Pertemuan

Patron

“Taeyong?” ucap Jisoo lirih. “Inikah orangnya?”. Tanpa menunggu lama semua deathmon berhasil Taeyong kalahkan. Benar saja, orang yang mendekapnya ialah Taeyong. Perlahan ia melepaskan Jisoo dan meraih kedua pipi Jisoo. Walaupun hanya disinari cahaya bulan purnama, terpasang jelas ekspresi khawatir Taeyong. Jisoo terpengarah baru pertama kalinya ia melihat sosok yang sedewasa ini. Lekuk wajahnya begitu tegas. Rambutnya lurus panjang dengan ikatan ekor kudanya. Dengan cahaya yang minim, Jisoo tetap bisa mengira-ngira, pria itu memiliki bola mata berwarna biru kristal.

“Jisoo, kau terluka?” suaranya lembut, saking lembutnya Jisoo bisa terhipnotis. Tanpa memberi kesempatan menjawab, Taeyong langsung memeluknya kembali. “Maaf, aku terlambat. Kau pasti sangat ketakutan.” Ujar Taeyong kembali. “Nyaman dan hangat,” pikir Jisoo.

“Apa kau orang yang bernama Taeyong?” ucap Jisoo sembari meregangkan jarak di antara mereka. Taeyong tidak membalas pertanyaan Jisoo, ia hanya menatap lembut Jisoo dan mengusap pipinya.

“Kau tahu, aku benar-benar menantikan pertemuan kita ini.” Jisoo hanya terdiam masih mencerna semua yang dikatakan Taeyong.

Sekali lagi, geraman deathmon terdengar kembali. Kedua manusia itu tersentak. Menghancurkan suasana tenang di antara mereka. Taeyong segera membopong Jisoo untuk melarikan diri.

“Kita harus pergi ke markas. Aku tidak bisa terus bertarung.” Ujar Taeyong dan meloncat dari satu pijakan ke pijakan lainnya. Jisoo pasrah dibawa pergi Taeyong, yang penting ia bisa selamat hanya itulah yang ada dipikirannya. Kenyataannya memang benar, Taeyong tidak bisa terus-menerus meladeni mereka, hampir ¾ tenaganya telah ia gunakan untuk melapisi kembali lapisan pelindung, ya itulah yang dia lakukan, itulah kenapa ia menyuruh Ran untuk menjemput Jisoo.

“Sial, mereka terlalu banyak.” umpat Taeyong, dia meraih stopwatch yang ia bawa dan sekelebat senyum kemenangan ditampilkannya. Taeyong sontak mendarat ke tanah dan berhenti berlari.

“Hey! Apa yang kau lakukan?! Kenapa berhenti?!” teriak Jisoo panik. Taeyong hanya balas menatap Jisoo dan tersenyum. “Ini gila!”  Tanpa berpikir lagi Jisoo mengalungkan kedua tangannya ke leher Taeyong dan merapat ke tubuh Taeyong, dia tak sanggup jika harus mati sekarang. Setidaknya itulah yang ia pikirkan. Jeritan mengerikan yang sedari tadi mengikuti mereka terus bergema, gemuruh langkah kaki yang mengejar mereka pun semakin terdengar mendekat.  Satu detik. Dua detik. Tubuh Jisoo menegang, masih dengan mata tertutup. Tak berani melihat bagaimana ia akan mati. Tiga detik. Empat detik. Hening. Lima detik. Tunggu, apa ia sudah mati? Seenakkah ini yang namanya kematian? Kalo iya, haha, maka ia akan lebih baik mati daripada kembali ke dunianya yang aneh itu. Pikirnya.

“Jisoo-ya, buka matamu. Semua sudah aman sekarang.” Taeyong berbisik sambil sedikit menggoyangkan badan Jisoo.

“Apa? Jadi aku tidak jadi mati?” semburat kekecewaan terlukis di wajah Jisoo. Tapi ia tak mengelak kalau ia merasa lega luar biasa saat matanya terbuka dan tak menemukan makhluk mengerikan yang tadi mengejar mereka habis-habisan. Jisoo turun dari bopongan Taeyong yang nyaman. Oke, Jisoo tahu, itu menggelikan, tapi ia tak menyangkal.

Yang ada di depan mereka hanyalah beberapa tumpukan pasir hitam yang aneh. Jisoo yakin sebelum ia menutup matanya, benda itu tidak ada di sana. Taeyong mengitari salah satu tumpukan pasir hitam. Berlutut. Mengambil segenggam pasir hitam dan mengamati butiran pasir hitam itu. Jisoo tidak tahu dan tidak ingin tahu. Ia hanya berdiri dan tak ada niatan sama sekali untuk mendekati.

“Tidak bisakah kita pergi dari sini saja? Aku benci tempat ini dan aku rasa kau juga berhutang penjelasan padaku.” Ia membenci suaranya yang bergetar. Gagal tak bisa menyembunyikan ketakutannya. Taeyong berdiri menghampiri Jisoo.

“Kau benar. Kita butuh tempat yang nyaman untuk bercerita. Aku rasa.” Tanpa diberitahupun Jisoo sudah bersiap untuk dibopong ala bridal style oleh Taeyong. Mereka berdua melesat pergi, tak peduli dinginnya hutan di malam setengah pagi. Mereka sampai di tempat yang kata Taeyong tempat yang nyaman untuk bercerita. Jisoo terpengarah dengan tempat itu. Danau luas dengan disinari cahaya rembulan. Tempat yang sekarang ia pijaki adalah tanah lapang berumput yang berada di pinggir danau tersebut. Beberapa batu besar dan putih tersebar seperti sengaja ditata bagaikan kursi penonton untuk menikmati indahnya danau. Tanpa sadar Jisoo melangkah mendekat, matanya menyapu semua suguhan itu, seperti terhipnotis dengan pemandangannya. Taeyong menyejajarkan diri di samping Jisoo, tanpa memalingkan matanya dari Jisoo. Seolah-olah dirinya jauh lebih indah daripada pemandangan danau yang menakjubkan itu.

“Kau menyukainya?” Taeyong terus menatapnya dan kali ini ia tersenyum puas.

“Apa kau becanda? Tentu saja! Aku tidak tahu di dekat tempat tinggalku ada tempat yang indah. Kenapa aku tidak menyadarinya ya? Hahaha.”  Ucap Jisoo menoleh ke arah Taeyong sebentar.

“Tidak. Kita sudah bukan di duniamu.” Senyum lebar Jisoo lenyap. Ia kembali menatap Taeyong, mencoba mencerna perkataannya.

“Selamat datang di Markas Utama, Jisoo-ya.” Jisoo tersentak, matanya membulat sempurna.

“Eh? Markas Utama? Maksudmu? Tunggu, aku pernah mendengarnya dari Chaerin.” Pikirannya tercampur aduk, berusaha meluruskan akal sehatnya.

“Kau benar Jisoo-ya, inilah tempat para pengikut patron dan aku adalah sang patron itu, orang terkonyol di cerita dongengnya yang juga konyol.” Ucap Taeyong, bibirnya membentuk lengkungan senyuman tipis, ada sedikit guratan kesedihan juga di sana.

“Ap-?” Jisoo syok luar biasa, ia menutup mulutnya, tanpa sadar ia melangkah mundur. Matanya berkelana, menatap sekelilingnya, memastikannya, dan kembali menatap tajam mata Taeyong, mencari kebenaran di sana. Astaga. Dia tidak bercanda. Jisoo memejamkan mata, mecoba menenangkan gejolak emosi yang tak karuan, marah, bingung, dan takut. Setelah tenang sedikit, Jisoo menatap kembali Taeyong yang masih dengan posisinya. Tidak berubah. Jisoo bingung harus berbiacara apa. Terlalu banyak  yang ingin ia ketahui.

“Jadi itulah mengapa, orang itu memanggilmu Yang Mulia?”

“Maksudmu Ran? Kalau iya, kau benar.” Suaranya setenang air seperti air di danau yang ada di hadapannya sekarang.

“Lalu kenapa kau menyelamatkanku? Di saat orang tuaku dan yang lainnya dievakuasi ramai-ramai oleh orang-orangmu, kenapa aku harus bersamamu, dengan kau, dengan Patron?” Hening. Mulut Taeyong terbuka, tapi tak mengeluarkan suara apapun, matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Taeyong gugup. Pikirannya mencoba menemukan kalimat yang tepat untuk ia lontarkan. Setidaknya itulah yang Jisoo kira.

“Karena kau... Kau adalah um ... Kau adalah kunci keselamatan dunia, ya, kaulah yang akan menyelamatkan dunia ... makanya ... aku harus segera mengevakuasimu ke tempat yang jauh lebih aman, sangat aman. Dan itu juga menjadi alasan kenapa para deathmon mengejarmu. Karena mereka ingin menghancurkan apa yang menjadi penghalang mereka.” Napas Taeyong tersenggal-senggal. Mata Taeyong menatap mata Jisoo mencari sebuah kepercayaan di sana dari alasan yang, ya, Taeyong rasa hal itu cukup menjelaskan dan masuk akal, akan aneh jika ia tiba tiba bilang, Jisoo adalah wanitanya. Bisa-bisa Jisoo menamparnya dan langsung kabur, berpikir bahwa Taeyong hanya seorang psikopat yang memanfaatkan keadaan untuk menculik gadis cantik untuk ia nikahi.

“Astaga, omong kosong apa ini.” Jisoo memijat pelipisnya, dia benar-benar merasa pusing. Sudah cukup dengan ia berpisah dengan orang tuanya, dikejar-kejar oleh kerumunan deathmon, dan baru saja  pria yang ada di sampingnya, sang patron, hal konyol dalam kamus hidupnya, berusaha menyelamatkan dirinya karena dia adalah kunci keselamatann dunia. Oke, lengkap sudah. Hidupnya sangat aneh sekarang, hanya dalam semalam.

“Kau tidak apa apa? Aku rasa kau butuh istirahat sekarang. Kita akan ke Gedung Markas Utama, kediamanku berada. Tempat teraman untuk sang kunci penyelamat dunia.” Untuk sejenak taeyong ingin tertawa saat dirinya menyebut Jisoo sang kunci penyelamat dunia. Tidak buruk. Pikirnya.

Jisoo tidak menolak, ia terlalu malas untuk berpikir sekarang. Ingin secepatnya tidur dan mungkin semua keanehan yang barusan ia alami akan lenyap, kembali ke kehidupan normalnya. Oh andaikan.

 

Bersambung ...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet