Unexpected

Three Cheers for Seven Days

THREE CHEERS FOR SEVEN DAYS

Chapter 2

.

.

.

 

Gunung Semeru, Indonesia, 22 Oktober 2013.

            Hanbin menggosokkan tangannya yang terasa beku. Cuaca di kala itu cukup cerah tetapi sinar mentari pasrah mengalah dengan dinginnya udara yang menyelimuti kaki salah satu gunung yang terkenal dengan keindahan panoramanya di negeri batik ini—tempatnya dan rekan seperjuangannya singgah untuk sementara pada liburan semester kali ini sekaligus merayakan pesta perpisahan anak kelas tiga. Dia menengadahkan kepalanya, menatap langit penuh gumpalan awan yang menyerupai gulali kesukaan adik perempuan kesayangannya yang sekarang entah sedang apa di Korea.

            Suasana yang dingin namun tenang menenangkan baik itu jiwa maupun raga. Matanya yang tajam menatap satu persatu pohon pencakar langit yang menjulang tinggi seakan bangga dengan batang kayunya yang kokoh dan sudah lama menjadi saksi sejarah di kaki Gunung Semeru.  Hidungnya mencium wangi dari makanan instan yang sekarang tengah direbus oleh mereka yang tak dapat menahan protes dari perut masing-masing.  Cukup mengundang, memang, tapi kemalasan untuk bergerak dari tempatnya duduk saat ini membuatnya mengurungkan niatnya. Dia masih ingin menikmati kedamaian dari lingkungan alamiah di sekitarnya.

            Namun, menurut Goo Junhoe detik-detik yang terlewati dengan damai untuk Hanbin harus berhenti di saat itu juga.

            Hanbin yang sekarang tengah memfokuskan pandangannya pada belalang yang hinggap di kakinya terpaksa meloncat dari posisi duduknya karena merasakan sesuatu yang panas menyentuh pipinya.

            “Sialan! Apa-apaan ini, Junhoe?!”

            Junhoe menyeringai jahil, di tangannya terdapat cup bertuliskan ‘POP MIE INSTAN’ dengan segel yang sudah terbuka dan uap air yang menyeruak keluar karena panas air yang digunakan untuk merebus makanan keriting dan instan tersebut.  Dia berjongkok di samping Hanbin yang saat ini menatapnya dengan kesal walau tak lama karena Junhoe langsung menyodorkan cup itu kepadanya.

            “Makan. Sebentar lagi kita akan melanjutkan perjalanan. Aku tidak mau kau pingsan di tengah jalan—”ucapnya,”—Aku tidak mau repot-repot menggendongmu karena kudengar berat badanmu naik tiga kilo.”

            Hanbin menatap Junhoe dengan tatapan tak percaya namun ia tetap menerima cup itu dan membuka penutupnya,”justru kalau berat badanku naik itu adalah kabar bagus! Memangnya kau tidak melihat betapa kurusnya tubuhku beberapa minggu yang lalu? Bahkan banyak yang bilang kalau aku mengidap malnutrisi. Lagipula apa pedulimu?

            “Tentu saja aku peduli,”balas Junhoe tanpa banyak berpikir. Hanbin hanya menatapnya dengan sebelah alis terangkat kemudian mengendikkan bahunya. Dia tidak tertarik untuk bertanya lebih lanjut, malah dia lebih tertarik untuk memakan mie instan yang ada di tangannya kini. Baunya menggoda sekali, hmm…

            Hening kembali menyelimuti, Junhoe dan Hanbin duduk berdampingan dalam diam. Hanya suara ‘slrrp’ terdengar dari mulut Hanbin yang tengah menyantap makanannya. Tanpa disadari, detik-detik damai itu datang kembali dan fokus pemuda lapar itu segera teralih ke pemandangan alam yang berbeda dari tempat tinggal asalnya tersebut.  Sambil mengunyah makanannya, kedua mata Hanbin mengikuti gerakan rumput yang bergoyang pelan dihembus angin sepoi-sepoi. Kali ini pikirannya kembali melayang entah kemana.

            “Fokusmu mudah teralih, ya, kalau di tempat seperti ini,” celetukan Junhoe memecah keheningan dan membuat Hanbin menoleh. Junhoe menatap wajah seniornya itu dengan senyuman kecil yang tak kian lepas dari wajahnya sejak tadi dia menghampiri Hanbin. Yang diajak bicara hanya menatapnya dengan sebelah alis kembali terangkat.

            “Benarkah? Hm, mungkin ini pengaruh alam,” kata Hanbin lalu kembali menyantap makanannya. Junhoe tertawa sambil menggelengkan kepalanya, dirinya sudah tahu benar bagaimana sifat pemuda di sampingnya itu yang kadang sulit untuk mengutarakan perasaannya dengan jujur.

            “Junhoe.”

            “Apa?”

            Hanbin menaruh cup nya yang sudah setengah kosong dan menatap lurus ke depan. Garis wajahnya menunjukkan suatu keseriusan yang Junhoe yakini bahwa itu adalah tanda-tanda Hanbin akan mengatakan sesuatu yang penting.

Dan memang benar adanya.

Itu sangatlah penting bagi Hanbin.

“...Aku akan mengutarakan perasaanku di puncak gunung nanti.”

Kediaman Keluarga Kim, waktu sekarang.

Hanbin paham benar dengan konsep peluang.

Peluang dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian dari suatu percobaan terhingga. Kemungkinan terjadinya suatu kejadian sebagai hasil dari suatu percobaan dinilai dengan menggunakan sekumpulan bilangan real antara 0 dan 1. Untuk kejadian yang memiliki kemungkinan teramat kecil bisa diberi nilai 0, sedangkan untuk kejadian dengan kemungkinan besar diberi nilai 1.

Peluang suatu kejadian bernilai 0 disebut suatu kemustahilan.

Dan Hanbin sangatlah yakin bahwa peluang bertemunya dirinya dengan seseorang yang meninggalkan bekas luka di hatinya di masa lalu juga termasuk dalam kemustahilan.

Namun, betapa salahnya keyakinan itu karena sekarang orang yang telah ia jauhi selama tiga tahun ini  tengah berdiri di depan pagar rumahnya. Utuh tanpa kekurangan satu apapun. Berbalas tatap dalam hening.

Tidak mungkin.

Detik-detik itu seakan berjalan begitu lambat. Hanbin hanya bisa menatap pemuda jangkung di hadapannya tanpa berkata-kata. Lidahnya mengerut kelu. Jantungnya seakan telah berhenti berdetak dan bahkan secara tiba-tiba dia tidak bisa merasakan apa-apa.

Numb.

Junhoe hanya berdiri disana, seakan menunggu suatu reaksi dari dirinya. Hanbin menelan ludahnya, ia membungkukkan kepalanya dan mengeratkan pegangannya pada gagang pintu rumahnya. Ingatan-ingatan yang tidak ingin ia ingat mulai kembali menghantam dirinya tanpa ampun.

"Hanbin, aku mencintaimu,"

"Pulanglah,"

Hanbin menengadahkan kepalanya dan sekarang tatapannya berubah datar namun menusuk. Entah darimana dia mendapatkan kembali suaranya namun sesuatu dari ingatannya menumbuhkan keberaniannya untuk berkata-kata. Junhoe membalas tatapannya dengan level kedataran yang sama, bahkan lebih intens dari apa yang Hanbin lakukan. Namun, hal ini tidak membuat Hanbin mundur dari pendiriannya.

"Tidak mau," ucap Junhoe segera. Hanbin mengernyitkan dahinya.

"Pulang," ulang Hanbin tegas,"aku tidak perlu bantuanmu. Pulanglah."

Junhoe menghela nafasnya, suhu yang dingin membuatnya menghembuskan asap oksigen dari mulutnya. Hanbin menatapnya lurus, menunggunya untuk berbalik dan pergi.

.....tapi apa yang dilakukannya selanjutnya benar-benar mengejutkan Hanbin.

Pemuda jangkung itu berjalan mundur sebelum menerjang pagar rumahnya dan memanjatnya dengan lihai lalu melompatinya.

Hanbin syok.

Refleks ia menarik gagang pintu untuk menutupnya saat dirinya melihat Junhoe berjalan gesit ke arah pintunya. Hanbin seharusnya tidak menantang kegesitan Junhoe karena sebelum pintu tertutup, sebuah kaki sudah menelusup masuk dan mengganjal pintunya yang nyaris tertutup.

"Apa-apaan kau, Junhoe?!" Seru Hanbin di tengah kepanikannya. Sekarang mereka saling mendorong pintu dengan keras kepala dan jelas sekali kedua belah pihak tidak mau mengalah.

"Aku tidak akan pulang sebelum kau membiarkanku masuk!"

 Sahut Junhoe dari balik pintu disertai dengan ringisan karena kakinya menjadi korban di bawah sana. Terhimpit antara dua tekanan keras yang tidak mau mundur.

"Aku akan teriak ‘maling’ kalau kau tetap bersikeras seperti ini!" Hanbin berteriak putus asa. Berkali-kali ia mencoba membanting pintu tapi kaki sialan itu menghalanginya. Akhirnya dia mengangkat satu kakinya dan menginjak telapak kaki penyusup tersebut. Junhoe mengaduh kesakitan.

"Kau tidak serius 'kan?! Mana ada maling berpenampilan seperti ini?!"

Ah, Hanbin lupa.

Hanbin lupa bahwa Junhoe memiliki kepercayaan diri tingkat tinggi.

"Aku serius," ucap Hanbin datar sembari kembali membanting pintu, dia sama sekali tidak merasakan belas kasihan pada kaki teraniaya yang bukan miliknya di bawah sana. Junhoe sendiri sudah pasrah akan kakinya namun dia tidak bisa menyerah. Tidak akan.

Beberapa menit berlalu dan pertarungan sengit itu masih berlanjut dengan kedua belah pihak saling mengumpat kasar ke depan muka masing-masing. Junhoe berpikir bahwa hal ini tidak akan mencapai titik akhir karena dia tahu benar bahwa mereka berdua memiliki ego tinggi. Hanbin juga tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan mengalah. Ini harus diakhiri secepatnya.

Junhoe berhenti mendorong pintu dan hal ini membuat Hanbin mengangkat sebelah alisnya bingung. Junhoe bukanlah pemuda yang dengan mudahnya mau mengalah jadi ini benar-benar mengejutkannya. Hanbin membuka mulutnya untuk mengucapkan kata 'pulang' untuk kesekian kalinya namun Junhoe sudah duluan mengambil start.

"Ini akan berlangsung semalaman, Hanbin. Aku tidak akan pulang sampai kau membiarkanku masuk. Kalau kau mau menghalangiku seperti ini aku tetap tidak akan mundur," Junhoe menyandarkan dahinya pada permukaan pintu kayu itu, matanya terpejam dan dia menunggu Hanbin untuk melakukan sesuatu. Apapun. Hanbin menatap kosong pintu di hadapannya yang menjadi dinding antara dirinya dengan Junhoe.

Lagi-lagi dia dihadapi dengan sebuah dilema. Hanbin dapat mendengar keputusasaan dari nada bicara Junhoe dan ia tahu benar bahwa hal ini adalah sesuatu yang jarang terjadi. Apa yang dilakukan Junhoe kembali membuatnya ragu.

Tapi dia tidak bisa membiarkannya masuk ke dalam rumahnya karena itu berarti dia memberikan Junhoe kesempatan untuk kembali masuk ke dalam kehidupannya.

Dia tidak ingin melakukannya.

"Junhoe," Hanbin membuka pintu perlahan dan dirinya langsung berhadapan dengan Junhoe yang sudah berdiri tegak di depannya dalam jarak yang cukup dekat. Ekspresi Junhoe sekarang terlihat kaku dan mengintimidasi namun tatapannya tidak bisa membohongi Hanbin. Tatapan teduh namun putus asa itu pernah ia lihat dahulu.

Di tengah pepohonan pencakar langit berbintang.

"Junhoe, aku..." Hanbin menggigit bibir bawahnya dan menundukkan kepalanya. Hatinya kembali teriris saat ingatan yang sudah berusia 3 tahun lamanya itu kembali menghantuinya dan keberadaan Junhoe membuat keadaan menjadi lebih buruk,"aku tidak bisa membiarkanmu masuk. Kau harus pulang."

Hanbin tidak bisa melihatnya karena kepalanya yang tertunduk tapi ia bisa merasakan hembusan nafas Junhoe saat pemuda jangkung itu menghela nafas untuk kesekian kalinya.

"Hanbin, aku tidak datang kesini untuk dimaafkan akan perbuatanku dahulu," Junhoe menekukkan lututnya dan mencari-cari mata Hanbin di balik rambut coklat muda yang menghalanginya. Hanbin tak berkutik di hadapannya bahkan ketika ia merasakan ada dua jari yang mengangkat dagunya, membuatnya menatap lurus pada sepasang manik mata Junhoe.

"Aku datang karena kau butuh bantuanku,"

Hanbin terdiam sejenak sebelum ia menggelengkan kepalanya, memaksa Junhoe untuk menarik tangannya dari dagu miliknya,"sudah kubilang aku tidak butuh bantuanmu, bodoh."

Junhoe menegakkan tubuhnya,"besok kau sudah harus bersiap-siap untuk ujian. Tidak ada waktu bagimu untuk mencari pengasuh lain. Bahkan kalau kau memutuskan untuk menitipkan adikmu pada tetangga kau tahu sendiri tetangga sebelah kirimu sibuk mengasuh bayi sedangkan tetangga sebelah kananmu tidak pernah terlihat ada di rumah. Jangan sebutkan tetangga yang lain karena kau bahkan tidak begitu mengenal mereka."

Hanbin membuka mulutnya untuk membalas namun Junhoe malah mengangkat telapak tangannya tepat di depan mukanya dan kembali berbicara,"kalau kau mau membawanya ke tempat penitipan anak, kau sendiri tidak bisa membayar penitipan per jamnya. Aku tahu benar uang saku mahasiswa, Hanbin. Kau dan aku cukup senasib. Aku akan memberikanmu toleransi cukup besar dalam hal biaya. Lebih baik kau menerima bantuanku daripada menolaknya."

Hanbin bungkam.

Sialan kau, Junhoe.

Junhoe menyunggingkan senyum remeh penuh kemenangan tepat di hadapannya dan itu membuat Hanbin benar-benar ingin melayangkan tinjunya pada muka tampan yang dibangga-banggakan pemuda yang satu tahun lebih muda itu sejak pertama kali ia bertemu dengannya.

"Pokoknya aku tidak mau—"

"Hanbinnie?"

Suara gadis cilik yang begitu dikenalnya membuatnya menoleh ke belakang. Hanbyul turun dari tangga sambil menggosokkan matanya, terlihat jelas bahwa dia baru saja bangun dari tidur lelapnya yang berlangsung selama 2 jam.

 "Hanbyul? Apa yang kau lakukan tengah malam begini? Kembalilah tidur!" Hanbin membalikkan badannya dan berjalan ke arah adik semata wayangnya, dia tidak sadar bahwa dia baru saja memberi celah untuk Junhoe dan dia segera mengambil kesempatan untuk menyusup masuk ke dalam rumah pemuda yang lebih tua itu tanpa suara.

"Aku mendengar suara keras—Junnie oppa?"

Hanbin tersentak. Dia lupa bahwa Junhoe masih ada di depan rumahnya. Baru saja ia ingin berbalik untuk menutup pintu rumahnya, Junhoe sudah berjalan melewatinya dan berjongkok di depan Hanbyul yang terlihat bingung dan terkantuk-kantuk. Hal ini spontan membuat Hanbin kembali tersulut amarah di balik keterkejutannya.

"Goo Junhoe! Siapa yang mengizinkanmu masuk?! Keluar!"

Junhoe tidak menggubris perintah Hanbin—secara langsung membuatnya semakin keki—dan malah memfokuskan pandangannya pada Hanbyul dan tersenyum ramah,"apa kabar, Hanbyul-ah? Lama tidak berjumpa, ya?"

"Junhoe, apa kau tuli? Aku bilang keluar!"

"Oppa, mengapa Hanbinnie marah-marah?" Hanbyul yang terheran-heran dengan sikap kakaknya bertanya dalam kebingungan yang langsung disambut Junhoe dengan tawa kecil.

"Hanbinnie marah karena oppa tidak membawa pringles kesukaannya saat datang kesini," dusta Junhoe enteng.

 "HEH- Aku tidak—"

"Hanbinnie?" Hanbyul menoleh pada Hanbin yang sedang sibuk mengumpat dalam bahasa yang sopan—dia tidak bisa berkata kasar di depan adiknya, tentu saja—dan berjalan ke arahnya lalu menarik celananya pelan.

"Hanbinnie jangan marah-marah... Maafkanlah Junnie oppa... Kalau Hanbinnie marah-marah terus nanti Hanbinnie cepat tua..."

"...."

Hanbyul pasti mendapatkan kata-kata 'bila kau suka marah-marah kau akan cepat tua' dari Ibunya dan entah mengapa bila adiknya yang mengatakan itu Hanbin tak bisa berbuat apa-apa selain menenangkan emosinya dan menundukkan kepalanya karena malu.

"Iya, Hanbinnie. Kalau kau marah-marah nanti keriputnya bertambah, lho."

Celetukan Junhoe sama sekali tidak membantu untuk meredakan emosinya.

Melihat Hanbin yang sudah terlihat seakan-akan akan meledak kapanpun ia menarik pelatuk pada emosinya, Junhoe pun memutuskan untuk kembali mengajak Hanbyul bicara.

"Hanbyul-ah, lebih baik sekarang kau lanjut tidur, oke? Kalau tidak tidur nanti Hanbinnie marah-marah lagi," ucapnya sembari memegang jemari mungil Hanbyul dan menariknya pelan, memberikan isyarat kasat mata agar Hanbyul mengikutinya.

"Hanbinnie tidak akan marah-marah lagi kalau aku tidur, oppa?" Tanya Hanbyul sambil melirik Hanbin.

 Junhoe ikut melirik Hanbin dan mengedipkan sebelah matanya, spontan membuat Hanbin merinding nista.

"Ya, Hanbinnie akan kembali tersenyum kalau kau kembali tidur. Ayo, sekarang kita kembali ke kamarmu."

Hanbyul menganggukkan kepalanya dan mengikuti Junhoe pergi ke kamarnya. Hanbin mengikuti dari belakang dan menatap punggung Junhoe dengan ketidaksukaan yang terlihat jelas dari garis wajahnya. Seharusnya dialah yang mengantar Hanbyul kembali ke kamarnya namun entah apa yang menahannya ketika ia melihat Junhoe membujuk adiknya untuk kembali tidur.

Tidak memakan waktu lama untuk berjalan ke kamar Hanbyul, Hanbin membuka pintu kamarnya dan memberi jalan untuk Junhoe dan Hanbyul. Pemuda jangkung itu serta-merta mengangkat tubuh Hanbyul dan membaringkannya di atas matras.

"Selamat malam dan selamat tidur, Hanbyul-ah," ucap Junhoe lembut disertai dengan senyuman kecilnya—jujur saja ini sedikit mengejutkan Hanbin karena pemandangan tersebut merupakan satu dari pemandangan yang jarang terlihat selama ia mengenal pemuda tersebut—dan tepukan pelan di pipi. Hanbyul tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Junhoe berjalan mundur dan memberi isyarat untuk Hanbin dengan kepalanya, menyuruhnya untuk mengucapkan 'selamat tidur' pada adiknya. Hanbin mendecak lidahnya pada Junhoe dan menuturkan 'aku-sudah-tahu' lalu berjalan ke arah Hanbyul.

"Selamat tidur, Hanbyul-ah," Hanbin tersenyum tulus di depan adiknya dan mengecup keningnya lembut. Hanbyul tertawa kecil.

"Hanbinnie jangan marah-marah lagi ya...Maafkan Junnie oppa...."

Beberapa saat setelah berkata demikian Hanbyul pun kembali terlelap dan kamar itu pun kembali diselimuti keheningan.

Hanbin dapat merasakan sepasang mata yang menatapnya dalam diam dari belakang. Matanya tetap terfokus pada adiknya yang sudah memejamkan mata dan kembali ke alam mimpi. Sejenak Hanbin iri karena saat ini dia juga sedang tidak ingin berurusan dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Pertemuan yang tak disangka-sangka dan sebuah dilema.

Hanbin mengepalkan tangannya erat. Sudah kepalang. Pintu sudah terbuka. Junhoe sudah masuk ke dalam rumahnya. Junhoe sudah masuk kembali ke dalam kehidupannya. Dia tahu benar bahwa tidak selamanya ia bisa lari dari masa lalu yang belum terselesaikan. Namun, haruskah sekarang? Haruskah saat ini juga dia menggali jawaban akan pertanyaan-pertanyaannya?

Hanbin menghela nafas berat.

"Junhoe, kita perlu bicara."

 

—oOo—

 

Canggung.

Itulah kata pertama yang muncul dalam kepalanya ketika dia melihat dimana dirinya terjebak kali ini.

Keheningan yang menyelimuti ruang tamu kali ini sangatlah mencekik dan Hanbin tak henti-hentinya memperbaiki posisinya di atas sofa kecil yang ia duduki tepat berseberangan dengan Junhoe yang duduk dengan begitu santainya seakan-akan dia sedang berada di rumahnya sendiri.

Kali ini mereka tidak berbalasan tatap seperti apa yang mereka lakukan di depan pintu beberapa saat yang lalu. Sekarang Hanbin dan Junhoe bahkan tidak mau melihat lurus ke depan sehingga mata keduanya tak bisa kembali beradu. Dua-duanya seakan sibuk dalam dunia sendiri.

Hanbin memijat dahinya, sakit kepala tiba-tiba melanda begitu saja di tengah banyaknya kenangan berseliweran di depan mata. Dia masih tidak percaya bahwa Junhoe akan kembali mengetuk pintu kehidupannya yang telah ia tutup rapat-rapat tepat di depan mukanya di malam itu, tepat 3 tahun yang lalu. Hanbin benar-benar yakin bahwa peluang bertemunya kembali dirinya dengan pemuda di seberangnya sangatlah kecil mengetahui bahwa ia dengan sengaja memilih universitas yang jauh dari universitas yang sudah diincar oleh Junhoe. Dia bahkan menjauhi setiap tempat yang sering didatangi oleh pemuda tersebut.

Jadi, mengapa semua usahanya luluh lantak begitu saja pada malam ini? Mengapa harus sekarang?

Dia benar-benar harus bicara dengan Kim Jiwon setelah ini.

"Hanbin,"

Hanbin tersentak dari lamunannya begitu suara bariton terdengar mengetuk gendang telinganya, memanggil namanya dengan sangatlah jelas. Matanya akhirnya kembali beradu dengan kedua manik mata hitam milik Junhoe yang sekarang kembali terfokus padanya.

"Ada apa?" Tanya Hanbin seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Kau tidak akan menyuguhkanku minum? Aku haus."

Sebuah bantal kecil sukses menghantam wajah Junhoe.

"Ambilah sendiri, kau tahu tempatnya dimana. Posisi barang-barang disini masih belum berubah," ucap Hanbin ketus, tidak memedulikan Junhoe yang mengernyitkan dahinya dan menatap bantal yang tadi menghantamnya dengan tatapan aneh.

"Yah, setidaknya sebagai tuan rumah yang baik kau bisa angkat bokong malasmu itu dari sofa dan mengambilkanku minum, Hanbin hyung," tutur Junhoe dan dengan penuh kesengajaan dia memberikan tekanan pada intonasi kata 'hyung' yang jelas saja membuat Hanbin mendelik kesal ke arahnya.

“Dasar anak manja,” umpat Hanbin sambil berdiri. Dia melangkahkan kakinya ke arah dapur dengan bergumam ria mengenai ketidaksopanan Junhoe—walaupun sebenarnya perkataan Junhoe ada benarnya juga namun Hanbin memilih mati daripada mengakuinya—dan mengambilkan minum untuk pemuda yang tersenyum penuh kemenangan di ruang tamu.

Nih,” Hanbin menyodorkan satu gelas penuh air minum tepat di depan muka Junhoe dengan tidak ikhlas. Junhoe mengangkat sebelah alis matanya dan menatap gelas tersebut tanpa lupa memberikan balasan menyebalkan untuk kesekian kalinya,”apa kau benar-benar ikhlas? Jangan-jangan kau membubuhkan racun dalam cairan bening itu.”

Hanbin benar-benar ingin menyiramnya dengan air yang ada di dalam gelas tersebut.

“Terserah!” Seru Hanbin jengkel sebelum meletakkan gelas tersebut di atas meja dengan kasar sehingga sebagian isi dari gelas tersebut berceceran kemana-mana. Junhoe tertawa.

“Kau tidak berubah, Hanbin. Masih pemarah dan manis seperti dulu,”

Hanbin menoleh pada Junhoe yang tengah mengambil gelasnya dan meminum isinya. Untuk beberapa saat Hanbin terdiam. Apakah memang dia adalah seorang yang pemarah sejak 3 tahun yang lalu?

Tapi, tunggu dulu.

Junhoe bahkan menyebutkan bahwa dirinya manis.

Pipi Hanbin seketika bersemu merah padam, menyadari hal ini dia pun segera menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali mengumpat pada dirinya sendiri. Dia tidak boleh termakan oleh pujian yang dilontarkan oleh seorang Goo Junhoe. Siapa tahu itu hanyalah kata-kata penjilat semata agar Hanbin mau merestuinya sebagai baby sitter untuk adiknya.

Ah, ya... Baby sitter.

Sepengetahuan Hanbin, Junhoe bukanlah pemuda yang mudah mentolerir anak kecil. Dulu saja dia hampir membuat anak kecil menangis karena tatapan tajamnya yang mengintimidasi setelah satu bola sepak melayang bebas dan jatuh tepat di atas kepalanya. Untung saja anak kecil itu tidak menendang bola tersebut tepat ke depan wajah Junhoe. Kalau hal itu terjadi sepertinya nyawa anak itu tidak akan terselamatkan.

“Mengapa kau ingin mengasuh adikku, Junhoe?” Tanya Hanbin pada akhirnya dan ini membuat Junhoe menaikkan sebelah alisnya.

“Bukankah sudah jelas? Itu karena aku ingin membantumu, lagipula aku berhutang budi kepadamu. Aku berniat untuk membayarnya sekarang,” jawab Junhoe tanpa basa-basi dan dia kembali menyisip minumannya. Hanbin mengernyit.

“Hutang budi? Hutang budi untuk ap—,”

“Kau tahu benar itu untuk apa,”

Junhoe meletakkan gelasnya. Pemuda itu kembali menatap Hanbin dengan tatapan yang sulit dimengerti. Hanbin mencari-cari suatu jawaban pada kedua manik mata gelap tersebut namun semakin lama ia menatapnya semakin terhipnotis dirinya dalam pandangan Junhoe dan ini membuatnya salah tingkah.

            “Ck, apapun alasanmu aku tidak akan minta bantuanmu!” Hanbin memilih teguh pada pendiriannya dan mengarahkan pandangannya pada setiap barang di rumahnya—sebenarnya dia berusaha untuk tidak menangkap tatapan Junhoe—entah mengapa debu di sudut ruangan lebih menarik untuk dilihat bila dibandingkan dengan cecunguk di hadapannya.

            Tiba-tiba Hanbin merasakan bantalan sofa di samping tempat ia duduk kempis seketika, menandakan ada seseorang yang duduk di sampingnya. Hanbin buru-buru menoleh dan mendapati Junhoe sudah menempati ruang kosong di sebelah kanannya kemudian melingkarkan lengan panjangnya pada bahu pemuda yang lebih tua.

            Hanbin membatu.

            ...

            ...

            ...

            “Junhoe. Tangan. Lepas,”

            Hanbin melirik Junhoe ganas seakan-akan dia siap mematahkan leher Junhoe kapan saja bila ia tidak menarik tangannya. Namun, mengenal Junhoe yang sama keras kepalanya dengan dirinya tentu saja pemuda tersebut tidak akan mau mendengar perkataannya semudah itu. Dia malah mendekatkan Hanbin kepadanya sembari menatap lurus ke depan.

            “Sekali lagi akan kujelaskan mengapa kau harus memilihku dan bukan orang lain. Dengarkan baik-baik, hyung.”

            Nada serius itu membuat Hanbin terpaku dalam dekapan Junhoe dan mau tidak mau dia berhenti mencoba untuk melepaskan diri. Melihat hal ini Junhoe pun melanjutkan,”aku tahu kau masih ingat dengan peristiwa 3 tahun yang lalu itu. Namun, apa yang kuperbuat waktu itu dan apa yang telah aku putuskan aku tidak bisa menariknya kembali.”

            Junhoe menarik tangannya dan sejenak Hanbin merasa dingin. Mata pemuda itu berubah nanar dan dia pun menundukkan kepalanya. Ingatan 3 tahun yang lalu itu kembali melayang-layang dalam pikirannya.

            “Hanbin, aku mencintaimu.”

            “M-maaf, aku...Aku harus—“

            Hanbin mengepalkan tangannya yang ia letakkan tepat di atas kedua lututnya. Rasa sakit itu kembali datang mencengkeram hatinya, memberikan tekanan yang menyesakkan.

            “Junhoe, aku benar-benar tidak butuh bantuanmu,” ucapnya lirih dengan kepala yang tertunduk. Di sampingnya Junhoe ikut terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia menghela nafas panjang dan bangkit berdiri dari sofa.

            “Hyung, asal kau tahu saja aku tidak akan memohon maaf darimu karena aku tidak menyesali perbuatanku,”

            Ucapan jujur Junhoe membuat Hanbin menengadahkan kepalanya. Dalam lintas waktu sepersekian detik manik matanya yang nanar berubah marah,”apa maksud—“

            “Karena aku tidak menyesal telah jatuh cinta padamu.”

            Kata-kata itu kembali terlontar dari mulut Junhoe dengan begitu mudahnya seakan-akan pemuda tersebut tengah membicarakan cuaca esok pagi.

            Hanbin benar-benar tidak mengerti.

Dalam diam Hanbin beranjak berdiri kemudian melangkahkan kakinya ke arah Junhoe dan tanpa basa-basi ia mencengkeram kerah bajunya dan menariknya paksa sehingga jarak di antara keduanya hanya sebatas beberapa milimeter dari satu sama lain. Junhoe tidak berkutik, dia membiarkan Hanbin menariknya dan tak ada tanda-tanda panik terlintas pada lensa matanya. Hal ini membuat Hanbin semakin emosi.

“Kalau tujuanmu datang kemari hanya karena kau berniat untuk mempermainkanku lagi lebih baik kau pulang sekarang, Goo Junhoe,” ucap Hanbin dengan nada rendah dan intonasi yang berbahaya. Setiap kata diberikan penekanan untuk memperjelas maksudnya.

Amarah yang sudah ia pendam selama 3 tahun itu akhirnya mencapai puncaknya. Hanbin sudah tidak tahan lagi.

“Apa kau sebegitu bencinya padaku? Apa mengetahui kalau dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku dan lebih memilihmu tidak cukup memuaskan egomu? Apa dalam 3 tahun ini kau masih menyimpan dendam padaku? Jawab!” Seru Hanbin nyaring, melupakan fakta bahwa suaranya itu bisa saja kembali membangunkan adiknya tetapi api amarah sudah tersulut begitu hebatnya setelah Junhoe menginjakkan kakinya di depan rumahnya setelah 3 tahun tidak bertemu.

Junhoe tidak menjawab apa-apa. Dia lebih memilih diam ketimbang memberikan balasan. Hanbin menguatkan cengkeramannya pada kerah Junhoe, rahangnya mengeras dan wajahnya memerah padam karena emosi yang sudah tak tertahankan.

“Jadi, apa tujuanmu sebenarnya, Junhoe?”

Mereka berdua kembali berbalas tatap. Yang satu dipenuhi dengan amarah dan yang lainnya memberikan tatapan yang sulit dimengerti. Keduanya terlihat berbalaskan pesan kasat mata melaluii tatapan yang diberikan. Namun, perbedaannya ada pada pengertian akan pesan tersebut. Junhoe mungkin saja mengerti apa yang Hanbin katakan lewat tatapan matanya tapi lain halnya dengan Hanbin.

Hanbin benar-benar tidak mengerti arti tatapan Junhoe.

Detik-detik berlalu dalam keheningan. Aura yang memenuhi ruangan itu tegang terasa. Jujur saja, keheningan dan ketegangan ini cukup menyesakkan dada. Hanbin benar-benar tidak sabar untuk mendapatkan jawaban dari Junhoe walau begitu ia tetap menunggu dan ikut berperan aktif dalam mempertahankan keheningan tersebut. Junhoe menutup matanya dan menghela nafas panjang sebelum akhirnya dia memecahkan keheningan itu.

“Berikan aku waktu 7 hari,” ucapnya lirih.

Cengkeraman Hanbin pada kerah bajunya melonggar seiring dengan perubahan tatapan matanya yang berawal dari penuh dengan amarah menjadi penuh dengan kebingungan. Permainan apa lagi yang sekarang pemuda jangkung itu rencanakan?

“Apa?”

“7 hari, Hanbin,” Junhoe mengangkat tangannya dan mencengkeram erat tangan Hanbin yang masih memegang kerah bajunya,”berikan aku waktu 7 hari untuk membantumu. Aku tidak akan berbuat apa-apa selain menjaga adikmu. Kau hanya perlu bantuan untuk 7 hari itu, bukan?”

Hanbin mengernyitkan dahinya. Sekarang dia benar-benar melepaskan cengkeramannya pada kerah Junhoe walau pemuda di hadapannya itu masih memegang pergelangan tangannya. Ia meringis pelan ketika Junhoe mempererat pegangannya sebelum melanjutkan.

“Berikan aku waktu 7 hari dan aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi, Hanbin hyung.”

Pemuda yang lebih tua di antara keduanya itu terdiam. Hanbin benar-benar ingin menggali jawaban dari Junhoe hari itu juga namun apa yang dilakukan Junhoe hanya memberikan waktu tambahan untuk menjawab pertanyaannya. Ia menggigit bibir bawahnya.

Permainan apa lagi yang kau rencanakan, Junhoe?

Junhoe akhirnya melepaskan cengkeramannya pada tangan Hanbin dan dia tidak menghabiskan waktu untuk menarik tangannya dan memegangnya. Hanbin menatap lurus Junhoe yang sekarang menunggu konfirmasi dari dirinya.

Bila permainan 7 hari itu yang kau mau baiklah aku akan meladenimu.

            “Apa kau benar-benar akan pergi dari kehidupanku setelah 7 hari?” Tanya Hanbin sekali lagi untuk meyakinkan dirinya.

            Junhoe memasukkan tangannya ke saku dan balasan tenangnya mengejutkan Hanbin,”ya.”

            Baiklah, it’s settled then.

            “Deal,” Hanbin mengulurkan tangannya dan dalam diam ia mengisyaratkan Junhoe untuk mengikatkan perjanjian dengannya lewat jabat tangan yang pemuda jangkung itu sambut dengan segera.

            “Deal.

 

            Mereka berjabat tangan sejenak sebelum Hanbin dengan gesit menarik tangannya. Junhoe yang masih terdiam dalam posisinya yang menjabat tangan Hanbin mengedipkan matanya berkali-kali sebelum kembali memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.

            “Kalau begitu aku akan pergi sekarang,”

            Hanbin menganggukkan kepalanya dan melangkahkan kakinya ke depan pintu rumahnya. Dia tidak membuang waktu untuk menoleh ke belakang karena ia tahu Junhoe mengikutinya. Pemuda berambut brunette itu membuka pintu di hadapannya dan memberikan jalan untuk tamunya.

            Junhoe kembali terdiam untuk beberapa saat setelah melihat pemandangan di depannya. Jalanan perumahan yang sunyi dan lampu-lampu jalan yang remang-remang menyambutnya seakan menunggu dirinya untuk keluar dari rumah tersebut. Junhoe menoleh ke arah Hanbin yang tengah menyibukkan dirinya dengan menghitung jumlah semut yang berjalan di atas ubin putih rumahnya. Jelas sekali dia tidak ingin menatap Junhoe.

            “Hanbin,”

            Hanbin tidak menengadahkan kepalanya untuk melihat Junhoe dan memilih untuk melanjutkan aktivitasnya itu.

            “Pulanglah, malam sudah larut,” ucapnya pelan.

            Junhoe menutup matanya sejenak sebelum dirinya melangkahkan kaki keluar dari rumah Hanbin. Sebelum ia membuka pagar rumahnya dia berkata dengan volume yang cukup keras untuk Hanbin agar ia bisa mendengarnya.

            “Sampai bertemu besok, Kim Hanbin.”

            Pagar rumah itu tertutup dan beberapa saat kemudian suara mesin motor yang dinyalakan terdengar dan tanpa memakan waktu lama kendaraan tersebut melaju memecah keheningan malam. Meninggalkan Hanbin yang masih berdiri terpaku di depan rumahnya.

            Seakan telah menahan dirinya sekuat tenaga, kedua kaki miliknya akhirnya menyerah untuk menopang tubuhnya dan Hanbin pun merosot jatuh ke atas ubin dingin tersebut. Sekujur tubuhnya bergetar dan dia memeluk lututnya sebelum akhirnya membenamkan kepalanya pada kedua tangannya yang terlipat di atas lututnya.

            “Hanbin, aku mencintaimu,”

           

 

 

..to be continued.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ikabaek12 #1
Chapter 2: Masih ada typo ya author-nim :3

Tapi after all ffnya menarik banget kok :" apalagi ditengah2 dunia per-ff-an yang jarang buat ff Junbin :'

Aku penasaran sama kesalahan si june 3 tahun yang lalu, fatal banget ya?

Lanjutkan author-nim! Semangat!

Sering2 buat ff mainpair iKon member yaw :3
ikabaek12 #2
Chapter 1: Woah~ keren!
Ada apa sebenernya sama hubungannya si Junbin?
Nggak sabar liat konflik yang bakal terungkap.

Langsung lanjut ke next chapter author-nim!
chanyeolstagram #3
Chapter 2: The best junbin fanfiction that i hv read so far *sobs* pls update soon authornim ^^
kiddo21 #4
Chapter 2: Apa sebenarnya yg dilakukn junhoe?Lanjutin ya,authornim.Aku benar2 suka cerita ini,lagian ini junbin fic.