Rain

Standing Right In Front Of You

Bye, Jessie.” Kata Louis sambil mengacak lembut rambutku.

Aku tersenyum padanya dan keluar dari mobilnya. Mobil Louis berlalu. Louis mengantarku kembali ke kampus setelah kami makan siang bersama karena aku ada kelas setelah makan siang. Aku berjalan melewati koridor utama. Aku melihat seseorang yang aku kenal beberapa langkah di depanku. Miranda. Salah satu teman baikku di kampus. Aku berlari kecil mendekatinya dan menepuk pundaknya. “Hey.”

Miranda menoleh ke arahku. “Hey, Jess! Aku tidak melihatmu di cafetaria tadi. Kau makan siang di luar?”

Aku menganggukkan kepalaku. Aku biasanya makan siang bersama Miranda di cafetaria kalau aku masih ada kelas setelah makan siang. Aku terkadang malas untuk keluar dari kampus hanya untuk makan lalu kembali ke kampus. Kecuali ada yang menjemput dan mengantarku kembali kesini seperti Louis.

Aku dan Miranda masuk ke dalam Lab yang sudah mulai dipenuhi beberapa mahasiswa. Kami mengikuti kelas yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam. Aku sedikit mengantuk dan tidak dapat memperhatikan profesor dengan serius. Mungkin aku makan terlalu banyak tadi siang. Aku menghela nafas panjang saat profesor mengakhiri kelas ini. Aku tidak sabar ingin cepat sampai di apartemenku dan merebahkan tubuhku di tempat tidurku.

Aku berjalan keluar gedung dan berpisah dengan Miranda di lapangan parkir. Apartemenku tidak jauh dari kampus. Jadi aku lebih sering berjalan kaki atau naik sepeda daripada mengendarai mobilku. Hitung-hitung sekaligus berolah raga. Untuk hari ini aku memilih untuk berjalan kaki. Tapi aku tidak yakin pilihanku hari ini tepat. Angin berhembus kencang sejak siang tadi. Aku hanya berharap hujan tidak turun selama aku belum sampai di apartemenku.

Aku berjalan melewati Russel Square yang tidak seramai hari-hari biasanya. Aku melihat ke atas menatap langit yang semakin gelap. Aku mempercepat langkahku. Tiba-tiba aku merasa apartemenku terletak sangat jauh. Aku merasa sudah berjalan sangat jauh tapi kenapa aku masih saja berada di Russel Square. Aku merasakan rintikan air yang mulai membasahi rambutku, bajuku, tanganku. Hujan. Memang pilihan yang salah untuk berjalan kaki hari ini. Aku berlari masuk ke dalam Russel Square untuk mencari tempat berteduh.

Aku sampai di sebuah cafe kecil yang berada di ujung Russel Square. Aku melihat ke dalam cafe yang sudah dipenuhi orang. Akhirnya aku duduk di salah satu kursi yang ada di bagian luar cafe. Bagian luar cafe ini masih diberi atap jadi aku tidak kehujanan. Aku merapikan bajuku yang sedikit berantakan karena aku berlari kencang dan juga hujan. Begitupun juga rambutku. Semakin banyak orang berdatangan memenuhi tempat ini. Aku pikir mungkin semua orang ini bernasib sama denganku.

Aku memandang ke arah taman yang dipenuh dengan rumput hijau segar yang terus dibasahi oleh hujan yang tak kunjung reda. Aroma tanah yang terkena air hujan memenuhi tempat ini. Ditengah-tengah suara hujan yang deras aku seperti mendengar suara alunan gitar yang aku masih tidak tahu dari mana datangnya. Aku menoleh ke arah kiri ku, tidak menemukan apapun. Hanya orang-orang yang bernasib sama denganku. Aku menoleh ke kanan dan dengan tidak begitu jelas aku melihat seseorang berdiri bersandar pada dinding cafe. Ia terlihat kering, tidak basah seperti ku dan beberapa orang lainnya. Mungkin ia sudah berada disini sebelum hujan turun. Aku mencoba melihatnya dengan lebih jelas di tengah keramaian cafe ini. Seorang pria muda dengan tinggi sekitar 6 kaki memainkan sebuah gitar akustik. Ia terus memainkan gitarnya tanpa memperdulikan keadaan di sekitarnya. Sekarang ia mulai bernyanyi sambil terus memainkan gitarnya.

Hujanpun akhirnya mulai reda. Aku memperhatikan orang-orang yang mulai berjalan meninggalkan tempat ini. Semua orang yang meninggalkan tempat ini beriringan menghampiri pria yang bermain gitar tadi lalu pergi. Aku mengerutkan keningku mengamati mereka. Aku pun beranjak dari tempat dudukku dan aku melihat hardcase gitar yang terbuka dibawah kaki pria tadi. Aku mengerti sekarang, orang-orang tadi memberinya uang sebelum meninggalkan tempat ini. Apa aku juga harus melakukannya? Aku menghampiri pria itu sambil menyiapkan uang yang akan aku berikan. Aku menaruh beberapa uang logam yang dapat aku temukan di dalam tasku ke dalam hardcase gitarnya.

Thank you.” Katanya yang membuatku menatap wajahnya lalu tersenyum padanya. “Tunggu.”

Langkahku terhenti lalu aku kembali membalikkan tubuhku ke arahnya. Aku hanya mengerutkan keningku padanya. Ia terus menatapku dengan matanya yang berwarna coklat terang.

“Jessica? Jessica Hoppus?”

Aku sedikit terkejut. Ia mengenalku? Atau aku lupa dengannya? “Sorry... Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Birkbeck.” Ia tersenyum padaku. “Siapa yang tida mengenalmu disana?”

“Kau... kau mahasiswa Birkbeck juga?”

“Mungkin kau tidak mengenalku. Iya, tapi sudah tidak lagi.”

“Oh...”

Aku tidak tahu harus menanggapi apa perkataannya. Ia sudah tidak berkuliah lagi. Aku tidak ingin mengeluarkan kata-kata yang akan menyinggung perasaannya. Aku memperhatikannya yang mulai membereskan gitarnya. Ia meletakkan semua uang yang ia dapatkan ke sebuah kantong kecil dan memasukkannya ke dalam tas nya. Ia mengangkat hardcase yang sudah berisi gitar di dalamnya.

“Kau berjalan pulang?” tanya nya.

“Iya.” Jawabku sambil menganggukkan kepalaku. Ia mulai berjalan meninggalkan cafe. Begitupun juga aku.

“Kau pulang ke arah mana?”

“Tidak jauh dari sini. Red Lion Square.”

“Kebetulan sekali. Aku juga akan kesana. Red Lion Square Gardens. Aku akan bermain gitar disana. Kau tinggal disana? Woodstock Central?”

“He-ehm.” Jawabku.

Kami terus berjalan bersama meninggalkan Russel Square. Aku tidak berkata apa-apa sepanjang kami berjalan. Aku sedikit canggung. Aku tidak mengenalnya. Namanya pun aku tidak tahu. Aku tidak tahu apakah ia orang jahat atau orang baik. Aku hanya melihat lurus kedepan, kadang aku menunduk. Tapi aku tidak mau melihat ke arah orang asing yang sedang berjalan bersamaku ini. Tidak terasa kami sudah melewati Red Lion Square. Kami tidak saling bicara sampai di tempat ini.

“Aku kira kau akan ke taman ini?” tanyaku saat melewati Red Lion Square Garden tetapi pria ini masih saja berjalan bersamaku.

“Aku akan berjalan bersamamu sampai di Woodstock.”

“Kau tidak perlau melakukannya. Jaraknya sangat dekat. Pergilah ke taman.” Aku semakin curiga dengan pria ini.

Okay.” Ia menghentikan langkahnya. Aku sedikit lega. “Shawn.” Ia mengulurkan tangannya padaku. “Aku lupa tidak memperkenalkan diriku sejak tadi.” Ia sedikit tertawa.

Aku menjabat tangannya. “Kau sudah tau namaku.” Aku melepaskan tanganku dari tangannya lalu pergi meninggalkannya menuju apartemenku.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet