Another Day

Three Cheers for Seven Days

THREE CHEERS FOR SEVEN DAYS

Chapter 1

.

.

.

.

Dunia ini adalah satu perpustakaan besar.

Perpustakaan itu menyimpan banyak buku yang menyimpan kisah berbagai karakter dengan perilaku dan keunikan berbeda dalam melewati segala tantangan dan konflik untuk mencapai akhir cerita yang diinginkan penulisnya.

Lembaran cerita dimulai dari titik awal dimana karakter utama diperkenalkan.

Karakter utama tentu memiliki karakteristik unik yang akan digali dalam setiap parafrase berbeda dan disinilah alur cerita bermain. Menyusun skenario dengan berbagai konflik, menggelitik atensi pembaca dan memuaskan nafsu akan karya imajinatif. Alur cerita karakter utama tersebut pastilah memiliki warna tersendiri. Warna yang menari-nari di atas kanvas putih menjadi simbol dari keseluruhan alur kisah kehidupan karakter di depan mata penuh ingin tahu Pembaca hingga akhirnya dapat dihasilkan suatu lukisan yang dapat ‘bercerita’.

Cerita Hanbin berawal dari sebuah kenangan.

Orang-orang berkata kenangan yang selalu teringat baik itu sadar maupun tidak sadar merupakan momen bersejarah yang mengandung makna tersirat bagi masing-masing individu baik itu ingatan baik maupun buruk. Setiap kenangan yang tersimpan menjadi pembelajaran untuk masa depan layaknya buku yang dibaca untuk kesekian kalinya.

Hal yang sama terjadi pada Hanbin.

Namun, mau berapa kalipun ia mencoba untuk mengingatnya dia tetap saja tidak mengerti.

Ia ingat dengan jelas peristiwa yang terjadi pada malam yang dingin di tengah hutan pohon pencakar langit berbintang.

Ia ingat dengan jelas momen dimana keheningan berharmonisasi dengan suara kumpulan jangkrik yang memulai paduan nada dan irama.

Ia ingat dengan jelas nyala api unggun dengan pancaran radiasinya yang hangat membelai kulitnya lembut di bawah rembulan yang menjadi saksi bisu.

Ia ingat dengan jelas tatapan teduh seorang pemuda yang kian detik mendekat.

Ia ingat dengan jelas saat sepasang bibir sintal menyentuh miliknya dengan lembut.

Namun, ia ingat dengan jelas pula perih di dada itu saat kedua tangan yang bukan miliknya merengkuhnya dekat, memberikan kehangatan yang berubah menjadi kejut yang memilukan.

Hanbin tentu ingat bagaimana ia mendorong dada seorang pemuda yang menorehkan luka begitu dalam di hatinya, matanya merah berkaca-kaca, harga dirinya sebagai seorang lelaki seakan runtuh dalam waktu singkat.

 "....Maaf, aku...Aku harus—"

Kakinya terasa berat dan tubuhnya terasa kaku namun itu tidak menghentikannya untuk bangkit berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh sekalipun ke belakang.

Hanya satu hal yang ia tidak ingat.

Tatapan teduh yang berubah sendu seorang pemuda di depan api unggun yang mulai padam.

Waktu bergulir cepat dan peristiwa itu berubah menjadi ingatan pahit yang berusia 3 tahun lamanya.

Hari ini matahari mengintip malu-malu di balik awan sembari menyempatkan diri untuk duduk di atas singgasana berselimut langit biru berawan dan cahayanya pijar menerangi bumi. Cuaca hari itu tidak begitu dingin walaupun sebenarnya kehangatan belum terasa benar melihat fakta bahwa banyak orang tetap mengenakan baju hangat di luar rumah dan pemanas ruangan masih menyala membagikan kehangatannya. Walau begitu, cuaca yang lumayan menentramkan jiwa raga ini justru tidak dapat menghentikan Hanbin untuk berjalan dalam lingkaran seperti orang bodoh dan menjambak rambutnya frustasi.

Minggu ujian akan dimulai dua hari lagi dan Hanbin diterjang sakit kepala yang dahsyat. Bagaimana tidak? Dia harus serius belajar untuk tetap mempertahankan beasiswanya namun dia juga harus menemani Hanbyul karena orangtuanya pergi berlibur ke Eropa meninggalkan dirinya dengan adik semata wayangnya. Tentu saja sebagai anak sulung dia mendapatkan tanggung jawab untuk menjaga adiknya dan tentu saja sebagai kakak yang baik dia pasti akan melakukan kewajiban itu dengan sebaik mungkin.

Namun, dia juga tidak bisa melupakan kewajibannya sebagai mahasiswa semester tanggung!

