Ketiga

I Don’t Mind the Pain

Suara-suara seperti dengungan yang lama-kelamaan terdengar seperti sebuah percakapan membuat Taehyung ingin berteriak agar mereka diam. Itupun, Taehyung tidak yakin kalau ia bisa sungguh berteriak dalam keadaan seperti ini. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan ia jadi merasa berada di ambang kematian. Makanya, ia masih tidak habis pikir kenapa orang-orang tidak bisa menutup mulut dan membiarkannya beristirahat dengan tenang.

Di tengah jeda percakapan itu, Taehyung mendengar suara mesin elektrokardiograf  yang dengan lemah menggambarkan kondisi jantungnya. Mesin itu seolah membuktikan kalau siapapun orang yang berada di dalam ruangan adalah sekumpulan idiot yang begitu tega tidak membiarkannya istirahat padahal kondisi jantungnya sangat amat lemah.

Awas saja kalau ia bangun nanti.

.

.

.

Jeonggok memainkan jarinya sambil menunggu dengan gelisah di luar ruangan. Segera setelah membawa tubuh Taehyung ke ruang kesehatan dan menjelaskan seadanya ke guru piket kesehatan, Jeongguk tidak bisa mengelak saat ambulan datang dan meminta siapapun yang bisa menjadi wali Taehyung untuk ikut ke dalam mobil. Jeongguk amat kesal. Ia kesal karena terus terlibat dengan pemuda ini membuatnya mendapat kesialan beruntun. Jika kemarin ia dilecehkan secara seksual olehnya, sekarang ia hampir menjadi tersangka dan bahkan terdakwa tunggal dari sebuah kasus pembunuhan. Lalu, apa besok? Oh God, betapa Jeongguk berharap kalau mulai besok ia bisa terlepas dari ikatan anehnya dengan Kim Taehyung.

Pergeseran jarum jam yang membuat bunyi klik lucu di arloji tuanya membuat Jeongguk menyadari kalau saat ini sudah pukul lima sore. Kalau insiden ini tidak terjadi, seharusnya Jeongguk sudah berada di dojang dan latihan taekwondo bersama kakak dan juga ayahnya. Ia bahkan tidak berani mengabari mereka soal ini. Apa yang akan dikatakan oleh ayahnya kalau ia tahu Jeongguk kembali membuat seseorang masuk ke rumah sakit? Jeongguk jadi mengutuk dirinya yang selalu berada di waktu dan tempat yang salah.

"Yah! Jeon! Apa yang kau lakukan?" Jeongguk melihat sesosok pemuda dengan seragam sekolah yang sama dengannya, lari tergesa dengan membawa dua tas ransel. Setelah laki-laki itu mendekat, Jeongguk bisa membaca nama pada tanda nama di dadanya; Park Jimin. Meskipun begitu, Jeongguk tidak bisa mengenalinya. Lagipula, selain guru atau teman sekelasnya, Jeongguk memang tidak mengenali siapapun.

"Apa kau harus melakukan balas dendam sampai begitu kejamnya?" Lagi-lagi Jeongguk tidak mengerti kenapa setiap orang selalu menyalahkannya seperti ini. "Kau keterlaluan, Jeon! Kim Taehyung memang salah kemarin, tapi tidak seharusnya kau menghajar dia sampai babak belur dan masuk unit gawat darurat seperti ini," lelaki itu masih meracau dan Jeongguk semakin tidak terima. Menghajar? Babak belur? Gila. Dia bahkan orang yang menyelamatkan laki-laki bernama Kim Taehyung itu dari potensi gagal jantung, dasar sial.

Tapi, tanpa diketahui oleh Park Jimin, Jeon Jeongguk memiliki kemampuan komunikasi yang buruk. Bukan tanpa alasan Jeon Jeongguk memilih untuk selalu sendiri. Bagi Jeon Jeongguk, menghindari konfrontasi adalah prinsip. Meskipun itu bertolak belakang dengan saat ia berada di atas matras pertandingan taekwondo atau ketika di dojang. Di kehidupan nyata, Jeon Jeongguk lebih suka mengalah dan menyerah. Makanya, ia tidak mau menghabiskan waktu untuk menjelaskan dan membersihkan nama baiknya. Selama itu bisa membuatnya terhindar dari masalah dan perkelahian, itu lebih baik.

Ya. Itu lebih baik.

"Yah! Kau pura-pura tidak mendengar?" Park Jimin masih tampak emosi ketika Jeongguk tampak tidak melawan. Tapi, Jimin yang akhirnya menyadari soal apa yang baru ia lakukan, akhirnya menutup mulut. Ia kemudian memilih untuk menjaga jarak dari Jeongguk, berjaga-jaga kalau yang lebih muda tiba-tiba mengamuk dan menghajarnya.

Tapi itu tidak lama, sampai dokter yang mengatasi Taehyung keluar.

"Keluarga dari Pasien Kim?" dan pertanyaan itu membuat Jeongguk dan Jimin yang awalnya saling menghindari mata masing-masing, kini saling bertukar tatap. Jimin akhirnya mengambil tindakan dengan mengatakan kalau keluarga Kim Taehyung akan segera datang. Dokter itu tersenyum dan mengatakan kalau Taehyung baik-baik saja walau kondisi jantungnya masih lemah. Tapi, dokter mengizinkan mereka untuk masuk.

"Kau. Kau tunggu di sini," kali ini Jimin memberanikan diri untuk membentak Jeongguk lagi. Entah setan apa yang merasuki Jimin tapi kali ini ia tidak bisa menoleransi perbuatan dan kekejaman Jeongguk. Ia tidak menunggu respon Jeongguk dan masuk ke ruangan itu. Di dalam ruangan, Jimin bisa melihat kondisi Taehyung tampak menyedihkan. Meski anehnya, ia tidak menemukan indikasi-indikasi penyiksaan di permukaan kulit Taehyung. Wajah Taehyung tampak bersih dari lebam atau ruam. Begitupun tangan dan kakinya, tidak ada gips yang menandakan tulangnya patah atau retak. Well, keadaan itu membuat Jimin mengambil simpulan kalau mungkin, Jeon Jeongguk melakukan serangan langsung ke ulu hati atau mungkin jantung.

Ya, itu pasti serangan ke jantung karena Jimin bisa melihat sambungan-sambungan kabel yang menyambungkan tubuh Taehyung ke alat yang menurut buku pelajaran biologi yang ia pelajari bernama elektrokardiograf. Melihat nafas Taehyung yang kembang kempis dengan amat pelan, Jimin jadi sedikit menyesal karena membiarkan sahabat barunya itu pergi ke atap sendiri. Walaupun ia mengatakan kalau dirinya tidak mau terlibat, Jimin sungguh tidak bermaksud untuk membiarkan kawannya nyaris mati seperti ini.

Jimin baru saja akan menangis saat ia melihat seseorang yang begitu tampan dan tinggi tiba-tiba masuk ke ruangan. Jimin baru saja akan mengusir laki-laki yang tampak seperti model runway tersasar itu saat ia dengan cemas menanyakan "Apa Kim Taehyung baik-baik saja?" yang membuat Jimin jadi gugup menjawab "ya." Ada kelegaan yang terpancar dari wajah tampan itu saat melihat Taehyung tampak (seperti) baik-baik saja.

"Sudah kubilang seharusnya ia berhati-hati. Sudah kubilang berkali-kali kalau tubuhnya itu tidak bisa diforsir seperti orang biasa, dasar Kim Taehyung sialan," pemuda tampan itu akhirnya duduk di salah satu sofa. Tampak dari dandanannya, ia sepertinya tergesa-gesa datang kemari. Terbukti dengan apron bertuliskan 'Eat with Jin' yang sepertinya adalah nama sebuah rumah makan yang sekarang sedang hangat dibicarakan oleh para siswi di kelas. Dan itu membuat Jimin ingat soal omongan Taehyung yang menerangkan kalau di Busan, ia tinggal dengan sepupunya yang adalah pemilik restoran.

Seperti menyadari tatapan Jimin, laki-laki itu mengubah ekspresinya yang awalnya cemas, kesal, kini menjadi ramah. "Hai! Aku sepupu Taehyung, Kim Seokjin," katanya dengan nada suara yang begitu berbeda dengan sebelumnya. "Ah, sa-saya Park Jimin," Jimin dengan formal menunduk kepada pria yang tampak lebih tua beberapa tahun itu.

"Akh, tidak perlu formal begitu. Anak sekolah sekarang memang sopan ya, temanmu di depan bahkan sampai berlutut minta maaf padahal ini jelas kecerobohan si bodoh Taehyung sendiri," katanya panjang lebar. Mungkin memang sama-sama memiliki darah Kim, akhirnya yang membuat kedua sepupu ini sangat cerewet.

Tunggu.

Jeon Jeongguk berlutut?

Ah, Jimin pasti salah dengar.

"Maksudnya?" Jimin akhirnya menyuarakan pikirannya dengan bingung. Dan Seokjin membalasnya dengan tertawa. "Sepupu bodohku ini memang lemah jantung. Tadi sebelumnya, kawanmu sudah menjelaskan kalau Taehyung terkejut saat melihatnya di atap dan mendadak mengalami serangan jantung,"

Terlalu banyak informasi yang mengejutkan ini membuat Jimin jadi sangat bingung. Tapi, yang tersulit dari semuanya adalah untuk menerima kalau Jeon Jeongguk bukan pelaku yang menyebabkan Taehyung kehilangan kesadaran seperti ini. Mustahil.

"Ah ya, siapa tadi nama temanmu yang di luar? Dia langsung pulang bahkan aku belum sempat berterima kasih. Ia bahkan sudah mengambil keputusan yang tepat dengan memberikan Taetae nafas buatan tepat pada waktunya,.......blablabla,"

Jimin mengabaikan sisa kalimat majemuk bertingkat yang diucapkan Kim Seokjin karena pikirannya sibuk menyaring dan mengolah informasi soal: Jeon Jeongguk memberikan nafas buatan.

Jeon Jeongguk, si orang yang paling ditakuti nomor satu, si anak kelas 1 yang membuat anak kelas 3 masuk rumah sakit karena patah tulang dan dirawat seminggu itu, baru saja memberikan nafas buatan kepada Kim Taehyung?

Ini benar-benar tidak masuk akal.

.

.

Jeongguk melangkah dengan ekstra hati-hati melewati koridor rumah menuju kamarnya. Rumahnya memang bergaya tradisional karena selain menjadi pemilik dojang, keluarganya memang penganut kental tradisi leluhur yang menjadikan keluarga Jeon cukup terpandang. Mengingat itu, rasa bersalah Jeongguk karena sekali lagi telah membuat masalah (yang cukup) besar kembali menghantui. Mempunyai ayah seorang dojoo-nim yang dibesarkan dengan cara militer, oleh generasi sebelumnya, membuatnya ikut dididik dengan keras dan itulah kenapa Jeongguk merasa ada batas yang tidak mungkin ia lewati dengan ayahnya.

"Yah! Pencuri!" Sebuah tendangan membuat Jeongguk tersungkur ke atas lantai dengan wajah yang langsung membentur kerasnya kayu. "Aish, hyung! Kau kan tahu kalau ini aku! Lagipula, kenapa kau selalu menggunakan kekerasan di luar dojang! Kuadukan pada ayah!" rengek Jeongguk.

"Oh, serius? Yakin mau mengadu? Kudengar, ada yang baru saja membuat temannya masuk rumah sakit?" Seringai menyebalkan sang kakak membuat Jeongguk harus menahan diri untuk tidak menghajar wajah menjengkelkan itu dengan i dan dwi chagi yang dikombinasikan dengan twio dwi horigi supaya seringai itu tidak muncul lagi sampai setidaknya ia selesai operasi plastik karena Jeongguk bisa menjamin kalau kekuatan tendangannya bisa menghancurkan mukanya dalam sekali serangan.

"Aish, hyung, jangan," tapi alih-alih menendang, Jeongguk malah memeluk kaki kakaknya meminta belas kasihan. "Jijik, pergi kau, yah, lepas!" bahkan setelah kakak sialannya terus meronta, Jeongguk terus menempel seperti koala sampai ia tidak lagi mendapatkan penolakan.

"Oke baik. Aku tidak akan mengatakan ini pada ayah. Yah! Jeongguk lepas! Kau bahkan lebih menakutkan kalau seperti ini daripada saat berada di dojang dengan jurus mematikanmu, kau tahu?" dan mendengar kakaknya menyanggupi untuk tidak mengatakan ini pada ayahnya, Jeongguk melepaskan diri.

"Yah, kubilang lepas bukan berarti kau bisa pergi. Kau masih berhutang penjelasan!"

.

.

.

"Astaga, kalian berisik sekali," adalah kata-kata pertama yang terucap oleh Kim Taehyung begitu matanya berhasil terbuka. Kedua orang tidak pengertian yang berada di ruang rumah sakit itu akhirnya menghentikan percakapan mereka yang berjalan jauh hingga membahas berbagai hal tidak penting yang mau tidak mau harus Taehyung dengar selama ia tidak sadarkan diri.

"Kalau mau pacaran pergi sana, aku jadi tidak bisa istirahat, Ya Tuhan," Taehyung mengomel bahkan dengan keadaannya yang masih sekarat. "Kau tahu? Ternyata temanmu ini juga suka nasi butter! Sudah kubilang seharusnya itu jadi menu andalan di restoran kita!" dan terkadang, Taehyung jadi berpikir soal apakah sepupunya itu bersedia merawat Taehyung dengan tulus atau hanya karena kedua orang tuanya memberikan uang dengan jumlah banyak. Taehyung bahkan tidak melihat raut kecemasan di wajah sepupu tampannya itu.

"Hyung kalau mau bahas restoran pulang saja, aku lebih baik sendiri dengan damai di sini," erang Taehyung

"Yah! Kau tidak bisa menghargai orang? Kau tidak melihat aku bahkan tidak sempat membuka apron saat mendengar kau jantungan di sekolah?" Jin tidak bisa menahan diri untuk mencubit pipi Taehyung yang tampak menggemaskan. "Aish! Dokter! Dokter!" Taehyung meronta merengek seraya meminta tolong agar terlepas dari serbuan cubitan Jin.

Dan ketika itu pandangan Taehyung bertemu dengan Jimin. "Ah, Jim, beginilah aku diperlakukan di keluargaku, mendapat siksa setiap hari" canda Taehyung membuat Jimin tertawa karena kawannya itu memang cocok menjadi aktor drama murahan dengan sikapnya yang berlebihan.

"Omong-omong, tadi kau yang membawaku ke sini?" pertanyaan itu membuat Jimin menggeleng. "Eh? Lalu siapa? Tidak mungkin Jin hyung kan?" dan kali ini Jin yang menggeleng sebelum menerangkan kalau "Jeon Jeongguk yang membawamu ke sini. Ia bahkan memberimu nafas buatan," dan mendengar itu, rasanya Taehyung akan segera mendapatkan serangan jantung susulan.

.

.

.

Jeongguk kesal dan merasa menjadi seperti orang bodoh saat mendapatkan tatapan aneh dari semua orang yang ia temui di rumah sakit itu. Ia jadi kesal karena semuanya tampak memandang ke arah buket bunga lili putih yang ia bawa. Memangnya seaneh itu membawa buker bunga ke orang sakit? Dasar sialan. Kan tidak mungkin ia membawa sekotak coklat atau sekardus pizza?

Tapi, yang paling membuat Jeongguk kesal adalah ancaman kakaknya yang memaksanya untuk bertanggung jawab sampai Kim Taehyung keluar dari rumah sakit. Baiklah, kemarin Jeongguk sudah membicarakan soal biaya rumah sakit dan ternyata sepupunya yang bernama Kim Seokjin mengatakan kalau Jeongguk tidak perlu repot untuk berkontribusi membayar biaya rumah sakit Taehyung. Masalahnya, bahkan setelah kakaknya mengetahui seluruh ceritanya (Jeongguk tentu saja tidak menyertakan soal peremasan itu karena itu memalukan), kakaknya tetap memaksa Jeongguk untuk bertanggung jawab, entah bagaimana caranya.

Hingga pada akhirnya yang bisa Jeongguk lakukan adalah secara berkala menjenguk Taehyung untuk kemudian dilaporkan pada kakaknya. Dan inilah akhirnya yang membuat Jeongguk menyeret langkahnya hingga berada di depan pintu tuang VIP rumah sakit swasta terbaik se-Busan. Jeongguk jadi berterima kasih pada sepupu Taehyung yang baik hati karena bersedia membebaskan Jeongguk dari biaya rumah sakit karena tidak mungkin Jeongguk meminta uang ke orang tuanya untuk menebus ini  kalau ia ingin hidup selamat.

Jeongguk sempat merenung cukup lama untuk mengetuk pintu ke ruangan Taehyung sampai seorang perawat keluar dan mempersilahkannya masuk. Kim Taehyung yang terbaring sendiri tampak tidak begitu peduli karena fokusnya masih ke televisi yang menyiarkan dokumenter tentang paus.

"Hyung, kubilang bawakan aku pizza. Aku bosan dengan makanan rumah sakit yang hambar, bagaimana aku bisa sembuh? Itu bahkan lebih payah daripada masakanmu," dan mendengar tidak ada respon kata-kata mematikan dari Seokjin-hyung-nya, Kim Taehyung menoleh ke sosok yang membuatnya hampir terkena serangan jantung susulan kedua. God. Apa yang dilakukan Jeon Jeongguk di sini sekarang?

"Hei," kata Jeongguk pelan. Ia sendiri mengutuk dirinya yang malah bersikap (sok) ramah padahal dari segala kronologis yang ada dari kisah ini, jelas kalau yang paling dirugikan adalah dirinya. Sudah diremas dan diambil keperkasaannya di hari pertama, ia juga terpaksa menyerahkan ciuman pertamanya di hari kedua. Jeongguk tidak tahu apa lagi yang harus ia serahkan padanya di hari ini dan selanjutnya sejak  Kim Taehyung merusak keseimbangan hidupnya.

"Uh-hei," Taehyung menunduk dan Jeongguk bisa merasakan kegugupan yang serupa dari kakak kelasnya itu. Jeongguk bahkan bisa melihat grafik debar jantung Taehyung meningkat yang membuatnya ikut panik.

"De-debar jantungmu meningkat. Mau kupanggil dokter?" dan entah kenapa, Kim Taehyung malah merona dan ia menutup wajahnya dengan bantal sambil mengguman "tidak perlu, ini hal yang wajar, bodoh," yang tidak Jeongguk mengerti letak wajarnya di mana. Well, lagipula, bukan Jeongguk yang punya kelainan jantung jadi Jeongguk tidak terlalu mempedulikan inkonsistensi pernyataan Taehyung.

Hening berapa lama sampai Taehyung memberanikan diri menatap Jeongguk.

"Kau membawa lili? Sungguh?" kesadaran itu membuat Jeongguk yang kali ini tersipu. "Well, aku tidak tahu apa yang harus dibawa saat menjenguk seseorang dengan penyakit jantung," jawab Jeonggguk.

"Tapi, lili putih?" Taehyung masih menatap Jeongguk dengan mata membola yang baru Jeongguk sadari kalau kedua bola mata Taehyung berwarna karamel manis dan-tunggu, apa Jeongguk baru berpikir kalau Kim Taehyung itu manis?

"Kau benar-benar berharap aku mati, ya?" gumaman Taehyung membuat Jeongguk tersentak. Ia jadi mengerti alasan dari tatapan aneh yang ia dapat dari orang-orang di rumah sakit. Lili putih, bisa berarti kematian.

"A-aku tidak bermaksud...Ya Tuhan, maaf, aku tidak tahu. Aish. Ini bodoh. Aku pulang saja," dan melihat Jeongguk tampak malu, ditambah wajahnya yang merah parah, membuat Taehyung jadi kikuk dan ia berusaha untuk menghentikan Jeongguk.

"Tunggu! Jeon! ADUH!" dan Taehyung mengerang karena pergerakannya yang tiba-tiba membuat rasa sakit di dadanya  kembali. Jeongguk yang panik akhirnya segera mendekat ke arah Taehyung.

"Se-sesak," dan ketika itu Jeongguk tidak berpikir panjang saat melekatkan bibirnya kembali ke bibir Taehyung, mencoba mengembalikan nafas Taehyung lewat mulutnya. Tanpa Jeongguk sadari kalau nafas buatan tidak perlu dilakukan saat itu.

.

.

.

Jimin membaca  sederet pesanan makanan tidak sehat yang masuk ke kotak pesannya. Kim Taehyung sialan itu sengaja membuatnya menjadi kriminal dengan memintanya menjadi penyelundup makanan ber-MSG ke dalam rumah sakit dan Jimin tidak bisa mengerti lagi dengan jalan pikiran Taehyung. Tapi, Jimin tidak akan menurut. Ia tidak mau mengambil resiko kalau-kalau kawan bodohnya itu mengalami gagal jantung dan ia jatuh sebagai tersangka kedua (setelah Jeon Jeongguk). Tidak. Park Jimin menyayangi masa depannya dan ia memutuskan untuk tidak memenuhi keinginan Taehyung. Alih-alih, Jimin membawa buah-buahan dan sayur tradisional yang menurut Google dan Naver, sangat ampuh menyembuhkan penyakit jantung. Park Jimin bahkan sengaja mengumpulkan sisa kulit manggis yang katanya sangat berkhasiat itu.

Jimin baru akan melaju dengan motornya saat ia mendapat telepon dari Seokjin hyung yang memintanya untuk mampir ke restorannya. "Iya, baik hyung," jawab Jimin sopan. Ini seperti idiom sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui karena selain ia menolong Kim Taehyung ke arah kesembuhan, ia juga bisa sekaligus berkesempatan mendekati Kim Seokjin yang teramat tampan itu.

Perjalanan menuju restoran Kim cukup panjang dan berliku karena letaknya di perbatasan distrik, tapi, Jimin melakukannya dengan ikhlas asal itu berarti ia bisa bertemu kembali dengan Kim Seokjin, sekaligus mendapatkan santapan gratis darinya. Jimin tersenyum saat melihat Seokjin dengan beberapa box makanan yang ia siapkan untuk dibawa ke rumah sakit.

"Aih, Jimin, maaf merepotkan. Aku sengaja membuatkan ini untuk kalian karena aku tidak bisa menemani Taehyung sampai malam nanti," terangnya seraya menaruh box makanan itu dan memasangnya di jok motor Jimin. "Jangan pernah memberikan makanan itu sedikitpun pada Kim Taehyung, oke?" dan penjelasan itu membuat Jimin mengernyitkan dahi karena porsi itu terlalu banyak kalau hanya untuk dirinya. "Lalu itu untuk siapa hyung?"

"Ah, tadi Jeon Jeongguk mengabari kalau ia akan datang menjenguk. Nanti, berikan juga padanya, ya?" dan akhirnya Jimin kecewa karena menyadari kalau Kim Seokjin juga memberikan makanan yang sama kepada Jeon Jeongguk. Rasanya, Jimin ingin mampir ke toko obat dan meracuni masakan untuk Jeon Jeongguk.

.

.

.

Dan sesampainya di rumah sakit, Park Jimin menyesal karena tidak melakukan hal itu. Ia sungguh menyesal tidak meracuni makanan  Jeon Jeongguk saat ia melihat bagaimana Jeon Jeongguk sedang mencium Kim Taehyung yang tampak megap-megap tidak berdaya. Ya Tuhan. Entah apa dosa Park Jimin di kehidupan sebelumnya karena harus menyaksikan dua laki-laki berciuman seperti itu.

"Hngg-mph," adalah bunyi mendesah mengerikan yang terdengar di telinga Park Jimin yang perlahan memerah karena sudah mendengar suara dosa itu. Jimin baru akan pergi meninggalkan pasangan (mesra) itu saat ia menyadari ada yang janggal dari adegan ciuman itu. Menurut novel yang ia baca, seharusnya, debaran jantung seseorang yang berciuman akan menguat dan bahkan saking kencangnya, suaranya akan terdengar seperti tabuhan genderang perang. Tapi, nyatanya, dari mesin yang memampangkan grafik pergerakan jantung Kim Taehyung justru sebaliknya. Semakin lama, debaran itu malah melemah.

Maka, dengan segera, Jimin dengan heroik (dan dengan segala sisa keberaniannya) menarik kerah kemeja Jeon Jeongguk sampai tautan bibir keduanya terlepas. Saat itu, Taehyung tidak bisa mengatakan apapun dan ia hanya menarik nafas dengan susah payah. Jeon Jeongguk yang panik baru saja hendak menempelkan bibirnya kembali saat kuasa Park Jimin menahannya.

"Apa yang kau lakukan? Dia bisa mati!" kata-kata Jeongguk membuat Jimin membalas dengan perkataan yang sama. "Kau yang melakukan apa! Dia bisa mati, bodoh!"

"Aku memberikannya nafas buatan," dan jawaban Jeongguk membuat Jimin ingin memukul adik kelasnya yang terkenal buas ini atas kebodohannya yang hampir saja mencelakakan Kim Taehyung untuk kedua kalinya.

"Ugh...se-sak," dan erangan Taehyung kembali. Jimin yang panik akhirnya memperingatkan Jeongguk untuk diam dan tidak melakukan apapun saat Jimin berusaha memanggil perawat lewat penghubung darurat.

Saat Jimin sibuk mencoba menghubungi perawat, Jeongguk yang panik berusaha membuat Taehyung  tenang dan tanpa sadar ia membiarkan tangannya digenggam oleh Taehyung. Telapak tangan Taehyung terasa begitu dingin dan juga lembap oleh keringat. "Hyung, tarik nafas, hyung," gumam Jeongguk pelan sambil terus membiarkan Taehyung menggenggamnya erat.

Tidak lama sampai perawat datang dan Jeongguk tidak bisa memperhatikan bagaimana Taehyung ditangani karena ia sibuk memberikan support kepada kakak kelasnya yang baru ia kenal selama tiga hari itu. Ia sendiri merasa cukup aneh karena ia bisa membiarkan orang yang tidak ia kenal untuk menggenggam tangannya. Mungkin karena rasa bersalah, tapi rasa bersalah seharusnya tidak senyaman ini. 

"Sudah, Pasien Kim bisa beristirahat," jelas perawat beberapa saat kemudian. Perawat itu dengan ramah tersenyum kepada Jeongguk. Barulah saat Jeongguk akan melepaskan genggaman Taehyung ketika ia merasa kalau sepertinya, tanpa sadar Taehyung tidak ingin melepaskannya.

"A-anu, ini bagaimana?" Jeongguk menunjuk ke arah tangan kanannya yang masih digenggam oleh Taehyung. Alih-alih memberi solusi, senyum perawat itu tampak melebar. "Aih, imutnya. Pacar Anda sepertinya tidak ingin melepaskan Anda," pernyataan itu membuat Jeongguk ingin berteriak dan membanting paksa tangan Taehyung. Ia juga sangat ingin memberikan perawat bermulut asal itu serangan Je Chin Joomok Dang Kyo Teok Jireugi alias upercut. Tapi, mengingat ia sudah cukup banyak menimbulkan masalah, Jeongguk kembali menahan diri. Lagipula, pada kenyataannya, Jeongguk adalah orang yang menghindari konfrontasi makanya ia membiarkan perawat itu pergi tanpa banyak protes.

Yang Jeongguk lupa adalah, kalau di ruangan itu masih ada Park Jimin. Betapa Jeongguk menyesal tidak meminta perawat itu melepaskan genggaman tangan Taehyung karena saat itu, tatapan Jimin begitu terfokus kepada tangan mereka yang terjalin seperti kekasih pada umumnya.

"Jangan. Jangan katakan apapun," kata Jeongguk sambil menahan malu dan memalingkan mukanya dari tatapan Jimin. Jimin yang sudah siap dengan godaan jahil akhirnya mengangkat tangan tanda menyerah dan memberikan isyarat mengunci mulut. Akhirnya, Jeongguk bisa bernafas lega dan merebahkan dirinya ke kursi di samping kasur Taehyung sambil membiarkan kedua tangan mereka terjalin.

Jeongguk sebenarnya bisa saja melepaskan paksa. Toh ini hanya sebuah genggaman. Tapi, ia tidak melakukan itu. Jangan tanyakan kenapa karena ia tidak mau berpikir untuk saat ini. Ia hanya ingin menikmati dinginnya tangan Taehyung yang membuat suhu di telapak tangannya terasa seimbang.

Dan mungkin, Jeongguk bisa menjawab kalau ada yang bertanya: apa yang dicuri dari Taehyung di hari ketiga mereka bertemu?

Kewarasannya.

.

.

.

[tbc]

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet