FIN; (1)

ALQUEENA

Sebuah jitakan kecil di puncak kepalanya tak kunjung membuat Queen berpaling dari layar ponselnya. Bagi Queen, apa yang ada di layar ponselnya kali ini jauh lebih penting. Setelah sebuah jitakan, kini cubitan menyentuh wajah mulus Queen. Sayang, cubitan itu juga tak mampu membuat seseorang yang sedang jatuh cinta itu berpaling. 

"Ck," 

Jihoon mengambil posisi duduk disamping Queen, dan meraih buku yang menjadi tumpuan tangan gadis itu. Bahkan saat tangannya jatuh mengenai meja pun, Queen sepertinya tidak menyadarinya. Bibirnya masih mengulas senyum manis sambil matanya ikut tersenyum pada sesuatu yang ada dilayar ponselnya. Jihoon menggeleng, lalu menutup buku matematika yang diabaikan milik Queen dan memasukkannya ke dalam tas ransel gadis itu. 

Jihoon mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu meletakkannya tepat disamping tangan Queen. Yang pada akhirnya berhasil membuat gadis itu beralih menoleh padanya. 

"Hey, Hoon." 

"Sejak kapan kau duduk disini?" tanya Queen dengan wajah polosnya. Pada saat Queen menatapnya, Jihoon mencuri kesempatan untuk melihat sekilas apa yang sedang dilihat Queen diponselnya sampai gadis itu bahkan tidak menyadari kedatangannya. 

"Ah, kupikir kau sedang menonton The Texas Massacre." balas Jihoon, yang jelas bukan merupakan jawaban atas pertanyaan Queen. 

"Aw!!" Jihoon meringis kecil sambil memegang dahinya yang baru saja mendapat sebuah jitakan dari Queen. Sedangkan Queen hanya menggeleng, sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas. 

"Bersihkan otak kotormu itu, Park Jihoon!" ucap Queen sambil membuka tutup botol minuman dingin yang dibawa Jihoon. 

"Thanks!" 

Jihoon tersenyum kecil saat melihat Queen meneguk dengan cepat minuman yang ia bawa. Jihoon menarik panjang nafasnya, lalu menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah pada dinding kursi perpustakaan yang ia duduki. 

"Kau tidak lelah?"

Queen menutup rapat botol minuman dinginnya, lalu menopang dagunya sambil membalas tatapan Jihoon. Dengan alis yang memincing, Queen menjawab, "lelah untuk?" Sebuah jawaban yang berbalik menjadi pertanyaan. As always, Alqueena. 

"Untuk jatuh cinta padanya setiap hari. Kau tidak bosan?" tanya Jihoon. 

Queen tersenyum mendengar pertanyaan Jihoon, lalu menggeleng. 

"Aku justru semakin menyukainya setiap kali aku menatap fotonya." balas Queen. 

Jihoon hanya bisa mengangguk, dan membiarkan Queen tertawa dengan deretan gigi rapinya yang terpampang jelas. Melihat Queen tertawa, membuat Jihoon gemas dan tanpa sadar tangannya terangkat untuk mencubit pipi gadis itu. Queen meredakan tawanya, dan tersenyum melihat Jihoon yang sedang mencubit pipinya. Perlahan, Queen meraih tangan Jihoon dan menahannya dalam sebuah genggaman. Mengunci tatapan pemuda yang duduk disampingnya. 

"Bagaimana kabarmu, Jihoon? Apakah kau makan dengan benar selama kau tinggal di asrama itu?" tanya Queen dengan lembut. 

Jihoon membalas tatapan khawatir Queen dengan sebuah senyuman. Lalu tangannya terangkat untuk mengusap lembut puncak kepala gadis itu. 

"Aku baik-baik saja, Queen. Maaf sudah meninggalkanmu terlalu lama."

Queen melepaskan genggamannya, lalu melipat kedua tangannya didepan dada. Tidak lupa ia memasang wajah kusutnya, menandakan bahwa ia mendadak jadi kesal. 

"Queen?" Jihoon menurunkan sedikit wajahnya, untuk melihat wajah sahabatnya yang mendadak berubah menjadi murung. 

"Alqueena, hey," ucap Jihoon dengan lembut, bahkan ia menggeser bangkunya agar bisa lebih dekat dengan Queen. 

"Thanks, Jihoon. Olimpiade mu itu memang jauh lebih penting daripada aku." balas Queen. 

Jihoon menghela nafasnya. Ya, Alqueena benar. Olimpiade-olimpiade itu memang sangat penting baginya. Jika Jihoon bisa memenangkan olimpiade-olimpiade itu, maka Jihoon akan mendapatkan uang yang bernominal cukup tinggi. Dan itu jelas bisa membantunya untuk membayar biaya sekolahnya. Jihoon meninggalkan tanah kelahirannya dan juga meninggalkan keluarganya bukan tanpa tujuan. Ia punya mimpi yang harus bisa ia raih saat pertama kali ia berencana untuk pindah ke Seoul. Sekarang ia sudah menikmati tanah kota Seoul, jadi ia harus bisa meraih mimpinya, dan membawa pulang keberhasilannya untuk keluarganya. Tapi, bukan ini poinnya. 

"Hey," Jihoon berusaha untuk meraih tangan Queen, namun gadis itu lebih cepat menjauhkan tangannya dari gapaian Jihoon. 

"Kau bahkan baru memberitahuku saat kau sudah tiba di Busan. Aku bahkan tidak tau kau mengikuti olimpiade matematika itu, Jihoon. Kau aneh! Kau menjauhiku?" tanya Queen, terdengar sirat kemarahan dalam pertanyaannya, bahkan Queen tetap tidak mau menatap Jihoon lagi. 

"Dengarkan aku, Queen." karena aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya padamu. Aku tidak mungkin jujur padamu, kalau aku sangat membutuhkan uang hasil olimpiade itu untuk membayar biaya perawatan rumah sakit adikku. Sekarang bukan lagi saatnya kau memikirkan aku dan bagaimana kehidupanku, Alqueena. Karena aku tau, sekarang kau punya prioritas yang lain. Aku tidak akan merusak itu. Jadi kumohon, dengarkan aku. 

"Kau tau aku tak suka bicara pada orang yang tidak mau membalas tatapanku." 

Pada akhirnya, Queen pun berbalik dan membalas tatapan Jihoon. 

"Aku tidak menjauhimu, ok?" balas Jihoon. 

Namun tak ada balasan yang keluar dari mulut Queen. 

"Sama sekali tidak ada niatku untuk menjauhimu." 

Dan Queen masih saja diam dengan mulutnya yang tertutup rapat. 

Jihoon menelan salivanya dengan cepat, lalu berdiri dan mengulurkan tangannya tepat didepan wajah murung Queen. 

"Gendongan gratis sampai rumahmu. Cepat." 

Queen tersenyum mendengar ucapan Jihoon yang sebenarnya adalah sebuah bentuk permintaan maaf. Berteman dengan Jihoon selama 5 tahun jelas membuat Queen tahu bahwa Jihoon tidak suka meminta maaf. Sebagai gantinya, ia akan menawarkan sesuatu yang sebenarnya berujung seperti sebuah perintah, untuk meminta maaf. Queen meraih uluran tangan Jihoon, lalu naik ke atas kursi yang selama beberapa jam ini ia duduki. Jihoon berbalik, dan terus memegang tangan Queen saat gadis itu mulai naik ke atas punggungnya. Queen memeluk leher Jihoon, lalu meletakkan dagunya tepat di bahu kiri Jihoon. 

"Untung saja kau tidak bertambah berat, Queen." ucap Jihoon yang mulai mengambil langkah pertamanya. 

Queen hanya tersenyum, lalu membaringkan kepalanya dibahu lebar Jihoon. 

"Aku memaafkanmu, Jihoon." 

 

                                    OoO

 

"Hey, Jihoon." 

"Hey, kak." 

Daniel sedikit menyerngit saat mendapati ada sesuatu dibalik punggung Jihoon. Sedetik kemudian, matanya membulat saat menyadari bahwa sang adik lah yang ada dibalik tubuh Jihoon. Dengan cepat, Daniel membuka pintu rumahnya lebar-lebar, dan mempersilakan Jihoon dan adiknya yang tertidur di gendongan Jihoon untuk masuk. 

"Baringkan di sofa saja, Ji. Keterlaluan anak ini, maaf ya." ucap Daniel dengan nada penuh rasa bersalah. Daniel membantu Jihoon untuk membaringkan Queen di sofa, lalu mempersilakan Jihoon untuk duduk di tempat yang kosong. 

"Santai saja, kak. Ini permintaan aku, bukan Queen yang minta digendong, hehe." balas Jihoon. 

"Kebangetan banget sih, Queen. Oh iya, kau mau minum apa?" tanya Daniel. 

Jihoon menggeleng dengan cepat, "Oh, tidak usah, kak. Aku juga mau pulang, kok." 

Daniel memincingkan alisnya, "serius?"

Jihoon tersenyum sambil mengangguk, "iya, kak. Serius. Kalau begitu, aku pamit ya." 

Jihoon berdiri sambil merapikan seragamnya, diikuti Daniel yang juga berdiri dan melangkah lebih dulu dengan perlahan menuju pintu utama. Jihoon melangkah dibelakang tubuh besar Daniel, lalu membungkukkan tubuhnya saat Daniel membukakan pintu untuknya. 

"Sekali lagi terima kasih banyak, Jihoon. Maafkan adikku yang selalu menyusahkanmu." ucap Daniel. 

Jihoon tertawa kecil, "Queen tidak pernah menyusahkanku, kak." 

Daniel tersenyum, lalu menepuk pelan bahu Jihoon. "Hati-hati, bro." 

"Aku pamit, kak." 

 

                                      OoO

 

Kini Queen sudah berbaring dengan benar di kamarnya. Matanya kembali terkunci pada layar ponsel yang seolah memiliki magnet baginya. Kedua ujung bibirnya tertarik menghasilkan sebuah senyuman. 

Dari: kak Seungcheol

Iya, besok aku pulang ke Seoul, Queen. 

Tidak ada yang hal yang lebih membahagiakan bagi Queen selain mengetahui bahwa Seungcheol akan segera kembali ke Seoul. Seungcheol adalah teman sekolah Daniel yang sekitar 4 tahun lalu sangat sering datang ke rumah untuk mengerjakan tugas kelompok bersama sang kakak. Sejak pertama Queen melihat Seungcheol, Queen langsung merasa ada yang tidak benar dengan hatinya. Pasalnya, saat itu adalah pertama kalinya Queen mendaratkan tatapannya pada Seungcheol, dan jantungnya berdegub tidak karuan. Tapi, satu hari setelah upacara kelulusan angkatan Seungcheol dan Daniel, Seungcheol harus meninggalkan Korea dan melanjutkan pendidikannya di Eropa. 

Ceklek

Mata Queen beralih dengan cepat saat pintu kamarnya terbuka dan mendapati sang kakak berdiri diambang pintu kamarnya. Queen menepuk tempat yang kosong di ranjangnya, mempersilakan Daniel untuk masuk dan duduk didekatnya. Daniel tersenyum dan menuruti kemauan adiknya itu. 

"Ada apa, kak?" tanya Queen. 

Daniel menggeleng namun tak menghilangkan senyum di wajah tampannya. 

"Kau sudah makan malam?" tanya Daniel. 

Queen menggeleng sambil tersenyum, "aku sudah kenyang, kak! Lihat!" Queen menunjukkan isi chat-nya bersama Seungcheol pada Daniel. Saat membaca ada nama Seungcheol di layar ponsel adiknya, Daniel langsung merubah raut wajahnya. 

"Jangan dekati Seungcheol, Queen." 

Ucapan Daniel mampu membuat alis Queen bertaut. Tidak hanya alisnya yang merasa bingung, seluruh bagian di wajahnya pun ikut membentuk beberapa guratan, menandakan bahwa ia terkejut dengan ucapan sang kakak. 

"Kak?" 

"Jauhi Seungcheol." ucap Daniel, lagi.

Queen kembali fokus pada ponselnya, sambil jari-jari cantiknya mengetik sebuah balasan untuk Seungcheol. 

Dikirim kepada: kak Seungcheol 

See you soon, kak! 

Saat pesan itu terkirim, Queen langsung menyimpan ponselnya dan kembali menatap bingung sang kakak. 

"Ada yang salah, kak?" tanya Queen. 

Daniel menghela panjang nafasnya, "sampai kapanpun kakak tidak akan membiarkan adik kakak dekat dengan orang yang salah." 

"Ingat ucapan kakak, Queen." sambung Daniel. 

Queen memutar matanya dengan malas. Tidak biasanya Daniel bertingkah seperti ini. Bahkan Daniel tidak pernah-pernahnya melarang Queen untuk melakukan apapun seperti sekarang ini. Ck, aneh. 

"Bahkan kakak sama sekali tidak memberikan alasan yang masuk akal kenapa aku harus jauhin kak Seungcheol," 

"You are so annoying, brat." 

"Alqueena!" 

Queen menarik selimutnya dengan cepat, lalu membaringkan tubuhnya. Kaki panjangnya ia hentakkan, mengisyaratkan agar Daniel cepat pergi dari ranjangnya. Daniel hanya bisa menggeleng, kemudian bangkit dan merapikan selimut yang dipakai sang adik agar menutupi tubuh Queen dengan baik. 

"Night, Queen." 

 

                                      OoO

 

Jihoon menjadikan tepi jendela kamar sebagai alas bagi tubuhnya untuk duduk disana. Senyum kecil namun sarat akan rasa sedih terukir jelas di wajahnya. Jihoon melirik jam yang sengaja ia pasang diatas headboard ranjangnya. 

"Jia," 

Suaranya terlalu lembut sehingga terdengar seperti sebuah bisikan. Namun, seseorang yang dipanggil 'Jia' yang ada diseberang sana tetap bisa mendengarkannya. 

"Jia, dengarkan aku." 

Jia disini, kak. Satu kalimat yang bisa Jihoon dengar itu mampu membuat hatinya seolah melemah. Jia, adiknya, hidupnya. 

"Kakak tidak akan membiarkan Jia sakit lebih lama. Kakak janji, sebentar lagi kakak pulang dan bawa Jia ke rumah sakit yang baik disini, ya sayang. Untuk sekarang, Jia harus nurut sama mama dan papa. Jia jangan makan makanan yang dilarang sama dokter disana, ok? Jia harus jaga tubuh Jia, jaga kesehatan Jia. Jia mau janji sama kakak?" tanya Jihoon. 

"Kakak jangan terlalu mikirin keadaan Jia, nanti kakak sakit." jawab Jia, adik Jihoon, di tempat yang jauh dari tempat Jihoon kali ini. 

Jihoon menghela nafasnya. Memberikan jeda setelah Jia membalas ucapannya. Jihoon tersenyum, walau ia tau Jia tak akan bisa melihat senyumnya saat ini. 

"Jia tau kalau kakak sayang Jia, 'kan?" tanya Jihoon. 

Jia tersenyum di atas ranjangnya, di seberang sana, tanpa Jihoon bisa melihatnya. 

"Tanpa Jia jawab kakak pasti tau jawaban Jia." 

Lagi, Jihoon tersenyum. 

"Selamat tidur, Jia. Sampaikan salam kakak untuk mama dan papa, ok?" 

"Iya, kak. Selamat tidur, kak Jihoon." 

Jihoon memutuskan sambungan teleponnya dengan sang adik, lalu turun dari tepi jendela dan menutup rapat jendela kamarnya. Jihoon merapatkan gorden kamarnya, lalu beranjak menuju ranjang dan bersiap untuk tidur. 

Jihoon berusaha untuk memejamkan matanya, namun bayang-bayang sang adik terus mengiang di kepalanya. Jihoon kembali membuka matanya, dan meraih ponselnya. Jihoon mencari kontak sang adik, lalu mengetik sebuah pesan yang sangat singkat. 

Jia, jangan lupa berdoa sebelum tidur. 

.
.
.
.
.

Chapternya ga banyak kok hehehehe. Btw, mau minta saran. Kira-kira kalian prefer pake bahasa yang eyd atau yang agak sok-asik-b-ajah kayak ada selipan 'kamu', 'nggak' bahasa sehari-hari gitu? Demi kebaikan chapter selanjutnya~ thanku!! 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet