10: Rumah

BrightWin ― Pejantan Tangguh


...

..

.

 

Tanggal 20 Februari.

 

Bagai bersiap menuju medan perang, Win terus mengatur ulang napasnya. Jantungnya tengah berdetak kencang. Otaknya sekarang seperti tak bisa bekerja maksimal. Tubuhnya menjadi dingin dan sensitif. Bahkan ia seperti bisa mendengar suara dengungan nyamuk yang sebenarnya tak ada.

Bright menyadari gelagat tak tenang dari kekasihnya. Ia tersenyum. Tangannya terulur untuk mengelus tangan Win yang kini terasa dingin.

Memang Bright sudah tahu Win punya masalah dengan kecemasan. Dan bright bersumpah pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga Win. Ia ingin Win sembuh. Ia ingin Win bahagia. Ia ingin membuktikan, bahwa Win benar-benar berharga. Dan Win harus tahu poin terakhir itu.

"Hei, kenapa?" tanya Bright lembut.

Win menoleh ke arah Bright. Ia menggeleng sebentar lalu memaksakan diri untuk tersenyum. Tangannya mengepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih.

Bathin Bright merasa hangat. Sosok yang ia cintai sedang tak tenang, namun masih memaksakan diri untuk tersenyum. Bright paham, Win tak mau dirinya khawatir. Seharusnya Bright yang menenangkan Win. Bukan sebaliknya. Tangan Bright terulur. Ia mengambil telapak tangan Win untuk ia elus lalu digenggam erat. "Mau pulang saja?"

Dengan cepat Win menggeleng. "Tidak. Bukan begitu." Ia menelan ludahnya lalu memejamkan mata sebentar. Tak lupa ia mengatur napas. Sungguh dia ingin merengek pada Bright, tapi entah kenapa satu katapun tak bisa ia ucapkan. "Aku ... aku hanya ter—"

"Sudah, tenanglah!" Bright memotong ucapan Win. Matanya menatap Win dengan dalam dan penuh afeksi. "Mamaku orang yang baik. Kuyakin dia akan menyukaimu, Sayang."

Ya, mereka tengah dalam perjalanan menuju rumah Ibu Bright di tepian kota. Setelah melalui proses panjang untuk mendapat izin dari Toptap, Bright mantap mengajak Win ke rumahnya dengan menggunakan bus umum. Berulang kali Bright meyakinkan Toptap kalau ia akan menjaga Win dengan baik. Berulang kali pula Toptap mengirim pesan pada Bright mengenai apa yang harus ia lakukan kalau serangan cemas Win kambuh.

Bright tak sabar ingin mengenalkan Win pada satu-satunya wanita yang ia cintai sepenuh jiwa. Untuk cinta lain yang satu ini tentu tak menghadirkan perasaan tak nyaman di hati Win. Win malah senang ketika tahu Bright begitu mencintai ibunya.

Hati Win tersentuh ketika Bright menceritakan perjuangan ibunya. Rupanya Bright memang bekerja sambilan dan berjuang untuk dapat beasiswa agar tak merepotkan ibunya yang merupakan orang tua tunggal.

Ketika Bright bercerita, wajah dosen muda itu masih tetap dihiasi senyum konyol. Dia malah menertawai Win yang meneteskan air mata karena sedih.

Win sempat merasa bersalah. Dia pikir sifat Bright yang sangat konyol dan tanpa beban itu berasal dari hidup yang begitu mudah. Win pikir hanya Win yang menderita. Tapi, ternyata sosok tampan yang selalu tampak konyol itu menyimpan banyak luka masa lalu. Ia sama seperti Win. Namun ia memilih cara berbeda untuk mengarungi masa sulitnya.

Win tak setangguh Bright untuk tetap ceria dan Win tak sekuat Bright yang malah mengalihkan masa sulitnya untuk jadi aktif. Ya, Bright aktif berolah raga dan bermain musik untuk menjernihkan pikirannya di masa sulit.

Seandainya Win lebih dulu bertemu dengan Bright. Mungkin hari-hari Win bisa lebih ceria, bukannya malah memilih sembunyi dan melindungi diri agar tak ada luka lain yang singgah.

"Baii ..." Di luar dugaan suara Win begitu lirih.

