka sudah lebih dari cukup.

Bright hanya terkekeh. "Nanti kau bisa benar-benar jatuh cinta padaku," sambungnya dengan cengiran lebar.

Win membuat ekspresi wajah dengan kesan jijik. Apa-apaan? Barusan dia digombali lagi? Dengan bodoh ia mengatup mulutnya rapat-rapat agar tak tersenyum malu-malu.

Bright masih saja terkekeh. Dia asik menikmati masakan Win yang sebenarnya tak begitu enak. Bright tak tega hati untuk menyebut makanan Win tak enak. Yang penting perut laparnya bisa menerima masakan Win dengan baik.

"Baii."

Sapaan lembut Win mengalihkan perhatian Bright. Sambil mengunyah makanannya, tatapan Bright kini tertuju ke arah Win yang sedang menopang wajah di tangan kanan yang tertekuk di atas meja. Win tampak memesona di mata Bright. "Hm?" balas Bright sambil mengunyah.

Win meneguk air minumnya sedikit. Setelah itu jari telunjuknya menyentuh pipi Bright. Bright sampai berhenti mengunyah karena itu. "Apa kau selalu tersenyum?" tanya Win dengan wajah serius.

Bright tersenyum lebar separuh menahan tawa karena masih ada makanan di mulutnya. Ia mengangguk lalu berusaha cepat menelan makanannya. "Kenapa memangnya?"

Win menggeleng. Jemarinya kini memainkan helai rambut Bright, seperti membelainya atau menyisirnya dengan jemari. "Kau benar-benar seperti anak kecil. Aku bahkan hampir tak percaya kalau kau lebih tua dariku."

Ya, Bright ternyata memang lebih tua dari Win. Dengan jalur prestasi dia berhasil diangkat menjadi dosen yang juga dibiayai untuk melanjutkan pendidikan. Dia juga kerja sambilan menjadi pelatih sepak bola untuk anak sekolah dasar. Hidupnya tak mewah, namun tak juga merana. Dia sederhana namun berhasil membuat Win terpana.

Win sampai melongo ketika tahu umur Bright. Sikapnya masih sama dengan mahasiswa lainnya. Seolah tak ada beban untuk hidup di dunia ini. Sangat berbeda dengan Win yang menganggap semua hal harus dijalani dengan serius.

Bright tertawa lebar. Dia sama sekali tak acuh dengan tatapan heran yang Win arahkan padanya. Bagi Win tak ada yang lucu, tapi bagi Bright kalimat Win tadi terdengar lucu. Entah apa yang lucu. Yang jelas lucu saja begitu.

"Lalu, apa aku harus memasang wajah cemberut dan tegang agar tampak dewasa?"

"Kau menyindirku?" selak Win bahkan saat Bright masih tampak ingin membuka mulut untuk lanjut bicara.

"Tidak, Sayang." Bright meletakkan satu tangannya ke sandaran kursi milik Win. "Kau saja yang terlalu memiliki hidup sempurna. Semua darimu begitu rapi dan tersusun. Kau bahkan bisa menjadi sukses di usia semuda ini. Kau lihat Aku ..." Bright menggidikkan bahu dan merentangkan tangan dengan berlebihn. "...bahkan kondo saja masih bayar bulanan. Kendaraan pun masih pakai kendaraan umum. Kita tumbuh di dunia berbeda. Kau memang sudah dewasa dan mapan. Aku bukan meledekmu."

Win memberikan tatapan menyelidik. "Berarti kau mengakui kalau kau seperti anak kecil?"

Bright tertawa. "Aku memang masih anak kecil jika dibandingkan dengan kedewasaanmu."

Setelah itu Bright mencondongkan wajahnya ke arah Win. "Tapi, anak kecil yang satu ini, sudah bisa menghasilkan anak kecil lainnya," sambung Bright lalu mengedipkan satu matanya.

Semburat merah langsung menjalar di pipi dan telinga Win. Dia terkekeh untuk menutupi dirinya yang kini sedang salah tingkah. Dia tak tahu harus merespon apa.

"Mau coba?"

Sambil terkekeh Win mendorong wajah Bright agar menjauh. "Jangan gila!" ucap Win masih sambil terkekeh.

"Kenapa?" tanya Bright serius. "Memangnya kau tak mau mempunyai anak denganku? Karena aku miskin?"

Win masih terkekeh. "Aku tak pernah bawa-bawa harta." Baginya yang dikatakan Bright barusan seperti omong kosong gila.

Kekehan Win terhenti. Bright menangkup kedua pipinya. Dengan tatapan serius Bright berucap, "Aku serius, Sayang," selembut mungkin.

Win menelan ludahnya.

"Ayo kita buat anak!"

Win kembali terkekeh mendengar kalimat Bright barusan. "Hei, kau pikir berapa kali coba supaya berhasil? Kau gila, ya!"

Bright menggeleng, menyanggah kalimat Win yang mengatakan dia gila. "Aku serius. Ayo kita coba sampai berhasil."

Win mendorong wajah Bright yang terus mendekat. Dia kembali terkekeh. Jika sudah urusan seperti ini, terbukti kalau Bright lebih tua darinya. Walaupun wajah Bright cemberut dengan lucunya karena Win menolak. "Setidaknya, ayo saling mengenal dulu. Kita baru kenal seminggu. Tujuh hari, Baii!"

Bright menggeleng. "No no. Bukan tujuh hari. Tapi tujuh tahun."

Win kembali tertawa. "Kurasa kau benar-benar gila. Tujuh tahun apanya?"

Bright tersenyum. Di memorinya, dia mengulang kejadian tujuh tahun lalu. Tangannya terulur canggung untuk mengusap bekas luka di pelipisnya.

.

.

Tanggal 14 Februari tujuh tahun lalu.
 

Di perjalanan pulang sehabis melatih sepak bola, Bright melihat seorang pria manis yang menangisi kepergian pria lainnya. Pria manis yang menangis tampak kacau. Sepertinya sudah mulai mabuk. Sesekali ia berteriak tak jelas.

Ketika pria manis itu mengejar pria yang meninggalkannya, dia bahkan tak sadar kalau dirinya hampir tertabrak mobil.

Dengan tubuh yang terbiasa bergerak refleks, Bright pun melindungi pria manis itu. Hasilnya? Pria manis itu aman dalam rengkuhannya. Efek sampingnya? Dia mendapat makian dari pengendara mobil, dan juga luka besar di pelipisnya. Ujung bibirnya juga terluka.

Darah mengalir dengan hebat saat itu. Untungnya Bright punya kaus kaki panjang untuk diikat di kepala, demi menahan darah yang mengucur. Darah di bibirnya dengan mudah ia seka menggunakan lengan baju.

Yang penting pria manis itu aman dulu.

Pria manis itu menatap Bright. Dia resmi mabuk. Bau alkohol tercium dari mulutnya. "Hai, kau jagoan sekali. Kau sampai berdarah demi melindungiku."

Bright berusaha membopong tubuh pria manis itu untuk duduk di halte bis. Pria itu memberontak. Namun Bright bersikeras untuk mengamankan Si Manis.

"Apa kau mau menyumbangkan seluruh darahmu untukku?"

Bright terkekeh mendengar pertanyaan pria manis itu. Perhatiannya terbagi antara menahan tubuh Si Manis dan juga melambaikan tangan mencari taksi untuk mengangkut Si Manis.

"...sebagai gantinya aku berikan seluruh cintaku padamu," sambung pria manis itu lalu mencium bibir Bright yang masih berdarah. Lidah pria manis itu dengan lincah membelai luka di ujung bibir Bright.

Bright terkesiap. Ciuman pertamanya diambil oleh seseorang yang ia tak kenali. Terlebih lagi orang itu mabuk dan menjanjikan untuk memberi seluruh cintanya pada Bright.

Aneh!

Tujuh tahun Bright terjebak dalam pencarian sosok manis itu. Tujuh tahun ia berusaha mendatangi halte bis yang sama dengan harapan bisa bertemu si manis. Ia sampai pindah untuk tinggal di kondo yang dekat dengan halte bis itu.

Namun tujuh tahun pula usahanya nihil.

Tapi, permainan takdir memang tak ada yang bisa menebak. Siapa sangka tujuh tahun kemudian Bright benar-benar punya kesempatan untuk menagih janji pria manis itu. Bright tak mau tujuh tahunnya sia-sia. Dia sudah terjebak dengan si manis. Tentu saja si manis harus bertanggung jawab.

Ya, pria manis itu adalah Win Metawin.

Bright bahkan masih menyimpan foto Win yang mabuk waktu itu di ponselnya.

.

.

Tepukan di pundaknya berhasil mengembalikan Bright ke situasi saat ini. "Kau melamun? Apa yang kau maksud dengan tujuh tahun?" tanya Win penasaran.

Bright terkekeh. Dia menempelkan kepalanya di pundak Win. Tangannya iseng mencolek pipi Win. "Kita buat anak dulu, ya, Sayang!" rengeknya manja.

Win mendelik geli. "Jawab dulu. Tujuh tahun apa?"

Bright menggeleng. "Akan kuberi tahu nanti. Tapi kita buat anak dulu, ya!"

Win mendorong kepala Bright agar menjauh. Dia memilih tak tahu tentang rahasia tujuh tahun itu. Ini pasti jebakan. Tentu ia tak mau dengan mudah dijebak oleh dosen muda itu.

Melihat Win berlalu pergi, Bright berteriak.

"Win! Sayang! Ayo buat anak!"

Bright mengejar Win yang kini bersembunyi di bawah selimut. "Win..." sapa Bright sambil mengguncangkan tubuh dokter gigi itu.

Win diam.

"Sayang..." panggil Bright lagi.

Win juga diam. Ia malah mengeratkan selimutnya.

Karena Win tak menggubris, akhirnya Bright mengalah. Ia mengembuskan napas lalu terkekeh sebentar. Ia belai pelan puncak kepala Win yang mengintip dari balik selimut.

Bright pun menceritakan semua kejadian tujuh tahun lalu. Dan reaksi Win sesuai dengan yang Bright harapkan.

"Apa?!" Win langsung bangkit dan menatap Bright dengan serius. "Jadi, kau mengenalku dari awal?"

Bright hanya terkekeh sambil mengangguk. "Kau sudah mencuri hatiku sejak saat itu. Seperti orang bodoh aku mencarimu selama tujuh tahun."

Tangan Bright terulur untuk mengelus kepala Win. Ia mencium kening Win dengan penuh kasih sayang.

Win pun merasakan itu. Dia sampai memejamkan mata untuk menikmati gejolak rasa yang mengalir di tubuhnya. Dalam tujuh hari, pria nakal di hadapannya berhasil mengubah kenangan tujuh tahun lalu. Siapa sangka mereka sudah menjalin pertalian sejak tujuh tahun lalu.

"Win, Aku serius. Aku tak ingin hubungan kita hanya seperti ini. Aku ingin lebih."

Win tersanjung. Kesungguhan tergambar di tatapan Bright.

"Ayo kita buat anak."

Win kembali tertawa. Dia memukul pelan kepala Bright dengan bantal yang ia pegang.

Lalu?

Tentu saja Win bersemu merah dan ... dalam sekejap ia menyetujui untuk mencoba buat anak malam itu juga.
 

Entahlah berhasil atau tidak. Yang penting usaha dulu. Namanya juga pejantan tangguh!




 

=END=

Semoga sukaa yaaa!

Terima kasih buat yang sudah singgah. Pokoknya kucinta kalian semua.

Kalau ada yang kurang jelas tentang cerita ini monggo tanyakan. Aku nda gigit kok, hehe.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Monicasaputra
#1
Chapter 10: Masih hadir..
mungkin alurnya terlalu cepat.
Ditunggu next chapter author