History Repeats Itself

History Repeats Itself
Please Subscribe to read the full chapter

 

Himpunan kertas, bongkahan tissue, beberapa alat tulis, serta buku-buku tebal berarakan di atas meja. Well, tissue lantaran kini ia tengah terjangkit flu akibat kelalaiannya beberapa hari lampau. Untungnya ia tak perlu merebah di atas tempat tidur dan membalut sekujur tubuhnya dengan selimut. Setidaknya Chanyeol masih bisa menggarap seluruh tugas kuliah yang harus segera rampung.

Tahun akhirnya di universitas sama sekali tak memberikan waktu luang untuknya. Kendati lelaki tesebut adalah salah satu mahasiswa terbaik, namun tak menutup probabilitas kegagalan yang akan ia terima kelak. Para dosen memberinya julukan lelaki jeni, teman-temannya kerap mendekatinya hanya agar ia bersedia membantu mereka dalam merampungkan tugas akhir. Dan Park Chanyeol kepalang baik untuk menolak desakan mereka. Ia terlampau malu untuk menyetujui julukan yang diberikan dosen-dosen tersebut.

Hari ini segalanya terasa cemplang. Penat menyambangi dirinya kala ia tengah membaca materi Asas-Asas Hukum—mengingat esok hari Profesor Ji hendak melakukan tes, ia justru tak dapat memusatkan konsentrasi pada buku di hadapannya. Kepalanya berdenyut parah hingga tak mengijinkannya menghafal seluruh asas yang tercantum di dalam buku. Hingga kemudian lelaki itu mencampakkan pensil dalam genggamannya hingga menghantam dinding, ia lantas bangkit dari duduknya dan melanglang menuju jendela balkon. Ruangan apartemennya terasa begitu pengap hingga ia ingin melucutkan seluruh pakaian dan berlagak bak anjing kepanasan. Sialnya lagi, kipas angin yang biasa berputar di langit-langit kamar kini tak dapat melakukan tugasnya seperti sedia kala. Well, sebagai seorang mahasiswa, uang bulanan yang dikirim orangtuanya tak cukup untuk menyewa apartemen yang lebih baik. Dan Chanyeol rasa ia tak dapat membagi waktunya jika lelaki itu memutuskan untuk mengambil kerja paruh waktu. Ia tak yakin dapat mempertahankan prestasinya jika harus menyibukkan diri dengan hal lainnya.

Tangannya segera membuka pengait jendela dan mendorongnya hingga terbuka lapang. Sedau angin musim panas menerjang sekujur tubuhnya, menciptakan perasaan nyaman dalam hatinya. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati kesejukan yang menyeka habis cucuran peluh pada pelipis serta lehernya. Lalu ketika kedua mata tersebut kembali terbuka, maka jantungnya sontak berhenti berdengap.

Bukan, Chanyeol bukan sedang terkena serangan jantung. Well, tidak secara harfiah, namun ia cukup terkejut dengan pemandangan di hadapannya. Dari jendela balkon, sebuah layar raksasa di gedung seberang tengah menayangkan sebuah advertensi konser perdana dari seorang penyanyi pendatang baru. Kulit wajahnya putih pucat, bibir tipisnya berwarna merah, dan kedua mata sipit tersebut dibingkai oleh garis hitam yang digambar sedemikian rupa. Ia tampan, ia glamor, dan penuh karisma. Surainya berwarna ungu gelap dan sebuah tindikan mendekorasi telinga kanannya. Senyum penyanyi itu nampak begitu cerah hingga penat yang sedianya dirasakan Chanyeol serta merta menguap.

Rahangnya tak terkatup rapat kala ia mengenali paras si Penyanyi. Lantaran ia kepalang sibuk dengan urusan perkuliahan, Chanyeol nyaris tak pernah menonton acara televisi. Terlebih, lelaki itu sama sekali tak tertarik dengan dunia hiburan. Ia sangat bersyukur jika kali ini tanpa sengaja maniknya menangkap sosok Byun Baekhyun pada layar raksasa tersebut.

Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas—membentuk seulas senyuman tulus. Sesuatu seakan meletup dahsyat di dalam dadanya. Sesuatu yang tak pernah dirasakannya sejak lima tahun lalu. Sesuatu yang terasa nyaman dan tak nyaman di saat yang bersamaan. Tak pernah terbersit dalam benaknya bahwa perasaan itu akan menjorok kembali ke permukaan. Ia tak mengerti mengapa di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang mahasiswa, ia justru merasakan debaran aneh di dalam dadanya? Debaran yang sama sekali tak bertautan dengan hal-hal perkuliahan.

Apakah perasaan yang selama ini ia sangka telah lenyap, sejatinya mereka masih mengisi dasar hatinya? Bersemayam begitu dalam hingga Chanyeol tak dapat menyadarinya? Apakah perasaan tersebut tengah menanti waktu yang tepat untuk memberi tahunya bahwa ia masih mencintai Byun Baekhyun?

Byun Baekhyun. Lelaki itu tak henti-hentinya tersenyum sembari menatap ke arahnya. Ia memegang sebuah mikropon pada tangan kanannya dan mengerling menggoda. Lalu kedua daun telinga Chanyeol memerah. Jantungnya tengah memompa darah dengan brutal ke ubun-ubun kepala. Sekujur tubuhnya bergetar oleh semangat yang seakan membakar setiap inci kulitnya. Ia ingin berjumpa kembali dengan cinta pertamanya. Ia ingin mengungkapkan perasaan yang tak sempat diutarakannya. Ia ingin melekap tubuh mungilnya dalam kedua lengan panjangnya. Ia ingin membisikkan kata-kata cinta berulang-ulang kali—tak peduli jika lidahnya putus atau telinga Baekhyun mendadak tuli. Ia ingin lelaki itu tahu betapa eksistensinya selama ini bermakna begitu dalam baginya.

Dan cahaya dalam hidupnya pun dimulai dari sekarang. Perjuangan apa yang sanggup ia lakukan untuk mendapatkan atensi Baekhyun kembali telah terangkai rapi di dalam benaknya. Kali ini Chanyeol takkan melepaskannya. Kali ini Chanyeol akan memegang erat tangannya dan mengajaknya berjalan mengarungi kehidupan bersama-sama. Bukan di depan atau di belakang, bukan di atas atau di bawah. Tetapi di sisinya, seperti hari-hari lawas.

 

)***(

 

Chanyeol terlihat sibuk membereskan lembaran-lembaran kertas yang tengah berserakan di meja komputer nya. Kepalanya pun dirasa mau pecah menyelesaikan tugas yang di berikan oleh Profesor Kim. Salahkan lelaki tua tersebut yang dengan amat sangat teganya memberikan pekerjaan rumah yang menumpuk kepada seluruh mahasiswa jurusan hukum tahun terakhir di Universitas tempat lelaki tinggi tersebut menuntut ilmu. Chanyeol memang pandai tapi jika setiap hari kau harus dihadapkan pada tugas yang memeras otakmu hingga kau merasa ingin menenggelamkan diri ke samudera atlantik, kurasa orang sejenius Albert Einstein sekalipun pasti tak menyukainya.

Suara derit pintu apartemen yang terbuka pun tak mampu membuat Chanyeol menolehkan kepala ke sumber suara untuk melihat siapa kiranya tamu tak diundang yang dengan amat sangat lancang telah mengganggu konsentrasi nya. Entahlah, Chanyeol terlalu sibuk dengan kertas-kertas yang ada di tanganya,memilah-milah essay mana yang akan diserahkan pemuda tinggi tersebut kepada Profesor Kim. Lagipula tanpa menoleh pun Chanyeol sudah mengetahui siapa yang tengah bertandang ke apartemennya.

"Hei, Bung, kau sedang apa?" Kris, sahabat rangkap sepupu jauh Chanyeol bertanya sembari melangkahkan kaki panjangnya memasuki apartemen pemuda berambut merah tersebut.