Hanbin berjalan ke kanan dan ke kiri bahkan berputar-putar di kamarnya, berpikir keras dan mengatur jadwal sedemikian rupa untuk bisa membagi waktu antara belajar dan bermain dengan adiknya tapi tidak ada hasil. Pelajaran yang diujikan benar-benar sulit dan dia perlu meluangkan sebagian besar waktunya untuk mempersiapkan diri. Tapi tentu Hanbyul tidak bisa ditinggalkan begitu saja! Bagaimana dengan makanannya? Bagaimana dengan mandi pagi dan sorenya? Itu semua tanggung jawab Hanbin dan ia menolak untuk menelantarkan adik perempuannya.

Tapi, problema statistika dan kecerdasan artifisial itu malah tertawa menyindir di dalam otaknya dan lambat laun ia kehilangan kendali untuk bertahan menjadi orang waras. Astaga, mengapa mata kuliah tingkat tiga itu sulit sekali untuk dicerna? Otaknya benar-benar tidak bisa menerima bermacam bentuk bahasa mesin dan algoritma semrawut. Kadang ia berpikir, apakah bahasa ini akan dia gunakan dalam percakapan sehari-hari? Tidak mungkin 'kan dia harus berbicara dalam angka dan kode ketika sedang berkumpul dengan teman-temannya? Kode wanita saja sulit untuk dipecahkan!

Bila beasiswanya tidak berada di ujung jurang, Hanbin tidak akan ambil pusing dan bersantai bersama Hanbyul sambil sesekali membaca materi. Masalahnya, sekarang Hanbin benar-benar kesulitan dan ini adalah kali pertama ia senewen dengan masalah perkuliahan. Emosi yang tidak stabil ini kadang membuatnya bertingkah kasar dan ia tidak ingin ada tragedi dimana Hanbin tidak sengaja menumpahkan emosinya pada adik kesayangannya itu.

 Maka, sebelum ia berakhir gila dan mengambil keputusan yang salah akhirnya Hanbin memutuskan untuk menelepon sahabat baiknya. Mungkin ia bisa memberikan saran yang tepat untuknya.

 Dia merogoh saku celananya dimana ponselnya berada dan tanpa berlama-lama lagi, Hanbin memencet tombol angka di luar kepala dan menelepon sahabatnya itu. Nada dering terdengar tidak begitu lama setelah ia mencoba menghubunginya dan pemuda itu berusaha keras untuk mempertahankan sedikit kesabarannya.

"Halo?" Ah, akhirnya.

"Jiwon hyung!" Hanbin berusaha keras untuk tidak terdengar terlalu putus asa namun ia tahu sahabat yang sudah mengenalnya sejak awal dirinya menginjakkan kaki di sekolah menengah atas pasti dapat dengan mudahnya menyadari maksud dari nada melengking layaknya burung merchuri tersebut,"aku butuh bantuanmu!"

“Hah? Bantuan apa?” Suara parau Jiwon terdengar seperti orang yang baru saja dibangunkan dini hari ketika matahari masih terlelap di ufuk timur. Hanbin melirik jam di atas dinding. Astaga, waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang dan Jiwon baru saja menyadarkan diri dari tidur pulasnya?

“Yah, Kim Jiwon. Kau baru bangun tidur? Apa kau tidur telat lagi? Mengapa Jinhwan hyung tidak membangunkanmu?” Ocehan pemuda berusia 20 tahun tersebut memekakkan telinga pendengar yang tersambung oleh jaringan komunikasi di seberang sana namun Hanbin sama sekali tidak merasa bersalah.

“Jinhwan hyung sudah pulang ke Jeju, Hanbin,” suara tempat tidur yang berderik tanda pemiliknya beranjak berdiri dari sana terdengar jelas pada speaker,”dan aku kemarin mengerjakan tugas akhir semalaman jadi wajar saja kalau aku tidur telat, bukan?”

Tawa renyah Jiwon membuyarkan Hanbin dari kekesalannya dan dia tidak bisa menahan diri untuk menyunggingkan seringai bersalah sembari menggaruk lehernya yang tidak gatal walau ia tahu sahabatnya itu tidak bisa melihatnya,”ah, maaf...Aku hampir lupa kalau kau sedang sibuk akhir-akhir ini, hyung.”

“Tidak apa-apa. Jadi kau mau minta bantuan apa?”

Hanbin menggigit bibirnya, dia benar-benar lupa kalau Jiwon sedang menghadapi kesibukannya sendiri dan malah hanya memikirkan kepentingannya. Sudah jelas rencana awal untuk meminta Jiwon menjaga adik perempuannya kandas sudah. Hanbin menghela nafas pasrah dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya itu.

“Tadi aku ingin minta bantuanmu untuk menjaga adikku selagi aku fokus ujian. Tapi melihat kondisimu sekarang sepertinya tidak memungkinkan—” Hanbin berjalan ke arah tempat tidur miliknya dan menjatuhkan bokongnya di atas kasur yang sudah kehilangan sensasi empuknya,”—maaf mengganggu, hyung.”

Jiwon kembali tertawa,”Ya, ampun, Hanbin. Tidak usah merasa bersalah seperti itu. Aku tahu kau selalu lupa akan lingkungan sekitar kalau dilanda masalah apalagi bila itu berkaitan dengan Hanbyul.”

“Yah, seperti yang kau tahu, hyung. Orang tuaku sedang pergi untuk satu minggu ke depan ini dan ujian akhir semester juga akan dimulai 2 hari lagi," Hanbin kembali menggaruk kepalanya dan menghempaskan punggungnya ke atas matras,"aku bisa saja menjaga Hanbyul seorang diri. Hanya saja aku benar-benar harus mengejar nilai pada ujian ini dan itu memerlukan setengah hariku untuk mempersiapkan diri. Aku tidak bisa menelantarkan Hanbyul selama itu."

Di seberang sana Jiwon mengernyitkan dahinya dan berpikir sejenak. Hanbin adalah seorang kakak yang bertanggung jawab, tidak mungkin ia menelantarkan Hanbyul begitu saja. Namun, mengetahui pergumulan Hanbin pada semester ini dia hanya bisa memaklumi. Pemuda yang baru bangun dari tidurnya tersebut memutar otak dan berpikir untuk mencari jawaban atas masalah ini dan tidak membutuhkan waktu lama bagi Jiwon untuk menjentikkan jarinya dan mengangguk mengerti saat sebuah ide muncul begitu saja layaknya lampu yang menyala spontan di atas kepalanya.

"Bagaimana kalau kau mencari baby sitter untuk satu minggu ini, Hanbin?"

Hanbin mengedipkan kedua matanya,"eh? Baby sitter?"

"Iya, baby sitter adalah mereka yang dipekerjakan untuk menjaga anak-anak di bawah 5 tahun—"

"—Aku tahu baby sitter itu apa, bodoh!"

Gelak tawa Jiwon terdengar nyaring pada speaker dan itu membuat Hanbin sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga sembari mengerucutkan bibirnya kesal. Dia tahu benar apa itu—kata tanya yang lebih sesuai mungkin adalah 'siapa'—baby sitter dan apa yang dikerjakannya. Tidak pernah terbesit pada pikiran Hanbin untuk menyewa baby sitter selama seminggu dan lagipula tarif sewanya juga cukup tinggi. Uang jajan Hanbin yang sudah disetarakan dengan kebutuhan Hanbyul dan dirinya sendiri selama seminggu ini tidak akan cukup untul melunasi biaya sewa baby sitter.

"Sebenarnya idemu tidak buruk juga, tapi, Jiwon—" Hanbin kembali menghela nafas lelah untuk sekian kalinya,"—aku ini mahasiswa semester tanggung dengan uang pas-pasan. Bagaimana mungkin aku menyewa baby sitter?"

Jiwon terkekeh dan Hanbin mengenal suara kekehan tersebut. Itu adalah suara yang menyimpan rahasia dan biasanya hal itu adalah sesuatu yang nakal dan akan mengejutkannya di saat rahasia tersebut terungkap. Hanbin mengernyitkan dahinya dan mulai menajamkan pendengarannya agar ia tidak jatuh begitu saja pada trik muslihat perkataan Jiwon.

"Tenang saja, Hanbin. Aku tahu seseorang yang tidak memerlukan uang berjumlah besar untuk mengurus anak kecil selama satu minggu."

Hanbin memicingkan matanya dan bertanya hati-hati,"dan apakah orang ini adalah kenalanmu?"

"Hmm...Iya dan tidak."

Jawaban Jiwon malah semakin membingungkan,"yah, apa maksudmu Kim Jiwon?!"

"Hmm bagaimana menjelaskannya, ya—" Jiwon berdeham keras sebelum melanjutkan,"—pokoknya aku tahu dia dari Jinhwan hyung dan kau tahu 'kan siapapun yang dikenal Jinhwan adalah orang yang bisa dipercaya?"

Pemuda bersurai kecoklatan itu mengarahkan matanya pada langit-langit bertembok putih di atasnya dan mencoba memikirkan perkataan Jiwon. Memang benar bahwa Jinhwan memiliki kemampuan untuk berteman dengan orang-orang baik yang dapat dipercaya dan hal itu sudah dibuktikan dengan berbagai pertolongan dari beberapa kenalan salah satu sahabatnya yang berusia 2 tahun di atasnya.

Hanbin menggigit bibir bawahnya. Sepertinya ia mulai tertarik dengan tawaran Jiwon walau gelagatnya masih menunjukkan bahwa ia tidak akan secepat itu mengikuti perkataan sahabatnya.

"Apakah benar dia tidak akan menawarkan tarif sewa jasa yang tinggi, hyung? Pasti baby sitter ini bukan berasal dari yayasan-yayasan itu," Hanbin melirik rumah tetangga di balik jendela kamarnya dimana disana tinggal pasangan yang beranak tunggal dan masih berusia 2 tahun yang selalu dijaga oleh seorang baby sitter berseragam.

"Hahaha tidak, tidak... Dia tidak berasal dari yayasan manapun dan bisa dikata dia ini lebih muda bila dibandingkan denganmu," jelas Jiwon.

'Sebaya denganku? Berarti dia juga mahasiswa sama sepertiku?' Hanbin mendengus. Baby sitter yang berusia sama dengannya pasti memiliki ego yang besar dan kemalasan yang serupa karena masa muda lebih enak dilewati dengan mengeskplor dunia luar, bukannya menjaga anak seorang asing yang tidak dikenal. Dia tidak mau menyerahkan Hanbyul pada orang yang salah.

Sebelum Hanbin membuka mulutnya untuk menolak tawaran Jiwon, pemuda di seberang sambungan telepon kembali membuka mulut.

"Tenang saja, kau juga mengenal dia."

Kata-kata itu sukses membuat Hanbin mengatupkan kembali mulutnya.

"Aku mengenalnya...?"

Jiwon terdiam sejenak, jelas ia mencoba untuk mengatur kata-katanya sebelum melanjutkan,"yah, kau mengenalnya. Walaupun kalian hanya dekat untuk sementara waktu saja."

Hanya dekat untuk sementara waktu?

Siapa orang yang dibicarakan Jiwon sebenarnya?

"Jiwon, dia itu—"

"AH! Astaga sudah jam berapa ini?! Aku lupa aku harus datang menemui dosen pembimbingku! Hanbin, kalau kau tertarik aku akan mengirim nomornya sekarang. Maaf kalau aku tidak bisa berlama-lama membantumu. Sampai jumpa!"

Dan sambungan telepon itu pun terputus.

Hanbin menatap layar ponselnya dengan tatapan bingung. Siapa sebenarnya yang Jiwon bicarakan? Siapa yang dikenalnya dahulu untuk sementara waktu? Banyak orang yang berlalu-lalang, datang dan pergi dalam kehidupannya. Cukup sulit untuk mengingat satu persatu individu dalam kenangan yang masih berdiam dalam pikirannya. Hanbin menutup matanya untuk berpikir sebelum akhirnya ia mendengar nada dering tanda pesan masuk dari ponselnya.

From : Jiwon

Ini nomornya. 01082xxxxxxx

Lebih baik kau hubungi dia pada malam hari. Dia tidak bisa diajak kompromi pada siang hari.

Hanbin terdiam.

Ia bersumpah bahwa dirinya tidak pernah bertemu dengan vampir sepanjang 20 tahun masa hidupnya.

***

Hanbyul berlari riang mengejar kupu-kupu berwarna cantik di pekarangan rumahnya dengan Hanbin yang menyaksikan dengan tatapan hangat dari kursi kayu tempatnya sering bersantai di luar rumah.

Setelah menelepon Jiwon dan menerima pesannya dia sama sekali belum menyentuh nomor yang sahabatnya telah kirimkan dan memutuskan untuk menghangatkan makanan di kulkas dan mengajak adiknya makan siang. Tidak membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan santapannya karena mereka berdua sudah cukup lapar siang hari itu dan Hanbyul membutuhkan energi yang cukup apabila ingin bermain di taman kota. Namun, melihat jalanan yang masih basah akibat salju yang mulai mencair menghentikan Hanbin untuk mengeluarkan mobilnya karena takut bannya akan terselip di tengah jalan karena licin. Akhirnya dia mengajak Hanbyul untuk bermain di pekarangan saja dan untungnya adik semata wayangnya itu benar-benar anak yang baik sehingga ia tidak rewel saat tahu bahwa mereka tidak jadi pergi ke taman kota.

"Hanbinnie, lihat, lihat! Bentuk awannya mirip hidung Hanbinnie!"

 Seruan Hanbyul membuat Hanbin membelalakkan matanya dan menengadahkan kepalanya ke atas secara spontan dan benar saja, ia melihat gumpalan awan di atasnya membentuk sesuatu yang sebenarnya lebih mirip dengan...

"Hanbyul-ah, itu belalai gajah! Bukan hidungku!" Sahut Hanbin sambil tertawa sebelum ia bangkit berdiri dan berjalan menuju adiknya untuk mengangkat tubuhnya serta menggendongnya erat dalam dekapan tangannya. Hanbyul tertawa senang dan kedua tangan mungilnya menyentuh hidung Hanbin dan mulai menepuk-nepuknya ringan.

"Tidak, tidak! Itu hidung Hanbinnie~! Besar dan panjang!" Hanbin mencubit pipi Hanbyul gemas. Enak saja hidungnya dikatakan besar dan panjang. Tapi mengenal Hanbyul yang telah mengatakan itu semua Hanbin hanya bisa pasrah dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Pikiran Hanbin kembali pada fakta bahwa dua hari lagi dia ujian dan ia mau tidak mau harus fokus untuk mempersiapkan diri. Tawaran Jiwon terngiang-ngiang di benaknya dan nomor telepon itu seakan menghantuinya padahal dia tidak pernah melihat nomor itu sebelumnya.

Membingungkan.

"Hanbyul-ah. Mau jalan-jalan, tidak? Tenang saja, kau akan kugendong," tawar Hanbin pada adik perempuannya itu yang langsung dibalas dengan anggukan penuh semangat.

“Iya!"

Hanbin tersenyum kecil sebelum ia membuka pagar rumahnya dan kembali menguncinya setelah berjalan keluar. Dia membenarkan posisi Hanbyul di pangkuannya dan mendengarkan celotehan sang adik dengan antusias. Momen berdua bersama Hanbyul merupakan momen yang berharga bagi dirinya sama halnya ketika kedua matanya melihat Hanbyul di atas pangkuan sang Ibu untuk pertama kalinya. Kebahagiaan yang terasa pada hatinya kala itu tidak terbendung dan membuatnya merasa bangga akan fakta bahwa dari detik itu ia telah menjadi seorang kakak.

Hanbyul kini tidak sekecil dahulu namun ia tetap ringan di atas dekapan Hanbin untuk sekian kalinya. Hanbin berjalan lambat di atas trotoar dan mengumbar sapa ketika dirinya melewati orang-orang yang ia kenal baik itu teman orangtuanya maupun temannya sendiri.

"Hei, Hanbin!"

Suara panggilan yang terdengar familiar di telinganya menghentikan langkahnya. Hanbin menoleh ke belakang dan senyumnya segera merekah ketika melihat sosok pemuda yang dikenalnya berjalan ke arah mereka.

"Yunhyeong hyung!"

Yunhyeong tersenyum lebar padanya dan menepuk pundaknya ringan serta tidak lupa untul mengucapkan salam yang disertai dengan aegyo yang manis pada Hanbyul yang tertawa geli.

"Sedang apa, Hanbin? Jalan-jalan bersama adik tercinta?" Tanya Yunhyeong jenaka yang dibalas dengan tawa. Pemuda yang berusia lebih tua satu tahun di atasnya itu adalah seorang chef muda yang kini bekerja di restoran milik keluarganya. Hanbin sudah mengunjungi restoran itu beberapa kali dan masakannya tidak ada yang mengecewakan indra pengecap. Bahkan membayangkan pasta risotto-nya saja yang merupakan masakan andalan Yunhyeong cukup membuat air liurnya menetes.

"Iya, mumpung aku masih ada waktu sisa sebelum sibuk,"ujar Hanbin. Jari telunjuknya menusuk-nusuk pinggang Hanbyul usil dan membuat gadis kecil itu menggeliat geli dalam dekapannya.

"Aah...Sebentar lagi kau ujian, ya? Pft, semangat, ya!" Yunhyeong mengangkat kedua jempolnya dan mengedipkan sebelah matanya. Hanbin terkekeh.

"Tentu saja. Lalu apa yang kau lakukan disini? Bukankah restoran keluargamu ada di sana?" Hanbin menunjuk pada jalan di belakang Yunhyeong. Pemuda yang ditanya menggelengkan kepalanya.

"Aku disuruh orangtuaku untuk menjemput saudara. Rumahnya tidak begitu jauh karena itu aku hanya berjalan kaki menuju tempatnya. Oh iya, Hanbin—" Yunhyeong mendekati Hanbin dan menyondongkan tubuhnya ke depan sebelum berbisik,"—aku  dengar kau sedang memerlukan baby sitter dari Jiwon. Benarkah?"

Hanbin terkejut mendengar bahwa Yunhyeong juga tahu pergumulannya sekarang. Pasti Jiwon yang memberitahukannya!

"Yah, dua hari lagi ujian dan aku akan benar-benar sibuk. Jiwon hyung tidak bisa menggantikanku untuk menjaga Hanbyul karena itu dia menawarkan jasa baby sitter yang dikenalnya," Hanbin merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya dengan tangannya yang bebas untuk menunjukkan pesan berisi nomor telepon yang dikirim oleh Jiwon pada Yunhyeong.

"Apa kau tahu nomor ini, hyung? Katanya pemilik nomor ini adalah orang yang kukenal tapi aku tidak pernah melihat nomor ini,"

Yunhyeong menatap pesan tersebut dengan ketertarikan yang sangat jelas. Bola matanya bergerak aktif dari kanan ke kiri sembari ia membaca tiap nomor dengan teliti. Hanbin menunggu Yunhyeong menelaah nomor telepon itu dengan sabar.

"Hanbinnie, kau sedang apa?" Tanya Hanbyul penasaran.

"Ah bukan apa-apa—"

"OH! Aku tahu nomor ini!"

Yunhyeong berseru nyaring dan suaranya cukup mengejutkan dua Kim bersaudara di hadapannya. Hanbyul bahkan sampai menutup kedua telinganya secara refleks saking kerasnya seruan tersebut terdengar. Hanbin menendang kaki Yunhyeong gemas,"heh, tenang sedikit, dong! Kau mengagetkanku!"

Yunhyeong meringis,"maaf, Hanbin. Tapi memang benar sepertinya aku tahu nomor ini karena nomornya tersimpan di daftar kontak. Aku harus melihat ponselku karena aku lupa siapa nama pemiliknya."

"Wah, benarkah? Kalau begitu cek sekarang saja!" Ucap Hanbin tak sabar.

Yunhyeong mengangkat jari telunjuknya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri,"whoops, tidak secepat itu. Aku lupa membawa ponselku."

Rasanya Hanbin ingin menjambak rambut Yunhyeong saat itu juga.

Melihat Hanbin yang sudah terlihat ingin menelannya hidup-hidup Yunhyeong langsung mundur seketika dan mengangkat kedua tangannya untuk pertahanan,"tenang, Hanbin-ah! Setelah aku menjemput saudaraku aku akan kembali ke rumah dan mengecek nomor itu! Nanti kuberitahu siapa pemiliknya! Jangan bunuh aku!"

Hanbin memutar bola matanya dan mengendikkan bahu sebelum senyum kecil menghiasi wajahnya.

"Aku tidak akan membunuhmu, hyung. Aku tidak mau kehilangan chef pasta terbaik di restoran keluarga Song," ucapnya disertai tawa renyah yang mengundang Yunhyeong untuk ikut tertawa juga.

"Dasar. Kalau begitu aku pergi dulu. Selamat bersenang-senang dengan adikmu, Hanbin!" Chef muda itu mengangguk pada Hanbin dan mengacak rambut Hanbyul ramah sebelum kembali melangkahkan kakinya sembari melambaikan tangan.

"Hati-hati, hyung! Jangan lupa untuk cek nomor telepon itu untukku, ya!"

Tak lama setelah berpamitan dengan Yunhyeong, Hanbin kembali melanjutkan aktivitas jalan-jalannya bersama dengan sang adik. Walau begitu, kata-kata Yunhyeong tadi membuatnya semakin penasaran dengan pemilik nomor telepon yang dikirim Jiwon. Rupanya orang itu merupakan kenalan Jinhwan dan Yunhyeong yang merupakan teman dekatnya. Apakah benar orang itu bisa dipercaya untuk menjaga adik kesayangannya?

"Hanbinnie...Lihat pohon itu! Tinggi sekali!"

Jari mungil Hanbyul menunjuk kepada pohon yang menjulang tinggi di seberang jalan. Hanbin menatap pohon tersebut sejenak sebelum akhirnya langkah kakinya membawa mereka kesana untuk melihat pohon yang entah sudah berusia berapa tahun lamanya lebih dekat.

"Ah, pohon ini memang besar dan tinggi, Hanbyul-ah," Hanbin menurunkan Hanbyul dari pangkuannya perlahan untuk menyentuh batang kayu kokoh di hadapannya dengan satu tangan,"pasti usianya sudah sangat tua hingga tumbuh sebesar ini."

Hanbyul membelalakkan matanya,"Hanbinnie, apa aku juga akan tumbuh sebesar itu saat tua nanti?"

Mendengar pertanyaan polos adiknya sontak membuat Hanbin tertawa,"astaga, Hanbyul. Kau ini aneh-aneh saja. Tidak mung—"

"Hei, lihat, pemandangan dari atas ini indah sekali! Kau harus melihatnya!"

"Aku tidak ingin memanjat pohon itu, merepotkan saja."

"Hah! Bilang saja kalau kau takut ketinggian!"

"...Hyung! Ada serangga di atas punggungmu!”

“Eh?! Apa?! AAAH-"

Sebesit kenangan muncul begitu saja dalam benaknya membuatnya berdiri kaku dengan mulut yang mengatup rapat. Matanya kosong menatap jalanan dan suara gemeretak giginya yang bergesekkan tidak sanggup memecah keheningan yang muncul secara tiba-tiba. Tangannya jatuh tanpa tenaga dari batang kayu di hadapannya.

Ia ingat.

Astaga, dia mengingatnya lagi.

"Hanbinnie?"

Suara Hanbyul membuyarkan lamunannya. Hanbin mengedipkan matanya berkali-kali sebelum mendapati Hanbyul yang menatapnya dengan tatapan penasaran sekaligus kebingungan. Hanbin memijat batang hidungnya dan mengambil nafas dalam untuk menentramkan jantungnya yang tadi berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Hanbyul, ayo kita pergi beli kue."

Dia tidak ingin mengingatnya sekarang.

***

Tidak ada orang yang dapat menebak siapa orang yang akan kembali dan siapa orang yang akan pergi pada detik kehidupan selanjutnya.

Tidak ada orang yang dapat menebak dengan siapa mereka akan menjalani hari esok dan apa yang akan mereka temui pada detik kehidupan selanjutnya.

Masa depan tak dapat ditebak dengan mudahnya walau itu hanya berjarak satu hingga dua jam dari waktu sekarang.

Dan Hanbin adalah satu dari jutaan orang yang merupakan manusia biasa dan tak bisa meramal apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan.

Hanbin menatap ponselnya tajam.

Sudah 30 menit setelah ia kembali ke rumah dan membawa Hanbyul ke tempat tidur karena rupanya adiknya langsung mengantuk setelah diajak jalan-jalan dari sore hingga malam menjelang. Sudah 10 menit setelah ia menyelesaikan panggilan alam di kamar mandi dan menggosok gigi. Sudah 5 menit setelah ia menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur sekali lagi.

Dan masih belum ada kabar dari Yunhyeong.

Hanbin mengerang gemas dan merenggangkan tangannya yang pegal. Sebenarnya ia bisa saja mencari pemiliknya dengan cara browsing. Hanya saja ada sesuatu yang menahan dirinya untuk melakukan itu dan memilih untuk menunggu konfirmasi dari Yunhyeong.

Entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak.

Hanbin meraih ponselnya dan kembali membuka pesan dari Jiwon dan menatap nomor telepon itu lama.

Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Jiwon namun mau berapa kalipun ia memutar otak dan menerka-nerka, Hanbin sama sekali tidak mendapatkan ide mengenai maksud dan tujuan Jiwon dari menyarankan pemilik nomor tersebut sebagai baby sitter Hanbyul selama satu minggu. Apakah ini adalah nomor palsu? Prank belaka? Atau memang benar pemilik nomor itu adalah seseorang yang dulu dikenalnya?

Perasaannya benar-benar tidak enak.

Ada suatu hal yang mengusiknya dan membuatnya tidak nyaman mau berapa kali pun ia mengubah posisinya di atas matras. Perasaan ini pernah ia rasakan ketika ia menunggu pengumuman hasil ujian masuk universitas 3 tahun yang lalu. Sungguh tidak nyaman dan mendebarkan namun ia tahu hal ini tidak lazim dirasakan hanya karena satu nomor telepon yang menyimpan misteri.

Dan Hanbin juga pernah merasakan perasaan tidak enak ini di suatu tempat yang jauh dari perkotaan.

Di tengah pohon-pohon tinggi pencakar langit berbintang.

Hanbin menggelengkan kepalanya untuk kesekian kalinya.

Sebenarnya siapa pemilik nomor telepon tersebut?

RING!!

Tiba-tiba nada dering ponselnya pertanda ada telepon masuk menariknya keluar dari perdebatan dalam pikirannya. Dengan kecepatan yang bisa membuat cheetah sekalipun tercengang, Hanbin meraih ponselnya dan melihat siapa peneleponnya.

Hatinya mencelos ketika melihat siapa yang menelepon dirinya.

"Ya- Jiwon, ada apa?" Sahutnya satu detik setelah ia menerima telepon tersebut. Dia kira yang meneleponnya itu adalah Yunhyeong. Ah, kemana perginya pemuda hobi masak yang satu itu?

"Yo, Hanbin! Aku lupa memberitahumu tadi sore. Orang yang kuberikan nomornya itu tadi sudah kuberitahu soal kebutuhanmu! Dan sekarang katanya dia mau berkunjung ke rumahmu untuk mendiskusikan—"

Sebelum Jiwon dapat menyelesaikan pekataannya, teriakan Hanbin memotongnya secara seketika.

"APA- Kau sudah memberitahunya?!"

Suara Jiwon terdengar bising karena bercampur dengan suara kendaraan yang lewat. Sepertinya dia sedang berada di luar rumahnya sekarang,"iya! Aku tahu kau ini orangnya penuh dilema, Hanbin. Jadi aku langsung saja menghubunginya. Hitung-hitung ini memudahkanmu, bukan?"

Hanbin tercengang,"yah! Apanya yang memudahkan?! Bagaimana kalau orang ini orang jahat? Bagaimana kalau dia ini penculik? Bagaimana kalau dia ini pedo—"

"YAK, HANBIN! Hentikan prasangka-prasangka anehmu itu!" Seru Jiwon disertai tawa membahana yang memekakkan telinga. Hanbin mencibir kesal.

"Kau ini seenaknya saja..."

"Maaf, maaf. Aku hanya khawatir denganmu dan adikmu itu—" Hanbin mendengus tidak percaya dan jelas sekali Jiwon ingin menyentil dahinya dari tempatnya berada,"—dan percayalah orang ini bukan orang aneh! Yah, walaupun dia agak—"

Suara Jiwon mulai tenggelam dalam kebisingan kendaraan. Hanbin mendekatkan ponselnya ke telinga dan memanggil namanya berkali-kali dengan putus asa,"halo? Halo, Jiwon hyung? Hyung, suaramu tidak jelas!"

DING DONG

Bel pintu berbunyi nyaring dan mengejutkan Hanbin yang saking terkejutnya dia menjatuhkan ponselnya ke lantai dan tidak sengaja memutuskan sambungan telepon. Hanbin menatap nanar arah pintu depan rumahnya dan menelan ludah gugup.

Astaga, apakah orang yang dimaksud Jiwon itu sudah datang?

Jantung Hanbin spontan berdetak lebih tak karuan dari biasanya.

Apakah ia harus pergi ke sana dan membuka pintunya? Ah, mungkin saja yang datang malam ini hanyalah satpam yang bertugas, bukan? Tapi, tidak ada satpam yang bertugas di komplek perumahannya pada jam tersebut!

Dengan kaki bergetar—mengapa reaksinya harus berlebihan begini? Dia tidak pernah merasa segugup ini untuk membukakan pintu—dia berusaha untuk bangkit berdiri dan melangkahkah kaki keluar kamarnya menuju pintu depan rumah perlahan-lahan.

Enam meter menuju pintu.

Apakah dia benar-benar orang yang ia kenal?

Empat meter menuju pintu.

Apakah dia memang bisa dipercaya?

Tiga meter menuju pintu.

Sebenarnya siapakah dia?

Satu meter menuju pintu.

Ponsel Hanbin yang tergeletak begitu saja di atas lantai kembali bergetar. Di layarnya tampak jelas terlihat satu notifikasi pesan masuk yang sedari tadi ia tunggu.

From : Yunhyeong

Hanbin, kau akan terkejut ketika mendengar ini...

Tangan Hanbin terjulur untuk membuka pintu. Dia mengambil nafas dalam dan mengeluarkannya untuk menenangkan jantungnya yang berdetak begitu cepatnya dan dibantu oleh monolog sekenanya,"tenanglah, Hanbin. Orang ini bukanlah orang jahat. Jinhwan hyung dan Yunhyeong hyung bahkan mengenalnya. Mengapa kau gugup seperti ini? Aneh sekali."

Setelah kucari-cari kontaknya ternyata memang ada di daftar kontakku tapi aku tidak tahu apakah kau benar-benar ingin mengetahuinya atau tidak...

Hanbin mulai menurunkan engsel pintu dan menariknya ke belakang, membuka pintu secara perlahan.

Sebenarnya pemilik nomor itu...

Pintu sekarang sudah terbuka lebar dan kedua mata Hanbin dapat melihat dengan jelas siapa yang sudah menunggu di depan rumahnya.

Jantungnya berhenti berdetak seketika.

Tidak mungkin.

Sebenarnya pemilik nomor itu...adalah Goo Junhoe.

.

.

.

.

"Lama tidak berjumpa, Kim Hanbin.”

 

...to be continued

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ikabaek12 #1
Chapter 2: Masih ada typo ya author-nim :3

Tapi after all ffnya menarik banget kok :" apalagi ditengah2 dunia per-ff-an yang jarang buat ff Junbin :'

Aku penasaran sama kesalahan si june 3 tahun yang lalu, fatal banget ya?

Lanjutkan author-nim! Semangat!

Sering2 buat ff mainpair iKon member yaw :3
ikabaek12 #2
Chapter 1: Woah~ keren!
Ada apa sebenernya sama hubungannya si Junbin?
Nggak sabar liat konflik yang bakal terungkap.

Langsung lanjut ke next chapter author-nim!
chanyeolstagram #3
Chapter 2: The best junbin fanfiction that i hv read so far *sobs* pls update soon authornim ^^
kiddo21 #4
Chapter 2: Apa sebenarnya yg dilakukn junhoe?Lanjutin ya,authornim.Aku benar2 suka cerita ini,lagian ini junbin fic.