We Came Here to Find Our Dream

School'19: In Dreams
Please Subscribe to read the full chapter

when we dream it, we can be the one
go!

-school 19-

 

We Came Here to Find Our Dream

Jaemin menenggelamkan kepalanya diantara buku-buku besarnya. Ia menggerang lelah. Sudah 2 jam dia duduk diam mencoba mempelajari cara tubuh manusia membentuk dan mengeluarkan feses. Untuk apa pula ia mempelajari semua ini? Tak ada satupun yang masuk ke kepalanya selama 2 jam terakhir. Ia juga bukannya ingin menjadi dokter. Ia hanya ingin lulus, tak perlu nilai tinggi-tinggi karena ia tahu kapasitas otaknya memang rendah.

Sekarang, malah giliran tubuhnya yang ingin mempraktekkan apa yang baru saja ia pelajari.

Ia lantas melihat temannya yang kini tertidur pulas. Air liurnya bahkan sudah membasahi buku biologinya.

“Woy.” Jaemin menendang kaki temannya, mencoba membangunkannya. Karena minggu ujian sudah resmi dimulai, anak-anak seperti Jaemin kini mulai rajin ke perpustakaan, tempat sacral yang tak pernah Jaemin datangi sebelumnya.

“Woy, bangun. Udah malem,” ujar Jaemin lagi. Ketika temannya tak menunjukkan tanda-tanda mau bangun, Jaemin pun bangkit berdiri, membereskan buku-bukunya, dan meninggalkan temannya sendirian disana. Ia punya urusan yang lebih penting daripada menunggu temannya bangun.

Masih dengan seragamnya, Jaemin berjalan menyusuri jalanan yang gelap menuju halte bus. Sambil menunggu bus datang, Jaemin sering kali berpikir. Hampir setiap hari ia menjalani 2 hari hidupnya dalam 1 hari.

Setiap pagi sampai sore ia akan sibuk di sekolah, mencoba mendengar semua yang guru katakan. Sampai sore, hidupnya masih normal layaknya anak sekolah pada umumnya. Namun pada malam harinya, ia harus menyambung hidup. Ia bekerja di sebuah swalayan kecil. Pemiliknya cukup baik memperbolehkan anak dibawah umur untuk bekerja disana. Ia baru akan kembali ke rumahnya pukul 4 atau 5 subuh. Sekolah mulai jam 7. Makanya jangan tanya kalau Jaemin sering sekali tidur di kelas.

Kehidupan jauh lebih baik ketika ia masih di kampung kecilnya. Di Seoul, semuanya mahal. Seragam mahal, ongkos bus mahal, harga makanan mahal. Untuk membeli pakaian saja ia tidak bisa.

Ia kini ada kerja sampai subuh. Memikirkannya saja sudah membuatnya lelah. Mana besok ujian biologi. Pasti merah nilainya. Apalagi jam pelajaran biologi selalu di siang hari, tepat setelah jam makan siang, waktu tidur terbaik bagi Jaemin.

Dasar sekolah. Kapan semua ini akan berakhir?

 

Jaemin mengeluh sambil membawa baki makan siangnya ke salah satu kursi kantin yang hyungsong. Walau bukan anak pintar, ia cukup terkenal di sekolahnya. Murid lain tak pernah berani duduk di meja kantinnya, seolah tempat itu khusus untuk Jaemin dan temannya.

Bicara temannya…

Haechan belum berhenti mengoceh sejak ia masuk kelas tadi pagi. Untungnya pengawas ujian segera masuk dan membungkam mulut Haechan. Sayangnya, ocehan Haechan berlanjut sampai sekarang.

“Gw masih bingung. Teganya lu ninggalin gw sendirian. Perpus tuh gelap kalau udah malem tau gak. Bukannya dibangunin malah ditinggalin. Ckckck,” oceh Haechan kesekian kalinya sampai membuat telinga Jaemin sakit rasanya.

“Kan gw udah minta  maaf.”

“Kaya maaf aja cukup,” balas Haechan. Keduanya pun duduk di kursi biasa mereka. Haechan seperti biasa, mengeluarkan bekal 3 tingkat yang ibunya siapkan untuk dirinya. Tingkat pertama biasanya nasi dengan gorengan. Tingkat kedua ada sup dan tingkat ketika ada camilan, bisa roti atau biskuit. Dan kalau moodnya sedang baik, wanita itu biasanya juga ikut menyiapkan bekal untuk Jaemin.

“Kadang-kadang gw malu masih bawa bekel ke sekolah. Kita udah kelas 11, tapi gw belum pernah jajan di kantin,” keluh Haechan.

“Jajanan kantin gak enak lagian. Enakan bekel.”

“Tapi bekelnya itu-itu lagi. Nasi sama—“

“Chicken katsu sama sup bening sama biskuit,” ucap Jaemin menyelesaikan perkataan temannya.

“Ampe enek gw ngeliatnya sumpah.”

“Apalagi gw yang makan.”

“Lu makan itu aja cukup?” tanya Haechan melihat makanan yang dibeli Jaemin. Hanya sehyungtak susu kecil dan sebuah roti tawar.

“Lagi hemat. Cukuplah sampe malem.” Haechan hanya mengangguk, tak menanyakan lebih jauh.

“Bisa tadi biologi?”

“Gak tau lah. Cape mikirinnya.”

“Lu gitu gitu mah tetep dapet nilai bagus. Gw? Jangan ditanya,” balas Haechan. Belum sempat Jaemin membalasnya, sebuah suara menginterupsi. Suara yang terdengar sangat familiar.

“Gimana, tadi ujian bisa gak?”

Jeno. Tentu saja Jeno. Siapa lagi kalau bukan dia. Satu-satunya anak yang suka mengganggunya di sekolah. Dia tinggi, tampan, kaya, selalu meraih ranking pertama, aktif di hampir semua klub yang ada di sekolah. Entah mengapa ia malah memilih untuk mengganggu Jaemin terus menerus. Secara, Jaemin hanya anak bodoh di sekolahnya.

“Lumayan. Lu?” balas Jaemin sambil berdiri menyamakan eye level dengan Jeno.

“Well, kalau lu aja lumayan, gw pastinya bisa banget.”

Cih. Orang pintar dan kesombongannya.

“Terus mau lu apa?”

“Cuma mau ngingetin hal yang sama. Ini Seoul. Ini hyungta. Bukan tempat buat anak kampung kaya lu. Apalagi yang otaknya hyungsong.”

“Jeno, cukup.”

“Lu juga, Haechan. Gw bingung kenapa lu mau temenan sama anak kaya gini. Bodo, pemales, ga bisa apa-apa.”

“Paling gak dia gak jahat kaya lu.”

“Oh, Haechan, ini bekel yang mama lu kasih ya? Wah wah wah, enak keliatannya,” olok salah satu teman Jeno. Kini, hampir seisi kantin berhenti makan dan malah menonton perkelahian mereka.

Haechan hanya bisa diam, tak mampu membalasnya.

“Kenapa lu gak balik ke kampung aja sih? Disana kayaknya lebih mending buat lu,” lanjut Jeno lagi.

“Kenapa gak lu aja yang pergi?”

Jeno menyeringai licik.

“Karena gw banyak disukain orang. Dan lu gak. Tau gak kenapa? Karena gw pinter dan kaya dan lu bodo dan miskin. Inget itu baik-baik.”

Jeno pun berbalik pergi. Haechan menghela nafas lega, namun itu tidak untuk lama.

“Gimana kalau gw bisa jadi lebih pinter dari lu?” tanya Jaemin, membuat Jeno menghentikan langkahnya. Pria muda itu pun berbalik bingung.

“Huh?”

“Kalau gw bisa dapet nilai lebih dari lu gimana?” ulang Jaemin.

“Lu nantangin gw sekarang?”

“Gak. Gw cuma nanya.”

“Well, jawabannya gak mungkin. Gak mungkin lu lebih pinter dari gw.”

Jaemin biasanya tak mudah terpancing emosi seperti ini, namun hari itu memang benar-benar melelahkan baginya. Apalagi ia juga harus menggantikan temannya yang tak bisa kerja untuk shift sore. Hal itu berarti waktu belajarnya akan berkurang.

“1 tahun. Kasih gw waktu 1 tahun.”

“Buat?” tanya Jeno.

“Kalau nanti kelas 12, gw bisa dapet nilai lebih tinggi dari lu pas ujian terakhir, lu harus tarik perkataan lu.”

“Woy, Jaemin. Lu kesamber petir yah? Ngapain lu sekarang?” bisik Haechan panik.

“Tapi kalau lu dapet nilai dibawah gw, lu harus pergi dari Seoul selamanya. Gimana?” tawar Jeno.

“Deal.”

“Yah, Na Jaemin! Lu pasti udah gila. Lu lupa dia juara umum 1?” ujar Haechan lebih panik lagi.

“Tapi kalau gw yang dapet nilai lebih tinggi dari lu, lu yang harus pergi dari Seoul,” ujar Jaemin.

“Deal.”

Haechan hanya bisa menepuk dahi melihat kekacauan yang baru saja temannya buat. Sialan. Ia ingin tahun terakhirnya di sekolah berjalan aman, damai, lancar. Semuanya itu takkan mungkin terjadi sekarang. Jaemin yang bodoh itu bukan hanya bodoh pelajaran, tapi juga hidupnya bodoh. Bodoh sekali.

Anak ranking 109 dari 123 murid menantang anak ranking 1?

Dunia benar-benar mau kiamat sepertinya.

 

Suara detik jam dinding.

Suara 2 orang pria bicara.

Kasur yang asing.

Tubuhnya yang terasa berat.

Renjun tak menyangka dirinya akan bangun dengan perasaan seperti itu. Kepalanya serasa mau pecah. Ia pun mengeluarkan suara tak nyaman, membuat 2 orang pria yang sedang bicara berhenti dan menatapnya.

“Renjun? Kamu udah bangun?”

“Hyung?” jawabnya lemah.

“Astaga astaga. Kamu akhirnya bangun juga. Astaga, hyung nungguin momen ini untuk waktu yang lama,” ujar kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Apa kakaknya baru saja menangis karenanya? Seingatnya hubungan ia dengan kakaknya tidak begitu baik. Maksudnya, mereka sering sekali bertengkar di rumah.

“Ada apa hyung? Kenapa aku disini?” tanya Renjun. Jelas-jelas ini bukanlah rumahnya. Ruangan ini lebih terlihat seperti rumah sakit. Tapi kenapa dia bisa ada di rumah sakit?

“Huang Renjun. Saya adalah dokter anda. Panggil saya Dokter Kim,” ujar pria yang sebelumnya kakaknya ajak bicara. Cahaya di ruangan itu begitu terang, membuat kepala Renjun semakin sakit.

“Hyung, kepalaku sakit,” keluhnya.

Kakaknya menatapnya dengan khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi? Dia hanya ingat ibunya menelpon setelah ia selesai dengan lesnya, menyuruhnya pulang cepat karena kakaknya berulang tahun sehari sebelumnya dan mereka akan makan malam bersama di restoran favorit kakaknya.

Ia ingat ia menyebrang jalan untuk ke halte bus. Lalu…

Oh.

Renjun tak pernah kembali ke rumah malam itu. Ia ingat ia melihat banyak sekali darah. Beberapa orang mulai mengerumuninya dan berteriak panik. Ia tak pernah kembali ke rumah malam itu.

Apa selama ini ia koma?

“Hyung, kita di rumah sakit?”

“Kamu udah mulai inget sekarang?”

“Sedikit.”

“Tolong jangan dipaksakan dulu. Anda bisa bangun saja sudah sebuah keajaiban. Anda harus banyak beristirahat.”

Renjun mengangguk mengerti.

“Hyung, sekarang tahun berapa?” tanya Renjun. Kakaknya, Doyoung, tersenyum sambil menjawab.

“2019.”

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
spreadloveyeah
#1
♥️ Remember you are loved, please always be happy♥️
SummerSweets #2
Chapter 1: Kata2nya sederhana tapi bisa menyampaikan pesannya. Prolognya bagus. Tetap semangat buat ngelanjutin cerita ini ya *thumbs up*