1962, 1965;

i dream of you (in colours that don't exist)

1962;

 

Sepanjang tahun senior, ibu menjadi lebih giat ke gereja untuk mendoakan kedua anaknya yang akan masuk kuliah. Jongin diharapkan untuk masuk ke Universitas Seoul, jurusan teknik. Sementara Soojung diharapkan untuk masuk di universitas apa saja, yang penting masih berada di kota mereka—Busan.

 

“Aku akan memilih sekolah kedokteran.” Soojung menyatakan keinginannya pada ayah dan ibu, di satu makan malam.

 

Wajah ibu berkerut-kerut cemas. “Tidak usah dipaksakan, Soojung.”

 

“Ibu! Aku serius, dokter memang cita-citaku!” hardik Soojung.

 

Malam itu Jongin mendengarkan tawar-menawar antara ibu dan Soojung sambil tersenyum.

 

Kemudian, di hari pengumuman, tidak disangka-sangka, Soojung mendapatkan apa yang dia inginkan—fakultas kedokteran di Universitas Busan. Semua teman-temannya tak habis pikir, Jongin juga ikut terperangah.

 

“Apa kau berbuat curang?” Jongin bertanya, menyipitkan matanya pada Soojung.

 

Soojung segera membalasnya dengan pukulan keras di punggung, hingga Jongin merintih kesakitan. “Kau kira sementara kau tertidur pulas sepanjang liburan musim panas, apa yang kulakukan, hah? Belajar! Kau tahu, belajar!!!”

 

Sama seperti Soojung, Jongin juga memberi kejutan untuk banyak orang. Dua hari setelah mendapatkan tiket masuk ke Universitas Seoul, kedutaan besar Amerika Serikat menelepon rumah mereka. Jongin lolos seleksi untuk beasiswa kuliah di UCLA, Los Angeles.

 

“Pilihan ada di tanganmu, Jongin.” Ayah berkata, menepuk-nepuk punggung Jongin, sesaat setelah sambungan telepon dengan kedutaan terputus.

 

“Dimana itu Los Angeles? Apakah dekat Pearl Harbor?” Ibu tidak cukup berbakat dalam ilmu pengetahuan, termasuk bidang geografi—semua anggota keluarga Jung tahu itu. Yang ibu tahu dari Amerika hanyalah Pearl Harbor, itu pun lewat berita di surat kabar dan radio saat tragedi perang dunia kedua terjadi.

 

“Pearl Harbor ada di Hawaii, Bu. Jauh dari Los Angeles. Kalau mau lebih jelas, kenapa tidak tanya orang beruntung yang akan pergi ke sana saja?” Soojung berkata. Matanya mendelik iri pada Jongin, meskipun setelah itu dia mengucapkan selamat.

 

Jongin cukup kebingungan, hingga ia mendiskusikan hal ini dengan Soojung. Jongin tak pernah mendiskusikan hal penting apa pun dengan siapa pun, jadi Soojung cukup terkejut.

 

Jongin tidak mau melepaskan kesempatannya untuk mendapat pendidikan gratis—bahkan kedutaan juga menanggung uang asrama dan uang saku, jika nilainya tetap memuaskan sepanjang semester. Tapi dia juga tidak mau melepaskan ibunya.

 

Soojung tahu, ibu lebih menyayangi Jongin dibanding dirinya yang mendapat status anak kandung. Ayah bercerita, dulu ibu sangat menginginkan anak lelaki. Mungkin karena alasan itu ibu lebih peduli pada Jongin. Soojung tak bisa protes, karena dia bisa menempatkan dirinya di posisi ibu bertahun-tahun yang akan datang.

 

“Kau akan berpisah pada ibu juga kan, pada akhirnya. Saat kau bekerja dan ditugaskan ke luar kota. Saat kau menikah. Saat ibu meninggal nanti.” Soojung berkata. “Jadi jangan terlalu khawatir jika kau akan meninggalkan ibu sekarang.”

