Rival Or.. ?

Rival Or.. ?

Pagi ini cerah. Di jalan mulai tampak anak-anak sekolah berangkat untuk menuntut ilmu. Ada yang berjalan kaki, naik kendaraan umum, maupun kendaraan sendiri. Termasuk salah satunya Lee Jihoon.

 

Ia mengayuh sepedanya dengan santai mengingat hari masih cukup pagi. Surai dark brown-nya yang sudah disisir rapi kembali berantakan diterpa angin, tapi bagi Jihoon tidak masalah. Hatinya sedang senang, karena sebentar lagi akan bertemu kakak kelas yang dikaguminya. Yoon Jeonghan.

 

Jihoon telah mengagumi Jeonghan sejak hari pertama masuk sekolah setengah tahun yang lalu. Sang kakak kelas telah berbaik hati membantunya saat buku-bukunya jatuh. Murid-murid lain hanya berjalan melewatinya. Ada yang malah menertawakannya. Jeonghan lah yang menemaninya memungut buku-buku yang berserakan di lantai.

 

Bukan cuma berwajah tampan, namun juga baik hati. Seorang Yoon Jeonghan telah membuat Jihoon tersentuh.

 

Jihoon berusaha untuk mendekatinya, tetapi ada banyak halangan. Selain berada di kelas yang berbeda, Jeonghan juga populer. Setiap kali Jihoon ingin berbicara berdua dengannya, pasti ada saja murid-murid yang berada di sekitar Jeonghan.

 

Dan ada satu lagi pengacau yang menghalang-halangi Jihoon. Orang itu adalah-

 

BRUSSSHHHH!

 

Cipratan dari genangan air di jalan membasahi sebagian celananya. Pelakunya yaitu sebuah mobil merah bernomor plat 17 SC yang perlahan berhenti tak jauh dari Jihoon dan sepedanya. Jihoon kenal betul siapa pemilik mobil itu. Panjang umur, baru saja dibicarakan orangnya sendiri sudah muncul.

 

“YAK! CHOI SEUNGCHEOL! KAU MENYETIR TIDAK PAKAI MATA?!” teriak Jihoon geram.

 

Kaca mobil diturunkan, kepala Seungcheol muncul dan ia sedang tersenyum manis sambil memasang muka tak berdosa. “Maaf, habisnya kau kecil sekali, jadi aku tidak melihatmu.”

 

-Choi Seungcheol, salah satu murid populer di sekolah. Mungkin Seungcheol tidak termasuk dalam jajaran murid straight A, namun prestasinya dalam olahraga tidak perlu diragukan. Didukung dengan wajahnya yang tampan dan orangtuanya yang notabene adalah salah satu donatur terbesar di sekolah, jadilah ia pria yang diincar oleh sebagian besar murid.

 

“Aku duluan ya, jangan sampai telat. Guru jam pertamamu, Kim-seonsaengnim benci murid telat. Dan satu lagi Jihoonie, menyetir itu pakai tangan, bukan pakai mata.Bye~”

 

Mobil itu melaju cepat dan menghilang dari pandangan sebelum Jihoon sempat membuka sepatunya untuk dilempar ke kepala Seungcheol. Akhirnya ia cuma berdiri di pinggir jalan sambil memandangi celananya yang basah.

 

“Sekarang, bagaimana caranya aku mengeringkan ini tanpa telat masuk kelas?”

---

Nyaris saja Jihoon terlambat. Nyaris. Bisa tiba di kelas 2 menit sebelum bel berbunyi biasanya membuat orang bernapas lega, tapi tidak untuk kali ini. Guru satu ini terkenal sudah ada di ruang kelas 5 menit sebelum jam masuk. Hasilnya: Jihoon berdiri di depan seisi kelas yang sudah duduk rapi dan sang guru yang menatapnya lekat, seolah berkata ‘bisa jelaskan kenapa kau telat masuk kelasku, Nak?’

 

Untung saja Jihoon bisa mengatakan alasan yang bagus dan diijinkan mengikuti pelajaran. ‘Kalau aku tadi sampai dihukum tidak boleh masuk kelas,’ pikirnya, ‘akan kuhajar si brengsek itu.’

 

Jihoon masih menyuarakan kekesalannya saat jam istirahat, sampai teman semejanya Wonwoo mengisyaratkan padanya bahwa Jeonghan sudah tiba di kafetaria sekolah.

 

Tanpa berkedip, pandangan Jihoon mengikuti Jeonghan yang berjalan dari pintu kafetaria sampai ia menempati mejanya disertai dengan teman-teman dekat yang selalu ada di sekelilingnya. Salah satunya si Choi-menyebalkan-Seungcheol.

 

Makanan Jihoon belum tersentuh, matanya terus mengawasi meja Jeonghan. Tanpa sengaja tatapan matanya bertemu dengan mata Seungcheol. Menyadari bahwa Jihoon sedang melihat Jeonghan, Seungcheol dengan santai melingkarkan sebelah tangannya ke pundak Jeonghan dan tersenyum penuh kemenangan ke arah Jihoon.

 

Marah? Tentu saja Jihoon marah. Mereka berdua terlihat akrab, dan Jeonghan juga sepertinya tidak mempermasalahkan Seungcheol yang menempel terus padanya.

 

Disuguhi pemandangan seperti itu membuat selera makan Jihoon hilang. Ia memutuskan untuk berhenti makan dan cepat-cepat masuk ke kelas, meninggalkan Wonwoo seorang diri di meja kafetaria.

 

 

“Sebenarnya ada apa antara kau dan Seungcheol-hyung?” tanya Soonyoung. Tangannya sibuk menggambar formasi koreo untuk tim dance miliknya.

 

“Apanya yang ada apa, Soon?” Jihoon sedang menuliskan not-not balok di atas sheet musik. Mengajaknya bicara mungkin kurang tepat saat ini.

 

“Kau dan Seungcheol-hyung. Sepertinya setiap bertemu kalian ini seperti anjing dan kucing.”

 

Jihoon meletakkan pensilnya dan berbalik untuk menatap Soonyoung. “Bagaimana tidak? Dia membuatku kesal melihatnya menempel terus seperti lintah pada Jeonghan-hyung. Dia tahu aku suka pada Jeonghan-hyung, Soon. Dan dia selalu menghalangi setiap kali aku mau dekat dengan Jeonghan-hyung.

 

"Kau ingat acara kemping tiga bulan lalu? Jeonghan-hyung seharusnya satu tim denganku. Tapi entah bagaimana jadi dia yang menggantikan Jeonghan-hyung. Aku tidak mengerti bagaimana cara dia melakukannya, yang jelas ia curang. Kalaupun dia memang menyukai Jeonghan-hyung, sudah pasti dia punya lebih banyak kesempatan. Kenapa pula dia harus menyabotase kesempatanku?”

 

Soonyoung berpikir sejenak, lalu menjawab “Kau ada benarnya juga.” Puas mendengar respon yang memihaknya, Jihoon kembali meneruskan kegiatannya.

 

“Atau mungkin Seungcheol-hyung sebetulnya suka padamu.” Bisik Soonyoung.

 

“Hah? Apa kau bilang?”

 

“Tidak, aku tidak bilang apa-apa. Lanjutkan saja menulisnya, Jihoon-ah.”

 

 

Hari-hari berlanjut dengan Jihoon yang terus melihat kedekatan antara Seungcheol dan Jeonghan. Dia tidak putus asa, tentu saja tidak. Prinsipnya adalah tidak boleh kalah sebelum berperang. Jangan berpikir Jihoon tidak melakukan apa-apa. Dua hari lalu ia dengan berani menyapa Jeonghan, dan sang senior balik menyapanya. Bukan main senangnya hati Jihoon. Apakah seperti ini rasanya jika di-notice oleh artis idolamu?

 

“Ya, dan setelah itu kau berkejar-kejaran dengan Seungcheol-hyung yang mengambil bukumu. Kau tahu, Kim-seonsaengnim sampai geleng-geleng kepala melihat kalian.”

 

Jihoon melihat Wonwoo dengan tatapan ‘kenapa kau mengacaukan lamunan indahku? Kau cari mati, Jeon?’

 

Wonwoo tidak mengacuhkan Jihoon. Ia malah dengan santai melanjutkan membaca novelnya. Jihoon yang tidak dihiraukan oleh Wonwoo kembali melamun, mengingat-ingat saat Jeonghan membalas sapaannya dan tersenyum padanya. Ia tersenyum-senyum sendiri, lalu ingatannya mendadak berubah menjadi saat Seungcheol merebut buku catatan yang sedang ia pelajari untuk ujian hari itu. Wajahnya berubah cemberut mengingat betapa lelahnya dia mengejar rivalnya itu sampai lantai 3 gedung sekolah.

 

Ya, Jihoon sudah menganggap Seungcheol sebagai rivalnya dalam memperebutkan Jeonghan. Meskipun rivalnya itu sendiri tidak pernah mengatakan secara langsung, kedekatan Seungcheol dan Jeonghan membuat Jihoon berpikir bahwa Seungcheol sama sepertinya, ingin mendapatkan Jeonghan.

 

Anehnya, Seungcheol sudah berteman dengan Jeonghan bahkan sebelum Jihoon masuk sekolah ini. Bukankah jika memang Seungcheol suka, dia sudah bergerak sejak dulu? Dan Seungcheol mulai suka mengerjainya sejak dia baru masuk. ‘Seungcheol-hyung bisa langsung tahu kalau aku suka Jeonghan-hyung sejak pertama kali masuk sekolah. Bagaimana bisa?’

 

 

“Hei, Cheol.” Panggil Jeonghan.

 

“Hmm?” jawab Seungcheol. Perlahan ia menyesap cappuccino yang dipesannya. Jeonghan  duduk di hadapannya bersama dengan Jisoo di sebuah kafe.

 

“Kau suka pada Jihoon?”

 

Sontak Seungcheol tersedak dan menyemburkan sedikit cappuccino miliknya. Untung saja tidak ada ponsel ataupun barang elektronik lainnya di atas meja. Yang menjadi korban hanya struk pembelian dan beberapa uang receh kembalian. Jeonghan memandang jijik pada muncratan di meja lalu pada Seungcheol.

 

“Kenapa kau bertanya seperti itu?”

 

“Karena sudah setengah tahun sejak Jihoon pindah ke sekolah kita. Dan selama itu pula Cheol, kau sudah mengerjai anak itu.”

 

“Lalu? Apa hubungannya dengan pertanyaanmu?” Seuingcheol berusaha berkelit.

 

“Jangan berlagak bodoh, Cheol. Kau ingat kan tentang ‘anak laki-laki suka jahil pada anak perempuan yang dia sukai’?” Jisoo mengangguk mengiyakan perkataan Jeonghan.

 

“Jihoon bukan anak perempuan.”

 

“Intinya sama saja. Kau sering menjahilinya karena kau suka padanya.”

 

“Aku tidak tahu omong kosong macam apa yang kau ucapkan.” Seungcheol menghabiskan seluruh cappuccino nya dan mulai berdiri untuk meninggalkan tempat itu. “Aku duluan, ya. Bye.”

 

Saat Seungcheol sudah keluar dari kafe, Jeonghan dan Jisoo saling berpandangan. “Aktingnya buruk sekali.” Jeonghan dan Jisoo terkekeh geli. Jelas-jelas tadi pipi Seungcheol merona, dan penyebabnya bukan karena tersedak.

 

 

Seungcheol dan Jihoon sama-sama berdiri menghadap Kim-seonsaengnim di kantornya. Penyebabnya adalah keributan yang biasa mereka buat. Seungcheol yang mengganggu Jihoon, Jihoon yang marah, lalu acara kejar-kejaran atau lempar-melempar barang terjadi. Parahnya, kali ini lemparan Jihoon memecahkan kaca ruang guru.

 

“Kalian berdua saya hukum membantu membereskan perpustakaan selama sebulan.” Mereka hendak protes, namun sang guru melanjutkan, “Tidak boleh ada protes. Sudah jelas kalian berdua yang salah, maka kalian harus bertanggungjawab.”

 

Seungcheol dan Jihoon mengiyakan hukuman yang mereka terima dan pamit keluar ruangan.

 

“Dan jangan lupa, hukumannya dimulai hari ini!”

 

“Baik, Pak!”

 

 

 

Beberapa kardus buku baru bertumpuk di dekat meja penjaga perpustakaan. Seungcheol dan Jihoon menatap horor pada jumlah buku baru yang harus mereka susun ke rak buku. Harus berapa jam mereka bekerja menyusun sekitar 100-an buku?

 

“..disusun berdasarkan topik bukunya. Urutkan juga menurut alfabet atau nama pengarang. Jika ada yang tidak jelas, akses saja dari komputer di meja ini.” Seokjin-seonsaengnim menerangkan. “Apa sudah jelas?”

 

“Jelas, Pak!”

 

“Bagus. Kalian kerjakan dulu. Bapak ada urusan di kantor. Nanti saya kembali untuk mengecek hasilnya.”

 

Seperginya guru, mereka berdua kembali menatap horor pada berkardus-kardus buku di depan mereka. Seungcheol yang pertama bergerak untuk membuka kardus pertama, diikuti oleh Jihoon yang membuka kardus lainnya. Aroma buku baru menguar dari dalam kardus. Wonwoo yang suka buku mungkin akan suka ini. Seungcheol dan Jihoon juga, bila keadaannya bukan sedang dalam hukuman seperti ini.

 

Mereka bekerja dalam diam. Hanya sesekali mereka bertanya satu sama lain jika diperlukan. Selebihnya mereka mengakses komputer perpustakaan, seperti untuk mendapat info kode rak buku.

 

Jihoon tidak masalah dengan hukuman seperti ini. Menyusuri rak-rak buku di perpustakaan yang sepi terasa menenangkan, dan fokusnya menemukan rak yang tepat untuk buku baru bisa mengalihkan pikirannya untuk sementara. Meski kadang ia kesusahan meletakkan buku di rak yang terlalu tinggi, ia menolak meminta tolong pada Seungcheol. Jihoon masih marah padanya karena sudah diganggu sampai terkena hukuman seperti ini.

 

Dengan 2 buku di tangan, Jihoon berjalan ke rak buku bagian ensiklopedia. Kalau bisa, Jihoon ingin protes pada siapa pun yang menyusun denah perpustakaan. Ensiklopedia biasanya jarang diminati, letaknya hampir di ujung pula. Dan siapa pula yang berpikir untuk meletakkan buku sebesar dan seberat itu di rak yang tingginya minta ampun, Jihoon tak habis pikir.

 

Sialnya, ada buku yang harus diletakkan Jihoon di rak kedua dari atas. Jihoon sudah berusaha berjinjit, tapi tetap tak sampai. Ia ingin mengambil salah satu kursi, namun Seungcheol sudah lebih dulu membantunya meletakkan buku pada tempatnya. Dari mana dia tiba-tiba muncul, pikir Jihoon.

 

Mungkin ini adalah posisi paling awkward saat ini. Seungcheol berdiri tepat di belakangnya, otomatis menghimpit Jihoon diantara badannya dan rak buku. Satu lagi buku ada dalam dekapan Jihoon.

 

“Jihoon-ah, mana buku satu lagi?”

 

“I-ini, hyung.” Astaga, pikir Jihoon, kenapa aku bicara terbata-bata?

 

Jihoon mengulurkan buku itu, yang langsung diambil oleh Seungcheol dan dengan cekatan ditaruh rapi di rak atas. Seungcheol tidak langsung beranjak pergi. Ia tetap berdiri di belakang Jihoon.

 

"Hyung?"

 

"Hmm?"

 

"Bukunya sudah ditaruh?"

 

"Sudah."

 

'Lantas kenapa masih berdiri di sana?' Batin Jihoon panik. Jantungnya mulai berdetak tak karuan.

 

Perlahan Seungcheol membalik tubuh Jihoon sehingga menghadapnya. Seungcheol menatap matanya dalam-dalam. Jihoon terpaku, rona merah samar mulai menjalari pipinya.

 

Pertama kalinya berdiri sedekat ini dengan senior menyebalkannya ini, Jihoon baru menyadari detail wajahnya. Tak heran jika dia populer, pikir Jihoon, dia tampan. Di tengah lamunannya, Jihoon tidak menyadari wajah Seungcheol yang semakin dekat ke wajahnya.

 

"Jihoonie.." bisiknya lembut.

 

Wajah Seungcheol hanya berjarak sekian cm dari wajahnya. Seharusnya Jihoon mengelak. Pikirannya terus menyuarakan bahwa ini salah, bahwa mereka berdua menyukai orang lain, tetapi tubuhnya hanya mengikuti kata hatinya. Ia berdiri diam dan memejamkan mata.

 

Kurang 1 cm lagi, bibir mereka akan bersentuhan. Tetapi pintu perpustakaan mendadak dibuka, dan Jihoon yang terkejut sontak mendorong tubuh Seungcheol menjauh. Wajahnya sudah semerah tomat.

 

"Kalian berdua sudah selesai?" Kim-seonsaengnim bertanya.

 

"Ya, Pak. Kami baru selesai. Apa masih ada lagi?" Seungcheol melangkah ke arah sang guru, diikuti Jihoon di belakangnya dengan wajah yang masih merona.

 

"Tidak ada lagi. Kembalilah besok. Sepertinya kita akan mendapat beberapa kardus buku lagi.” Sang guru mengamati mereka berdua. Pandangannya terhenti pada wajah Jihoon yang memerah. Ia menatap Seungcheol dengan curiga. “Kalian sedang apa tadi di ujung perpustakaan?”

 

“Saya membantu Jihoon membereskan ensiklopedia, Pak. Bapak kan tahu sendiri rak di ujung sana tinggi-tinggi. Jihoonie tidak bisa menjangkau rak paling atas.” Jawabnya santai. Jihoon memandangnya sebal karena sudah menyinggung tinggi badannya.

 

Kim-seonsaengnim nampak puas dengan jawaban Seungcheol, namun sorot matanya masih menyiratkan kecurigaan. “Oke. Kalian sudah boleh pulang. Jangan keluyuran kemana-mana, langsung pulang ke rumah. Hari sudah sore.”

 

“Terima kasih, Pak.” Jawab mereka berdua bersamaan.

 

 

Sudah seminggu sejak Jihoon dan Seungcheol memulai hukuman mereka. Topik mengenai mereka yang hampir berciuman itu tidak pernah diungkit oleh keduanya. Anehnya, bukannya bertambah canggung atau menjauh, mereka malah lebih dekat dari biasanya. Ejekan-ejekan kecil berubah menjadi sapaan normal. Kejahilan Seungcheol pada Jihoon berganti menjadi acara berkumpul dan mengobrol layaknya teman.

 

Teman-teman dekat Jihoon tentu saja bingung, terutama Soonyoung. Minggu-minggu lalu Soonyoung masih disuguhi pemandangan wajah Jihoon yang memerah karena emosi setelah Seungcheol mengerjainya. Sekarang, yang ada malah Jihoon yang dengan semangat berbicara dengan Seungcheol, warna merah samar tampak di kedua pipinya.

 

“Kau akhir-akhir ini akrab dengan Seungcheol-hyung.”

 

Tangan Jihoon yang sedang menyendok makanan dari piring terhenti. “Memangnya kenapa, Soon?”

 

“Tidak. Rasanya aneh saja tiba-tiba kalian jadi dekat. Apa selama kalian terkena hukuman ada sesuatu yang terjadi?"

 

Terbayang kejadian saat itu. Jihoon masih ingat dengan jelas bulu mata panjang dan lentik milik Seungcheol saat matanya setengah terpejam. Dan bentuk bibirnya.

 

"Hoon? Jihoon-ah, kau melamun?"

 

"Eh?" Tertangkap basah sedang melamun, dan melamunkan lekuk wajah Seungcheol pula, membuat Jihoon salah tingkah.

 

"Apa yang terjadi selama masa hukuman kalian?"

 

"Tidak ada apa-apa, Soonyoung-ah. Ayo cepat makan, sebentar lagi sudah mau bel masuk." Jihoon melahap makan siangnya, sebisa mungkin menghindari bertatap muka dengan Soonyoung selama jam istirahat.

 

'Aneh. Pasti ada sesuatu. Apa kutanya langsung saja pada Seungcheol-hyung?'

 

 

"Tidak biasanya kau mengajak kami berkumpul begini, Soonyoung. Ada apa?" Jeonghan, Jisoo, Wonwoo, Soonyoung dan Seungcheol duduk bersama di salah satu meja di taman sekolah. Untung saja Jihoon sedang dipanggil oleh guru untuk membantu, kalau tidak Soonyoung tidak akan sesantai ini mengingat topik yang akan ia bicarakan adalah tentang dia dan Seungcheol.

 

"Jadi begini," ujarnya, "kalian tahu kan kalau selama ini Seungcheol-hyung dan Jihoon sudah hampir seperti live action Tom & Jerry?" Mereka mengangguk mengiyakan. "Yang mau kubicarakan adalah, kenapa belakangan ini mereka makin lengket?"

 

Seungcheol hanya diam. Sedangkan yang lain sibuk berspekulasi ini itu. Lalu Wonwoo menambahkan, "Setahuku ia menganggap Seungcheol-hyung sebagai rivalnya untuk mendapatkan Jeonghan-hyung." Seisi meja diam seketika berusaha mencerna info barusan.

 

"Ah, masa?" "Kenapa aku baru tahu?" "Oh iya, dia sering mengomel padaku juga." Jeonghan, Jisoo, dan Soonyoung menyahut bersamaan.

 

"Maaf kalau kau patah hati Cheol, aku sudah punya Jisoo." Jeonghan merangkul pundak Jisoo.

 

"EH?"

 

"Masa kalian tidak tahu? Astaga. Padahal sudah sebulan kami resmi berpacaran." Jeonghan geleng-geleng kepala.

 

"Hannie, kita belum mengumumkannya."

 

"Kau benar. Yah, sekarang kalian semua sudah tahu. Jadi maaf, cheonsa ini sudah ada yang punya."

 

"Kalau begitu, Jihoon dan Seungcheol-hyung memperebutkan siapa dong?" Soonyoung terheran.

 

"Paling Jihoon yang salah sangka kalau Seungcheol juga suka pada Jeonghan, sementara Cheol menjahili Jihoon karena suka padanya." Jisoo angkat bicara. Ingin rasanya Seungcheol bersembunyi karena malu.

 

"Kalau aku memang suka Jihoon, lantas kenapa?" Seungcheol mengaku. Seisi meja melongo menatapnya, lalu beberapa detik kemudian menjadi heboh. Mereka terus menerus menggoda dan meledeknya, tanpa sadar ada seseorang yang berdiri di balik pohon tak jauh dari sana, ekspresi terkejut menghiasi wajahnya.

 

 

Seungcheol dan Jihoon kembali menjalani hukuman mereka. Ini sudah akhir minggu ketiga, yang artinya hukuman mereka akan berakhir satu minggu lagi. Semua berjalan seperti biasa, tidak ada kejar-kejaran ataupun barang-barang yang melayang. Mereka benar-benar seperti teman biasa.

 

Tidak ada guru yang menemani hukuman mereka kali ini. Tugas-tugas sudah mereka bereskan dengan rapi. Mereka berdua menikmati istirahat di dekat jendela besar perpustakaan yang menghadap halaman belakang sekolah. Canda tawa terdengar dari mereka. Orang yang baru mengenal mungkin akan salah mengira mereka teman akrab ataupun sepasang kekasih.

 

Nada dering sms berbunyi dari saku Seungcheol. Setelah membaca pesan yang masuk, ia terburu-buru permisi pada Jihoon dan mengatakan kalau Jihoon bisa pulang duluan karena ia ada urusan. Jihoon mempersilakannya dan bersiap-siap untuk pulang.

 

 

‘Aish, kenapa pula buku pelajaranku bisa tertinggal di kelas.’ Gerutu Jihoon dalam hati. Dengan tergesa-gesa ia menyusuri lorong sekolah yang sudah sepi. Memang ada beberapa murid yang masih di sekolah sesore ini karena kegiatan ekstrakurikuler, namun Jihoon tidak melihat satupun. Saat melewati lorong yang ditempati murid-murid senior, Jihoon melihat ada satu pintu kelas yang masih terbuka. Biasanya Jihoon akan berjalan melewatinya begitu saja, tapi kali ini firasatnya mengatakan ia harus melihat ke dalam. Betapa terkejutnya ia dengan apa yang dilihatnya.

 

Seungcheol, sedang berpelukan dengan Jeonghan di kelas yang kosong itu. Jihoon membelalakkan matanya tak percaya. ‘Dasar pembohong.’ Pikirnya sambil tersenyum sedih. Perlahan ia menjauhkan dirinya dari pemandangan di hadapannya dan berbalik pergi.

 

“Eh? Jihoon?” Soonyoung terheran melihat Jihoon di ujung koridor yang berjalan dengan tertunduk lesu. “Dia kenapa?” lalu pertanyaannya terjawab setelah ia memasuki ruang kelas yang ditempati Seungcheol dan Jeonghan.

 

“Hei, kalian berdua sedang apa?” kedua orang yang sedang berpelukan itu saling melepaskan. Ada bekas air mata di pipi Jeonghan. “Oh, Soonyoung?” Seungcheol bertanya.

 

“Jangan berani kau ber-‘Oh, Soonyoung’ padaku. Kalian sedang apa? Terakhir kudengar Jeonghan-hyung dan Jisoo-hyung resmi berpacaran dan kau suka Jihoon. Lalu ini apa?” Soonyoung jelas terlihat marah. Mungkin ini alasan Jihoon berjalan dengan lesu tadi.

 

“Hei, sabar dulu, Kwon. Jangan sembarangan menuduh sebelum kami jelaskan.”

 

“Oke, kalau begitu jelaskan.” Soonyoung melipat tangan di dada dan menunggu.

 

“Jeonghan barusan dapat kabar kalau Jisoo masuk rumah sakit karena kecelakaan. Apa salah aku menghibur temanku yang sedang menangis?”

 

Soonyoung agak malu juga karena sudah marah-marah duluan. “Yah, setidaknya jelaskan juga pada Jihoon. Kulihat tadi ia berjalan ke ujung koridor ini. Dia tampak tidak bersemangat dan sedih.” Seungcheol terkejut. “Mungkin saja dia melihat pemandangan barusan.” Seungcheol langsung berlari keluar ruangan tanpa berbicara sepatah katapun.

 

 

Jihoon melangkah menuju pintu masuk gedung sekolah dengan perasaan campur aduk. Semuanya gara-gara adegan yang ia lihat tadi. Namun, ia tidak tahu apakah perasaan tidak enak ini timbul karena Jeonghan yang disukainya berpelukan dengan pria yang disebutnya sebagai rivalnya, ataukah karena si pria yang mengaku menyukainya memeluk orang lain.

 

Ia hampir sampai di pintu saat seseorang menariknya dan membalik tubuhnya. “Jihoon-ah!” rupanya itu Seungcheol. Napasnya tersengal-sengal karena berlari dari lantai tiga ke lantai dasar.

 

Dada Jihoon mulai terasa sesak. Seungcheol adalah orang terakhir yang ingin dilihatnya saat ini. “Kau mau apa?”

 

“Ji, yang barusan kau lihat, aku bisa jelaskan.” Seungcheol masih berusaha mengatur napasnya.

 

“Oh ya? Jelaskan apa, Tuan Choi? Bahwa kau baru saja memeluk pacar orang, begitu? Kau mau aku tutup mulut?”

 

“Dengar,” katanya tegas, “Pesan yang tadi masuk itu memang dari Jeonghan. Ia memintaku menemuinya di kelas karena ada hal penting yang mau dia sampaikan.”

 

“Ya, lalu?”

 

“Jisoo baru saja kecelakaan.” Jihoon tampak terkejut. “Dan aku cuma menghiburnya karena ia sedang sedih. Itu saja. Kau bisa tanya pada Jeonghan.”

 

Jihoon terdiam sesaat. “Jadi.. saat kau bilang suka padaku di hadapan Soonyoung dan yang lain.. itu tidak bohong?” ia menatap mata Seungcheol.

 

Seungcheol tidak tahu bagaimana Jihoon tahu pembicaraan mereka hari itu, tapi yang jelas ini adalah kesempatannya untuk mendapat jawaban atas perasaannya.

 

“Ya, Jihoon-ah. Aku sungguh-sungguh.”

 

Jihoon masih menatapnya tak percaya.

 

“Jihoonie, maukah kau jadi pacarku?” Jihoon langsung merona hebat. Kepalanya tertunduk. Dengan malu-malu ia mengangguk. Seungcheol langsung memeluknya erat  dan mendaratkan sebuah ciuman di pipinya.

 

Well, sepertinya kesalahpahaman ini telah membantu Seungcheol mendapatkan Jihoon yang disukainya.

 

END

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
24Delution
#1
Jarang-jarang suka Jicheol AU. Tapi yang ini kok suka ya? Manis banget hehee :D
scoupstu #2
Chapter 1: Kokoro dan bibirku tolong najgjwakksanwkjejwjs
leejihoon92
#3
Chapter 1: Yuhuuu so sweeet..... happy jicheol dayyy :)