Satu

Broken Inside


Kejadian itu tidak pernah luntur dari otakku. Kala melihat kulit pucatnya dalam jarak dekat, juga matanya yang sayu saat menatapku lekat. Jarak itu mengikis kami, lalu ia pun lewat dengan begitu saja.

“Lan! Lo gapapa?” Tanya gadis berambut pendek yang terlihat heran dengan teman sekelasnya itu.

Gadis berambut sepunggung itu tidak menjawab. Tatapan matanya kosong. Tangannya tergerak ke atas dadanya. Merasakan adanya detak jantung yang berlebihan. Matanya kemudian berkedip menyadari sesuatu. Kepalanya menoleh ke belakang, kemudian mencari-cari si penyebab detak itu. Apa ia jatuh cinta?

“Fulan! Kok lo ngacangin gue sih?” gadis yang mempunyai badge nama Senja itu kemudian mendepak punggung temannya.

“Ah!” Fulan mengaduh, “Lo kenapa sensi banget dah,” keningnya berkerut heran pada Senja. “Lo kebelet laper? Kan ini mau ke kantin juga,” omelnya yang berkepanjangan. Kedua gadis itu berjalan lurus ke arah gerobak mie ayam.

Ada yang aneh. Fulan sudah sering menyukai banyak orang. Tapi pertanyaannya, kenapa yang satu ini rasanya beda? Ada sesuatu yang meledak-ledak dalam dadanya.

-

Kantin siang itu sangat ramai. Wajah senja memerah karena rasa pedas. Mie ayam diseruputnya sampai habis. Pipinya tersembul karena kunyahannya yang besar. Matanya tergerak melihat Fulan yang lagi-lagi menyantap mienya dengan tidak bersemangat.

“Lo ngelamunin abang mie ayam ya?” Tanya Senja membuat Fulan menatap ke arahnya. Sedang senja hanya menyeruput es teh nya setelah mendapat tatapan itu dari sahabatnya. Ia menopang dagunya, berfikir mengenai siapa yang sedang dilamunkan sahabatnya. Namun, she really have no idea. “Nyerah ah. Ngelamunin siapa sih lo?”

Fulan menghela nafas. “Gue aja gak tau namanya,” katanya kemudian menyantap mienya. Senja terdiam sembari menyomot kerupuk di atas meja, masih memperhatikan Fulan yang mengunyah mienya dengan pelan seraya menerawang. Tangannya menyentuh dadanya, “Tapi nja, hati gueee..” katanya yang sekarang mulai dramatis, “serius, hati gue sampe sekarang masih deg-degan. Kok bisa gini ya?” gadis itu kemudian menopang dagunya lagi-lagi melamun.

Kali ini senja yang menghela nafas. “Bohong lo! Mana ada hati deg-degan. Lo tuh sukanya ngayal mulu. Kalo bukan oppa-oppa, ya abang mie ayam yang bening lu embat juga. Kalo engga ntar mereka semua pada masuk ke cerbung lo itu kan. Lama-lama lo gak bisa bedain yang mana yang nyata yang mana yang khayal. Coba lo beneran usaha di dunia nyata.”

Fulan berdecak, “Yeee gak ngaca lu nja! Kalo jodoh tuh ntar juga gak bakal kemana. Lagian masa cewek duluan yang approach. Gak banget deh,”

“Dor!” Fulan tersedak es tehnya yang sedang ia minum gara-gara tepukan Theo dipunggungnya. “Iya, ntar derajat lo sebagai cewek jadi rendah. Gausah kek gitu-gituan,” katanya nimbrung.

Fulan menepuk belakang kepala Theo. “Jangan sok tahu deh lo. Dateng-dateng gak bisa apa kalo gak ngagetin,” omelnya kesal dengan tingkah teman dekatnya itu. “Eh, lo berantem lagi ya?” tanyanya kemudian membawa wajah laki-laki itu ke arahnya. Senja yang tadinya mainan hp ikut menoleh. Dilihatnya bekas biru di sudut bibirnya.

Theo menepis tangan Fulan malas, “Ini namanya abis dicium,”

“Bego! Dicium aspal maksud lo?” kali ini giliran Senja yang kemudian beralih tempat duduk di samping Theo. Dilihatnya luka itu baik-baik, “Abis tonjok-tonjokan sama siapa?” tanyanya greget. “Jangan-jangan lo berantem sama anak sini ya?”

