FINAL

Stay With Me

“Jungkook-ah, apa yang sedang kau lakukan di sana?”

 

Mendengar namanya disebut, Jungkook menolehkan kepalanya ke arah suara itu berasal dan menemukan sosok Kim Taehyung yang berdiri di depan pintu kamarnya. Rambut Taehyung terlihat berantakan, begitu juga dengan piyama biru kesayangannya yang terlihat kusut setelah dipakai selama tiga malam berturut-turut. Jungkook sendiri hanya mengulas senyum kecil, lalu menyeruput kopinya yang mulai mendingin seraya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

 

Rasa ingin tahu yang begitu tinggi mendadak menyerang Taehyung ketika mendapati Jungkook yang terlihat lebih murung dari biasanya. Alih-alih membalikkan tubuhnya dan kembali ke dalam kamar, Taehyung justru melangkah mendekati Jungkook yang duduk beralaskan lantai. Pelan dan perlahan, Taehyung ikut merebahkan tulang duduknya di atas hamparan lantai keramik yang dingin. Seolah menjiplak segala gerak-gerik Jungkook, ia pun turut memeluk kedua lututnya seraya menghadap jendela balkon yang dibiarkan terbuka.

 

“Sejak kapan kau minum kopi?” tanya Taehyung yang kembali memulai percakapan baru. “Bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau membenci kopi karena rasanya yang pahit?”

 

Lagi, Jungkook hanya terdiam. Mulutnya terkatup rapat, seolah enggan untuk kembali memperdengarkan suaranya yang terbiasa memenuhi seisi asrama.

 

Merasa tak ada jawaban yang akan ia terima, Taehyung melirik ke arah Jungkook dengan dahinya yang berkerut bingung. Setelah bertahun-tahun mereka hidup dan tinggal di bawah atap yang sama, baru kali ini ia melihat sisi melankolis di dalam diri Jungkook yang sama sekali tak pernah pemuda itu tunjukkan kepada siapa pun sebelumnya. Ke mana perginya Jungkook yang ceria itu? Ke mana perginya Jungkook yang tak pernah kehabisan ide untuk mengerjai rekan-rekan satu grupnya? Bahkan asrama kini terasa lebih sepi dari biasanya jika tawa tidak lagi berkumandang dari bibir si bungsu.

 

“Hei, ada apa? Apa sesuatu terjadi padamu?” tanya Taehyung yang sama sekali tidak dapat menyembunyikan kecemasan dalam nada bicaranya.

 

Menghela napas panjang, Jungkook kemudian membuka belah bibirnya seraya menggumam rendah, “Aku baik-baik saja.”

 

Kini giliran Taehyung yang terhenyak dalam diam. Ia menatap senyum kecil yang terlukis di wajah Jungkook dan menyadari bahwa senyum itu hanyalah sebuah kepura-puraan yang ia gunakan sebagai tameng untuk melindungi dirinya. Mungkinkah jika Jungkook merasa terganggu dengan sikap Taehyung yang selalu ingin tahu?

 

Entahlah. Tapi yang jelas, jawaban singkat yang dilengkapi dengan senyum penuh kepura-puraan itu telah berhasil membuat Taehyung yang cerewet dan tak pernah kehabisan bahan pembicaraan itu bungkam seribu bahasa. Ia tidak tahu lagi harus menggunakan cara apa untuk bisa mengembalikan Jungkook menjadi seorang remaja yang penuh dengan keceriaan seperti bagaimana ia seharusnya. Bahkan kericuhan dan kehebohan yang selalu tercipta ketika mereka bersama-sama seolah sungkan untuk singgah walau hanya sejenak. Malam ini Jungkook terlihat lebih nyaman duduk berselimutkan keheningan, dan diam-diam Taehyung merasa bersalah karena telah merusaknya.

 

Berdeham pelan, Taehyung kembali melirik ke arah Jungkook sembari berkata, “Kau tahu, kau tidak semestinya memendam masalahmu seorang diri. Jika kau membutuhkan seorang teman untuk mendengarkanmu berkesah dan berkeluh, kau selalu bisa mempercayaiku.”

 

Mendengar hal itu, Jungkook membalas tatapan Taehyung dan tertawa pelan. Ia kemudian mengangkat cangkir minumannya dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk.

 

“Tidak perlu serius begitu. Bukankah tadi sudah kukatakan? Aku baik-baik saja.” tutur Jungkook dengan suara tegasnya yang sama sekali tidak bisa dibantah.

 

Meskipun Taehyung adalah salah satu sahabat terdekatnya, tapi Jungkook tahu bahwa tidak sepantasnya ia bersikap tidak sopan terhadap pemuda yang berusia dua tahun lebih tua darinya itu. Dan hal itu pun ikut tercermin dari perubahan sikap Taehyung yang terlihat kesal dengan jawaban yang ia terima. Sembari mendengus keras, Taehyung kemudian menegakkan tubuhnya dan bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu.