Bright langsung mengecup tangan Win yang ia genggam. "Kau takut?" Ia tatapi mata Win yang sedikit berkaca-kaca.

Win mengatup bibirnya rapat-rapat. Kalau boleh jujur ia memang menyimpan ketakutan. Ia takut ibu Bright menolaknya. Ia takut ibu Bright malah menuduhnya menghancurkan masa depan Bright. Terlebih, ia takut, sang ibu memaksa Bright meninggalkannya.

Win menggenggam erat tangan Bright. "Kau tak menyesal memilihku?"

Bright terkekeh. Tubuhnya sampai sedikit bergetar. Dengan manja ia malah menyenderkan kepalanya di pundak Win. Ia menatap Win dengan mata membulat sok imut. "Aku memiliki pacar yang luar biasa. Tak ada alasanku untuk menyesal."

Seperti biasa, Bright dengan mulut manisnya. Win tak mau curiga. Tapi di kepalanya berputar berbagai macam kemungkinan mengenai reaksi Ibu kekasihnya itu.

Pikiran Win buyar. Baru saja Bright mengecup pipinya.

Win sampai menolehkan kepala dengan mata membesar karena kaget. Ia sibuk melihat ke kursi lain. Ia malu kalau ada yang melihat.

"Itu hadiah karena kau sudah mau menemui ibuku." Bright mengusap pelan kepala Win.

Win menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Ia menikmati perjalanan menuju rumah kelahiran Bright. Jalanan yang tadi berisi banyak pepohanan kini mulai berganti dengan deret perumahan.

"Sebentar lagi kita sampai."

Kalimat Bright barusan berhasil membuat jantung Win berdetak lebih cepat. Aliran darahnya tiba-tiba deras dan menghadirkan efek dingin sampai kerongkongan terasa kering.

"Win."

Sapaan Bright membuat perhatian Win kembali ke pada sosok dosen muda itu. Ia menunggui Bright yang kini tengah menatapnya lekat.

"Aku benar-benar mencintaimu." Bright mengucapkan kalimat barusan dengan gurat serius di wajahnya. Win sampai merinding. Win memang sudah terpesona dengan Bright yang konyol. Namun Bright yang dengan serius mengatakan mencintainya selalu berhasil membuat Win merinding tak menentu.

"Dan tak ada yang bisa mengubah itu, Win. Aku serius," sambungnya lagi lalu mengecup telapak tangan Win yang kemudian ia pijat pelan.

Win merasa tenang sekarang. Kekhawatiran tentang ibu Bright sedikit terkikis.


 

=0_0=


 

"Maaa!"

Teriakan ceria Bright barusan tak sejalan dengan Win yang tampak tegang. Ia menatap pintu rumah berwarna putih yang masih tertutup. Bright terus mengetuk pintu itu sambil berteriak. Dia memang tak cerita pada ibunya kalau ia akan pulang.

Sedikit bodoh, Win malah berharap rumah itu benar-benar kosong. Secara tak sadar ia sampai menahan napas. Peluh mengalir di bagian pundaknya. Tubuhnya dingin dan ia ingin merengek pada Bright.

Tangan Win terulur. Sambil mengatur napas ia menarik bagian belakang kaus yang Bright pakai lalu ia genggam kuat.

Bright mengembalikan perhatiannya pada Win. Kekasihnya itu tampak pucat pasi. Refleks ia menarik Win untuk masuk ke dalam rengkuhannya. "Maaf, maaf. Apa aku terlalu memaksamu?" Dengan sengaja ia bernapas di telinga Win. Secara tak langsung pelan-pelan ia mengatur Win untuk ikut bernapas.

Bright lega karena kekasihnya itu kini mulai bernapas. Terbukti dengan gerak tulang rusuknya yang terasa dan gelitik embusan napas yang sampai di pundaknya.

Win menggeleng untuk menjawab pertanyaan Bright tadi. Bright tak pernah memaksa Win untuk datang menemui ibunya. Win tahu kalau Win menolak sejak awal, Bright pasti mengikuti kemauannya.

Masih dalam rengkuhan Si Dosen Muda, Win lanjut mengatur napas. Dan itu membuat indra penciumannya dengan tajam membaui aroma tubuh Bright. Aroma kayu manis yang membuat Win menjadi lebih tenang. "Baii ... aku takut."

Perasaan Bright seperti mencelus. Ia mengusap kepala Win dan mengecup pelipis kekasihnya itu.

"Kalau ibumu tak menyukaiku, apa kau akan meninggalkanku?"

Pertanyaan Win barusan merupakan pertanyaan yang terus ia simpan sendiri. Entah kenapa justru di saat sudah berada di ambang pintu rumah ini kekhawatiran itu baru tertumpahkan. Seharusnya ia menolak sejak awal. Saking memikirkan hal ini, ia sampai lupa dengan kekhawatiran bercampur baur dengan orang lain di dalam bus umum.

"Hei, jangan khawat—"

Jawaban Bright terpotong seiring bukaan pintu.

Win langsung menjauh dari Bright. Ia menelan ludah sambil menatap seorang wanita yang tengah memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Oh, kau bawa teman?"

Ibu Bright bicara sebentar ke pada Bright lalu kembali memperhatikan Win. "Halo, Nak. Ayo, masuk!" Ibu Bright bahkan menarik tangan Win untuk mengikutinya.

Win menatap Bright. Ia memastikan bahwa Bright tak meninggalkannya sendiri. Bright yang sadar dengan ketakutan kekasihnya itu pun hanya melemparkan senyum kepada Win. Ia seperti mengatakan agar tak perlu khawatir. Dan Win berusaha untuk percaya.

Ibu Bright mengajak Win untuk duduk di meja makan yang bersebelahan dengan ruang tamu. Ia mengeluarkan segelas minuman lalu disodorkan ke arah Win. "Sudah lama di depan pintu?" tanyanya ramah.

Win memaksakan diri untuk tersenyum. "B-belum, Tante."

Wajah ibu Bright berubah kaget dengan alis terangkat. Ia melihat ke arah Bright yang tengah meletakkan tas di kursi ruang tamu.

Tak lama kemudian Bright ikut duduk. "Mamaku akan lebih senang kalau kau memanggilnya 'Mama', Win."

Win langsung meletakkan gelas yang tadi ia pegang. Ia tak jadi minum dan malah kini meminta maaf. "Maaf, M-ma."

Mama pun tertawa. Ia mengelus pundak Win dan berkata bahwa itu bukan masalah besar.

Sekarang Win tahu, dari mana sifat Bright berasal. Sepertinya dari sang ibu yang juga senang tertawa.

"Kalian sudah makan? Aku tak masak apa-apa hari ini." Mama bergerak untuk mencubit lengan Bright. "Dia ini tak bilang mau pulang dan membawa teman. Kalau tahu dia membawa teman, pasti aku masak makanan paling enak."

Win dengan cepat menggerakkan tangan sambil menggeleng. "Oh, tidak apa, Ma. Justru aku yang minta maaf karena telah merepotkan." Win menggeser kotak makarun yang ia bawa. "Aku bawa sedikit camilan."

Mama mengambil kotak itu dengan wajah semringah. "Wah, apa ini?"

"Dia membuat makarun itu sendiri, Ma. Spesial untukmu katanya." Bright dengan bangga memamerkan usaha yang Win lakukan.

"Kita makan dulu, ya. Camilan ini bisa untuk nanti sambil nonton TV."

Mama lalu bergerak ke arah dapur yang juga tak jauh dari meja makan. Ia mengambil beberapa mangkuk dan juga piring.

Win refleks menghampiri. "Ada yang bisa aku bantu, Ma?"

"Oh, tidak-tidak. Kau duduk saja."

Win tak menurut. Ia bergeming, masih berdiri di dekat Mama walau tak melakukan apapun.

"Namamu Win?" Sambil lalu lalang dari kompor ke meja makan, Mama bertanya. Mama sedikit tertawa saat Win mengekor ke manapun Mama melangkah.

Dan Bright, seperti tuan raja, ia hanya bisa memperhatikan kekasihnya itu sambil tersenyum. Win tampak menggemaskan sekarang.

"Benar, Ma. Namaku Metawin."

Mama mendorong Win dengan pelan. "Oke, Win ... Kau duduk saja ya, Nak. Aku hanya tinggal mengambil minuman. Tak perlu mengekor." Ia mengusap pelan pipi Win.

Win pun menurut. Memang tak beberapa lama kemudian Mama ikut duduk setelah membawa satu botol air putih yang dikeluarkan dari kulkas.

Yang tersaji di meja bukanlah makanan mewah. Hanya nasi dengan tumis sayur. Namun mungkin karena disajikan dengan sifat hangat Mama, Win melihat ini sebagai makanan yang spesial.

"Kau teman Bright di kampus?"

Bright tak menjawab. Ia membiarkan kekasihnya yang mengontrol permainan. Ia melepaskan Win untuk memperkenalkan diri sesuai dengan yang ia inginkan.

Win menggeleng. Jujur ia merasa Mama baik. Namun ia khawatir. Bisa jadi Mama bersikap baik sampai sekarang karena belum tahu statusnya dengan Bright. "Aku dokter gigi yang kebetulan membantu kegiatan donor darah di kampus, Ma."

Wajah Mama semringah. "Wah, tak kusangka anakku bisa dekat dengan seorang dokter. Selama ini dia hanya berteman dengan sesama pemain sepakbola atau pemain musik. Mereka benar-benar rusuh kalau sedang main ke sini." Mama sampai tertawa ketika menjelaskan betapa teman-teman Bright berisik. Namun Mama tak pernah keberatan, ia malah senang ketika Bright membawa teman-temannya ke rumah.

Win berusaha tersenyum. Ia mengunyah pelan makanan yang disajikan Mama, jaga-jaga kalau tiba-tiba Mama bertanya.

"Orang tuamu dokter juga? Di mana?"

Win menggelengkan kepalanya. "Mereka sudah meninggal, Ma."

Mama Bright berhenti makan.

Win sampai refleks mencengkeram lutut Bright di bawah meja. Ia takut mengatakan hal yang salah.

Bright paham dengan kekhawatiran kekasihnya. Dengan mudah isi pikiran kekasihnya itu terbaca. Bright pun tersenyum. Ia mengulurkan tangannya untuk menggenggam telapak tangan Win di bawah meja.

Dan yang dilakukan Bright membuat Win lega.

"Kakak atau adikmu?" Mama bertanya dengan gurat sedih di wajahnya.

Win menelan ludahnya. "Aku anak tunggal," ucapnya lalu berusaha tersenyum.

Mama mengembuskan napas. "Ayo, lanjut makan."

Suasana makan saat itu sedikit mencair ketika Bright mengambil alih pembicaraan dan menceritakan kabar-kabar terbarunya. Win ikut tertawa juga saat Bright iseng bercerita soal kesalahpahaman tentang Pham, walau memang Bright tak menceritakan dengan detail.

Mama sampai mengeluarkan ponselnya dan memamerkan foto-foto di acara keluarga. Dia juga mengatakan bahwa Pham memang anak yang manis. Siapapun akan beruntung jika memilikinya sebagai anak, maupun menantu.

Dada Win terasa sesak ketika mendengar itu. Dia langsung meminta maaf. Mama sampai menatapnya heran.

"Kenapa, Nak?"

Win meneguk air putih sedikit. Setelah itu ia melirik Bright yang juga menatapnya dengan wajah heran.

Win berusaha tersenyum. "Maaf, Ma. Mungkin aku akan membuatmu sedikit kecewa."

"Win ... please, don't," sanggah Bright dengan cepat. Ia tahu ke arah mana pembicaraan Win nanti.

"No, Baii. Biarkan aku selesai bicara." Win meremas tangan Bright di bawah meja seolah itu membantunya untuk mengumpulkan kekuatan. "A-aku bukan teman Bright, Ma," ucap Win sambil menatap Mama.

Mama hanya diam.

Win menelah ludahnya. "A-aku—"

"Win pacarku, Ma." Bright memotong pembicaraan Win. Pada akhirnya ia tak tahan melihat Win yang tertekan dan gelagapan.

Win sampai menoleh kaget dengan Bright yang dengan lugas mengatakan itu. Ia tampak tak gentar dan dengan berani membawa tangannya yang masih bertautan jemari dengan Win ke atas meja.

Win berusaha menarik tangannya. Namun Bright bersikeras.

"Ma, aku mencintai Win. Dan aku yakin kalau aku tak main-main." Bright memang mengucapkan itu pada Mama. Tapi matanya malah lurus menatap Win yang kini salah tingkah. Bright mengecup tangan Win yang ia genggam. "Dan pacarku yang menggemaskan ini, takut kau menolaknya," sambungnya lagi.

Mama tertawa terbahak-bahak.

Win menatap heran. Ini bukan reaksi yang ia bayangkan. Ia makin takut. "Baii ..." Hanya itu yang keluar dari mulut Win sambil melirik kekasihnya.

"Ya ampun. Kalian lucu sekali," ucap Mama. Ia meminum air sebentar. "Sejak awal aku tahu kalian lebih dari teman."

Win terkesiap.

"Kalian pikir kenapa aku lama membuka pintu? Aku melihat kalian dari balik jendela.

Aku bahkan sudah melihat kalian dari masuk pagar. Jelas aku kaget melihat anakku datang. Ditambah ia membawa seseorang."

Mama melipat kedua tangannya di atas meja makan lalu menatap Win dengan lekat.

"Dan melihat anakku membawa semua tas, aku yakin kalau anakku kali ini bukan membawa teman. Dia hanya melakukan itu pada orang yang spesial baginya. Dan melihat gelagat anakku, aku makin yakin kalau tebakanku benar.

Lagipula, dia tak pernah hanya membawa satu orang. Katanya kalau ia hanya membawa satu orang, artinya orang itu lebih dari teman."

Mama terkekeh. Dua anak muda di hadapannya itu terdiam.

"Kenapa? Apa kau takut aku menolakmu, Nak?"

Win masih diam. Dia seperti gamang. Ia tak percaya dengan suaranya sendiri. Ia takut ketika satu kata keluar, malah justru menghadirkan rengekan panjang tanpa akhir.

"Bagiku, yang penting anakku bahagia," sambung Mama sambil tersenyum. "Dan sepertinya anakku sudah bahagia bersamamu. Sinar matanya saat menatapmu mampu mengatakan semuanya."

Tanpa sadar Win mengembuskan napas lega. Kelewat lega sampai napasnya terdengar.

Mama tertawa lagi. Ia bergerak untuk memeluk Win. Ia tepuk pelan punggung kekasih anaknya itu. "Aku berterimakasih karena kau mau menerima Bright apa adanya."

Mama melepaskan pelukannya lalu memegang kedua pundak Win. "Kau tahu kan kalau kami tak punya apa-apa? Kami terbiasa berjuang untuk tetap hidup. Kau tak akan mendapatkan apa-apa jika kau terus bersama anakku."

Win menggeleng cepat. "Ma, Aku tak pernah mempermasalahkan itu. Aku justru berterimakasih karena Baii mau berada di sampingku." Win melihat ke arah Bright sebentar. Dosen muda itu tersenyum dengan puas. Kerlingan matanya sedikit nakal, seolah menyiratkan kebanggaan kalau dia memiliki ibu yang keren sekaligus sedikit sombong karena kalimat Win barusan. Bright merasa tengah disanjung. 

"Aku tahu, kau pasti kelewat bahagia kan?" tanya Bright menggoda Win. "Sekarang kau sadar kan kalau aku keren?"

Win terkekeh sebentar. Kekasihnya itu memang jago untuk urusan membuat suasana menjadi konyol. Setelah puas menatap Bright, ia kembali menatap Mama. 

"Ma, boleh kan kalau aku terus bersama Bright?"

Mama mengelus wajah Win. Ia menatap mata Win dengan belas kasih keibuan. Senyuman manis terukir di wajahnya yang tampak cantik. Dan tatapan mata Mama berhasil membuat Win berdebar hingga merinding. Perasaannya membuncah. 

"Selama kau ingin bersamanya, justru aku yang memintamu. Tolong terima anakku, ya, Win!"

Win merasa lega. Rupanya seperti inilah rasa diterima oleh orang tua kekasih. Win merasa disambut dengan kasih sayang ibu dengan bonus cinta dari kekasih. Win merasa sedang berada di rumah.

Dan Win yakin, ia tak salah ketika mempercayakan hatinya untuk Bright.





 

=0_0=

Halo, semoga suka ya dengan bagian tambahan ini. Bagian tambahan lainnya akan datang sesekali sebagai pemanis dan pelengkap.

Semoga kalian betah ;)

Terima kasih buat yang sudah singgah. Ditunggu saran dan kritiknya ;)

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Monicasaputra
#1
Chapter 10: Masih hadir..
mungkin alurnya terlalu cepat.
Ditunggu next chapter author