Something Left Behind

Midnight Awakening
Please Subscribe to read the full chapter

Suncheon, 10 Desember 2010

“Dengar, Jihye,” Wanita itu berkata dengan nada mengancam. “Lakukan yang terbaik. Aku tidak mau usahaku bangkrut hanya gara-gara kau. Jika saja kau mengacau, aku tidak akan memberikan pekerjaan padamu lagi.”

Dia adalah pemilik rumah bordil. Jihye diam-diam menyebutnya Si Rubah, karena wanita itu sangat licik. Tidak akan memberikan pekerjaan lagi, dia bilang? Seakan-akan Jihye mau saja bekerja seperti ini.

Tapi, Jihye mengangguk pelan. Dia tidak mau ada lebam tambahan di bagian tubuhnya karena dipukuli Si Rubah.

“Bagus,” kata Si Rubah, lalu meninggalkan kamar.

Sampai saat ini, Jihye masih tidak bisa paham mengapa orang tuanya menjualnya. Bersama dengan Si Rubah, mereka bertiga adalah orang yang paling Jihye benci di dunia ini. Jihye tidak akan pernah memaafkan orang tuanya karena sudah membiarkan anak semata wayang mereka membusuk didalam tempat menjijikkan seperti ini hanya untuk uang.

Dua tahun sudah berlalu sejak orang tua Jihye menjual anak perempuan mereka ke rumah bordil ini. Dua tahun juga sudah berlalu yang Jihye isi dengan mendapatkan pelajaran dari Si Rubah untuk memuaskan kebutuhan lelaki hidung belang. Dan hari ini, Jihye akan mendapatkan pelanggan pertamanya.

Jantung Jihye berdentum dengan kencang. Gambaran apa yang akan terjadi menit-menit kemudian membuatnya mual. Dia baru empat belas tahun, dan harus kehilangan kehormatannya sebentar lagi. Jihye ingin menangis. Dia ingin pergi dari rumah ini dan tidak pernah kembali lagi. Namun, usahanya pasti hancur berantakan, karena interior bangunan ini telah didesain sedemikian rupa agar tidak ada yang bisa kabur. Dan, Si Rubah akan mendapat alasan lebih untuk menganiaya Jihye.

Suara pintu berayun membuka membuat Jihye berjengit. Jihye tetap duduk di ujung ranjang. Jemarinya bertautan erat sampai mengeluarkan keringat. Pandangannya tertuju pada lantai, tidak berani membuat kontak mata. Tapi, dari sudut mata, Jihye dapat melihat pria itu sedang melepas luaran bajunya.

Tiba-tiba, kaki pria itu tertangkap mata Jihye. Jihye pun memejamkan mata, sementara tubuhnya didorong pelan agar terbaring di atas ranjang. Jihye dapat mencium wangi parfum dengan aroma menyenangkan saat pria itu menindihnya. Tubuh Jihye membatu ketika dia merasakan kancing kemejanya mulai dibuka. Rasa napas orang lain yang mulai mendekat ke wajahnya membuat Jihye menggigit bibir.

Tanpa bisa ditahan lagi, air matanya menetes. Ibu jari pria itu menyentuh pipi Jihye, mengusap air matanya dari sana.

“Kau tidak menginginkan ini.”

Suaranya lembut dan enak didengar. Jihye memberanikan diri untuk membuka mata. Kini, dia dapat melihat wajah pelanggannya dengan jelas. Yang mengejutkan Jihye, wajah itu terlihat sangat muda. Jihye yakin jarak usia mereka tidak begitu jauh. Sangat mengherankan orang sepertinya berada di tempat tidak pantas seperti ini.

“Maafkan aku,” Jihye berbisik.

“Oh, tidak masalah.” Pemuda itu bangkit dari ranjang dan berdiri disisinya. “Justru akan sangat mudah dengan begitu.”

Sambil mengancingi dua kancing kemejanya lagi, Jihye mendengarkan dan berhasil dibuat kebingungan. Maksudnya apa?

“Kata matronmu, namamu Jihye, benar?”

Jihye mengangguk.

“Apa kau ingin pergi dari sini, Jihye?”

“Lebih dari apapun.”

“Kalau begitu, aku akan membantumu.”

“Aku tidak mengerti,” kata Jihye.

Belum sempat mendapat jawaban, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Jihye memekik tertahan, sementara pemuda di hadapannya terlihat santai. Tangan pemuda itu kemudian menekan telinga, dimana sebuah earpiece terpasang.

“Got it,” Dia berkata pada earpiece, lalu mengulurkan tangan pada Jihye. “Ayo, waktu kita tidak banyak.”

Jihye berdiri dari ranjang dengan bantuannya. “Aku masih tidak mengerti.”

Pemuda itu tidak mengindahkan. “Pakai ini.” Dia pun menyampirkan luarannya pada bahu Jihye. Setelah itu, dia menarik tangan Jihye untuk keluar dari ruangan.

Koridor rumah sunyi senyap. Namun, tiba-tiba beberapa pintu menjeblak terbuka dan keluar beberapa laki-laki lain yang lebih tua dari yang menghadapi Jihye, membawa seorang dibawah umur lainnya.

“Kau ini apa?” tanya Jihye. “Mata-mata? Agen rahasia?”

“Kurang lebih begitu,” Dia menjawab. “Tapi, aku masih belum diresmikan. Statusku masih Junior. Dan Junior diperbolehkan berpartisipasi dalam misi penyelamatan sebagai bagian dari latihan. Hanya misi penyelamatan.”

Walaupun kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan lain, Jihye memilih untuk bungkam. Karena mereka sudah sampai di bagian depan rumah bordil dimana terdapat meja resepsionis. Tempat itu penuh darah. Di dinding, di lantai, maupun di pakaian Si Rubah yang terbaring tewas di lantai.

Mata Jihye membulat. “Kau—membunuh orang?”

“Orang seperti dia lebih pantas mati,” jawabnya tanpa ampun.

Mereka melewati jasad Si Rubah yang kini dimasukkan ke dalam kantung mayat oleh para agen. Di depan rumah, terparkir kira-kira tiga buah van. Jihye dibawa ke dalam van ketiga.

“Nah, Jihye,” Pemuda itu berbicara ketika mereka sudah duduk manis didalam van. “Daritadi kau selalu bilang kalau kau tidak mengerti. Sekarang, biarkan aku menjelaskan padamu.”

Jihye menoleh padanya, terlihat sangat antusias dengan apapun penjelasan yang akan pemuda itu berikan.

“Sebelumnya, aku akan memperkenalkan diriku. Mereka menyebutku Red Robin. Tapi, kau bisa memanggilku Jisoo.”

--

“Cleopatra, Minerva mengharapkan kehadiranmu secepatnya di kantornya.”

Minerva adalah nama sandi Soyeon, diberikan padanya karena Soyeon memiliki banyak sifat dewi Romawi itu. Tapi, bukan itu yang Narae permasalahkan. Dia tidak mengerti kenapa Soyeon memanggilnya lagi. Bukankah motivasinya tadi malam sudah cukup?

“Aku akan datang,” Narae menjawab.

Kebalikan dari perkataannya, Narae berniat untuk berbaring kembali di kasur, ketika kini suara Soyeon yang terdengar dari speaker di dinding kamar. “Sekarang!”

Mengerang jengkel, Narae bangkit dari kasur dengan enggan. Ditutupnya kamus bahasa Belanda dan disembunyikan di balik bantal. Sambil melakukannya, dia dapat mendengar Jihye tertawa-tawa dari kasur atas.

“Apa?” kata Narae sewot. “Kalau kau tiba-tiba dipanggil ketika sedang mengerjakan sesuatu yang penting, tidakkah itu akan mengganggumu?”

Kepala Jihye melongok dari bagian atas kasur susun. “Narae, memangnya delapan bahasa tidak cukup sampai-sampai kau masih ingin menambah lagi?”

“Cleopatra menguasai sembilan bahasa.”

“Oke, terserah,” kata Jihye pasrah. “Sana, penuhi permintaan mentor kita. Oh, dan tolong ambilkan buku Matematikaku di ruang pengawasan simulasi. Kemarin tertinggal.”

Narae pun pergi, keluar dari kamar dengan pintu biru bertuliskan Cassiopeia, menandakan kamar itu milik tim yang diketuai Jisoo.

Hari ini hari minggu. Tidak ada kegiatan resmi di markas s

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
fairy98 #1
Chapter 2: Waaaa, gak sabar nunggu lanjutannga. Penasaran juga dengan seungchol. Jangan-jangan, dia tim lawan?
keyhobbs
#2
Chapter 2: ah,,,sejauh ini seungcheolnya cuman muncul sebentar aja ya? Humm~~kasian hansol, pasti kecewa bnget tuh ,,btw, d tunggu lho lanjutannya hehe