8: Kejar

BrightWin ― Pejantan Tangguh

***

**

*

Tanggal 13 Februari.

 

"Hei, di mana kau? Jam berapa ini?!"

Win melirik jam di ponselnya sebentar. Pukul sepuluh pagi. Seharusnya dia sudah di kampus sejak pukul delapan. Nyatanya dia masih di kamar tidurnya dengan seluruh tirai yang tertutup rapat dan membuat ruang kamarnya sedikit gelap.

Dia menghabiskan malam dengan minum bir. Bisa ia rasakan matanya sedikit susah terbuka. Mungkin efek menangis tadi malam.

Dengan kepala sedikit pusing ia mendudukkan tubuhnya. Dia memang berjuang mati-matian untuk tak meminum obat penenang. Wajar jika kepalanya pusing ketika kecemasannya naik. "Maaf," ucapnya dengan suara serak.

"Baru bangun tidur?!"

Win menutup matanya. Teriakan Toptap barusan membuat kepalanya semakin pusing. Dia mendesah karena kepalanya terasa limbung. "Iya, Phi." Ia kembali tersungkur di kasurnya.

"Hei ... kenapa?" Kali ini ada nada khawatir di suara Toptap. "Kau baik-baik saja kan?"

Win bingung untuk menjawab. "Tidak, Phi. Aku tidak baik-baik saja." Akhirnya Win memilih jujur. Dia terbatuk sedikit. Tenggorokannya terasa kering.

"Kenapa?"

Win tersenyum pada dirinya sendiri. Meyakinkan kalau dirinya tak perlu bercerita banyak pada Toptap.

"Bright terus mencarimu. Apa perlu dia kusuruh ke ruma—"

"Jangan!" potong Win dengan cepat. Dia tak mau melihat Bright untuk sekarang. Dia ingin menetralisir hatinya lebih dulu. "Bilang saja aku ada janji dengan pasien." Win tak suka berbohong. Tapi ini pengecualian.

"Ha?" tanya Toptap heran.

"Itu ... eum ..." Win terbata. Bingung mencari alasan.

"Oh ... kau tak mau kekasihmu itu khawatir?"

Win merasa lega karena Toptap langsung menarik kesimpulan seperti itu. Itu jauh lebih baik daripad Toptap mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Jijik sekali," sambung Toptap dengan nada meledek. "Semanis itu ternyata kau dengan kekasihmu."

Win tersenyum miris. Kekasih?

Apa benar Bright adalah kekasihnya?

Dan apa benar dia adalah kekasih Bright?

 

 

=0_0=

 

 

"Ada seseorang yang mencarimu, Dok."

Prem, asisten Win di klinik giginya, tiba-tiba saja membuka pintu ruang praktek. Hampir saja Win menjatuhkan cetakan gigi palsu pasiennya. Bisa celaka kalau itu benar terjadi. Membuat cetakan gigi palsu jauh lebih rumit dari membuat cetakan makarun.

Win mengangkat wajahnya setelah yakin kalau cetakan gigi palsu pasiennya sudah tersimpan dengan aman. Dia mendelik kesal sebentar ke arah Prem. "Siapa?"

"Katanya namanya Bright."

Aliran darah Win tiba-tiba deras. Tubuhnya tiba-tiba terasa dingin dengan perut yang seperti mulas tak jelas.

Hari ini dia memang tak berangkat ke kampus. Beruntung Toptap masih asik dengan pikiran bahwa Win berbuat manis agar Bright tak khawatir. Jika tidak, Toptap sudah pasti mengomel.

"Bilang padanya kalau aku sedang ada janji operasi gigi."

Prem memberi tatapan heran. "Tapi kan itu satu jam lagi."

Win membeliakkan matanya. Dia mendesis sinis. "Jangan cerewet!"

Prem pun mengangguk. "Dosanya kau yang tanggung, ya!

"Iya iya... sudah sana!"

