Gadis Dalam Senja

The Stranger

Chanyeol’s POV

Ini adalah hari kelima aku menunggu gadis senja itu kemari. Hampir satu jam aku duduk di tepi sungai Han dengan coat  yang tebal dan syal –ya angin disini luar biasa dingin dan benar-benar menusuk tulang. Lucunya, aku yang benci angin musim dingin ini mau mau saja menunggu gadis itu. Aku berulang kali melihat jamku sembari menatap langit. Bias ungu mulai menghias langit hingga tak tampak lagi warna jingga dari senja.

Senja, tolong jangan hillang dulu. Hari ini gadis itu tidak datang kesini lagi untuk menikmatimu.

Kemana perginya gadis itu?

Berdasarkan pengamatanku beberapa hari yang lalu gadis itu cukup sering datang kemari. Beberapa kali juga aku sempat berpapasan dengannya setelah ia menikmati senja. Aku juga pernah melihatnya duduk sendirian di halte sambil menunggu bus nya datang.

Apa? Aku tertarik dengan gadis itu?

Hm... Tidak juga.

Oke oke, baiklah aku mengaku. Aku sedikit tertarik dengannya. Tolong ingat-ingat ya, sedikit. Mengapa aku sedikit tertarik dengannya?

Apalagi kalau bukan senja. Gadis itu punya caranya sendiri untuk menikmati senja secara terang-terangan. Dulu saat SMA aku pernah hanya duduk diam di pinggir lapangan sekolah sambil menatap langit. Tanpa kusadari, beberapa murid yang sedang lewat di lapangan melihatku dengan aneh. Beberapa dari mereka mengatakan aku sedang mencari UFO. Oh yang benar saja. Justru mereka yang melihatku dengan tatapan aneh itu adalah orang-orang yang tidak tahu bagaimana rasanya menikmati senja. Semenjak itu aku tidak pernah terang-terangan menatap senja. Seperti beberapa hari yang lalu, aku lebih baik menikmati senja di dari dalam mobil daripada aku duduk di tepi sungai Han. Tetapi gadis itu berbeda dan aku menyukai caranya menatap dan menikmati senja.

Gadis senja, kau ada dimana? Senjamu telah datang dan ia merindukanmu.

---

Keesokan harinya aku datang lagi untuk menikmati senja. Kali ini aku tidak akan menunggu gadis itu lagi. Aku akan menikmati senja dengan caraku. Baru saja aku memarkir mobilku di pinggir jalan, tiba-tiba saja dari kejauhan aku melihat gadis senja itu dengan setengah berlari menuruni anak tangga. Rambut hitam panjangnya berkibar tertiup angin. Tanpa pikir panjang aku menyalakan mesin mobilku kembali lalu dengan cepat mencari coffe shop terdekat.

Lima belas menit kemudian aku kembali dengan membawa segelas americano dan segelas coklat hangat. Setelah menuruni anak tangga aku berjalan menghampirinya. Lagi-lagi ia duduk menatap langit dengan ekspresi yang sama seperti yang aku lihat beberapa hari yang lalu. Wajahnya terlihat senang tapi sorot matanya selalu terlihat sedih. Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan gadis itu hingga ia merasa sedih. Apa dia baru putus cinta, ya?

Aku memutuskan untuk langsung duduk di sampingnya dan seperti sebelumnya juga ia tidak menyadari keberadaanku. Aku menempelkan segelas coklat hangat itu kepipinya dan gadis itu terlonjak kaget.

“Hai. Boleh berbagi tempat kan?” Aku bertanya sambil menyunggingkan senyum lebar.

“Ah kau lagi. Bisa tidak kau berhenti membuatku kaget.” Gadis itu menggerut dengan kesal lalu ia kembali diam dan menatap langit lagi.

“Kau mau americano panas atau cokelat panas?” Aku menawarinya minuman yang baru saja kubeli.

“Tentu saja cokelat jelas jauh lebih baik. Terima kasih.” Kata gadis itu sambil mengambil segelas cokelat dari tanganku.

“Kau suka cokelat?” Aku bertanya padanya sambil menyesap americano-ku.

“Tidak juga. Hanya saja kalau disuruh memilih cokelat atau americano, jelas aku pilih cokelat.”

“Kenapa?”

“Karena cokelat lebih manis dari americano.”

Aku melihatnya dengan bingung. Penjelasan macam apa itu. Gadis itu kemudian menatapku lalu ia tertawa terbahak-bahak.

“Aku hanya tidak ingin merasakan rasa pahit di lidahku. Itu saja, that’s why i’d love chocolate than americano.”

“Memangnya apa salahnya merasakan rasa pahit di lidah?”

Gadis itu diam lagi seperti memikirkan sesuatu.

“Kau tahu tidak, di dunia ini ada banyak rasa pahit dalam hidup. Misalnya, rasa sedih dan rasa kecewa, dua rasa itu adalah gambaran rasa pahit hidup. Sedangkan rasa bahagia dan rasa senang adalah rasa manis dalam hidup.”

Lagi-lagi aku menatapnya dengan bingung. Apa yang sebenarnya dia ingin bicarakan? Apa dia sedang mabuk ya? Tapi mana ada orang mabuk di sore hari begini.

“Ketika hidupmu lebih banyak merasakan rasa pahit, kau pasti akan memilih makanan dan minuman yang manis untuk menghilangkan sedikit rasa pahit dalam hidupmu.” Lanjut gadis itu.

Aku diam mencerna kata-katanya. Rasa pahit ya. Aku rasa semua orang di dunia ini pasti memiliki rasa pahit di hidupnya, karena sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar bahagia di dunia ini.

Aku juga punya rasa pahit dalam hidup yang menurutku tidak akan pernah bisa hilang meskipun aku sudah menambahkan berbagai macam gula. Menurutku sekali rasa pahit itu tercipta, maka pahitnya akan selalu membekas.

“Kau paham tidak maksud ucapanku? Kalau kau tidak paham lupakan sajalah.”

“Ya ya aku paham. Kalau begitu, apa kau percaya kalimat ‘happily ever after’?”

“Tentu saja tidak. Kau tahu, kalimat itu tidak pernah berfungsi di dunia yang kejam ini. Kalimat itu hanya berlaku di dunia para princess disney. That’s why aku tidak suka dengan para princess itu. Bagaimana bisa mereka menikmati hidupnya semenyenangkan itu dan mendapatkan kebahagiaan semudah itu.”

Aku tertawa melihatnya yang sedang berbicara dengan berapi-api.

“Kau ini benar-benar realistis ya. Tapi aku suka cara berpikirmu. Cool.” Kataku sambil mengacungkan dua ibu jariku padanya.

“Tentu saja. Kau tahu tidak, IQ-ku ini 145. Aku jelas lebih pintar dan cara berpikirku tentu saja lebih berbeda dari orang lain.”

“Kau ini sombong sekali, kalau begitu 8x56x432 hasilnya berapa?”

Gadis itu memandangku dengan kesal.

“Memangnya kau pikir aku ini robot? Atau kalkulator?”

“Iya deh iyaaa. Sorry, don’t get mad please.”

“Kau diamlah sebentar. Di akhir tahun seperti ini senja cepat sekali menghilang, aku ingin menikmatinya lebih lama lagi sebelum musim dingin datang.”

Akhirnya aku memutuskan untuk diam dan tidak menggoda gadis itu lagi. Benar saja,rasanya  baru sebentar kami berdua duduk di kursi tepi sungai Han tetapi tiba-tiba langit sudah berubah menjadi gelap begitu saja. Gadis itu masih diam menatap langit hingga warna jingga benar-benar hilang dari matanya.

Aku melihat gadis itu menatapku sejenak kemudian ia memulai pembicaraan kembali denganku.

 “Hey Mr Stranger, menurutku melihat senja adalah salah satu rasa manis di hidupku. Kalau rasa manis versimu, bagaimana?”

Huh? Apa? Kau memanggilku apa barusan? Mr Stranger? Telingaku mungkin salah dengar.

Aku memandangnya dengan aneh. “Barusan kau panggil aku apa?”

“Mr Stranger. Orang asing. Kau benar-benar orang asing teraneh yang pernah kutemui. Kau bersikap sok kenal padaku. Lalu kita berbicara mengenai banyak hal. Mulai dari yang remeh hingga hal yang serius”

Gadis itu menatap langit kembali. “Sekarang senjanya cepat menghilang dan kau mengajakku berbicara panjang lebar hingga aku lupa memandangi senjaku.”

“Jadi kau tidak suka kalau aku ikut duduk disini, ikut memandang senja di langit bersamamu, dan berbicara bersamamu? Kau keberatan? Kalau iya aku pulang saja.”

Aku bangkit dari kursi sembari membenahi syalku.

“Hey hey. Jangan tersinggung. Aku tidak bermaksud membuatmu marah. Sebenarnya... aku hanya merasa aneh melihat kita yang terlihat seolah-olah kita ini adalah teman lama. Kita berbicara banyak hal dengan mudahnya.”

Gadis itu menghela nafas kemudian melanjutkan kembali ucapannya.

“Hm jujur saja aku bukan seseorang yang mudah bergaul dengan orang lain tetapi, berbicara denganmu dan menghabiskan senja disini denganmu. It’s not that bad.

Gadis itu menyunggingkan senyumnya. Senyumnya indah tapi sorot matanya masih saja terlihat sedih. Sebenarnya siapa orang yang berani-beraninya membuat gadis secantik dan sepintar ini sedih berlarut-larut.

“Hey, Mr Stranger?”

“Huh? Ya? Kau memanggilku?“

“Tentu saja. Kau terlihat seperti sedang melamun.”

Aku berusaha mengendalikan ekspresiku kembali.

“Senjanya sudah hilang sekarang. Kau tidak pulang?” Aku bertanya padanya.

“Pulang?”

“Iya. Pulang ke rumah. Atau kau mau menginap disini?”

Gadis itu mengerjapkan matanya. Dia hanya menatapku dalam diam.

“Rumahmu dimana? Kau berani pulang sendiri kan?” Tanyaku lagi.

“Hey Mr Stranger, kau lapar tidak?”

---

Malam ini berakhirlah kita disini di salah satu restauran yang menjual bibimbap. Gadis itu makan dengan lahapnya dan saat ini dia sedang memakan bibimbapnya yang kedua.

“Hey kau, pelan-pelan kalau makan. Kita tidak sedang dikejar anjing kok.”

“Mr Stranger, ini enak sekali. Huah sudah lama aku tidak makan bibimbap. Benar-benar surga.”

“Memangnya kau biasanya makan apa? Bukannya bibimbap mudah dibuat? Ibumu tidak pernah memasakan itu untukmu?”

Gadis itu dia memandangiku sambil mengunyah makanan dimulutnya.

“Entahlah. Aku lupa apa aku pernah sekali makan masakan ibuku karena setiap hari aku selalu makan masakan koki dirumah ---mmm itu maksudku bibi yang membantu beres-beres rumah.”

Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan gadis itu. Mungkin ibunya seorang wanita karir yang sangat sibuk. Aku menyuapkan kembali bibimbapku sambil mengamati gadis itu lekat-lekat. Mataku tak ada habisnya mengamati cara gadis itu makan. Dia terlihat seolah-olah tidak pernah makan bibimbap selama seumur hidupnya. Aku melihat mangkuk kimchinya yang hampir habis

“Kau mau kimchi lagi?” Tanyaku padanya. Ia menjawab dengan anggukan yang penuh semangat.

Setelah itu ia memakan seluruh bibimbapnya yang tersisa dalam diam.

“Huaaa kenyang. Sudah lama aku tidak merasakan makan yang semenyenangkan ini.”

“Memangnya ada cara makan yang tidak menyenangkan?”

“Ada. Makan di arena adu mulut.”

Aku mengernyitkan dahiku.

“Kau makan sambil beradu mulut dengan orang lain?”

Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Lupakan. Itu bukan hal yang serius.” Imbuhnya sambil tersenyum.

Hey, bisa tidak dia berhenti tersenyum seperti itu. Dia tersenyum tapi sorot matanya menunjukan kebalikannya. Seolah-olah sedang menyimpan suatu rasa sedih yang sangat mendalam.

Rasanya aku ingin menghapus rasa sedihnya itu.

---

“Ayo kita pulang. Ini sudah jam setengah sepuluh malam. Tempat makannya sebentar lagi pasti tutup.” Kataku sambil beranjak dari kursi. Aku melirik gadis itu yang terlihat dengan enggan bangkit dari kursinya.

Setelah membayar semua makanan, aku berjalan ke arah mobilku. Mendadak aku teringat sesuatu, haruskah aku menawarinya untuk pulang bersamaku? Apa tidak aneh ya?

Apalagi kami baru saja saling kenal. Bagaimana ini.

Hm tapi kalau tidak mengantar pulang, dia pasti mengira aku laki-laki tidak tahu diri. Membiarkan seorang gadis pulang di malam hari sendirian. Aku menggaruk kepalaku dengan bingung. Bagaimana ini.

“Kau, pulang naik apa?”

Gadis itu mendongak menatapku. Lalu diam seperti memikirkan sesuatu.

“Bus mungkin.”

“Oh baiklah. Aku pulang du...” Belum selesai ucapanku tiba-tiba saja dia memotong ucapanku.

“Tapi kalau malam begini aku tidak tahu masih ada bus atau tidak.”

Oh baiklah. Itu kode kesekian dari wanita yang menandakan dia ingin diantar pulang.

Aku berjalan ke mobil kemudian membukakan pintu penumpang.