 

“Kau tahu aku cinta fisika,” Jongin menatap Soojung lekat-lekat, “tapi aku lebih mencintai keluarga kita.”

 

Kalau saja enam tahun lalu dokter Jung  tidak memutuskan untuk mengangkat Jongin sebagai anaknya, mungkin Jongin tidak melanjutkan sekolahnya sekarang. Mungkin dia dimasukkan ke panti asuhan, diambil oleh keluarga lain yang tidak cukup mencintainya seperti keluarga Jung . Mungkin dia akan menjadi buruh pabrik dengan penghasilan pas-pasan. Mungkin dia bahkan melanjutkan pekerjaan ibunya. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dalam dunia paralel itu. Tapi, yang mereka tahu sekarang, keluarga Jung berhasil mengubah hidup Jongin menjadi jauh lebih baik.

 

“Kau harus ingat, apa pun yang kau pilih, ayah dan ibu akan selalu menghormati pilihanmu.” Soojung berpesan.

 

“Bagaimana denganmu?”

 

Soojung mengernyit. “Bagaimana denganku?”

 

“Kau mau aku tinggal, atau kau mau aku pergi?”

 

Jongin tertidur di ranjang Soojung. Soojung duduk bersila di lantai, meletakkan kepalanya di atas ranjang. Mata mereka bertautan, tak ada yang berkedip. Jarak wajah mereka sangat dekat. Cukup dekat untuk menyadari ada jerawat yang baru muncul di bawah bibir Jongin, cukup dekat untuk mencium aroma rokok mentol dari mulut pemuda itu, cukup dekat untuk berciuman.

 

Sejenak Soojung lupa bagaimana caranya bernapas.

 

Hingga akhirnya dia mengatakannya. “Aku ingin kau tinggal.”

 

*

 

Seminggu sebelum pendaftaran ulang ke kedutaan besar, tiga minggu sebelum pendaftaran ulang di Universitas Seoul, Soojung dan Jongin disambut dengan pertengkaran orang tua mereka sepulang sekolah.

 

Soojung dan Jongin sama-sama berhenti di depan kamar ayah dan ibu. Mereka mendengar keduanya saling berteriak di dalam, kadang bersamaan, kadang balas-membalas, hingga Soojung tak tahu lagi ke mana arah pembicaraan mereka.

 

Soojung hanya mendengar patahan-patahan kalimat itu dan menghubungkannya seperti teka-teki. Teka-teki besar tentang sesuatu yang terjadi bertahun-tahun yang lalu, perselingkuhan, seorang dokter, jatuh cinta, pelacur, dan ibu Jongin.

 

“Aku sudah menerima kenyataan kau dan wanita itu jatuh cinta! Aku sudah belajar mencintai anaknya! Aku bahkan pilih kasih terhadap Jongin dan Soojung!” Teriakan ibu semakin menjadi-jadi, bercampur dengan lolongan tangis dan pukulan meja. 

 

Soojung menoleh pada Jongin. Pemuda itu masih membeku, menatap nanar pintu kayu di hadapannya. Tangannya dikepalkan, urat-urat tangannya mulai terlihat jelas. Mungkin dia sedang menunggu kapan waktu yang tepat dia masuk. Mungkin dia menantikan ayah untuk melayangkan tangannya pada ibu, sehingga dia bisa menerjang ke dalam kamar dan menjadi pahlawan dalam kisah ini.

 

“Jongin,” Soojung menggumamkan nama itu dengan suara parau. Pelupuk matanya sudah banjir tanpa disadari. “Kau sudah tahu hal ini sebelumnya?”

 

Jongin menggeleng. “Tidak,” jawabnya.

 

Tapi Jongin menangis.

 

Jongin berbohong, Soojung segera tahu. Soojung lupa bahwa Jongin adalah pembohong kelas kakap. Soojung lupa bahwa Jongin dan ibu berbagi cerita tentang apa pun, rahasia atau tidak.  Sekarang, Soojung ingat. Sekarang, segalanya terasa masuk akal.

 

Soojung mendorong tubuh Jongin. “Bohong,” bisiknya di antara tangis, kemudian dia berlari menaiki tangga dan mendekam di kamarnya.

 

Jongin tidak mengejarnya, tidak mengikuti langkahnya dan tidak menggedor-gedor pintu kamarnya untuk memaksa dia keluar dari sana. Jongin masih berdiri di tempat Soojung meninggalkannya tadi. Matanya masih basah, masih terpaku pada pintu.

 

Hingga akhirnya Jongin menyerah dan Soojung mendengar suara pintu kamar di sebelahnya terbuka dan tertutup. Jongin masuk ke kamarnya sendiri, setelah beberapa menit.

 

Malamnya, ayah dan ibu sudah berdamai di meja makan.

 

*

 

Dua hari kemudian adalah upacara kelulusan. Jongin mendapat penghargaan dari kepala sekolah, atas partisipasinya di olimpiade fisika tahun lalu dan prestasinya yang membuahkan hasil beasiswa kedutaan besar untuk kuliah ke Amerika Serikat. Dia duduk di barisan paling depan, menjadi salah satu yang mendapat ijasah pertama kali. Ayah dan ibu juga mendapat kehormatan untuk naik ke atas panggung, tersenyum bangga saat mengapit anak lelakinya.

 

Sementara itu, Soojung lulus dengan tenang. Namanya diucapkan di antara murid-murid yang lain, dia duduk di antara puluhan murid senior, ayah dan ibu tak perlu bangkit dari tempat duduk saat namanya diucapkan guru lewat mikrofon.

 

Seusai upacara, ayah meminta tolong pada salah seorang guru untuk mengambil foto keluarga mereka. Soojung dan Jongin diapit ayah dan ibu. Setelah itu, Jongin segera dipaksa oleh teman-temannya dan beberapa gadis junior untuk berfoto bersama mereka. Junior centil itu pasti akan merindukan Jongin, Soojung berani bertaruh.

 

Namun Jongin lebih dulu menyempatkan berfoto berdua dengan Soojung. Ayah yang mengambil fotonya, sementara kedua anaknya berdiri bersebelahan di depan pintu aula.

 

Jongin merangkul Soojung. Soojung tidak terlalu terkejut, karena Jongin merangkul setiap orang saat berfoto. Tapi Soojung tak bisa untuk tidak menatap wajah Jongin, karena mungkin ini kali terakhir mereka bisa sedekat ini. Tidak banyak yang bisa mereka ucapkan setelah pertengkaran ayah dan ibu dua hari yang lalu.

 

Awalnya  Jongin tak membalas tatapan Soojung, namun akhirnya mata mereka saling beradu.

 

“Soojung,” Jongin bertanya, sesekali menatap mata Soojung, sesekali menatap bibir Soojung. Seolah-olah ingin menciumnya. “Kau masih mau aku tinggal?”

 

Pertanyaan itu lagi. Kalau saja Jongin bertanya hal itu jauh sebelum Soojung mengetahui kenyataannya, Soojung akan memohon agar Jongin tetap tinggal.

 

Ayah berseru, matanya bersembunyi di balik kamera. Dia berseru, “Anak-anak! Lihat aku dan senyum! Satu… dua…”

 

Tapi sekarang, semuanya berbeda.

 

“Aku mau kau pergi.” Soojung mengatakannya.

 

“Tiga!”

 

*

1965;

 

Jongin melakukannya, tepat seperti permintaan Soojung.

 

Seminggu setelah kelulusan, dia mendaftarkan dirinya sebagai pemegang beasiswa UCLA, jurusan teknik mesin. Sebulan setelahnya, Jongin pun terbang ke belahan dunia yang lain—Los Angeles, California, tepatnya—untuk mengikuti beberapa kursus dan pelatihan dari kedutaan.

 

Sejak itu, Jongin tak pernah muncul dalam hidup Soojung. Dengan alasan finansial, Jongin tak pernah pulang ke Korea. Dia hanya mengirim surat kepada ibu secara rutin, sekali dua minggu, dan menelepon rumah sekali sebulan—karena biaya telepon internasional lebih mahal daripada surat.

 

Soojung tak pernah mendapatkan surat khusus dari Jongin, tak pernah kebagian berbicara dengan Jongin kecuali di hari ulang tahun satu sama lain. Itu pun karena ibu memaksa. Tapi, setidaknya, Soojung tidak semarah yang dulu lagi.

 

Bahkan Soojung sendiri tidak tahu alasan dia sangat marah saat itu. Entah karena dirinya dibohongi Jongin habis-habisan. Entah karena dia baru tahu bahwa ibu Jongin adalah penyebab retaknya hubungan ayah dan ibunya. Atau entah karena kenyataan itu—ayah Soojung dan ibu Jongin pernah saling mencintai—menggali jurang yang semakin dalam di antara Soojung dan Jongin. Saat itu, segalanya terasa membingungkan sekaligus mengesalkan untuk remaja berumur sembilan belas tahun yang bernama Jung Soojung.

 

Kali pertama Jongin kembali ke tanah airnya adalah saat ayah meninggal. Ketika itu tahun ketiga Jongin dan Soojung di universitas, umur mereka sudah dua puluh dua tahun.

 

Jauh sebelum Soojung dan Jongin duduk di bangku kuliah, ayah memang sudah didiagnosa mengidap penyakit . Awalnya ringan, namun mendadak semakin buruk.

 

Puncaknya adalah di tahun kedua Soojung dan Jongin kuliah. Saking buruknya hingga ibu sudah rela untuk melepaskannya, sampai mereka setuju untuk melakukan perawatan paliatif karena sudah tak ada lagi yang bidang medis bisa lakukan.

 

Ayah pergi dengan tenang. Dia meninggal satu hari di musim dingin, ketika ibu memandikannya. Dia suka bersenandung saat berendam di dalam air hangat.

 

Dia juga masih bersenandung saat ibu keluar sebentar dari kamar mandi untuk mengambil handuk dan kursi roda. Ketika ibu kembali, ayah telah tiada.

 

Lagu terakhir yang disenandungkan ayah adalah Can’t Help Falling In Love. Soojung sudah tak tahu lagi bagaimana bencinya Jongin dengan lagu itu sekarang.

 

Ketika Jongin tiba di rumah duka, dia segera melemparkan tasnya dan tersungkur di sebelah peti mati ayah. Jongin menangis keras, meraung-raung, meronta seperti orang gila, memohon dan bersumpah pada Tuhan agar ayahnya bisa hidup kembali. Dia menangis seperti tidak ada hari esok, seperti tidak ada yang melihat.

 

Ini adalah kali pertama Soojung melihat Jongin seperti ini, serapuh dan setakberdaya ini. Soojung masih ingat sembilan tahun lalu, saat dia menghadiri upacara pemakaman ibu Jongin. Jongin bahkan tidak menangis. Dia hanya duduk di samping peti ibunya, menatap kosong ke depan dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

 

Soojung mengerti jika Jongin lebih menyayangi ayah angkatnya daripada ibu kandungnya sendiri.  Ibu kandungnya tak berbuat banyak padanya, bahkan saat beliau masih hidup. Sementara ayah melakukan banyak sekali hal demi memperjuangkan nasib Jongin

 

Soojung bahkan pernah mendengar hal ini dengan telinganya sendiri, bahwa bagi Jongin, ayah dan ibu Soojung bagaikan juruselamat. Mereka memberikan Jongin makanan, pakaian, tempat tinggal, sekolah, hadiah ulang tahun yang tak pernah Jongin dapatkan selama hidup. Mereka memberikan Jongin harapan, masa depan yang pasti. Dan Jongin bersumpah, jika semua manusia sudah mengakui tidak ada Tuhan di dunia ini, sudah pasti dia akan menyembah ayah dan ibu Soojung.

 

Gila, memang. Tapi sejak dulu Soojung sudah tahu Jongin sedikit gila. Mungkin karena sempat tinggal di lingkungan tak berperikemanusiaan selama tiga belas tahun, mungkin karena terlalu banyak belajar fisika, mungkin karena pergaulannya yang terlalu bebas.

 

Ibu segera menghampiri Jongin, memeluk anak lelakinya yang sudah tidak anak-anak lagi, kemudian ikut menangis tersedu-sedu. Soojung mengikuti ibunya sambil terus menangis, memeluk keduanya—karena tinggal dua orang ini yang dia punya sekarang.

 

*

 

Di minggu ayah meninggal, mereka bertiga tidur bersama di kamar ayah dan ibu. Ibu di tengah, diapit oleh Soojung dan Jongin.

 

“Sepertinya dulu tempat tidur ini tidak sesempit ini,” komentar Jongin. Badannya bergerak-gerak gelisah ke kanan dan ke kiri, membuat tempat tidur kayu itu berderit-derit. Dulu mereka bertiga sering tidur siang di sini, ketika ayah masih belum pulang kerja dari rumah sakit.

 

“Kau yang sudah semakin besar, seperti raksasa.” Soojung mendecakkan lidah. “Sana, tidur di bawah! Biar aku dan ibu saja yang tidur di sini!” Soojung memeluk ibu erat-erat, melilit beliau seperti guling.

 

Jongin yang tak mau kalah juga mengunci ibunya dengan tangan dan kakinya. “Hei. Aku cuma punya waktu seminggu di sini. Kenapa kau tak bisa biarkan aku bermanja-manjaan dengan ibu? Sana, tidur di kamarmu sendiri!”

 

Jongin masih belum tahu bahwa ibu menguak segala kebenaran pada Soojung. Tentang perselingkuhan suaminya dan ibu Jongin, tentang keinginannya mendapatkan anak lelaki tapi malah melahirkan Soojung, tentang tatapan mata Soojung pada Jongin.

 

“Kau menyukai Jongin, kan?” Ibu pernah bertanya, di larut malam. Ayah sudah tertidur di kamar, dengkurannya terdengar samar hingga ke dapur. “Aku bisa melihatnya, Soojung.”

 

Jongin benar. Sangat sulit untuk tidak jujur di hadapan ibu, menghadapi suara lembutnya yang intimidatif dan mata berkilaunya yang menginginkan kejujuran.

 

“Apakah ibu memberitahu hal ini pada Jongin?” Soojung menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain.

 

Ibu menggeleng, menyesap teh di hadapannya. “Dia harus mendengar pengakuan itu dari mulutmu sendiri, bukan dariku.”

 

Hanya itu yang dapat ibu ucapkan saat itu. Ibu tidak bertanya kenapa kau menyukai Jongin, kenapa kau membiarkannya pergi, apakah kau sudah melupakannya.

 

Ibu tidak bertanya, seolah-olah dia tahu apa jawabannya, dia dapat membaca pikiran Soojung—dan mungkin saja, ibu memang bisa.

 

*

 

Sehari sebelum Jongin kembali ke Amerika, mereka masih juga tidur bersama. Di larut malam, saat ibu sedang ke kamar mandi dan Soojung masih terjaga—karena ini malam terakhir Jongin berada bersama mereka—Soojung mendengar Jongin berbisik.

 

“Bahkan setelah dinding yang memisahkan kita telah runtuh, kenapa kau masih begitu sulit untuk disentuh?” Jongin berkata, beberapa detik sebelum ibu kembali masuk ke kamar.

 

Jongin segera bergeser, mengambil posisi tengah, sementara ibu berbaring di ujung. Meski Soojung masih terus menutup mata, dia tahu tubuhnya dan Jongin sangat berdekatan, karena dia bisa merasakan aroma tubuh pemuda itu dan napas hangatnya yang menderu. Wangi parfumnya pun masih sama seperti lima tahun yang lalu, masih begitu memabukkan dan menyesakkan.

 

“Ibu,” suara berat Jongin terdengar, segera dibalas dengan gumaman tak jelas ibu. “Aku tidak bisa tidur karena besok. Nyanyikan sebuah lagu untukku?”

 

“Lagu apa?”

 

Can’t Help Falling In Love.” Jongin mengucapkan nama lagu itu, yang seharusnya menjadi lagu nomor satu paling dia benci. “Mau ya, Bu?”

 

Ibu menghela napas. Pada dasarnya, jarang sekali menemukan dirinya menolak permintaan Jongin. Sama seperti malam itu. Jadi, selama beberapa menit, Soojung bisa mendengar suara lembut ibu melantunkan nada-nada samar lagu itu.

 

Kemudian Soojung sadar. Lagu ini dimainkan di hari terakhir Taemin menginjakkan kaki di rumah mereka. Lagu ini disenandungkan ayah sebelum napasnya berhenti. Sekarang Soojung sadar kenapa Jongin memintanya menyanyikan lagu ini. Ini adalah lagu perpisahan bagi Jongin. Ini adalah kesempatan terakhir Soojung untuk bertemu Jongin, sebelum pemuda itu kembali ke Amerika dan mungkin takkan pernah kembali lagi.

 

Soojung nyaris menangis, kalau saja dia tak sadar dirinya sedang berakting sekarang. Jadi yang bisa ia lakukan hanyalah menutup matanya, memohon pada dirinya sendiri untuk bernapas tenang. Tarik, buang. Tarik, buang.

 

Jongin takkan kembali, dia takkan kembali, dia—

 

Persetan dengan Jongin. Persetan dengan sosok jangkungnya dan kulit cokelatnya yang terbakar terik matahari dan seringaian samarnya dan wangi kayu cendana yang menempel di badannya dan suara beratnya dan permainan pianonya dan tulisan tangannya yang jelek saat menuliskan rumus fisika dan tawanya dan tangisnya dan desahan napasnya. Persetan dengan itu semua.

 

Jung Soojung, kenapa kau tak pernah bisa lepas darinya?

 

*

 

Esok paginya, Soojung yang mengantar Jongin ke stasiun. Jongin harus menempuh perjalanan beberapa jam menuju Seoul dengan kereta api, sebelum terbang ke Los Angeles dengan pesawat.

 

Jongin bercerita pada Soojung, bahwa hal terburuk yang terjadi padanya selama merantau bukanlah apa yang terjadi di Los Angeles sendiri, melainkan duduk diam di dalam pesawat seharian untuk sampai di Los Angeles.

 

“Rasanya pinggangku mau patah,” celoteh Jongin. Soojung hanya terkekeh.

 

Ada waktu setengah jam sebelum kereta api berangkat. Kelas anatomi Soojung akan dimulai satu jam lagi. Jadi Soojung memilih untuk menemani Jongin di ruang tunggu stasiun hingga tiba waktunya untuk pergi.

 

Jongin terus-menerus berkelakar akan ilmu fisikanya. Menghitung dan membandingkan kecepatan kereta api di Korea dan kereta api yang pernah ia tumpangi di Amerika. Tentang rumus-rumus antara jarak dan percepatan, mulai dari Newton hingga Bohr, dari aljabar hingga algoritma kuantum.

 

Hal yang tak pernah Soojung mengerti, namun tak bosan didengarnya dari mulut Jongin. Tak sering melihat Jongin berbicara seperti ini, dengan mata penuh kobaran api semangat dan tutur cepat yang menggebu-gebu.

 

“Kenapa tertawa?” Jongin berhenti bercerita. Suaranya sedikit tenggelam di antara dengungan roda-roda kereta yang bergerak, namun cukup jelas untuk didengar Soojung.

 

“Kau seperti anak kecil yang sedang bercerita tentang hari pertamanya bersekolah.” Soojung masih belum berhenti tertawa.

 

Soojung ingat, saat remaja dulu, satu-satunya yang membuat penggemar Jongin mundur teratur adalah obsesi Jongin dengan fisika. Mereka tak pernah mengganggu Jongin saat pemuda itu sedang membahas soal-soal sulit dengan guru, atau ketika melakukan percobaan roket di laboratorium, juga di minggu-minggu pelatihan olimpiade fisika.

 

Di balik segala hal yang membuat Jongin menjadi casanova ulung, dia hanyalah seorang maniak fisika yang hanya peduli pada teori dan probabilitas.

 

Bibir Jongin ikut melekuk, membentuk senyum. Disikutnya lengan Soojung yang duduk di sebelahnya, lalu berkata, “Aku berbicara seperti ini hanya saat aku membicarakan hal yang kucintai.”

 

Soojung bertanya-tanya apakah hal itu berlaku pada semua orang. Apakah dirinya akan seantusias itu saat membicarakan tentang Jongin? Soojung tak pernah tahu. Semua orang yang dia kenal, turut mengenal Jongin. Mereka tak perlu penjelasan dari Soojung tentang pemuda itu.

 

Putra sulung keluarga Jung. Anak olimpiade peraih beasiswa ke Amerika. Setidaknya mencium lima puluh gadis saat sekolah dulu.

 

Jongin beranjak dari kursi besi berkarat itu saat masinis berteriak, “Sepuluh menit lagi! Busan menuju Seoul, Busan menuju Seoul!”

 

Soojung ikut berdiri, membetulkan letak ransel yang dipanggul Jongin. Kemudian dia tersenyum, memandang lelaki itu lekat-lekat. Sekali lagi, mungkin untuk yang terakhir kali.

 

Jongin memiringkan kepalanya sedikit, tersenyum tipis saat membalas tatapan sayu Soojung. “Apa yang sedang kau pikirkan?”

 

Soojung menghela napas panjang, sebelum akhirnya menanyakan pertanyaan yang sejak tadi membuatnya gusar. “Apakah kau akan kembali?”

 

Tinggal tersisa enam menit lagi sebelum kereta berangkat. Hanya ada jarak satu petak ubin yang memisahkan mereka. Jongin bernapas tenang, sembilan belas kali dalam semenit—Soojung menghitung, tepat sebagaimana yang telah ia pelajari dalam sekolah kedokteran.

 

Soojung menunggu dan menunggu dan menunggu. Dia terus menanti jawaban keluar dari mulut Jongin, menghitung berapa detik yang tersisa agar pemuda itu bersuara. Soojung menunggu, sambil menatap kedua mata Jongin dan menangis.

 

Jongin tidak menjawab, maka dia takkan kembali.

 

Tepat di saat itu, Jongin menarik Soojung dalam dekapannya. Diletakkannya kedua telapak tangannya di tiap sisi pipi gadis itu. Dan begitu saja, Jongin mencium Soojung.

 

Selama bertahun-tahun, Soojung bertanya-tanya bagaimana rasanya mencium Jongin. Jinri memberitahunya, bahwa ciuman Jongin begitu terburu-buru, sedikit kasar, dengan aroma rokok mentol yang tersisa di ujung lidah.

 

Tapi, saat ini, ketika bibir Jongin menemukan bibirnya, waktu seakan terhenti. Jongin menciumnya dengan lembut, menelusurinya dengan perlahan-lahan, hingga Soojung dapat mengecap asinnya air mata di dalam mulutnya. Kedua tangan Jongin yang hangat terasa kontras saat menyentuh pipi Soojung yang dingin. Jongin menciumnya seperti saat menangisi ayah. Seolah tak ada hari esok, seolah tak ada yang melihat.

 

Soojung mengintip dari balik bulu matanya untuk sesaat. Pemuda itu menciumnya dengan mata tertutup.

 

Kemudian Jongin melepaskan ciumannya dalam sekejap. Kemudian dia menatap Soojung sambil tersenyum. Kemudian dia berlari menuju gerbong kereta—tanpa pernah melihat ke belakang.

 

Jongin menjadikan jawaban untuk pertanyaan Soojung sebagai rahasia.

 

Jongin tak pernah kembali.

 


 

i don't do a lot of research for the story,

so i apologize for the wrongs, and please correct me! thank you xx

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
seungcheoreo #1
re-read it again here
seungcheoreo #2
Chapter 2: I'm addicted
masayu-san
#3
i know this will happen... sumpah, mau sebegimanapun mereka nggak bakal bersatu.... dinding penghalang yang namanya keluarga pasti tetep ada. walaupun ayah-ibu merestui sekalipun, pasti ada sesuatu yang beda. dan Jongin tau itu. Soojung juga tau itu. itu yang gue sayangin. entah mereka terlalu pandai atau terlalu bego, gue juga nggak tau. sedih bangt apalagi pas tau mereka berdua saling suka. tapi ya masak nggak balik si jongin? walau buat jenguk ibunya srkalipun? dingin bener dah.

ri masa depan gw bs bayangin jongin pulang di pemakaman ibu dan duduk bareng soojung, minum arak sampai pagi, nggak nangis tersedu di rumah duka, ngobrol bareng ttg ibu, apa makanan kesukaa sang ibu dan pagi harinya abis org2 pergi, mereka berdua pelukan sedih, murni pelukan campur aduk antara rindu dan sedih..,

sumpah, kata2nya mengalir gitu aja, bawa gue ke jaman2 sephia--jaman2 kayak di Repky 1988 tapi lebih mundur gitu deh! judulnya juga keren banget, ngga ada plothole, keren aja gituu ;_; kesannya cerita ini warnanya tuh warna matahari, trus abu2, truswarna kuning tua di perkamen. susah jelasinnya! pokoknya thumbs up buat kamu yg udh nulis otp aku sekeren iniiii
hasna_ #4
Chapter 2: Se baper ini bacanya, huhuhuhu;;__;;
Bertahun tahun ya ampun memendam perasaan terus Jongin nya gak bakal balik tuh rasanya huwalahhh...
lee-jungjung #5
Chapter 2: kok sedih... T.T

hmm.. cinta terpendam emang rumit yaah.. apalagi kalau penghalangnya berat banget... dulu gak bersatu karena alasan ayah Soojung selingkuh sama ibu Jongin... tapi, sekarang kenapa mereka masih gak bisa bersatu? kayaknya bukan cuma Soojung yang memendam perasaannya... Jongin juga begitu.. ahh.. gak tau deeh mau bilang gimana lagi.. pastinya semoga ini bukan akhir dari semuanya.. semoga suatu saat mereka bertemu lagi... dan berharap bisa bersatu.. amiin ^^
mungkin di chap sebelumnya gak terlalu bahas soal penulisannya.. karena bagiku gak ada yang kurang.. ini rapi banget.. serius... setiap katanya mewakili feel yang mau dibangun... gak ada yang perlu dikoreksi kalau kataku.. ^^ fighting buat lanjutannya
meccaila #6
Bagus banget, keren banget, authornim I Laph u!
Please continue this story until the end, please!
Kaistal is the best! Pokoknya kalo maincastnya kaistal apapun jenis storynya pasti kena dihati

Gomawo
taeyong389 #7
Wuidiii... Kereen iii... Baru baca foreword doang uda begini... Nunggalin jejak and vote dlu sebelum read next chap...
Semangat ✊
And thank you uda buat kaistal ff...
lee-jungjung #8
Chapter 1: nyaris banget ngirain Taemin bakal suka Soojung dan Jongin-Taemin bakal berantem... atau sempet mikir Jongin gay.. dan cukup mengejutkan karena Taemin yang suka Jongin.. Uhh, gak kebayang jadi Soojung habis lihat adegan itu.. aku cukup geli sendiri sama yang berbau siih... tapi, kayaknya Jongin normal kan?
soojungaxox #9
Its cool! I got the feels