Chapter 1

The Devil Is My Boss

 

 

Jihoon terduduk lemas di kursi kerjanya. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, tapi sepertinya ia tidak punya tenaga bahkan untuk pulang. Jisoo yang duduk di meja di seberangnya menatap kasihan padanya. Tak banyak yang bisa dikatakannya, ia pun pernah berada di posisi Jihoon. 

"Kau belum mau pulang, Ji?"

"Sebentar lagi, hyung. Rasanya tangan dan kakiku sudah mau patah." jawabnya sambil menggerutu mengomeli bosnya yang sudah pulang dari tadi.

Oh, sebelum kalian pusing mari kukenalkan dulu. Namanya Lee Jihoon, pria mungil yang bekerja sebagai asisten --budak-- dari Choi Seungcheol, presdir Choi & Yoon yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang publishing. Merupakan salah satu dari sepuluh perusahaan besar di Korea Selatan, Choi & Yoon memiliki beberapa majalah terkenal terbitan mereka. Salah satunya adalah Highlight, yang sekarang ini menempati urutan pertama majalah paling diminati dalam skala nasional. 

Cukup tentang tempatnya bekerja, mari kita membahas sang pemeran utama sendiri. Jihoon tinggal seorang diri di Seoul. Ia memutuskan untuk pindah dari rumah orang tuanya di Busan empat tahun lalu untuk hidup mandiri. Keluarganya biasa saja; tidak begitu kaya juga tidak miskin. Merupakan pecinta makanan dan juga sweater dan hoodie kebesaran. Punya hobi bermain musik, beberapa alat musik yang dibelinya dengan uang hasil keringatnya sendiri mengisi rumahnya. 

Lantas kenapa seorang pecinta musik bisa banting setir dan pindah jalur jadi asisten pribadi? Karena hidup jadi seniman itu tidak mudah. Memiliki pekerjaan dengan gaji tetap seperti ini adalah cara Jihoon untuk bertahan hidup di kota besar ini.

"Kalau begitu aku duluan ya, Jihoon!" ucap Jisoo saat beranjak dari kursinya. Jihoon hanya membalas dengan seulas senyum lemah padanya. Seiring dengan Jisoo yang meninggalkan ruang kerja, Jihoon mulai bergerak untuk membereskan mejanya dengan malas. Pikirannnya kembali memikirkan tentang tempat kerjanya, serta bosnya.

Choi Seungcheol. Para wanita akan heboh kalau sudah membahas soal dia. Baik para karyawan-karyawati di dalam perusahaan sampai dengan para siswa sekolah menengah (Jihoon juga bersumpah pernah mendengar beberapa wanita paruh baya yang sibuk membicarakan bosnya). Tak sedikit yang menaruh hati padanya. Namun Jihoon kasihan pada mereka. Bukan karena ini adalah tipikal 'dia bagaikan raja dan kalian hanya rakyat jelata yang tidak pantas untuknya', tapi lebih seperti 'dia hanya menganggap kalian seperti bidak catur untuk membuatnya lebih kaya'. Perumpamaan yang kejam, tapi itulah kenyataannya. 

Ponsel Jihoon berdering samar.

"Ya, Seungcheol-ssi?"

"Pesankan satu buket besar bunga untuk Nona Jung. Tuliskan sebuah kartu pesan bahwa aku tidak bisa bertemu dengannya. Kalau perlu pesankan sebuah perhiasan keluaran terbaru sebagai tambahan."

"Anda mau memberikan bunga apa?" Tipikal bosnya pasti tidak mau ambil pusing menamai bunga yang ingin ia kirimkan. Dan ia tidak peduli. Lihat saja.

"Apapun selain mawar merah dan segala bunga yang bermakna cinta. Itu saja. Kupikir kau sudah mengerti apa yang mau kusampaikan padanya."

"Ya, Pak. Apakah anda ingin-" suara telepon yang terputus duluan terdengar sebelum Jihoon sempat bertanya.

See? Dia tidak peduli. Yah, mungkin akan peduli kalau Jihoon sengaja mengirim bunga untuk pemakaman. Tapi itu akan membuatnya terancam dipecat dan Jihoon masih butuh pendapatannya, sehingga niat itu pun diurungkan. 

Romantis katamu? Kita lihat apakah orang masih bilang romantis bila sebetulnya kata-kata di kartu ucapan ditulis oleh sang asisten dan perhiasan atau hadiah mewah lainnya hanya diberikan supaya sang penerima tidak rewel. Karena bagi Choi Seungcheol, semua orang yang mendekatinya sama saja. Materialistis, dan dibutakan oleh status dan kekuasaan.

Kadang Jihoon prihatin pada atasannya itu. Tapi ia akan teringat kembali pada pekerjaannya sehari-hari dan mendadak perasaan simpati itu hilang. Biarlah bosnya itu mendapat balasan karena telah memperlakukan stafnya dengan semena-mena.

Selesai merapikan mejanya, Jihoon bergegas meninggalkan gedung kantornya yang mulai sepi. Senyumnya mengembang membayangkan gitar kesayangannya yang menunggu di rumah.

---

Seungcheol mengakhiri panggilan untuk asistennya saat merasakan sebuah lengan bertumpu pada bahunya.

"Siapa itu Nona Jung?" Jeonghan bertanya. Matanya sibuk melirik kata-kata yang mulai diketikkan Seungcheol kepada asistennya.

"Bukan siapa-siapa." Seungcheol menyibukkan diri dengan ponselnya sementara pria cantik di belakangnya masih setia menunggu, berharap mendapat jawaban lebih.

"Kau kejam sekali, Tuan Choi. Sampai membatalkan kencan di menit terakhir. Bahkan kau menyuruh asistenmu yang mengurusnya."

"Bukan kencan. Cuma bertemu untuk membicarakan bisnis, itu saja. Dan tak ada salahnya kalau asistenku yang mengurus. Toh dia itu kugaji."

"Kau pembohong yang cukup ulung, tapi tidak bisa membohongiku. Kau hendak mencampakkan Nona Jung itu, kan?"

Pergerakan tangan Seungcheol pada layar ponsel pintarnya terhenti sebentar, lalu berlanjut lagi. "Sesukamu sajalah menyimpulkan hal seperti itu."

Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk dari asistennya menampilkan foto sebuket besar bunga striped carnation dengan ditemani sebuah kartu kecil dengan tulisan: "Maaf aku tidak bisa datang karena ada urusan mendadak. Aku harap ke depannya persahabatan dan hubungan bisnis kita bisa tetap berjalan lancar." Seungcheol membalas singkat dengan "OK" yang dibalas dengan emoji thumbs up dari sang asisten.

"Oh ho, bunga itu. Apa kubilang? Choi Seungcheol sedang mencampakkan seorang wanita. Dan bukan secara langsung tetapi melalui seorang asisten, hm? Kejam sekali." Jeonghan tersenyum penuh kemenangan karena tebakannya benar. Seungcheol berbalik dan menatapnya dengan sebal. "Kalau iya memangnya kenapa? Wanita itu sendiri yang dengan tidak tahu malu mengajakku bertemu berkali-kali untuk makan malam dengan dalih ingin membicarakan pekerjaan. Padahal yang ia bicarakan sepanjang makan adalah bertanya tipe orang yang kusukai itu bagaimana. Membuang waktuku saja."

"Taruhan, kalau kita tidak ada rapat penting sekarang, kau pasti pergi menemuinya." Jeonghan beranjak dari sisi Seungcheol dan mengambil jas berwarna krem miliknya. 

"Itu sudah pasti. Aku tidak mungkin membiarkan peluang kerjasama dengan perusahaan seperti Jung Corps pergi begitu saja. Tapi sehubungan dengan tema rapat penting hari ini dan rasa muakku pada ocehan panjang lebar si Nona Jung itu, kupikir lebih baik perusahaannya tidak usah berkaitan dengan perusahaan kita. Akan menyusahkan kalau nanti aku melihat wajah dengan make-up tebalnya itu hampir setiap hari." Seungcheol merapikan kemeja putihnya dan merapikan semua berkas-berkas di atas meja kaca. 

Dengan dokumen-dokumen penting yang dibutuhkannya tersusun rapi dalam folder pribadinya, ia menyampirkan jas kerjanya ke bahu. Kakinya melangkah menuju pintu. "Sudah cukup bicara soal orang lain. Kita harus pergi. Perusahaan kita perlu diurus, Tuan Yoon." ujarnya sembari meninggalkan ruangan dengan diikuti oleh Jeonghan.

 

To be continued

 

 

 

A/N: Striped carnation atau bunga anyelir bergaris-garis bermakna penolakan.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
24Delution
#1
Untung jihoon sayang, kalo nggak, udah dilempar gitar dah tuh choi seungcheol xD
nekopuri #2
penasaran lanjutannyaaa