“Gak usah pengen tau urusan cowok. Ntar jadinya berabe.”

“Beneran ya lo berantem ama anak sini?” Senja tetap pada pendiriannya.

“Enggaklah. Kurang kerjaan banget gue berantem di sekolah orang.”

“Lah terus lo tumben banget ke sini sambil babak belur gitu,” Fulan ikutan nimbrung

Theo menoleh ke arah Fulan, “Yaudah.. kan kalo abis ini gue kayak gini lagi ntar juga jadi gak tumben lagi,”

Gadis itu berdecak atas jawaban Theo, “Ih, bodo ah,”

Theo terkekeh melihatnya, “Ntar pas pulang sekolah lo langsung naik ojek ya, gue gak bisa nganter,” Fulan meliriknya seraya mengangguk ragu. Memang sih ia selalu nebeng si Theo kalau pulang. Kalau Senja biasanya nebeng Ratna yang rumahnya searah sama dia.

“Mau kemana emang?” Tanya Senja

Theo mengacak rambut pendek itu hingga menutupi wajah Senja, “Ada deh. Mau tau aja urusan cowok,” katanya santai sedang Senja hanya menghela nafas. Sudah terbiasa dengan perlakuan teman cowoknya yang agak sinting itu.

“Yeee. Najis lo,” balasnya yang membuat Theo terkekeh.

“Jalan ama gebetan ya lo?” Tebak Fulan sedang Theo hanya mengangkat alisnya untuk membenarkan.

“Doain,” bisiknya. Fulan berdecak malas melihatnya membuat Theo tertawa.

“Sana-sana pulang. Bisa-bisanya mampir ke sekolah orang,”

Iya, bener. Udah dari sananya mereka itu deket. Udah dari SD mereka satu sekolah. Selain satu kompleks sebelum Senja pindah rumah, mereka jadinya udah terbiasa main bareng. Cuma bedanya sekarang.. ya si Theo udah beda jalur. Dibilang kebawa pergaulan sih ya gimana.. Senja sama Fulan udah coba buat ngingetin. Tiap saat malah, tapi ya gitu. Susah. Akhirnya, yaudah deh asalkan gak melenceng-melenceng amat.

-

Siang itu, sepulang sekolah. Senja pamit pulang duluan dengan Ratna, sedang Fulan yang tadinya mau segera pulang ada keperluan dulu dengan bu Sri. Guru yang menjadi penutup pelajaran hari itu.

Gadis itu menghela nafas saat harus menerima bahwa hanya dirinya yang dipercayai bu Sri untuk mengirimkan sebuah paketan ke JN*. Dengan berbekal motor bu Sri, karena beliau harus mengikuti rapat dulu, maka Fulan langsung menggas motornya ke arah Timur sekolah.

Gadis itu menyerahkan sebuah amplop kertas yang sudah berisikan alamat tujuan dan si pengirim.

“JN* yes, mbak.” Katanya seraya menunggu cetakan resinya diterima baru ia membayarnya dengan sejumlah uang.

Fulan menggas motornya dengan kecepatan sedang. Motor itu berbelok ke arah kanan. Ia kemudian melihat pergelangan tangannya untuk melihat jam. Ingin rasanya segara sampai rumah untuk membuka notebooknya dan segera membuat tulisan kalo enggak ya buat nonton oppa. Mulutnya mengeluh, kemudian ia mendongak lagi ke jalanan. Matanya membulat.

AH!

Fulan terjatuh dari motor. Lengannya yang menjadi tumpuan tubuhnya tergores aspal dengan kasar. Untung badannya tidak tergusur terlalu jauh. Dilihatnya motor yang tergeletak kurang dari 1 meter di depannya. Badannya terlentang, merasakan perih di seluruh lengan kirinya. Nyaringnya suara motor membuatnya takut. Ini sebuah kesalahan besar baginya.

Mana ia tahu bahwa hari itu bakal ada tawuran geng motor!

Gadis itu berusaha meraih kesadarannya. Ia mencoba mengangkat tubuhnya untuk berdiri, namun hasilnya nihil. Masih dalam keadaan genting, Fulan mencoba menggeser badannya supaya lebih menepi ke jalanan. Bego! Ini kan jalan Riau, pantes aja sepi. Kepalanya melirik ke arah kanan, melihat orang-orang tengah baku hantam tanpa asa.

Namun tiba-tiba, mata Fulan membulat. Itu cowok yang Fulan temui siang ini, di sekolah, pas sebelum ke kantin!