 

“Aku hanya mencemaskanmu. Bagaimana pun juga, kita sudah bertahun-tahun tinggal di bawah atap yang sama dan kau juga telah kuanggap seperti adikku sendiri.” menghela napas, Taehyung menyempatkan dirinya untuk kembali menatap Jungkook dengan pandangannya yang mulai melembut. “Aku sama sekali tidak bercanda dengan ucapanku. Jika nanti kau sudah siap untuk mengungkapkan masalahmu, aku yakin kau pasti tahu di mana harus mencariku.”

 

Alih-alih membuka mulut dan menggumamkan jawaban untuk Taehyung, Jungkook hanya mengulas senyum kecil seraya mengangguk singkat. Taehyung membalas senyuman Jungkook, sebelum akhirnya membalikkan badan dan melangkah meninggalkan ruang tengah. Meninggalkan Jungkook yang kembali berkawan dengan kesunyian.

 

Sembari menghela napas panjang, Jungkook merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah ponsel pintar keluaran terbaru yang baru saja ia beli bulan lalu. Dengan cekatan ia mengetik enam digit angka rahasia yang ia jadikan sebagai kunci pengaman, menjelajahi deretan ikon yang tersaji di halaman menu, lalu mengakhirinya dengan menekan sebuah tombol virtual untuk aplikasi berkirim pesan. Seiring dengan terangkainya sejumlah kalimat di dalam otak kecilnya, jari-jemari Jungkook yang tangkas dan terlatih itu pun mulai menekan sederet tombol virtual di hadapannya hingga menghasilkan sebuah pesan sederhana.

 

Jungkook menggigit bibirnya saat membaca ulang susunan kalimat yang tertera di atas layar ponsel. Sejenak, ia tampak sedikit ragu. Haruskah ia mengirim pesan ini? Tidakkah ia terlihat seperti seorang anak gadis yang bersikap terlampau protektif terhadap kekasihnya?

 

Tunggu...

 

Kekasih?

 

Tsk, ayolah, jangan berlebihan. Mungkin memang benar jika selama ini Jungkook menyimpan perasaan khusus untuk pemuda itu, tapi bukankah ia sama sekali tak pernah menyatakannya secara gamblang di hadapan seseorang yang ia sukai? Dan mencoba menerka isi hati seseorang yang kita sukai itu tidak jauh berbeda dengan membelah sebuah fortune cookies. Jika beruntung, kita akan mendapatkan jawaban yang sesuai dengan apa yang selama ini kita harapkan. Dan jika kesialan memutuskan untuk singgah, kita akan mendapatkan sebuah jawaban yang mampu menghancurkan segenggam harapan menjadi butiran asa. Kecil, rapuh, dan menyakitkan. Sedikit tidak adil memang, tapi bukankah terkadang kenyataan memang tidak pernah sejalan dengan harapan?

 

Untuk yang kesekian kali, Jungkook kembali menghela napas panjang. Pandangan matanya tertuju pada layar ponsel, namun pikirannya berkelana ke berbagai penjuru. Di mana dia sekarang? Kenapa dia masih belum juga menampakkan batang hidungnya di waktu yang telah larut ini? Mungkinkah terjadi sesuatu padanya?

 

“Sial!” umpat Jungkook pelan. Ia melempar ponselnya ke sembarang arah, sama sekali tidak perduli jika barang mewah itu lecet saat membentur lantai keramik. Jungkook kemudian mengusap wajahnya dengan kasar seraya mendesah frustasi.

 

Di tengah kegelisahan, ia hanya mampu berbisik, “Namjoon hyung, cepatlah pulang.”

 

 

 

 

.....

 

 

 

 

Jungkook tersentak dari tidur lelapnya ketika mendengar suara debam pintu yang dibanting dengan kasar. Dengan kesadaran rendah, ia mencoba mengamati keadaan di sekitarnya dan berkerut heran ketika pandangannya tertumpu pada jam dinding yang tergantung di dekat pintu kamarnya. Siapa yang berani membuat keributan pagi-pagi buta, huh? Tidak tahukah dia bahwa Jungkook baru saja menjelajahi alam mimpi selama empat puluh menit?

 

“Brengsek!” Lagi, umpatan kasar kembali termuntahkan dari bibir Jungkook.

 

Meski terasa berat, Jungkook akhirnya memaksakan diri untuk bangun dan beranjak meninggalkan tempat tidurnya yang empuk dan nyaman. Sembari menahan rasa kantuk yang masih menggelayuti kedua matanya, Jungkook berjalan melintasi kamarnya yang tidak terlalu luas dengan langkah gontai. Sesaat setelah menutup pintu kamar, ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke sepenjuru asrama untuk menemukan sang pelaku utama yang telah mengganggu tidur nyenyaknya.

 

Jungkook berdecak pelan saat mendapati ruang tengah yang terlihat kosong tak berpenghuni. Ia baru saja hendak berbelok menuju sebuah kamar yang ditempati oleh tiga kawanan pembuat onar, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara denting botol yang beradu dengan gelas kaca dari arah dapur. Sebuah tanda tanya baru kini memenuhi isi kepalanya. Alih-alih melanjutkan niatnya untuk menyusup ke dalam kamar Hoseok, Jimin, dan Taehyung, Jungkook justru membalikkan badannya ke arah yang berlawanan. Pelan dan perlahan, Jungkook membawa kakinya melangkah ke tempat suara itu berasal.

 

Jika sebelumnya ia terpaksa berjalan sembari meraba-raba dinding di sepanjang koridor yang gelap gulita, pencahayaan lampu yang begitu menyilaukan pandangannya adalah hal pertama yang menyambut kedatangan Jungkook. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, menghalau terjangan sinar lampu dengan sebelah tangannya yang terangkat di udara, dan ia pun hanya bisa termangu seperti patung bodoh yang telah lapuk dimakan usia saat mendapati kehadiran seorang pria lain di sana.

 

Biasanya Jungkook tidak akan pernah segan untuk memperdengarkan teriakan nyaringnya jika di suatu malam ia mendapati Jimin yang mengganggu kedamaiannya. Tak jarang pula, Jungkook akan dengan senang hati menghadiahi Taehyung dengan sebuah jitakan keras jika menemukan pemuda itu menikmati semangkuk es krim tanpa mengikut-sertakan dirinya. Tapi segala macam tindakan kurang ajar itu sama sekali tidak akan berlaku jika ia dihadapkan dengan seorang Kim Namjoon. Jangankan membantah, sekedar menatap matanya pun terkadang Jungkook tak mampu.

 

Bukankah ada sebuah kalimat legendaris yang mengatakan bahwa mata adalah jendela hati? Kau mungkin bisa berbohong dengan mulutmu, tapi tidak dengan matamu. Dan mungkin itulah satu-satunya kelemahan Jungkook; ia masih belum cukup mahir untuk menyembunyikan perasaannya di hadapan Namjoon, seorang pria yang tanpa sadar telah memporak-porandakan hatinya.

 

Sembari berdeham pelan, Jungkook berusaha sekuat tenaga untuk tetap bersikap senormal mungkin. Dan rupanya hal itu telah berhasil memecah atensi Namjoon yang sedaritadi terpaku pada botol soju di hadapannya. Alih-alih memperlihatkan senyum manis yang biasa bertengger di wajahnya, Namjoon membalas tatapan Jungkook dengan senyum pahit yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

 

“Belum tidur?” tanya Namjoon berbasa-basi. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.

 

Jungkook mengehela napas panjang sebelum menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. “Aku terbangun beberapa menit yang lalu saat mendengar suara pintu depan yang ditutup dengan penuh kelembutan, sampai-sampai memaksaku keluar dari alam mimpi.” gumam Jungkook sarkastis.

 

Namjoon tertawa pelan mendengarnya. Ia kemudian menarik salah satu kursi kayu yang berada tepat di hadapannya dan mengisyaratkan Jungkook untuk ikut bergabung bersamanya. Merasa tidak ada pilihan lain, Jungkook akhirnya menuruti keinginan sang ketua dengan merebahkan tulang duduknya di tempat yang telah dipersiapkan untuknya.

 

“Maaf.” Namjoon menggumam lirih, nyaris terdengar seperti sebuah bisikan sendu yang mengalun di telinga Jungkook. “Kau pasti kesal karena aku telah mengganggu waktu istirahatmu.”

 

“Tidak apa-apa.” Jungkook menyahut cepat, sama sekali tidak ingin membuat Namjoon merasa bersalah akan tindakannya.

 

Pada faktanya, justru Jungkooklah yang terjaga sepanjang malam hanya untuk menunggu kepulangan pemuda itu. Jungkooklah yang tak henti-hentinya mencemaskan Namjoon karena tak kunjung menampakkan batang hidungnya hingga larut malam. Dan alih-alih merasa lega, wajahnya semakin diliputi rasa cemas saat melihat keadaan Namjoon yang terlihat berantakan.

 

Ingin rasanya ia bertanya kenapa, namun egonya yang terlampau tinggi membuat Jungkook tersentak saat mulutnya kembali melontarkan kalimat sarkastis; “Seingatku, kau pernah membuat sebuah peraturan yang melarang seluruh member untuk mengkonsumsi alkohol di dalam asrama.”

 

Bodoh! Bagaimana mungkin Jungkook bisa memuntahkan kalimat seperti itu di saat ia semestinya merangkul dan membantu Namjoon untuk membenahi suasana hatinya yang kacau?

 

Baiklah, Jungkook tahu tindakannya kali ini telah melampaui batas wajar. Meskipun Namjoon hanya tiga tahun lebih tua darinya, tapi seharusnya Jungkook tahu bahwa posisi Namjoon sebagai seorang ketua sangatlah jauh jika dibandingkan dirinya yang menempati posisi sebagai ‘anak bungsu’. Jungkook baru saja hendak membuka mulutnya dan meminta maaf atas sikapnya yang arogan, namun lagi-lagi ia terpaksa mengurungkan niatnya ketika Namjoon kembali mendahuluinya.

 

“Maaf.” Bisik Namjoon lirih hingga Jungkook nyaris tidak dapat mendengarnya. “Sebagai seorang leader, aku bahkan tidak pernah bisa memberikan contoh yang baik untukmu.”

 

Hening sejenak, Jungkook memandang lurus ke arah Namjoon yang sedaritadi menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Hyung, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Jungkook yang terang-terangan mengabaikan ucapan Namjoon sebelumnya.

 

“Ceritanya panjang. Aku tidak tahu harus memulainya dari mana.” keluh Namjoon seraya menghela napas panjang. Ekspresi jenaka yang senantiasa menghiasi wajahnya kini telah meredup, tergantikan dengan raut wajahnya yang terlihat lelah sekaligus jengah.

 

“Ceritakan saja. Aku akan mendengarkan semuanya sampai selesai.” sahut Jungkook menenangkan.

 

Namjoon menatap Jungkook sesaat, lalu menghela napas panjang sebelum berkata, “Baiklah.”

 

Tersenyum simpul, Jungkook lalu mengubah posisi duduknya dan merapat ke arah Namjoon. Ia menajamkan telinga, bersiap untuk mendengarkan segala kesah dan keluhan yang menghimpit dada sang ketua. Namun setelah tiga menit berselang, Namjoon tak kunjung membuka mulutnya.

 

Hyung,” panggil Jungkook yang menyentak Namjoon dari lamunan singkatnya.

 

Tergagap, Namjoon membalas panggilan si bungsu dengan gumamam pelan yang sama sekali tidak dapat dijangkau oleh indera pendengaran sang lawan bicara. Bola matanya bergerak-gerak gelisah, sementara bibirnya masih senantiasa meracau tak jelas. Sesekali ia mengumpat, menghela napas panjang sembari mengusak rambutnya kasar, lalu berakhir dengan menenggelamkan wajahnya di antara lekukan tangan tanpa sekali pun mengungkap sebuah fakta yang tertunda.

 

Alih-alih merasa kesal karena telah diabaikan, Jungkook menatap Namjoon dengan pandangan sendu. Ia baru saja hendak mengulurkan tangan, menawarkan sebuah usapan lembut yang menenangkan, namun hal itu gagal terlaksana ketika tiba-tiba Namjoon mengangkat kepalanya. Ekspresi wajahnya terlihat kusut, jauh berbeda dengan sosok Rap Monster yang selalu penuh kharisma di hadapan ribuan fans.

 

Sebelum ia sempat membuka mulut, Hoseok memecah keheningan dengan kehadirannya yang muncul secara tiba-tiba. Dengan keadaan rambutnya yang kusut masai, ia meraih sebotol air mineral dari dalam lemari pendingin dan menghabiskan isinya dalam beberapa kali tegukan. Melalui sudut matanya, ia melirik ke arah Namjoon dan Jungkook yang masih terlihat enggan untuk saling membuka suara.

 

“Kalian kenapa?” tanya Hoseok sembari melempar botol minumannya yang telah kosong ke dalam tempat sampah.

 

“Ti, tidak ada apa-apa.” sahut Jungkook cepat. “Namjoon hyung baru saja pulang beberapa menit yang lalu dan aku terbangun karena haus.”

 

“Hanya itu saja?” tanya Hoseok yang merasa tidak puas dengan jawaban Jungkook.

 

“Eung, ya, begitulah...” Jungkook membalas pandangan Hoseok dan memperlihatkan senyum termanisnya untuk meyakinkan pemuda itu.

 

“Baiklah.” Hoseok menghela napas panjang seraya menarik kursi yang berada tepat di samping Namjoon dan menghempaskan tulang duduknya dengan kasar. Tanpa sekali pun menebar senyuman, Hoseok menatap lurus ke arah Namjoon seraya melanjutkan, “Sekarang giliranmu untuk angkat bicara. Bagaimana hasil rapat malam ini? Apa yang dikatakan oleh Bang PD-nim dan produser asing itu padamu?”

 

Tunggu...

 

Rapat? Bang PD-nim? Produser asing? Jadi selama seharian ini Namjoon tidak pergi jalan-jalan untuk melepas penat seperti yang ia katakan pada Jungkook di malam sebelumnya?

 

“Aku tidak tahu alasan apa yang telah Namjoon berikan padamu. Tapi, ya, dia memang pergi untuk menghadiri sebuah pertemuan penting dengan Bang PD-nim tanpa mengikut-sertakan kita semua.” tutur Hoseok yang seolah bisa membaca pikiran Jungkook.

 

“Tapi kenapa?” sahut Jungkook yang pada akhirnya ikut bersuara.”Kenapa hanya Namjoon hyung yang dipanggil untuk menghadiri pertemuan dengan Bang PD-nim? Apa ini ada kaitannya dengan karir Bangtan? Tapi kenapa harus ada produser asing yang juga ikut dalam pertemuan itu?”

 

“Aku juga tidak tahu apa-apa, Jungkook.” ujar Hoseok putus asa. Ia mengambil jeda sejenak, tanpa sekali pun mengalihkan pandangannya dari sosok Kim Namjoon yang masih setia mengunci mulutnya rapat-rapat. “Aku juga masih menunggu jawaban langsung darinya.”

 

Jungkook sendiri pun pada akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejak Hoseok, mengintimidasi Namjoon melalui tatapan matanya. Sebuah ancaman halus yang sama sekali tidak membutuhkan kata-kata, namun memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk menyudutkan seseorang.

 

Menyerah, Namjoon mengangkat kedua tangannya sebagai tanda kekalahan dan mengangguk paham. Di satu sisi, Hoseok kembali memperlihatkan senyum cerianya saat melihat kekalahan Namjoon. Namun di sisi lain, Jungkook sama sekali tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Entah kenapa, ia seolah memiliki firasat buruk dengan apa yang sebentar lagi akan dituturkan oleh sang ketua grup yang selalu ia segani.

 

“Bang PD-nim memang sempat mengajakku berdiskusi mengenai kesuksesan dan beberapa kegagalan yang dialami oleh Bangtan selama dua tahun belakangan, tapi kalian tidak perlu khawatir. Bukan itu yang menjadi topik utama dalam pertemuan kali ini.”

 

Itu kabar baik, Jungkook tahu itu. Tapi mungkinkah ada hal lain yang jauh lebih buruk dari kerusakan kostum panggung yang pernah dialami oleh Jimin dan Namjoon dua tahun lalu?

 

Sialnya, ya. Dan sepertinya, memang itulah rencana Namjoon. Mungkin akan terdengar lebih menarik jika kita menebar konfeti terlebih dahulu sebelum melemparkan sebuah bom dengan daya ledak tinggi sebagai penutup acaranya.

 

“Kalian pastinya tahu, terpilih untuk merilis single dan mengisi soundtrack dari salah satu film internasional adalah salah satu pencapaian terbesarku sebagai seorang musisi.” tutur Namjoon pelan. “Musik adalah duniaku. Aku bahkan mengabaikan keinginan kedua orangtuaku untuk melanjutkan pendidikan di jenjang universitas hanya demi mewujudkan impianku sebagai seorang musisi. Sejak pagi hingga malam, aku selalu berlatih tanpa henti. Sampai kemudian, untuk yang pertama kalinya, semangatku mulai memudar ketika satu per satu anggota mulai meninggalkan agensi dan memporak-porandakan formasi awal dari Bangtan.”

 

Jeda sejenak, Namjoon memanfaatkan kesempatan itu untuk kembali menghela napas panjang. Layaknya sebuah patung yang tak bernyawa, Hoseok dan Jungkook sama sekali tak memberikan reaksi yang berarti atas penuturan Namjoon. Kepala keduanya tertunduk dalam, seolah mencoba untuk mendalami perjuangan yang telah dilalui oleh sang ketua untuk bisa mencapai titik ini.

 

“Keringat, darah, dan juga air mata seolah melebur menjadi satu hanya demi memperjuangkan impian konyolku untuk bisa menjadi seorang musisi yang bisa dikenal oleh dunia. Tapi ketika kesempatan itu datang dan meninggalkanku di tengah dua jalan yang bercabang, aku sama sekali tidak tahu jalan mana yang harus kuambil untuk melanjutkan petualangan ini.”

 

Tersentak, Hoseok beralih menatap Namjoon dengan pandangan tak percaya. “Namjoon-ah, apa maksudmu? Ayolah, sekarang bukan waktunya untuk bercanda, kau tahu?” ujar Hoseok dengan tawanya yang terdengar begitu dipaksakan. Tapi ketika Namjoon menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, tawa Hoseok kembali menghilang.

 

“Aku sama sekali tidak bercanda. Produser asing itu telah jauh-jauh datang dari Amerika hanya untuk menemuiku secara empat mata dan menawariku sebuah kontrak rekaman yang akan ditangani langsung oleh Timbaland.” Namjoon mengulas senyum tipis seraya memandang ke arah Jungkook dan Hoseok. “Kalian tentunya tidak asing lagi dengan nama itu, bukan? Dan, ya, dialah produser asing yang hari ini mendatangi kantor kita dan menemuiku secara langsung.”

 

“Tidak mungkin...” gumam Hoseok tak percaya. “Jadi maksudmu, kau akan rekaman di Amerika dan diproduseri langsung oleh Timbaland?! Oh, astaga! Itu hebat sekali!”

 

Area dapur yang semula diliputi oleh keheningan mendadak menjadi ricuh saat Hoseok tidak henti-hentinya tertawa dan menghujani Namjoon dengan sederet kalimat pujian untuk pencapaian baru yang berhasil ia raih. Namjoon pun menanggapinya hanya dengan mengangguk penuh rasa terima kasih seraya tersenyum bijak, berbanding terbalik dengan Jungkook yang masih tenggelam dalam kebisuan.

 

“Jika kau menerima tawaran itu, apa itu artinya kau juga akan meninggalkan kami? Apa kau akan pergi meninggalkan Bangtan yang telah membesarkan namamu?” ujar Jungkook yang menyerang Namjoon dengan beberapa pertanyaan sekaligus. Suaranya yang bergetar seolah mencerminkan suasana hatinya yang kacau.

 

Besar harapan Jungkook bahwa Namjoon akan menjawab pertanyaannya dengan sebuah gelengan, membantah dengan tegas bahwa itu hanyalah pemikiran yang konyol. Tapi terkadang harapan memang tidak pernah sejalan dengan kenyataan. Tubuhnya mendadak terasa lemas ketika Namjoon berkata, “Sayangnya, memang itulah konsekuensinya.”

 

“Tu, Tunggu! Hei, kau tidak mungkin memutuskan untuk meninggalkan kami, kan?” cecar Hoseok yang mulai dilanda kepanikan.

 

Alih-alih membuka mulut dan menenangkan kedua sahabatnya, Namjoon hanya menghela napas panjang seraya mengusap wajahnya dengan gerakan kasar. “Aku tidak tahu, Hoseok. Aku tidak tahu.”

 

Bersamaan dengan kembali tertutupnya mulut Namjoon, Jungkook pun memutuskan untuk bangkit dari posisi duduknya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk mendukung aksi protesnya, Jungkook melangkah meninggalkan dapur dengan kedua matanya yang telah digenangi air mata. Seolah tak memperdulikan beberapa anggota lain yang masih bergelung di bawah selimut masing-masing, Jungkook membanting pintu kamarnya dengan kasar sebelum menumpahkan badai tangisnya di atas tumpukan bantal.

 

 

Why am I so emotional?

No, it’s not good look.

Gain some self control,

And deep down I know this never works.

 

 

 

 

.....

 

 

 

 

Layaknya sebuah penyakit wabah yang berkembang dengan pesat, kabar mengenai Namjoon yang memutuskan untuk hengkang dari sebuah grup idol yang mengusung genre hip hop mendadak meluas dalam waktu singkat. Meski masih belum memberikan pernyataan resmi, Namjoon tak pernah bisa kabur dari sekumpulan wartawan yang telah siap menghadang langkahnya. Dan hal itu pun nyatanya ikut mempengaruhi suasana hati dari enam anggota Bangtan Boys lainnya yang tak henti-hentinya berharap-harap cemas dengan keputusan yang akan diambil oleh sang ketua.

 

Meski mereka masih tetap menjalani berbagai penampilan dengan formasi lengkap, bukan berarti bahwa mereka tidak memikirkan nasib mereka di waktu yang akan datang jika pada akhirnya Namjoon benar-benar memutuskan untuk hengkang dan meninggalkan mereka. Ketika mereka terlihat saling berbagi tawa dari satu acara ke acara lain, bukan berarti bahwa mereka ikut tertawa bersama hati mereka yang telah porak-poranda. Hoseok salah satunya. Sekilas, tampak tak ada yang berubah darinya. Ia masih sering memperlihatkan tingkah konyol yang mengundang gelak tawa. Tapi ketika tidak ada lagi kepungan kamera yang mengintai setiap pergerakannya, ia seolah bertransformasi menjadi seonggok patung yang tak bernyawa.

 

Tidak bisa dipungkiri lagi, dia terlihat sangat terpukul dengan kabar Namjoon yang hendak pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Jika biasanya ia tak pernah absen membuat keributan di dalam asrama, kini ia lebih memilih untuk berdiam di atas tempat tidur dengan sepasang earphone yang menyumpal kedua telinganya.

 

Layaknya papan domino yang rubuh secara berurutan, lagi-lagi hal itu juga memberikan efek yang sama untuk kelima anggota lainnya. Tidak ada lagi pertengkaran antara Jimin dan Taehyung hanya karena masalah sepele, tidak ada lagi gerutuan tanpa henti yang biasa berkumandang dari bibir Yoongi, dan tidak ada lagi teriakan nyaring Seokjin yang berulang kali memperingatkan Namjoon untuk menjauhi tumpukan koleksi boneka dan action figure Mario Bross kesayangannya.

 

Dan Jungkook adalah satu-satunya di antara mereka berenam yang terlihat paling tidak rela untuk berpisah dari Namjoon, seorang pemuda penuh kharisma yang ia cintai secara diam-diam. Pikirannya terpecah-belah, dan hal itu semakin diperparah lagi dengan suasana hatinya yang kerap berubah-ubah secara drastis layaknya wahana roller coaster. Ia bukan lagi Jungkook yang dulu; si bungsu yang manja dan kerap mengganggu keenam saudaranya.

 

Tak jarang, Jimin sering memergokinya menangis di tengah-tengah jadwal latihan. Bahkan Taehyung, yang menyandang status sebagai salah satu partner in crime kepercayaan Jungkook, benar-benar telah kehabisan akal untuk bisa mengembalikan senyum di wajah sahabat terdekatnya.

 

 

 

 

.....

 

 

 

 

“Hei, boleh aku ikut duduk di sini?”

 

Jungkook menengadahkan kepalanya dan memandang Namjoon yang segera mengambil tempat tepat di samping kanannya. Yoongi, yang sebelumnya sedang terlibat obrolan seru mengenai sekuel Iron Man terbaru bersama Jungkook, segera beranjak meninggalkan tempatnya tanpa banyak bicara. Meninggalkan Namjoon yang kembali gagal untuk mencoba membaur seperti biasanya.

 

“Kau boleh ikut pergi bersamanya kalau kau mau.” gumam Namjoon yang sama sekali tidak dapat menyembunyikan kepahitan dalam nada bicaranya.

 

Alih-alih menuruti ucapan Namjoon, Jungkook memilih untuk tetap bertahan di tempatnya.

 

“Aku tidak akan pergi ke mana-mana.” sahut Jungkook pelan, nyaris terdengar seperti sebuah bisikan lembut yang menggelitik telinga Namjoon.

 

“Terima kasih,” balas Namjoon tak kalah pelan. Ia kemudian berdeham pelan, merobek kesunyian yang mulai merangkak mendekati mereka. “dan maaf.”

 

Jungkook tertegun mendengarnya. Ia berpaling menatap Namjoon dan kembali dikejutkan dengan lelehnya setitik air bening dari mata pemuda itu. Tubuh tegapnya yang bergetar hebat sudah cukup menjelaskan bahwa ia tengah berjuang mati-matian untuk menahan gejolak emosinya yang meluap-luap.

 

Hyung...” panggil Jungkook pelan.

 

Namun Namjoon sama sekali tidak mengindahkan panggilan itu. Ia mencoba untuk mengatur napas, menghapus jejak sungai kecil yang mengalir di atas pipinya, lalu mengakhirinya dengan memperlihatkan seulas senyum yang tampak begitu dipaksakan.

 

“Maafkan aku, Jungkook­-ah. Aku tidak pernah bisa menjadi contoh yang baik untukmu selama ini.” ungkap Namjoon dengan suaranya yang terdengar parau. “Mungkin ucapan mereka ada benarnya. Aku bukanlah apa-apa selain seorang Destroy Monster yang bisanya hanya menghancurkan segala sesuatu di sekelilingku. Bahkan aku sampai menghancurkan persahabatan kita semua.”

 

“Berhentilah mengucapkan hal seperti itu.” ujar Jungkook dengan suara tertahan. Dadanya terasa sesak saat menyaksikan secara langsung kesedihan yang selama ini dipendam oleh seseorang yang ia sukai. Entah mendapat keberanian dari mana, Jungkook akhirnya mengambil inisiatif untuk menggenggam tangan Namjoon. “Bukankah aku masih ada di sini bersamamu?”

 

Namjoon menatap pergerakan tangan Jungkook dalam diam, sebelum akhirnya membalas genggaman pemuda berusia delapan belas tahun itu tak kalah erat. Kini Namjoon tak lagi memerlukan serangkaian kalimat melankolis untuk menyampaikan betapa bahagianya ia pada saat ini. Ia tahu betul, Jungkook pasti sama terpukulnya seperti beberapa anggota lain. Tapi setidaknya ia bersyukur karena pemuda itu masih bersedia untuk menyambut dan menerima kehadirannya, bahkan setelah ia membuat keadaan menjadi runyam dan terombang-ambing seperti saat ini.

 

“Tiga minggu telah berlalu sejak malam itu dan tekanan demi tekanan seolah menyerangku tanpa henti. Rasa-rasanya, seperti memetik buah simalakama.” gumam Namjoon tanpa sekali pun melepas tangan Jungkook dari genggamannya. “Jika aku memilih untuk menerima kontrak itu, sebagai gantinya aku harus meninggalkan enam saudaraku di sini. Tapi sebaliknya, jika aku mengabaikan tawaran itu, itu sama saja dengan membuang kesempatan emas yang tentunya tidak akan pernah datang dua kali.”

 

Jungkook menggigit bibirnya dan menatap Namjoon gelisah. “Lalu... apa keputusanmu?”

 

Namjoon mengalihkan pandangannya ke arah Jungkook dan memperlihatkan lesung pipi yang ikut terukir bersama senyumnya. “Menurutmu, keputusan apa yang akan aku ambil?”

 

“Entahlah.” jawab Jungkook tak yakin. “Tapi apapun keputusanmu, aku hanya berharap bahwa kau tidak akan pernah meninggalkanku.”

 

Usapan pelan di pucuk kepalanya dirasakan Jungkook tak lama setelah ia berhasil menyelesaikan kata-katanya. Ia kemudian beralih menatap Namjoon dengan pandangannya yang mengabur akibat tergenangi air mata. “Kumohon, jangan tinggalkan aku.” bisiknya parau.

 

Namjoon tidak menjawabnya. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah menarik tubuh Jungkook untuk lebih merapat padanya dan menenggelamkannya ke dalam sebuah pelukan hangat. Tanpa menunggu untuk diperintah, Jungkook kemudian melingkarkan kedua tangannya di punggung Namjoon sebelum membiarkan tangisnya merebak. Ketakutan yang begitu besar karena harus kehilangan sosok Namjoon dari kehidupannya membuat Jungkook tak mampu lagi memikirkan hal yang lain. Bahkan berbagai macam kalimat penenang yang diucapkan oleh Namjoon sama sekali tak sanggup meredakan tangisnya.

 

“Berhentilah menangis, Jungkook­-ah. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku tidak akan meninggalkanmu.” bisik Namjoon tepat di telinga Jungkook.

 

Dan rupanya hal itu memberikan efek yang luar biasa untuk Jungkook. Tangisnya terhenti seketika, seolah mencoba untuk kembali mencerna ucapan Namjoon. Perlahan ia menjauhkan tubuhnya seraya menatap lurus ke dalam obsidian bening yang selalu membuatnya tergila-gila.

 

Hyung, kau... Kau tidak tidak bercanda, kan?”

 

Tersenyum kecil, Namjoon kemudian menangkupkan kedua tangannya di wajah Jungkook dan menghapus air mata yang masih tergenang. “Apakah saat ini aku terlihat seperti sedang bercanda, hm?”

 

Jungkook menatap mata Namjoon dalam-dalam, mencoba menggali kebohongan yang tersembunyi di sana, namun nihil. Jungkook sama sekali tak berhasil menemukannya di mana pun. Perlahan, senyum kembali terkembang di wajahnya. Ingin rasanya ia berteriak lantang dan memberitahukan kepada seluruh dunia betapa bahagianya ia bahwa Namjoon tidak akan pernah pergi meninggalkannya, namun pada akhirnya yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk Namjoon erat-erat sembari menumpahkan tangis bahagianya di sana.

 

Beban yang selama ini menghimpit dadanya telah terangkat, menyisakan sepetak ruang kosong yang memberikan sebuah harapan baru untuknya. Jungkook tahu, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mengutarakan isi hatinya kepada Namjoon karena ia juga yakin jika pemuda itu masih memiliki tugas tambahan untuk memberitahukan kabar menggembirakan ini kepada lima anggota lainnya. Tapi kalaupun takdir memang tidak akan pernah mengizinkan Jungkook untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini terkubur rapi di dalam hatinya, ia sama sekali tidak perduli. Karena baginya, keputusan yang diambil oleh Namjoon untuk tetap berada di sampingnya sudah lebih dari cukup.

 

 

 

 

++_FIN_++

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
monsupie
#1
Chapter 1: Ya ampun sedih bgt lah ㅠㅁㅠ hanya jungkook yg bertahan dan mengerti HUWAAAAAAAAA MY NAMKOOK FEELS (;´ຶДຶ `)

Namjoon tuh emang yg kyk manjain jungkook bgt, jd pas dia lebih milih bangtan gegara jungkook AAAAAAAHHH /nangis ㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