"Kau bertanya seperti itu seperti kau tidak tahu apa yang selalu kulakukan belakangan ini." jawabnya sarkartis.

"Woah relax, man, kau terlalu serius. Santailah sedikit."

"Aku sedang tidak punya waktu untuk bersantai Wu. Essay yang ditugaskan Profesor Kim mendekati batas akhir dan aku tidak mau hanya karena sebuah kata 'santai' apa yang sudah kukerjakan beberapa bulan terakhir ini jadi berantakan."

"Ya, ya, ya, terserah kau saja, Park. Tapi biar bagaimanapun, tubuhmu perlu istirahat. Terlebih saat ini kau terserang flu, dan aku tidak mau suatu hari tiba-tiba kau menelponku dan mengatakan kalau flu yang kauderita bertambah parah lalu memintaku mengantarmu ke rumah sakit lantaran kau tak mampu pergi sendiri"

"Omong kosong. Tapi terima kasih perhatiannya. Omong-omong ada perlu apa kau ke sini? "

Kris nampak berpikir guna menjawab pertanyaan Chanyeol, menimbang-nimbang jawaban seperti apa yang harus diberikan. Melihat reaksi dari Kris, Chanyeol pun mengernyitkan kening—merasa heran karena, sejak kapan sepupunya itu menjadi idiot? Hanya untuk menyahuti pertanyaan yang anak SD pun mampu menjawabnya, mengapa ia menjadi begitu lambat seakan-akan tengah merumuskan teka-teki kasus pembunuhan keluarga pejabat negara tetangga sebelah. Oh, sekadar informasi Chanyeol telah membiarkan tumpukan-tumpukan kertas yang sedari tadi dipegangnya kembali berjebai setelah Kris mengomel layaknya nenek tua yang nyaris terserempet mobil. Biarlah kertas-kertas tersebut ia bereskan nanti, pikirnya.

"Kris, apa sebelum kemari kepalamu terantuk sesuatu?" sindirnya.

"Tidak, aku baik-baik saja." sahut Kris tak menangkap sindiran Chanyeol. Lihat? Sepertinya Kris sudah benar-benar menjadi seorang dungu.

"Lalu mengapa otakmu menjadi lambat? Dasar bodoh!" umpatnya. Sungguh, ingin rasanya Chanyeol mengeluarkan isi kepala sepupunya kemudian membersihkannya agar kembali berfungsi dengan normal.

"Oke, oke, kujawab, brengsek."

Dengan satu kali embusan napas, Kris pun menyampaikan maksud kedatangannya.

"Kau ingat Byun Baekhyun?" satu pertanyaan atau lebih tepatnya sebuah nama yang ia lontarkan, mampu membuat Chanyeol terpekur selama beberapa detik. Bahkan gerakan tangannya yang tengah mengambil gelas di lemari pun ikut terhenti.

Merasa tak mendapat respons dari sahabatnya, Kris melanjutkan, "kau tahu, Sekarang Baekhyun telah menjadi penyanyi terkenal. Kurasa apa yang selama ini ia impikan akhirnya terlaksana. Aku senang mendengarnya dan—"

"Aku tahu,” sela Chanyeol. "Aku sudah melihatnya semalam."

"Apa? Di mana?"

"Layar advertensi raksasa di seberang gedung."

"Wow, sudah kuduga kau pasti masih mengingatnya."

Berikutnya hanya tercipta keheningan di antara dua pemuda dengan tinggi badan yang tak berselisih jauh tersebut. Hanya terdengar suara jarum jam dan langkah kaki Chanyeol yang tengah berjalan menuju jendela apartemennya, di mana sebuah layar tengah menampilkan sosok pemuda yang tengah bernyanyi di hadapan ratusan penggemarnya. Pemuda mungil yang telah mencuri perhatiannya saat SMA bahkan secara perlahan menduduki posisi penting di ruang hatinya. Byun Baekhyun tetap sama seperti dulu, tak ada yang berubah dan bahkan suaranya pun tetap sama—begitu lembut dan merdu bak lagu pengantar tidur. Perlahan sebuah senyuman tipis pun tersungging di celah kedua bibir pemuda bermarga Park tersebut.

"Aku akan menemuinya."

Kris nyaris menjatuhkan gelas dalam genggamannya kala mendengar pengakuan Chanyeol.

"Apa kau yakin?" ujar pria berambut pirang tersebut dan sebuah anggukan kepala menjawab pertanyaannya.

"Aku akan mengatakan pada Baekhyun apa yang seharusnya kukatakan lima tahun lalu. Mungkin ini terdengar sinting, tapi kurasa aku masih mencintainya, Kris. Awalnya kupikir perasaan itu telah lenyap semenjak kami mengambil jalan masing-masing, namun saat melihatnya di layar itu aku sadar kalau ternyata rasa itu masih ada. Mungkin ini adalah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan untukku dan aku takkan menyia-nyiakannya.''

Kris hanya mampu tersenyum dengan keteguhan hati sahabatnya. Dalam hati pemuda keturunan Kanada itu bangga akan perasaan yang dimiliki Chanyeol untuk Baekhyun. Perasaan yang selama  lima tahun terakhir mampu dijaga Chanyeol dengan amat sangat baik. Bohong jika Kris tidak tahu apa yang dirasakan Baekhyun kepada Chanyeol karena pada dasarnya ia telah lebih dulu menyadari perasaan lelaki tersebut. Tentu ia tak yakin dengan masa kini. Tak ada yang mampu menjawabnya kecuali Baekhyun sendiri. Dan Kris hanya berharap Chanyeol tidak kehilangan kesempatan tersebut.

"Sekadar Informasi, Baekhyun akan mengadakan konser perdananya di Seoul beberapa minggu lagi. Kalau kau memang ingin memanfaatkan kesempatan kedua ini, lakukanlah. Lakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Aku selalu mendukungmu."

"Terima kasih". Dan sebuah tepukan hangat yang diberikan Kris di bahu Chanyeol mengakhiri perbincangan mereka.

Kendati ia hanya mampu menyewa apartemen reyot ini dengan uang pas-pasan yang diberikan orangtuanya, sepatutnya ia cukup berterima kasih lantaran dengan demikian lelaki itu berhasil menemukan cinta pertamanya. Seorang pemuda ber-eyeliner yang tengah tersenyum lebar ke arahnya. Walau hanya melalui sebuah layar raksasa, tetapi Chanyeol merasa senyuman itu ditujukan untuknya. Dan mulai detik ini, Chanyeol akan menjadikan layar raksasa tersebut sebagai salah satu benda paling bersejarah sepanjang hidupnya.

 

)***(

 

Satu arloji berlogo Audemars Piguet dan yang lainnya Brequet, botol parfum hijau dari Clive Christian 1872, serta cincin berlian hitam rancangan David Webb adalah beberapa barang pemberian penggemar yang membuatnya takjub hingga tak mampu mengatupkan mulut. Well, ia tentu sadar bahwa harga mereka kepalang tinggi dan di antara rasa takjubnya, ada pula sekelumit perasaan cemas jika para penggemarnya justru menggunakan seluruh tabungan masa depan mereka untuk memberikannya hadiah semewah ini. Sementara sisanya adalah beberapa pakaian dan sepatu yang juga berlogo mahal, karangan bunga, cokelat luar negeri, dan ratusan surat.

Byun Baekhyun masih belum begitu terbiasa dengan kehidupan barunya. Ia hanya gemar menyanyi, dan tak pernah terbersit dalam benaknya bahwa seorang penyanyi terkenal akan mendapatkan begitu banyak perhatian. Ia ingin menangis girang dan mencium wajah para penggemar tersebut satu per satu. Setidaknya, Baekhyun perlu mengungkapkan rasa terima kasihnya untuk seluruh barang dan juga cinta yang ia dapatkan.

Namun ada satu surat yang mengumpan atensinya. Kening lelaki itu mengernyit, bibirnya menipis kala ia mendapati warna amplop itu sendiri tampak begitu kontras dari himpunan surat lainnya. Jika penggemar-penggemar itu memilih warna cerah seperti merah muda, kuning, ataupun biru aqua, maka yang satu ini berwarna hitam pekat. Entah bagaimana, namun memorinya lantas terarah pada seorang laki-laki yang sejak lima tahun belakangan tak pernah ia dengar kabarnya.

Jemari lentiknya meraih amplop hitam tersebut, memperhatikan tampilan luarnya. Memang tak ada yang aneh, namun ia pula tak paham mengapa rasa penasaran begitu menganggu dirinya.

Perlahan namun pasti, Baekhyun mulai membuka lem perekatnya. Ia mengeluarkan secarik kertas putih di dalamnya. Hanya ada satu kalimat yang tertulis di sana, dan itu adalah kutipan milik H. Jackson Brown, Jr..

 

‘Terkadang hati melihat apa yang tak dapat dilihat oleh mata.’

 

Jantungnya berdengap liar, napasnya memburu dan darahnya terpompa deras ke ubun-ubun kepala. Kedua pipinya didekorasi oleh semburat merah. Ia sendiri tak mengerti mengapa tubuhnya justru bereaksi seperti ini. Namun dari warna amplop serta coretan tangan si Pengirim Surat mengingatkan Baekhyun pada satu-satunya orang yang ingin ia temui saat ini. Orang yang telah mengisi hatinya selama bertahun-tahun, dan memberikan warna dalam hidupnya. Orang yang menjadi motivasinya kala ia merasa tak ingin melanjutkan karier di tengah-tengah kerasnya masa latihan.

Dan kemudian kalimat itu seakan menghantam kepalanya dengan palu raksasa. Apakah hatinya melihat apa yang tak dapat dilihat matanya? Apakah surat ini benar-benar dari Chanyeol? Apakah ia dapat menggantungkan harapannya pada sangkaan tersebut?

Sungguh, Baekhyun tak ingin jika akhirnya kelak, hanya harapan hampalah yang menantinya di ujung jalan. Ia belum siap merasakan empasan kuat yang akan meremukkan seluruh semangat dalam hidupnya. Namun ia tahu bahwa di detik ia membaca uantaian kalimat tersebut, maka harapannya telah membubung tinggi ke atas langit, dan tak ada peluang baginya untuk menariknya kembali dan menimbunnya ke dasar tanah.

Ia menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan segala praduga yang nyaris membuatnya sinting. Lelaki itu kembali memeriksa isi amplop, dan tanpa sengaja menjatuhkan sebuah pemetik gitar putih dari dalamnya. Terukir inisial BC di sana.

Kedua matanya membeliak, sekujur tubuhnya membeku, dan debaran jantungnya nyaris meruntuhkan dinding dadanya. Ia ingin tergelak dan menangis di saat yang bersamaan. Ia ingin melompat bahagia dan berteriak ke seluruh dunia bahwa akhirnya lelaki itu mendapatkan kabar dari Park Chanyeol. Kendati hanya satu kalimat, tetapi setidaknya ia berhasil menghubunginya melalui secarik surat. Dan tidakkah lelaki itu bersikap begitu manis padanya? Baekhyun tak pernah menyangka sebelumnya jika Chanyeol akan memilih cara seperti ini untuk menyapanya setelah sekian tahun terlampaui.

 

 

Berminggu-minggu berlalu, dan Chanyeol tak lagi mengirimkannya surat. Setiap kali manajernya membawakan hadiah yang diberikan oleh para penggemar, Baekhyun tak pernah absen mencari amplop berwarna hitam—warna favorit Chanyeol. Namun tak ditemukannya sama sekali. Ia depresi, ia ingin menangis frustasi dan tak henti-hentinya memanjatkan doa bahwa lelaki si Pengirim Surat memang benar-benar cinta pertamanya.

“Baekhyun,” panggil sang Manajer suatu hari.

“Ya?” ia mengangkat kepala dari tumpukan surat-surat di atas meja.

“Surat ini terjatuh di depan pintu saat aku membawanya masuk tadi,”

Kening Baekhyun mengernyit. “Berikan padaku,”

“Aneh,” gumam Manajer tersebut kala ia menyerahkan amplop hitam yang ditemukannya kepada Baekhyun.

Dan seketika itu juga, ia menjadi bersemangat. Jantungnya berdebar dua kali lipat dari biasanya. Segera Baekhyun membukanya dan mengeluarkan isinya. Kali ini kutipan dari Gilbert Parker-lah yang ia baca. Namun tiga kata yang tertulis setelahnya, itulah yang membuatnya nyaris terjungkal dari kursi yang didudukinya.

 

‘Cinta tak mengenal jarak; mereka tak memiliki kontinen; mata mereka hanya untuk para bintang.’

Sampai jumpa, Baekhyun.

 

Apakah Chanyeol akan menemuinya? Apakah lelaki itu berencana untuk bertemu dengannya setelah bermain kucing-kucingan seperti ini? Well, Baekhyun harap kali ini ia tak menghilang lagi dan meninggalkannya dalam kerisauan.

 

)***(

 

Seorang pemuda tengah berdiri di depan sebuah cermin, memperhatikan pantulan dirinya dengan setelan kelulusan yang melekat sempurna di tubuhnya. Empat tahun sudah Park Chanyeol menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi ternama di Seoul,  dan kini tibalah waktunya ia memperoleh sebuah gelar. Senyum cerah tak urung lucut dari sepasang bibir penuhnya. Chanyeol bersyukur kendati ia terlahir dalam keluarga sederhana, namun tetap mampu meraih impiannya. Dan berkat keunggulan yang dimilikinya, seorang Park Chanyeol berhasil mendapatkan beasiswa sehingga tak perlu membebani kedua orangtuanya.

Setalah memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna, Chanyeol pun melangkahkan kaki menuju sebuah aula tempat acara kelulusan berlangsung. Senang dan bahagia itulah yang dirasakan pemuda tinggi tersebut, perjuangannya selama empat tahun terakhir terbayar lunas dengan hasil yang memuaskan.

Sesekali pemuda tersebut akan melempar senyum manis kepada setiap orang yang menyapanya. Wajah tampan, postur tubuh tinggi sempurna tegap bak seorang model ternama, ditunjang dengan sikapnya yang ramah kerap menjadi daya pikat tersendirinya. Beberapa kali menerima pernyataan cinta dari para juniornya, Chanyeol dengan rendah hati menolak. Mereka tak lantas meraung dan memohon agar ia bersedia memberikan kesempatan, melainkan merasa takjub dengan sikapnya.

Chanyeol akhirnya tiba di aula. Melalui ekor matanya ia menangkap kehadiran kedua orangtuanya, Kris, pun sang Kakak—Park Yoora—yang rela datang jauh-jauh dari Busan hanya untuk menghadiri upacara kelulusannya.

Upacaranya dilangsungkan dengan khidmat. Sebagai alumnus terbaik, Chanyeol pun didapuk untuk  menyampaikan sebuah pidato. Ia melangkah enteng kearah podium. Ada jeda sekitar sepuluh sekon sebelum akhirnya Chanyeol memulai pidato nya

“Pertama-tama aku ingin mengucapkan rasa syukur dan terima kasihku terhadap keluarga yang telah memberikan dukungan hingga aku bisa berada di sini dan juga sepupuku, Kris. Ia adalah alumnus terbaik dua tahun lalu.” Ia berhenti untuk menarik napas. “Dalam pidato ini, a

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
dewanti_baekhyunaa #1
Chapter 1: Ceritanya indah seindah baekhyun untuk chanyeol. Keke
Akhirnya nemuin fanfic oneshoot yang bagus dan menarik. Terimakasih telah menulisnya :)
baekhyunlove599 #2
Akhirnya kamu post juga ini fanfic d akun mu. Tp jujur eon sempat lupa lho klo eon pernah nyuruh kamu ngepost. Heee.