Akhirnya Prem pun pergi. Win mengembuskan napas lega. Dia melirik ke arah layar komputer yang menampakkan monitor CCTV. Bisa ia lihat Prem bicara pada Bright di depan klinik gigi. Kemurungan terpampang jelas di wajah dosen muda itu.

"Hei..."

Sial! Win kaget!

Kepala Prem tiba-tiba muncul lagi di pintu ruang prakteknya. Entah kapan dia bergerak. Perasaan baru beberapa detik lalu dia masih di depan klinik.

"...katanya besok dia akan kembali lagi ke sini."

Prem pun langsung menutup pintu tanpa menunggu respon Win.

Win kembali menatap layar komputer. Punggung lebar Bright yang perlahan menjauh masih terlihat.

Pria nakal itu ... dalam beberapa hari saja dia berhasil membolak-balik perasaan Win.

Win tersenyum miris.

 

 

=0_0=

 

 

Tanggal 14 Februari.

 

"Hei, dia masih menunggumu, Dok."

Jam setengah sembilan malam. Prem berdiri di depan meja Win sambil menunjuk layar komputer yang menampakkan monitor CCTV.

Win tahu. Sedari tadi dia melihat Bright duduk di tangga depan kliniknya. Win sampai kesulitan membagi konsentrasi antara mengurusi pasien dan ingin terus mengintip monitor CCTV tadi. Bohong kalau dia bilang dia tidak peduli pada Bright.

"Kau sudah bilang aku sedang ada operasi!"

Prem memutar bola matanya kesal. "Alasan itu sudah dipakai kemarin."

"Atau aku sedang sakit!" elak Win masih tak mau kalah.

Prem mengerutkan alisnya. "Kalau kau sakit tak mungkin klinik ini buka!"

Win mengacak rambutnya kesal. "Ya sudah! Kau kan bisa bilang kalau aku tidak di sini?"

Prem mendecak, dia ikut kesal. Tangan kirinya terentang dengan jari telunjuk yang bergoyang naik turun. "Apa kau pikir dia percaya? Mobilmu terparkir di depan sana! Bodoh."

Win hanya menatap Prem dengan kesal. Dia kehabisan alasan. Apa mungkin dia harus membuat alasan dia hilang ditelan bumi?

"Ya sudah, aku mau pulang. Boun sedang buang sampah.

Yang jelas aku tak mau berurusan dengan dia lagi. Kau urus sendiri," oceh Prem lalu membanting pintu ruang praktek.

Win hanya menepuk kening sambil mengembuskan napas kasar.

Setelah menghindar dari Bright, pikiran Win memang bisa sedikit lebih jernih. Dia sudah bisa menerima fakta bahwa Bright mungkin mendekatinya hanya untuk bermain-main sejenak.

Untungnya Win belum terlalu jauh membuka pintu hati untuk Bright. Win masih bisa menganggap kalau ini selingan sejenak.

Suara hujan deras yang begitu tiba-tiba mengagetkan Win.

Win otomatis berlari ke depan klinik. Setelah dua langkah tiba-tiba dia berhenti. Buat apa dia berlari? Dia tak mau Bright kehujanan?

Apa?

Semanis itu?

Win mendesah kasar. Ia mengusak pelan rambutnya sendiri. Dia berusaha membuang semua pikiran negatifnya.

Yang jelas Win tak mau pria itu sakit karena kehujanan. Bagaimanapun juga Bright berhasil membuat beberapa hari kemarin cukup indah buat Win. Dosen muda itu berhasil membuat Win sempat lupa dengan trauma hari valentinnya. Dia juga berhasil membuat Win merasa tenang bahkan di tengah keramaian.

Win melanjutkan langkahnya. Bisa ia lihat Bright tengah mengusak kepalanya yang mulai basah. Dengan berlebihan dia berdiri dan menempelkan tubuhnya di pintu klinik, tak mau terkena tempias air.

Win mengembuskan napas. Ia membuka pintu kliniknya. Membuat Bright sedikit limbung namun tersenyum lebar ketika melihat Win. "Sayang!" sapanya dengan senyuman lebar.

"Masuklah," ucap Win sambil membuka lebar pintu kliniknya. Ia membalikkan badan dan berniat kembali ke ruang prakteknya sebentar.

Bukannya masuk lalu duduk, pria itu malah memeluk Win dari belakang. Gerakan Win yang hendak mengambil handuk untuk Bright pun terhenti. Bisa ia rasakan sedikit sensasi dingin dari helai rambut Bright yang basah. "Aku benar-benar merindukanmu, Manis."

Win terkekeh. Merasa miris sekaligus tak habis pikir dengan kalimat Bright barusan. Dia melepas lengan Bright yang melingkar di pinggangnya. Untungnya Bright tak memaksa untuk terus memeluk. Win lanjut memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Bright. "Aku ambil handuk dulu."

Win masih berusaha dewasa. Bright memang sepertinya senang untuk bermain-main. Efek bergaul dengan mahasiswa, mungkin. Win tak mau membuang energi untuk marah-marah.

Dengan cepat ia melangkah ke ruang prakteknya untuk mengambil handuk. Di depan rak handuk, Win terdiam. Dia pikir hatinya sudah cukup tenang. Tapi senyuman semringah Bright dan pelukan dadakan darinya berhasil menghadirkan kembang api hangat di dalam perut.

Win mengatur napas. Dia mencengkeram handuk yang ia ambil tadi. Dia harus tenang. Dia tak mau menjadi bodoh lagi.

Setelah merasa cukup tenang, Win menghampiri Bright di ruang tunggu klinik. Dosen muda itu langsung tersenyum lebar ketika melihat Win.

Win tak membalas senyuman itu. Hatinya seperti masih terganjal sedikit. Ia tak mendendam, namun sepertinya masih butuh waktu untuk kembali menjadi biasa saja. Semua tak semudah membalikkan telapak tangan.

Win mengulurkan tangan lalu menyerahkan handuk yang tadi ia bawa. Bright mengambil handuk itu. Dengan sengaja ia berusaha menyentuh tangan Win. Bohong kalau Bright tak menangkap gelagat aneh pada diri Win.

Demi melindungi hatinya sendiri, Win dengan cepat menarik tangannya dan memilih menyimpan kedua telapak tangannya di saku celananya.

"Kau ke mana saja, kenapa tidak ke kampus?"

Win menatap Bright. Pria itu memberikan senyuman lebar ketika mata mereka bertemu. Lagi-lagi dia masih memajang senyuman yang menurut Win tampak bodoh. Walau sekilas ada raut aneh di wajah tampan itu.

"Kau tak perlu terus berpura-pura."

Ucapan Win barusan menghentikan gerakan Bright yang tengah mengeringkan kepala. Alisnya bertaut. Dengan jelas ia meminta penjelasan lebih lanjut dari Win.

"Aku sadar. Kau mungkin senang berjuang demi mendapatkan sesuatu. Kau merasa tertantang dan mendekatiku ... untuk bermain-main sebentar ..."

Bright diam. Dia berusaha mendengarkan omongan Win dan mencerna.

"... dan setelah itu, kau pergi bersama yang lain karena kau sudah berhasil mendekatiku dengan mudah. Ya ... selingan sebentar."

Bright heran. Dia sampai menarik tangan Win–dengan lembut pastinya—untuk ikut duduk di kursi tunggu klinik. "Sebentar," ucap Bright dengan suara tenang, "... coba kau jelaskan pelan-pelan. Maksudmu bagaimana?"

Win menarik tangannya. Tak mau dipegang oleh Bright. "Aku melihatmu dengan teman wanitamu."

Alis Bright berkerut semakin dalam.

"Kau tak perlu bersusah payah menggombaliku lagi. Kau sudah menang, kok," sambung Win sambil berusaha tersenyum.

Bright menautkan alisnya. "Wanita mana?" tanya Bright dengan heran. "Kapan?" sambungnya lagi bahkan di saat Win belum menjawab pertanyaan pertama.

Win mengembuskan napasnya. Sebenarnya dia tak mau membahas ini. "Wanita yang kemarin."

Bright tampak berpikir.

Win sebenarnya merasa wajah bingung Bright sangat lucu, namun entah kenapa dia seperti tak punya energi untuk tertawa. Bright yang selalu tampak konyol dengan senyuman dan cengiran lebar kini tampak serius. Alisnya bertaut dan dengan lucunya ia menggigiti kuku jempol tangan kanannya. Mulutnya sesekali menggumam, "Siapa?"

"Sudah, tak usah diambil pusing. Aku tidak marah, kok. Wajar kalau kau ingin mencoba sesuatu yang menantang."

Dia menepuk pundak Bright untuk menenangkannya. Ya, Win benar-benar sudah tidak apa-apa sekarang. Untunglah rasa ini belum berlabuh terlalu jauh. Win yakin itu.

"Kau boleh di sini sampai hujan reda. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di dalam."

Bright menahan gerakan Win. Win pun kembali duduk setelah menepis pelan tangan Bright. "Aku benar-benar tak paham. Wanita mana?" Bright menggelengkan kepalanya. "Tolong jangan seperti ini, Sayang. Aku benar-benar tak punya wanita."

Win tersenyum miris. Bright masih berani berbohong rupanya.

Win mengambil alih handuk yang di tangan Bright lalu mulai mengeringkan rambutnya yang agak basah itu. Bright tak sempat tersenyum ketika Win memperhatikannya. Dia masih bingung. 

"Aku benar-benar hanya mencintaimu. Tak ada yang lain."

Bright kembali menggigiti kuku jempo sambil terus menggumam "Siapa?" dan "Aku serius".

Win hanya diam. Dia membiarkan Bright berpikir dengan senandikanya.

"AA!!"

Tubuh Win berjengit karena Bright tiba-tiba berteriak. Dia seolah mendapat lotere ratusan juta.

"Yang kau maksud Pam?" tanya Bright dengan wajah semringah.

Ha? Pam?

"Yang sependek ini ..." Bright menepuk pundaknya. "Rambutnya sepanjang ini..." Bright menunjuk punggungnya. "Dan sekurus ini?" Bright memperlihatkan jari kelingkingnya.

Win mengerjapkan matanya. Deskripsi macam apa itu? Agak berlebihanTapi akhirnya Win pun mengangguk. Tampaknya ya memang yang itu.

Bright melepas handuk di kepalanya lalu ia kalungkan di leher. "Apa kau cemburu?" tanya Bright dengan cengiran lebar. "Apa itu artinya kau menyukaiku?" Dengan santai pula Bright mencolek pipi Win.

Win memutar bola matanya. Jengah dengan kelakuan pria konyol di hadapannya.

"Dia sepupuku."

Sepupu?

"Dia anak pamanku. Benar-benar sepupuku. Kalau kau mau aku bisa meneleponnya sekarang." Bright mengatakan itu dengan sungguh-sungguh. Dia bahkan mengeluarkan ponselnya dan asik mengoperasikan benda yang sudah ada di tangannya. "Dia memang mahasiswa di kampus. Kemarin dia menghampiriku karena dia sedang ditugasi menjual minuman untuk pengumpulan dana bakti sosial. Aku membantunya sedikit."

Bright menempelkan ponselnya di telinga. "Tunggu sebentar. Sepertinya dia sedang sibuk."

Karena merasa sepupunya itu lambat merespon, Bright membuka media sosial miliknya. Dia mencari satu foto kumpul keluarga yang juga ada Pam di dalamnya.

"Ini ..." Bright menyodorkan ponselnya, "... yang ini orang tuaku, dan yang ini orang tua Pam. Lihatlah, ibuku dan ayahnya benar-benar mirip. Mereka kakak adik."

Win masih diam. Dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Lebih tepatnya dia belum bisa menentukan harus percaya atau tidak.

Bright tersenyum lebar. Dia memegang tangan Win yang tadi mengeringkan rambutnya. "Sungguh, dia sepupuku. Jangan salah paham. Mataku benar-benar hanya tertuju padamu. Aku bersedia tak berjodoh sampai akhir hayat kalau aku berbohong. Aku serius, Win."

Mendengar kalimat barusan, tanpa sadar rasa lega membanjiri Win. Bright tampak serius. Dosen muda itu bahkan untuk pertama kali menyebut namanya dengan benar. Bukan dengan sebutan 'sayang' atau 'manis' atau 'dokter'. Napasnya yang sesak terasa lepas. Dia merasa lega dan ingin terus tersenyum. Ya ampun, dia bahkan merasa seperti orang bodoh sekarang.

Terlihat pikiran Win mudah berubah. Tapi jika sudah berurusan dengan Bright, ada rasa di dalamnya. Dan soal rasa, Win tak merasa malu jika dirinya ibarat orang plin-plan yang gampang berubah pikiran.

Win berusaha mengatup rapat mulutnya. Dia tengah tersipu malu dan ingin menutup wajahnya. Namun Bright berpikiran lain. Dia menahan tatapan mata Win untuk terus bertemu.

"Jadi ... apa besok kau mau menonton aku tanding?"

Win hanya diam. Dia tengah berusaha mengontrol diri agar tak tersenyum seperti orang bodoh. Kata-kata Bright ketika duduk di tepi lapangan beberapa hari lalu teringat. Hari itu Bright bilang kalau dia punya kekasih, hal pertama yang ingin dia lakukan adalah mengundang kekasihnya untuk menonton dirinya tanding sepak bola.

"Ada tanding tambahan antar dosen. Dan kuharap kau ada di tepi lapangan untuk mendukungku."

Bright menggenggam telapak tangan Win. Dia dengan serius menatap dokter gigi yang tampak menggemaskan. "Tak apa kalau kau tak mau bicara padaku. Aku pun akan diam jika kau memintaku diam. Yang perlu kau tahu, tak ada orang lain. Benar-benar hanya kau."

Bright mengelus tangan Win. Ia tatapi tangan itu dengan lekat, lalu kembali menatap Win tepat di kedua matanya. "Aku membutuhkanmu untuk jadi semangatku. Dan tak ada orang lain yang bisa. Karena yang aku cintai hanya kau, Win."

Win seperti terpukul telak. Ia tersenyum simpul karena tubuhnya dipenuhi gelitik senang dengan perasaan meletup-letup.

Melihat gurat senang di wajah kekasihnya Bright langsung menangkup wajah Win. Ia seperti mendapat lampu hijau. "Hei ... ayolah. Anggap saja itu hadiah valentin untukku." Bright menatap Win dengan lekat. "Kau masih pacarku kan?"

Pertanyaan Bright membuat Win lepas kendali. Ia terkekeh. Dia mendorong pundak Bright lalu menggeser tubuhnya untuk menjauh sedikit.

Bright masih menunggu jawaban Win. Win sadar itu. Dia pun akhirnya tersenyum sambil mengangguk untuk menjawab, "kita lihat saja besok." Win tengah mencandai Bright.

Bright terkekeh senang. Memang walau Win memberi jawaban yang menggantung, Bright dengan jelas bisa melihat bahwa dokter itu akan duduk di tepi lapangan besok.

Walaupun telat, hari valentin Win tahun ini terasa indah.

Telebih kini Bright tengah memeluknya sambil mengucapkan terima kasih karena Win percaya padanya.

Win merasa dihargai dan dimartabatkan.

 

 

 

=TBC=

Yak, bagaimana? Cukup senang dengan part ini? Sedih-sedihnya tidak usah lama-lama ya. Kasihan Win, hehe.

Semoga betah dan sampai jumpa besok di episode terakhir :)

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Monicasaputra
#1
Chapter 10: Masih hadir..
mungkin alurnya terlalu cepat.
Ditunggu next chapter author