“Theo!” panggil Fulan dengan suara tercekat ditenggorokan, antara takut dan keceplosan. Theo menoleh ke arah panggilan. Namun sedetik setelahnya ia kena balasan pukul! Fulan menganga melihat kerah temannya yang diraih oleh laki-laki berkulit putih itu. Ia membisikkan sesuatu, lalu kemudian melepaskan kerah itu.

Theo melirik Fulan sekali lagi, lalu segera berlari ke arahnya dan membantunya untuk segera berdiri. “Ah! Pelan-pelan..sakit!” teriak gadis itu menahan tangannya yang perih. Matanya berkaca, rasa sakitnya kini begitu nyata.

“Lo ngapain di sini?!” Tanya cowok itu dengan nada agak tinggi

“Ya gue mana tau bakal ada orang tawuran di sini,” balas Fulan dengan putus asa. Udah rasanya sakit jatuh dari motor, malah kena sentak orang didepannya.

“Terus lo naik apa ke sini?!” Tanya Theo lagi, greget. Poninya terjuntai melihat Fulan yang terduduk menahan sakit. Lalu kemudian kepalanya menoleh mengikuti arahan gadis itu. “Motornya siapa? Lagian kan lo baru bisa naik motor!” jedanya kemudian menoleh ke arah kerubunan, “Argh! Mana parah banget anjing!” sentaknya melihat situasi di sekitar, sebelum Fulan sempat menjawab. Gadis itu hanya diam, tak berani menjawab.

“Lo tunggu sini,” katanya dengan cepat membawa motor dan menghidupkannya. Ia kemudian menstandarnya lalu mengangkat tubuh Fulan dengan perlahan seraya membantunya naik ke atas motor. “NO!” panggil Theo membuat salah satu temannya yang berdiri tak jauh dari sana menoleh. Ia kemudian memberikan bahasa isyarat bahwa ia harus pulang duluan.

Fulan terdiam di sepanjang jalan. Ia memeluk tasnya saat itu juga. Motor yang dibawa Theo melaju dengan sangat kencang. Dipikirannya terdapat beberapa kekhawatiran. Motor bu Sri mau digimanain? Mau nyuruh Theo balik ke sekolah udah pasti dia gak bakalan mau. Mau nanya siapa cowok kulit putih itu, malu. Mau nanya soal tawuran juga udah keburu takut duluan. Fulan akhirnya gak bisa ngomong apa-apa.

“Ini motornya siapa?” Tanya Theo saat sampai di rumah Fulan.

Gadis yang dirangkul Theo untuk bisa berjalan itu menjawab, “Punyanya bu Sri.”

“Lo tadi disuruh?” tanyanya menatap kedua manik Fulan, sesaat setelah mereka duduk di atas teras rumah. Gadis itu hanya mengangguk. “Harusnya lo nolak. Kan tadi udah gua bilang, kalo pulang sekolah lo harus langsung pulang rumah.” Gadis itu terdiam mencernanya. Ya mana dia tau kalo yang dimaksud Theo bakal ada kejadian kayak begini.

“Gebetan baru lo yang mana?” Tanya Fulan dengan pelan membuat cowok didepannya terdiam tak mengerti. “Yang lo bilang di kantin,” jedanya, “Yang lo pukul tadi itu ya?” Tanyanya lagi seraya menatap Theo dengan tanda tanya.

Laki-laki itu tersadar atas penjelasan Fulan, “Iya,” jawabnya dengan alis terangkat, “cakep ya?” katanya santai. “Udah ah, gue balik ya.” Tubuhnya berdiri kemudian mengacak rambut Fulan, “Diobatin lukanya,”

“Lo mau balik tawuran?” Tanya Fulan dengan cemas.

Laki-laki itu langsung menggeleng, “Balikin motor ke bu Sri lah.” Katanya membuat Fulan menghela nafas, sudah tahu pasti bahwa itu hanyalah alasan semata. “Cabut dulu yak!” katanya seraya pamit. Fulan mengangguk.

“Theo!” panggil Fulan sebelum laki-laki itu benar-benar hengkang. “Gue gak mau ngomong lagi sama lo kalo lo balik ke sana lagi!”

Theo terkekeh, “Udah sana masuk! Cabut ya!” teriaknya seraya menggas motornya dengan sangat kencang. Fulan menghembuskan nafas pasrah.

***

Nunggu suga?

Hehe

tahan,

masih next chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet