Chapter 01

TEARS

Sebuah kanvas sudah separuh terisi lukisan pemandangan langit malam dengan. Langit dengan pendar bintang yang seolah nyata. Moon Junhwi, yang melukisnya, duduk di depan kanvas sembari memikirkan apa yang harus ia tambahkan agar pemandangan langit malam itu tidak terkesan lengang. Ditambahkannya lagi satu bintang besar dengan pendar lebih cerah.

 

Terlalu berkonsentrasi dengan lukisannya, Jun tak menyadari seseorang mengendap-endap kemudian menutup matanya dari belakang. Jun tercekat.

 

“Tebak ini siapa?”

 

Bibir Jun melengkungkan senyum, “Sofia, jangan main-main.” Ia membalikkan tubuh ke arah Sofia.

 

Gadis yang dipanggil Sofia itu mengerucutkan bibir, menyilangkan tangan di depan dada, “Kau tidak seru, Jun! Aku kan ingin mengejutkanmu.”

 

“Bagaimana bisa mengejutkanku. Aku sudah hafal suaramu, Sofia.”

 

“Uh. Sudahlah. Kau gegabah sekali! Masa tidak mengunci pintu apartemen? Dan lukisan untuk siapa ini?” Sofia menunjuk kanvas di hadapannya.

 

Jun gelagapan, tak dapat menjawab pertanyaan Sofia. Melihat sikap canggung Jun, Sofia tersenyum jahil.

 

“Jun-ssi, aku berteman denganmu sejak kecil. Aku tahu lukisan ini untuk siapa.”

 

Wajah Jun bersemu merah karena malu. Tak sadar ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Sudah, jangan katakan pada orang itu.”

 

Sofia terkekeh geli, “Hahaha, kau tidak sabar menunggu hari Sabtu ya? Aku juga tidak sabar melihat kakakku. Sudah lama kami tidak bertemu, apalagi kau.”

 

Ya. Sudah lama sekali Jun tidak bertemu Vernon, kakak Sofia sekaligus tunangannya. Kedengarannya memang konyol--Jun yang seorang laki-laki bertunangan dengan Vernon yang juga laki-laki. Tapi bagi keluarganya, hal itu tidak mustahil sebab mereka merasa dua keluarga itu harus disatukan dalam ikatan perkawinan.

 

Sedangkan bagi Jun sendiri, ia tidak masalah dengan pertunangannya dan Vernon. Hanya saja ada satu masalah : terakhir kali mereka bertemu adalah saat masih SD, sebelum Vernon sekolah di New York.

 

Ia menghela nafas panjang. Memikirkan kedatangan Vernon saja sudah membuat kepalanya pusing. Ia tidak tahu bagaimana reaksinya bila bertemu langsung dengan Vernon.

 

Sofia mengerti bahwa Jun lah yang paling berdebar menunggu kedatangan kakaknya itu. Sebab Jun hampir tidak pernah berkomunikasi dengan Vernon selama mereka terpisah benua. Bukannya ia tidak berusaha membantu komunikasi mereka, hanya saja Jun selalu tidak mau. Entah apa yang ada di pikirannya.

 

“Kau kemari sendirian?”

 

Sofia menggeleng, “Tidak. Seokmin mengantarku. Nanti ia akan menjemput kita setelah menyelesaikan urusannya.”

 

“Menjemput kita? Memangnya kita bertiga mau ke mana?”

 

“Makan malam rutin dengan keluargaku, Jun-ssi. Apa kau lupa?” Sofia mencubit kedua pipi Jun, membuatnya memekik kesakitan.

 

Keluarga Jun dan keluarga Vernon memang selalu mengadakan makan malam bersama tiap beberapa minggu sekali. Itu merupakan kegiatan wajib agar menjalin pertemanan keluarga mereka.

 

“Kalau begitu, biar kuganti pakaian--” Belum sampai Jun menyelesaikan ucapannya, seseorang memanggil namanya dan Sofia dari luar apartemen. Pasti Seokmin. Tunangan Sofia itu seakan tidak pernah kehabisan tenaga dan semangat.

 

Sofia berlari kecil membukakan pintu lantas menyambut tunangannya itu dengan pelukan. Jun tidak memedulikan mereka dan langsung menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap.

 

Mereka bertiga pergi bersama menuju rumah Sofia--rumah megah keluarga Chwe. Bagi Jun, rumah itu terasa seperti rumah keduanya. Ia sering sekali ke sana meski sekedar berkunjung atau menjemput Sofia.

 

Pelayan membukakan pintu untuk mereka bertiga, mempersilakan mereka masuk. Belum lama mereka berjalan, Nyonya Chwe, ibu Sofia, menyambut dan memeluk mereka bergantian. Beliau memeluk Jun paling lama.

 

“Sudah sebulan kau tidak kemari, Jun-ssi.

 

“Maaf Bibi. Aku sibuk dengan tugas kuliahku.”

 

Seokmin menyela, “Bibi, Jun terlalu rajin. Banyak sekali membantu kegiatan kampus.”

 

Nyonya Chwe mengangguk, “Ya, Bibi tahu kau sangat sibuk tapi setidak sesekali kau mampir untuk membantu Bibi menyiapkan pesta menyambut kedatangan Vernon kan?”

 

Mendengar nama Vernon disebut, lagi-lagi semburat merah muncul di pipi Jun. Seokmin dan Sofia terus menggodanya, menyenggol bahunya seperti anak kecil. Nyonya Chwe menahan tawa.

 

“Sudah, sudah… Lebih baik kita mulai makan malamnya.”

 

“Di mana Paman?” Seokmin menanyakan keberadaan Tuan Chwe.

 

“Paman lembur. Beliau meminta kita mulai makan malamnya saja.”

 

Ayah Sofia dan Vernon memang sering menghabiskan waktu di kantor dan mereka sudah terbiasa dengan hal itu. Diputuskan untuk memulai makan malam tanpa kehadiran Tuan Chwe.

 

Mereka lebih banyak menghabiskan waktu membicarakan Vernon dan Jun sama sekali tak berkomentar. Ia memilih untuk menikmati steak daging lezat buatan koki keluarga Chwe. Tapi Nyonya Chwe tak membiarkan keheningan meliputi Jun.

 

“Jun, kau ikut menjemput Vernon di bandara, kan?”

 

“Uhuk!” Ia tersedak potongan daging lalu ia bergegas meneguk air minumnya sebelum keadaannya jadi buruk, “Kurasa aku tidak bisa ikut, Bibi.”

 

“Ayolah, ikut saja. Lagipula kau tidak ada jadwal kuliah kan?”

 

“Ada--Ouch!”  Ia merasakan tendangan Sofia dan Seokmin di tulang kering kakinya.

 

Jun tak mampu membendung kerinduannya, tetapi ketakutan dan kekhawatiran kerap kali melanda perasaannya. Sebuah kekhawatiran tanpa dasar.

 

“Kita sama-sama ke bandara untuk menyambut Vernon. Kemudian kita makan siang. Bibi sudah memesan tempat di restoran.”

 

Melihat harapan di kedua mata Nyonya Chwe, Jun tak kuasa menolak. Meski berat hati, ia pun menganggukkan kepala.

 

***

 

Baju, cek.

 

Sepatu, cek.

 

Rambut, cek.

 

Penampilannya baik-baik saja, tidak terkesan berlebihan.

 

Perlukah ia membawa lukisan sebesar itu ke bandara? Tidak. Ia akan memberikannya nanti saja jika Vernon sudah kembali ke rumah.

 

Tak terasa, ia kini sudah berada di bandara bersama Sofia dan keluarganya, serta Seokmin. Jun menghirup nafas dalam-dalam. Ia harus rileks di hadapan Vernon atau ia akan bertindak bodoh.

 

Ia membayangkan seperti apa Vernon sekarang. Apakah banyak berubah? Apakah semakin tinggi? Apakah senyumnya yang secerah matahari itu masih ada? Sebab selama ini Jun mengetahui kabar dan foto Vernon melalui Sofia.

 

“Kau tidak apa-apa?” Suara Sofia membuyarkan lamunannya.

 

“Uhm, apa menurutmu aku baik-baik saja?”

 

Sofia terbahak-bahak, “Rileks, Jun! Kau hanya bertemu Vernon, kakakku. Kau tidak perlu bersikap seakan kau bertemu presiden Obama.”

 

Jun cemberut. Kemudian ia menunjuk papan nama yang dibawa Sofia, “Dan kau juga bersikap berlebihan. Mengapa harus membawa papan nama padahal kakakmu masih mengingat wajahmu?” sungutnya. Sofia menjulurkan lidah ke arahnya.

 

“Diam, Jun. Aku sedang berusaha terlihat keren seperti di drama-drama.”

 

“Kau terlihat seperti pemandu tur.”

 

“Jun-ssi!” tegurnya kesal.

 

Mereka berdua berdiri di barisan depan pintu penjemputan sedangkan Nyonya dan Tuan Chwe duduk di kursi tunggu ditemani Seokmin. Karena ada kemunduran jadwal pesawat Vernon, sehingga mereka sudah menunggu lebih dari dua jam.

 

Dari pengeras suara, akhirnya mereka mendengar pengumuman tentang pesawat yang ditumpangi Vernon datang. Dengan penuh semangat, Sofia mengangkat tinggi papan nama yang bertuliskan Vernon Hansol. Sedangkan tangan Jun berkeringat karena panik.

 

Seokmin datang mendekati mereka bersama Tuan dan Nyonya Chwe. Wajah-wajah mereka terlihat gembira menunggu kedatangan Vernon. Dalam hati Jun memang gembira namun kenyataannya ia menampakkan wajah datarnya itu. Tanpa ekspresi.

 

Satu persatu penumpang keluar melalui pintu tersebut dan sosok Vernon belum muncul juga. Debaran jantung Jun terasa seperti pukulan drum yang semakin lama semakin cepat. Ia melirik Sofia yang masih mengangkat tinggi papan nama Vernon. Hanya lengah sedetik saja, dari sudut mata Jun, ia menangkap sosok Vernon keluar dari pintu.

 

Nafasnya tertahan. Suara Sofia yang memanggil nama Vernon terdengar sangat jauh seolah mereka terpisah beberapa kilometer.

 

Chwe Vernon Hansol tersenyum manis ke arah mereka lalu ia berjalan mendekati Sofia yang segera melepaskan papan untuk merangkul kakaknya itu. Vernon banyak berubah. Dari segi fisik, ia bukanlah bocah ingusan yang memiliki senyum jahil itu. Vernon berpakaian mengikuti tren dan bahkan ketika Jun melirik sweater pudar yang dikenakannya, ia merasa kalah telak. Dan tentu saja Vernon tetap memesona. Hal itu tidak perlu diragukan lagi.

 

Vernon sibuk menyapa ayah ibunya, Sofia serta Seokmin. Jun tidak berani mendekat. Ia lebih baik mengamati dari jauh saja.

 

Sofia memberi kode agar Jun mendekati mereka. Jun menggeleng sekuat tenaga namun Sofia menggengam pergelangan tangannya dengan paksa.

 

Kini ia berdiri berhadapan dengan Vernon. Bulir keringat dingin jatuh di pelipisnya. Dalam hati ia mengucap mantera ‘jangan bertindak bodoh di depan Vernon’ berkali-kali.

 

Oppa, ini Jun. Kau masih ingat kan?” ujar Sofia pada Vernon.

 

Perhatian Vernon kini terpusat pada Jun. Pandangan tajam itu membuat Jun mengalihkan tatapannya dari Vernon.

 

“Jun?” ulang Vernon.

 

“Ya. Moon Junhwi.”

 

“Siapa?”

 

Sofia kesal, “Moon Junhwi. Masa kau tidak ingat sih?”

 

Kedua alis Vernon bertaut, menit demi menit terasa lebih lama dari seharusnya dan ketika kata itu terucap, dunia Jun runtuh.

 

“Tidak ingat.”

 

Rasanya Jun ingin ditelan bumi saja.

 

***

 

Tidak pernah terbersit sedikitpun bayangan bahwa Vernon akan kembali lagi ke Seoul dalam waktu dekat. Setidaknya ia berpikir ia akan berkarir di New York, bukan di Seoul. Apalagi pikiran bahwa ia kembali ke Seoul karena dipaksa pulang oleh kedua orangtuanya. Ya. Tidak ada hal yang lebih memalukan dari kepulangan yang dipaksakan. Tak bisa dipercaya, setelah sekian lama tinggal terpisah dengan orangtuanya, ia dipaksa kembali hanya karena nilainya turun.

 

Vernon sebenarnya kesal bukan main tetapi ia harus menyembunyikan kekesalannya di depan keluarganya. Ia tidak ingin dianggap sebagai anak yang tak tahu diri.

 

Kekesalannya semakin memuncak ketika kedatangannya ke Seoul disambut tidak hanya oleh keluarga intinya (tentu saja ia menganggap Seokmin bagian dari keluarga intinya), namun juga oleh seseorang yang tidak ia kenal.

 

Jujur saja, ia memiliki ingatan yang buruk bila berkaitan dengan wajah dan nama seseorang. Apalagi orang yang tidak dianggapnya penting.

 

Siapa pula itu Moon Junhwi?

 

Laki-laki bertubuh tinggi dengan wajah  tanpa ekspresi itu? Apa ia bodyguard yang disewa keluarganya? Entahlah.

 

Dan mengapa Sofia bersikap sangat akrab dengan Jun itu? Apa adik kembarnya itu tidak malu bersikap seperti di depan tunangannya, si Seokmin?

 

Entah sudah keberapa kali Vernon mendengus kesal, berusaha melampiaskan emosinya dengan menatap tajam laki-laki bernama Jun yang duduk tepat di depannya. Mereka sedang makan siang di restoran favorit ayah Vernon.

 

Jun tampaknya terintimidasi dengan tatapan Vernon, membuat Vernon puas sekali karena berhasil mengerjai Jun. Lelaki itu sama sekali tak berani menengadahkan kepala untuk melihat ke arahnya.

 

“Oh ya, Ayah sudah mengurus semua pendaftaran kuliahmu. Untung saja universitasmu di New York menggunakan sistem transfer nilai sehingga kau tidak perlu mengulang dari awal.”

 

Ingin rasanya Vernon menjawab : Seharusnya Ayah tak perlu memindahkanku kemari sehingga tidak repot mengurus nilai segala!

Namun Vernon menggigit lidah agar tidak kelepasan berbicara tidak sopan di depan Ayahnya. Alih-alih, ia hanya tersenyum, mengangguk dan mengucapkan terimakasih.

 

Ia bisa merasakan seseorang memandanginya dan ketika ia mengalihkan pandangan ke arah Jun, lelaki itu buru-buru menunduk.

 

Siapa sebenarnya lelaki itu? Berani-beraninya seorang bodyguard duduk semeja dengan keluarganya?

 

Ia menuliskan sesuatu di notes ponsel kemudian menunjukkan pada Sofia. Adik kembarnya itu menahan tawa membaca pesan yang ia tulis.

 

‘Siapa sebenarnya Moon Junhwi itu?’

 

“Astaga, kau ini bodoh sekali sih, Oppa. Ia tunanganmu!” desis Sofia sepelan mungkin, tak ingin didengar siapa-siapa.

 

“Oh… tunanganku.” Sedetik Vernon mencerna ucapan Sofia lalu ia menyadari keanehannya, “Hah? Apa? Tunangan?!”

 

Kali ini ia benar-benar tak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.

 

Oppa…” Sofia memandangnya bingung,”Kau lupa?”

 

Ayah-ibunya, Seokmin dan Jun juga tak kalah bingung. Terlebih lagi Jun--lelaki itu sepertinya tak hanya terkejut, namun juga kecewa.

 

Vernon tidak menyahut pertanyaan Sofia. Ya, tentu saja ia lupa! Pertunangan adalah hal penting dan Vernon sama sekali tidak bisa mengingat kapan ia bertunangan dan dengan siapa.

 

Dan mengapa harus dengan laki-laki?

 

Vernon menoleh ke arah ayah dan ibunya, “Apa benar laki-laki ini adalah tunanganku?” Ia menunjuk Jun yang terkesiap.

 

Ayahnya mengerutkan dahi, “Tentu saja benar. Kau lupa?”

 

Perasaannya kini campur aduk. Ia tidak bisa menerima kenyataan pahit tentang pertunangannya itu. Ia lalu teringat kekasihnya yang ada di New York dan kekesalannya memuncak.

 

Diletakkannya sumpit di atas meja, kemudian Vernon beranjak ke kamar mandi.

 

Ia butuh udara segar agar bisa berpikir jernih. Ia menyalakan kran wastafel dan mencuci muka, berharap setelah dibasuh air, ia akan terbangun dari mimpi.

 

Ternyata ia malah melihat sosok Jun dari pantulan cermin.

 

“Mau apa kau kemari?” tanya Vernon ketus.

 

Jun hanya diam berdiri di belakangnya.

 

“Kau tidak bisa bicara ya? Kutanya sekali lagi, mau apa kau kemari?”

 

Jun meraih beberapa lembar tisu lalu menyerahkannya pada Vernon, “Kau… tidak apa-apa?”

 

Vernon meraih tisunya dengan kasar, “Kau pikir aku akan senang setelah mengetahui tunanganku itu laki-laki?”

 

Jun tersenyum kecut, “Maaf.”

 

Vernon menghela nafas panjang. Kini ia berdiri menghadap Jun. Laki-laki itu lagi-lagi tidak berani menatapnya.

 

“Moon Junhwi,” Ia mengarahkan telunjuknya, “bila kau ingin kumaafkan, segera batalkan pertunangan konyol ini.”

 

“Tidak bisa,” sahut Jun. Perlahan ia memandang kedua manik mata Vernon. Giliran Vernon yang terkesiap. Pandangan Jun tajam dan seolah menantang, “Kalau kau ingin pertunangan ini batal, kau yang harus bicara pada ayahmu sebab aku tidak akan membatalkannya.”

 

Vernon tercekat.

 

Sial, umpatnya dalam hati.

 

“Dasar homo sialan!” Ia mendorong tubuh Jun lantas berlalu dari kamar mandi.

 

Ia tahu ucapannya sangat salah dan sangat homofobik, padahal ia tidak seperti itu. Tapi melihat tingkah Jun yang tak gentar, ia makin emosi.

 

***

 

Jun benar-benar tak habis pikir. Seorang Vernon yang selama ini dikaguminya ternyata sanggup berkata kejam seperti itu. Seandainya bukan Vernon, mungkin ia akan menendang wajah tampan lelaki itu.

 

Penjelasan dosennya jadi tidak ada yang masuk ke telinganya. Bahkan ia melupakan tugasnya. Otaknya hanya memikirkan Vernon, Vernon dan Vernon.

 

Kemarin keadaan begitu canggung setelah ia dan Vernon kembali dari toilet. Keluarga Vernon sempat membicarakan rencana kuliahnya yang diakhiri dengan satu keputusan yang mencengangkan--Vernon satu kampus dengannya.

 

Untung saja mereka berbeda fakultas. Bisa-bisa Jun kehilangan minat untuk belajar.

 

Kini ia menikmati waktu kosongnya di kantin bersama temannya sejak SMA, Minghwa. Ia dan Minghwa berbeda fakultas tapi tetap dekat hingga sekarang. Bisa dibilang Jun sangat sulit berteman akrab tapi dengan Minghwa ia bisa menjadi dirinya sendiri, tak perlu lagi berpura-pura.

 

Dari sudut matanya, ia mendapati Minghwa memelototinya sejak tadi.

 

“Kau memikirkan apa, Jun?”

 

Jun mengedikkan bahu, “Masalah.”

 

“Kau menyembunyikan sesuatu. Kau ada masalah dengan siapa?”

 

Ia menimbang-nimbang untuk menceritakan mengenai Vernon pada Minghwa, namun diurungkan niatnya. Belum saatnya Minghwa tahu.

 

“Bukan siapa-siapa. Nanti saja kuceritakan setelah emosiku membaik.”

 

Bibir Minghwa membulat, “Oh… ya sudah. Kau jangan terus bersedih. Memalukan sekali melihat wajahmu yang suram.”

 

Jun memutar bola mata, “Aku tidak suram, Minghwa.”

 

Minghwa tertawa, “Ya aku percaya. Kalau begitu, nanti sore kita jalan-jalan saja ke Game Arcade. Kita bersenang-senang! Setuju?” Belum sampai Jun mengiyakan, Minghwa sudah menjawabnya sendiri, “Oke kalau begitu kita pergi setelah perkuliahan.”

 

“Ta-tapi--” Jun teringat janjinya makan malam dengan keluarga Vernon. Mengingat keberadaan Vernon, Jun pun enggan, “Uhm, baiklah. Kita pergi ke Game Arcade nanti sore.”

 

“Nah! Itu baru keren.” Mereka ber-hi 5.

 

***

 

“WHOOOOO!!” Teriakan Minghwa membahana ketika ia berhasil mencetak skor dalam permainan lempar bola. Jun mencibir kesal. Sejak tadi ia kalah dari Minghwa meski sudah berusaha keras, “Hadiahnya akan kubagi. Tenang saja.”

 

“Aku kan tidak butuh hadiah.”

 

Minghwa menyenggol bahunya, “Kau tidak usah berbohong.”

 

Mereka saling mendorong tubuh masing-masing hingga terdengar suara seseorang berdehem di belakang mereka.

 

“Vernon?” Jun terkejut bukan main. Kenapa Vernon ada di sini?

 

“Ayah dan Ibu mencarimu.” ujarnya singkat.

 

Jun melirik ke arah Minghwa yang tampaknya ketakutan melihat wajah Vernon dan memutuskan untuk kabur meninggalkan Jun sendirian. Terkadang Minghwa memang tak bisa membaca situasi--ketika temannya membutuhkan bantuan, ia malah kabur.

 

“Uhm… aku sedang main bersama temanku. Sampaikan salamku pada Paman dan Bibi ya.”

 

“Temanmu sudah meninggalkanmu kan? Kalau begitu, ayo kita pulang.”

 

“Aku tidak ikut.”

 

“Kau keras kepala sekali sih?”

 

“Aku bisa pergi sendiri ke tempat Paman dan Bibi. Lagipula… bagaimana kau tahu aku di sini? Apa Sofia memberitahumu?”

 

“Itu tidak penting. Pokoknya, Ayah dan Ibu mau bertemu denganmu. Jadi ayo kita pulang.” Dengan paksa, ia menggenggam pergelangan tangan Jun lalu membawanya keluar Game Arcade.

 

Jun seharusnya bisa berusaha memberontak lebih keras dari ini tetapi sekali lagi, logikanya dikalahkan oleh perasaan dan ia memutuskan untuk pasrah saja.

 

 

 

 

 

Bersambung.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
summertriangle #1
Chapter 2: Duhh aku sukaaa.. konfliknya seruu!! Jd penasaran si Hui itu siapanya Jun.
Cepet update yaa thor. Fighting!!
KiwiPrincess #2
Chapter 2: Waaaa..aku suka ceritanya..terutama krna main cast nya my baby Jun..hohoho..ditunggu update an selanjutnya..semangat authornim \(°0°)/