Chapter 4

With a Cherry on Top
Please Subscribe to read the full chapter

 

 

Yunho mulai memasuki hitungan ke-200 ketika kumpulan rusa imajiner di dalam kepalanya yang melompat-lompat mulai mengusutkan saraf-sarafnya. Sebetulnya, bukan hewan-hewan semu itu yang membuatnya begitu tidak tenang, melainkan fakta bahwa mereka berdua kini masih berada di satu ruangan yang sama, saling terjaga, keberadaan masing-masing begitu terasa, dan kendati demikian, hubungan mereka seolah merenggang seribu mil jauhnya.

Kesempatan apa yang mereka butuhkan untuk mencapai satu kesepakatan yang sama setidaknya dalam satu hari saja? Karena seiring meingkatnya ketetapan hati Yunho, kepercayaan diri Changmin untuk maju semakin berkurang. Bohong jika Yunho merasa itu tidak membuatnya berkecil hati.

“Changmin…” panggil Yunho, akhirnya mengalah dari permainan saling bungkam mereka. “Masuklah.”

Tidak ada suara dari balkon.

Yunho menyibakkan selimutnya dan berdiri dari matras. Changmin masih menunjukkan punggungnya, menatap ke pekarangan di bawahnya. Ia mendesah lega, meskipun itu tidak menjelaskan apapun.

“Kau bisa sakit,” coba Yunho sekali lagi. Bukan waktu yang tepat untuk mengusik dan menguji coba kesabaran Changmin sekarang, namun ia harus benar-benar memastikan bahwa semuanya masih dalam kendali.

“Bodoh,” balas Changmin, pelan sekali. Yunho dapat merasakan Changmin berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggigil di depannya, terlalu keras kepala untuk menghangatkan diri di dalam. Yunho juga tahu bahwa Changmin berusaha sebisa mungkin untuk tidak berada dalam radius sependek mungkin dari Yunho dalam satu ruangan, yang menjelaskan mengapa ia konsisten berdiri dalam dingin di atas balkon lebih dari satu jam.

Yunho melangkah hati-hati agar tidak mengejutkan Changmin. Melihat punggungnya yang bergerak naik turun dengan lemah seperti itu membuat Yunho ingin mengutarakan hal yang tidak-tidak. Ia menggeleng untuk menyingkirkan pikiran-pikiran itu dan mengangkat jari telunjuknya, berniat menyentil bahu Changmin sedikit.

“Aku tahu kalian memanggilku penyihir,” kata Changmin tiba-tiba. Yunho yang terkesiap mematung di tempatnya. “Aku juga tahu Kyungjae selalu mengumpat setiap kali membicarakanku di depanmu. Semua orang di kantor tidak menyukaiku.”

Yunho menarik kembali jari telunjuknya yang menggantung di udara, dan menyatukan kedua tangannya bimbang. Changmin memberikan jeda yang cukup untuk membuatnya resah.

“Sekarang setelah kau sudah melihatku yang sebenarnya, Yunho, aku ingin membuat pengakuan.” Changmin mendesah. “Setiap hari, aku harus berusaha ekstra keras untuk tidak sakit hati melihat kalian berpura-pura menghormatiku. Kalian semua tersenyum kepadaku, tetapi itu selalu membuatku ingin menangis karena kesal. Apa aku seburuk itu?”

Yunho membuka mulutnya dan menutupnya kembali. Ia mendesah setelah memutuskan untuk tidak menjawabnya sementara waktu.

“Aku tahu kau berpikir aku sangat menyebalkan,” kata Changmin mengecil. “Aku tidak pernah meminta maaf, tidak pernah memikirkan apapun kecuali diriku sendiri. Tentu saja, aku seburuk itu.”

Dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, Yunho merasa sangat bersalah. Mungkin karena Changmin mengetahui semuanya dengan cara yang tidak ia ketahui. Mungkin karena mereka harus sampai sejauh ini agar Changmin mengungkapkan semua isi hatinya. Atau barangkali, Yunho hanya benci mendengar kata-kata rendah itu keluar dari mulut Changmin sendiri alih-alih dari pemikiran Yunho sendiri yang selama ini telah berusaha keras untuk memanipulasi dirinya agar berpikir Changmin adalah orang terburuk di dunia. Usaha Changmin sama sekali tidak membantu ketika hal pertama yang Yunho ingin lakukan saat ini adalah berdamai dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Changmin.

“Orang tuamu,” ucap Changmin lagi. “mereka menyayangimu dan sangat peduli kepadamu. Bahkan Yeonhee, ia peduli padamu. Aku terlihat seperti perusak semua hal yang sudah sempurna di hidup kalian.”

“Changmin.”

“Aku bisa menyakiti semua orang jika mereka mengetahui kebenarannya.”

Ini dia. Changmin mencoba sekali lagi dengan pendekatan yang lebih halus. Sebuah proposal perpisahan yang selalu menguntit mereka, namun tidak pernah Yunho pikirkan dengan serius karena ia terlalu terbelit dengan momen yang ada, membuatnya selalu berpikir apa yang sedang terjadi, bukannya apa yang akan terjadi kemudian.   Yunho mengalihkan matanya ke bawah, mendesah, dan melihat punggung Changmin sekali lagi. Sejak kapan mereka menjadi serenggang ini? Sejak kapan pula mereka menjadi sedekat ini hingga Yunho merasa berat jika Changmin mengakhiri ini semua meskipun dengan alasan yang sangat ia setujui?

Berpikir untuk memutuskan hubungan mereka atas gagasannya sendiri terlihat tidak semenakutkan ini di hari itu, namun ketika Changmin memutuskannya sendiri sekarang, semuanya seperti akan benar-benar berakhir pada detik berikutnya, dan Yunho hampir-hampir panik membayangkannya. Sekalipun Yunho melakukannya dengan penuh kesadaran, tetap saja, ia sendiri terkejut saat kakinya kukuh melangkah ke depan dan kedua lengannya ringan terangkat, memeluk Changmin dari belakang.

“Yunho,” ucap Changmin hati-hati. Tubuhnya kaku seperti kayu di dalam rengkuhannya. Yunho bersumpah ia dapat mengerti mengapa Changmin begitu bimbang, karena ia pun tidak jauh berbeda.

“Diam dan jangan melawan.”

Yunho masih merasakan bahwa Changmin berpikir terlalu keras. Ia ingin membuat hubungan mereka lebih baik, namun sikap Changmin membuat kepercayaan dirinya menghilang.

“Terima kasih telah memikirkan perasaan keluargaku,” ucap Yunho pelan. “Aku sangat menghargai itu.”  

Changmin melemaskan tubuhnya perlahan dan mendesah panjang. Yunho menghela kelegaannya ketika Changmin tidak menyingkirkan kedua lengannya.

“Mengapa kau tidak mengambil posisi editor itu?”

Yunho bergeming. Tidak peduli seberapa sering ia melatih jawaban akan pertanyaan itu jika sewaktu-waktu Changmin mendesaknya, ia tidak pernah siap, karena ia tahu apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kamuflase lain yang akan menjustifikasi keengganannya.

“Aku tidak tahu,” jawab Yunho.

“Kau pikir aku akan percaya?”

Yunho menggigit bibir bawahnya sembari menundukkan kepalanya.

“Aku benar-benar tidak tahu.”

Changmin mengerang dan berputar di dalam rengkuhan Yunho untuk melihat wajahnya. Yunho menumpukan kedua lengannya di teralis pagar balkon dan membuat mereka semakin mendekat. Changmin mungkin berusaha untuk terlihat normal, namun Yunho menyadari perubahan rona wajahnya. Ia mencondongkan wajahnya sedikit ke samping untuk menghindari sentuhan-sentuhan yang akan membuat mereka canggung.

Berusaha menguasai keadaan, Changmin meluruskan ekspresinya dan bersiap untuk mengkonfrontasi Yunho sekali lagi.

“Ini kesempatan terakhirmu,” ucap Changmin. “Jika kau berbohong lagi aku akan…”

Yunho mengangkat satu alisnya, menunggu. “Akan apa?”

Changmin membuat sebuah kepalan dan menekannya di perut Yunho. “Ini.”

“Jika kau ingin bermain fisik, aku akan mengalahkanmu terlebih dahulu,” tantang Yunho setengah hati.

Changmin mengangkat dagunya tanpa sungkan, menunggu apa yang akan Yunho lakukan untuk mengalahkannya, atau lebih baik lagi, mengatakan alasannya saat itu juga. Terbatasnya jarak pandang membuat Yunho menarik kepalanya ke belakang dan menatap wajah Changmin secara keseluruhan. Barangkali aksinya terhitung sebagai sebuah keberanian, namun kemudian ia sadar hanya ada garis setipis ini antara keberanian dan ketidaktahumaluan. Meminta izin terdengar tidak tahu malu, dan memberinya aba-aba akan apa yang akan ia lakukan terdengar lebih tidak tahu malu lagi. Jadi Yunho melakukannya dengan cepat sebelum ia berubah pikiran. Dengan ceroboh, bibirnya mendekati milik Changmin.

Satu hal yang pasti, Yunho tidak melakukan apapun setengah hati. Tangannya merambat naik dari kedua pergelangan tangan Changmin hingga berhenti di kedua bahu, menariknya lebih rapat lagi saat Changmin tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melawan. Meskipun Changmin kembali membeku dan terlihat terkejut, Yunho berusaha dengan perlahan-lahan untuk membuatnya tetap tenang di tempatnya. Saat tangannya menemukan tengkuk Changmin, ia memperdalam ciumannya. Ia merasa mereka berdua telah membuang jauh-jauh kerasionalan yang membatasi mereka berdua.

Changmin mengangkat kedua tangannya dan menggenggam erat lengan piyama Yunho. Ia mencoba mencari di mana letak kesalahan mereka saat ini sementara bibirnya lambat-lambat mulai membalas. Changmin tidak menemukannya, sama sekali, meskipun semua itu terpapar jelas di hadapannya. Mendorong kepalanya lebih dalam ke depan, Changmin hampir saja tersandung kaki Yunho jika saja Yunho tidak mendorongnya lagi ke belakang, menyebabkan punggungnya menggantung dengan posisi tidak aman melewati kisi-kisi balkon.

“Jung,” ucap Changmin di sela-sela. Yunho mencuri kecupan lagi darinya, membuat punggung Changmin bergetar menahan berat mereka berdua. “Jung Yunho.”

Sadar dari kegilaannya, Yunho segera memegang punggung Changmin dan menariknya menjauh dari pagar bersamanya.

Posisi mereka membuat Changmin terpaksa harus menatap mata Yunho dari jarak sedekat itu. Yunho tidak berniat untuk melepaskan lengannya dengan segera dan Changmin merasa harus ada seseorang yang mematahkan mantra aneh yang terjadi di antara mereka, dan sudah pasti itu bukan Yunho. Ia berdehem cukup keras dan menggerak-gerakkan tubuhnya. Pada akhirnya, Yunho melepaskan lengannya dengan enggan.

“Apa yang baru saja terjadi?”

Jantung Yunho masih terlalu berdebar untuk menjawabnya, dan kemudian hanya dapat memikirkan jawaban termudahnya. “Tidak tahu.”

Satu pukulan mendarat di perutnya dengan mulus. Yunho mengerang dan tersontak ke belakang ketika Changmin berjalan melewatinya. Membalikkan tubuhnya, ia melihat Changmin keluar dari kamar mereka dengan bantal miliknya di lengan.

Kaki Yunho terpaku di tempatnya berdiri dan matanya menatap pintu yang sudah tertutup kembali selama tiga menit penuh sebelum mendesah.

“Jangan panik, Jung Yunho,” gumamnya. “Kau tidak melakukan kesalahan apapun.”

 

 

 

@@@

 

 

Changmin menatap lembar naskah di tangannya sembari melamun, terjebak antara kertas-kertas itu dan tayangan ulang kejadian beberapa saat lalu di kepalanya. Alih-alih tabu, ia berpikir mencampuradukkan kehidupan pribadi dan pekerjaannya tidaklah mudah ketika Yunho berada tepat di antaranya.  Dan ketika ia lengah, tiba-tiba saja ini semua bukan tentang karirnya lagi. Changmin berpikir seribu kali sebelum akhirnya menghela, berhasil memutuskan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi lagi dalam sejarah karirnya berpuluh-puluh tahun kelak.

“Halo,” sapa seseorang.

“Kangta,” sahut Changmin tenang.

“Shim Changmin? Bukankah kau sedang berlibur dengan asistenmu? Um, maksudku tunanganmu.” Timbul pertanyaan Kangta yang membuatnya membisu selama beberapa saat.

“Begitulah.” Ia menjawab seadanya. “Aku mengirimkan sebuah rekomendasi kepadamu beberapa saat lalu. Apakah kau sudah menerimanya?”

“Ya. Aku sudah membacanya,” jawab Kangta. Changmin dapat membayangkannya berpikir dalam diam. “Apa yang terjadi?”

“Aku tidak bisa menjelaskannya di sini,” kata Changmin. “tapi aku harap kau mempertimbangkannya dengan segera.”

“Aku akan berusaha.” Kangta menanggapi. “Tentang jabatan kepala editor di kantor pusat, apa kau yakin tentang keputusanmu? Di saat tertentu kau begitu ingin mendapatkannya, tapi di lain waktu…”

Changmin merenung sejenak, masih tidak memercayai dirinya sendiri. “Jangan memikirkanku. Pikirkan saja tentang rekomendasinya.”

Kangta berdecak. “Baiklah. Aku akan menghitung ini sebagai hutangmu kepadaku.”

“Aku akan mengirimkan profil lengkapnya segera,” ucap Changmin mengakhiri sambungan telepon mereka.

Ia membuka kontak di ponselnya lagi dan menatap satu nama dengan ragu-ragu. Dua menit kemudian, Changmin akhirnya menekan tombol dan menunggu dengan gelisah.

“Oh, hai, Yeonhee,” sapanya ketika panggilannya tersambung. “Ini aku, Shim Changmin.

 

 

@@@

 

 

Terbungkus rapi di dalam tuksedo hitamnya, Yunho berdiri di depan altar. Di sampingnya, Changmin menegakkan tubuhnya dengan tidak nyaman dan berulang kali menyentuh kancing tuksedo warisan kakek Yunho yang menyempurnakan tubuh ramping dan tingginya, dan menata letak dasi kupu-kupunya meskipun benda itu telah tersampir dengan sempurna di kerah kemejanya. Semua pemandangan itu terlihat terlalu mengharukan, hingga Yunho memandang raut wajah Changmin dan menemukan ketidakberesan di balik wajahnya yang sempurna.

Mereka berdua hanya terlalu gugup, pikir Yunho.

“Kita semua berkumpul di sini,” mulai sang penghulu. “untuk memberikan rasa terima kasih kita dan merayakan salah satu momen terbaik dalam hidup.”

Yunho menarik napasnya perlahan-lahan dan menghembuskannya. Ia mengganti tumpuan kakinya setiap satu detik seiring dengan pidato penghulu di depan mereka yang menyemukan wajahnya karena setiap kata terasa menyengat dan berteriak tentang sebuah dosa. Lebih spesifik lagi, Yunho merasa sangat bersalah dalam skala yang tidak lagi terbayangkan. Ia sudah sedekat ini untuk mengakui segalanya di depan sana.

“Permisi,” ucap Changmin mengejutkannya.

Penghulu di depan mereka berhenti dan menatap Changmin dengan perasaan terganggu karena telah menginterupsi pidatonya.

“Aku ingin mengatakan sesuatu,” ucap Changmin.

Rasa bersalah Yunho terlupakan begitu saja. Telinganya berdenging disertai dengan suara detak jantungnya yang berdegub begitu kencang di belakang kepalanya.

“Changmin,” ucapnya memperingatkan.

“Bisakah dikatakan setelah ini?” tanya penghulu.

Changmin menggelengkan kepalanya.

“Changmin, aku bersumpah jika kau membuka mulutmu –”

Sebelum Yunho menyelesaikan kalimatnya, Changmin memegang dada Yunho untuk menghentikannya dan tersenyum gugup sebelum memutar tubuhnya menghadap para tamu undangan.

“Selamat siang, semuanya.” Changmin memulai dengan gugup dan mencoba menghindari tatapan keluarga Yunho di barisan kursi depan. “Terima kasih sudah datang kali ini.”

Yunho mengambil satu napas penuh sebelum menyusul Changmin menghadap ke semua orang. Picingan mata ayahnya memberikan efek samping yang tidak lembut di bekas pukulan Changmin semalam di perutnya.

“Mungkin sebagian besar dari kalian telah mendengar rumor-rumor yang tidak baik tentangku,” sambung Changmin. “Meskipun tidak semuanya benar, tapi aku rasa aku harus benar-benar membuat kalian kecewa sekarang.” Changmin memberi jeda. Tatapan semua orang membuatnya merasa sangat bersalah dan malu. “Aku hanyalah seorang kepala editor yang memiliki ambisi untuk bekerja di tempat yang lebih baik, dengan syarat yang tidak terlalu masuk akal. Karena alasan itu, aku memaksa Jung Yunho untuk menikah denganku."

“Berhentilah,” bisik Yunho sedikit memohon ketika suara terkejut dari semua orang terdengar.

“Seperti yang kalian semua tahu, Yunho adalah seorang pekerja keras, sama seperti ayahnya.” Changmin memberanikan diri menatap ayah Yunho sekarang dan mencoba memberikan senyuman terbaiknya. “Selama bertahun-tahun, Yunho bekerja lebih keras dari siapa pun di perusahaan untuk mendapatkan apa yang ia mau, dan aku tahu, jika aku mengancamnya untuk menghancurkan karirnya, ia akan melakukan apapun. Jadi aku memaksanya untuk berbohong kepada semua orang.”

Changmin menundukkan kepalanya sejenak dan mulai menertawai kekonyolan ini dalam hati sebelum ia tidak bisa melakukannya sama sekali setelah pengakuan besar ini. Ia dapat dengan jelas merasakan kehancuran karirnya, reputasinya, dan yang paling utama dan paling ia sayangkan, hubungannya dengan Yunho.

“Aku pikir akan mudah menyaksikannya melakukan itu semua,” ucap Changmin mengangkat kepalanya. “Ternyata tidak. Menghancurkan hidup seseorang

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
MaxRen13 #1
Chapter 4: Aaaaahhh... Ending yang maniiiiissssss banget ???????
crystalice02
#2
Chapter 4: Kjhbghhvhbxfgjz gemes bangeeet! Gemes sama ke-tsundere-an chami, gemes jg sama ke-bucin-an yunho!
Padahal udah tau plot utamanya bakalan gimana tp tetep aja ikut baper bacanya T-T
Thank you so much udh update fic ini sampe abis, ditunggu ff homin yg selanjutnya author-nim <3
Bigeast88 #3
Chapter 4: Uwaaaaa update!!
U came to concert??? Aigooo i wish we can meet~~ TT.TT me too i have PCD too lol and after changmin posted on IG about the concert, the PCD is getting worse TTwTT hope we'll see them again in jakarta!!
JiJoonie
#4
Chapter 4: Sksksksk i—i hate you so much yunho-nim T_T why you always make my heart doki-doki?!?!?!?!

Anyway you did amazingly like always ka kina! Thank you for this wonderful story and I still wait for you next Homin story UwU
QueenB_doll #5
Chapter 4: Hahahahaa mereka lucu bgt, makasih untuk menamatkan fic ini authornim, endingnya memuaskan, tapi mereka jadi pasangan yang sibuk ya i see, mirip mereka d dunia nyata wkwkwwkkw.. XDD
vitachami
#6
Chapter 4: Akhirnya update...
Saya senang
Sudah lama menunggu fanfic ini...
Thx sudah update dan semoga sukses terus smua karyanyaa
jungjiym #7
Chapter 3: Omg, I really love this story :') semoga terus lanjut yaa
lusiwonkyu
#8
Chapter 3: Ini ada haehyuk ver nya jgaa..
LMS_239
#9
Chapter 3: Walo Udh pernah nnton film nya n baca remake nya jd homin tp english ver bbrp taun lalu
Tp tetep suka dgn yg indo ver ini XD
English ver n indo ver nya pnya gaya tulisan sndiri yg bikin feel ny tetep beda XD
Fighting!!
upiek8288 #10
Chapter 3: Huhuhu
Chami.. be brave..
Evwn hrs start over bc lg.. to g apa worth it kok.. dtggu uodate brktnya..