Eon nambahin review ya. Biar terkesan banyak gitu yg review/eeaakk.Ini ff dengan ide dan konsep termatang yang pernah di buat. Makanya ngalir aja pas bikin. Yah walau jujur eon sempat ngalamin yg namanya ngestuck. Apalagi yg SRIP. Haaaaaa. Salah sendiri juga ngambil setting d Paris. Kesana aja belum pernah,sok-sok an bikin setting tempatnya gitu. Terima kasih untuk dirimu yg banyak banget ngrbantu itu pengerjaan ff. Oke lupakan..

Memang ff bertema di sini kayaknya lebih sedikit ketimbang akun lain. Sepertinya. Atau juga krn kebanyakan pembaca mu adalah penyuka ff straight. Kita gk bisa berbuat apa2 toh tiap org pny kesenangan beda2.

Cuma eon yakin lama2 jg jumlah reviewer nambah kok. Apalagi ini ff kan romance,fluff dan juga ratingnya aman. Ingat ff 10080 kan? Ada reader yg asalnya gk suka tp pas baca itu ff dia mutusin jadi CBS. Eon juga pernah nunjukin sama temen yg bukan CBS ff Baby's Breath pas dia baca, dia bilang "nyesel gak dari dulu baca ini ff" jd intinya semua ada waktunya./ setdah gue ngereview apa ya.

Eon gak tahu apakah nanti ada reader yg komen soal gaya penulisannya. Tapi sejauh mata memandang di gurun pasir/eh?. Eon belum nemuin komentar yg menyinggung soal gaua penulisanmu. Mungkin mereka mengerti kali ya.

Btw setelah mendapat ijin mungkin eon bakalan minta kamu posting 2 ff setelahnya. Oh jangan lupa periode FWC 1B akan berakhir tgl 26 ini. Siap2 blan dpn ada FWC 1 C. Persiapkan semuanya dengan matang(sok banget nyuruh2).

Oh iya hampir lupa ff school life buruan d bikin. Keburu brojol ntar eon
ZalfaJ #3
Chapter 1: Aku mengerti kamu pasti menghabiskan waktu sangat banyak untuk merangkai dan menulis cerita ini dengan hati hati, dan aku hanya mampir untuk mengatakan terima kasih.

Cerita ini indah dan tak terkesan seadanya. Aku yakin kamu pasti menghayati dan berpikir panjang sampai aku selalu berdecak membaca kosakata yang jarang sekali aku temukan dalam cerita fiksi ChanBaek di Indonesia. Aku ingin bilang terima kasih.

Aku sangat mencintai ChanBaek sampai titik kadang aku merasa aku bisa mati kesakitan misalnya mereka tidak bersama. Sampai kadang membayangkan kalau dunia ini tidak sama misalkan tidak ada Baekhyun untuk Chanyeol dan kebalikannya--aku memang gila. Tapi ceritamu cantik, sama seperti ChanBaek cantik.

Aku langganan Asianfanfic, hampir membenci fanfiction.net dan semua tentang fiksi ChanBaek dalam bahasa Indonesia karena mereka terkesan gamblang, langka menemukan fanfic sejenis ini disana. Tapi kamu berhasil.

Aku hanya ingin bilang minta maaf misalnya sedikit yang komen. Karena kebanyakan dari kita adalah native Inggris dan sedikit dari kita yang membaca cerita Indonesia apalagi bersedia meluangkan waktu untuk menulis komen--maka dari itu aku hanya ingin bilang terima kasih. Cerita ini cantik. Sama seperti ChanBaek cantik.

Jjang!! #ChanBaekForLife
monochromesight #4
orang indonesia? ^^ btw ceritamu bagus ♡♡