“Masuklah. Aku antar kau sampai rumah.”

Dengan setengah berlari ia menghampiriku dan tersenyum lebar.

“Nah begitu baru benar.” Kemudian gadis itu masuk ke dalam mobilku dan memkai seat belt.

Dasar. Sepertinya semua wanita memang sama saja.

---

“Stop stop berhenti disini.”

Gadis itu tiba-tiba saja menyuruhku menepi kemudian dia turun dari mobil.

Aku menatapnya dengan bingung. Aku tidak melihat satu pun rumah disini. Yang kulihat hanya kios kios kecil pedagang kaki lima yang menjual soju dan tteobboki di malam hari. Aku hanya diam memandanginya yang tiba-tiba menghilang masuk ke dalam kios tersebut lalu keluar kembali.

Gadis itu berjalan ke arah mobilku lalu ia mengetuk jendela.

Aku membuka kaca jendela dan menatapnya dengan bingung.

“Itu rumahmu?”

Gadis itu memutar kedua bola matanya.

“Jelas bukan. Turunlah. Ayo kita makan tteobboki. Kau mau kan?”

Aku menatap matanya sejenak. Kemudian aku menganggukan kepalaku. Ah gadis itu sepertinya sedang ingin lari dari kenyataan.

---

Ahjumma, tambah sojunya satu ya.” Seru gadis itu sambil mengunyah tteobboki nya.

“Hey hey, bukannya kau bilang hanya makan tteobboki saja.”

“Rasanya ada yang kurang kalau tidak ada soju.”

Gadis itu tersenyum pada ibu pemilik kios saat ia datang membawakan sebotol soju beserta dua gelas minum.

“Tenang saja aku tidak mudah mabuk kok. Satu botol sajaaaa. Aku bisa menjaga kesadaranku. Kau jangan khawatir.”

Kemudian ia menuangkan botol soju tersebut pada dua gelas di hadapan kami.

“Kau tidak takut minum soju bersama orang yang tidak kau kenal?”

Gadis itu menggelengkkan kepalanya.

“Maksudmu, orang yang tidak aku kenal adalah kau begitu?” Gadis itu meminum segelas sojunya dengan cepat kemudian ia menuangkan kembali botol soju ke dalam gelasnya yang kosong.

“Justru itu lebih bagus kalau kau tidak mengenalku.”

“Kenapa?”

“Entahlah. Selama ini aku terbiasa dengan orang yang kukenal dan itu sering kali membuatku tidak nyaman. Tapi saat bersamamu, bersama orang yang tidak kukenal ternyata rasanya jauh menyenangkan dan lebih menyenangkan.”

Sepertinya dia tidak nyaman dengan orang disekitarnya. Apa itu berarti dia tidak punya teman?

“Kau tidak punya teman?” Tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari bibirku, seketika itu juga aku merasa bersalah. Aku takut gadis itu tiba-tiba merasa tersinggung dengan ucapanku.

Gadis itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

“Kau pandai sekali menebakku. Tapi kau benar. Aku memang tidak punya teman dan tidak ingin berteman dengan siapapun.”

Dia menuang kembali botol soju ke dalam gelasnya yang kosong. Sudah kuperhatikan ini tuangan ke tiganya. Aku menahan tangannya untuk tidak langsung meminum sojunya.

“Santai saja minum sojunya. Jangan tergesa-gesa. Kita masih lama disini kok.” Aku berusaha mengulur waktu agar dia tidak menghabiskan sebotol soju itu dalam sekejap. Kalau dia sampai tidak sadarkan diri, bisa-bisa aku yang kena getahnya.

“Kau, mau mendengar ceritaku tidak?”

Aku menganggukan kepalaku, berusaha terlihat antusias di depan gadis itu.

“Aku sangat sayang sekali dengan Oppa-ku. Sayaaaang sekali. Dia satu-satunya orang yang bisa kupercaya di dunia ini.”

Gadis itu diam lalu mulai mengerjap-kerjapkan matanya. Aku memandangnya dengan bingung.

“Santai saja. Aku tidak menangis. Aku hanya kelilipan kok. Tenang saja.” Kata gadis itu sambil mengusap matanya.

Aku meneguk segelas soju pertamaku. Lalu menatap gadis itu. Saat ini dia terlihat rapuh dan seperti ingin bercerita banyak hal tetapi tidak tahu harus bercerita pada siapa.

“Oppa-ku tahu bagaimana cara membuatku senang. Seburuk apapun kondisi di rumah, dia tetap bisa menghiburku. Membuatku tersenyum. Tapi sekarang disaat aku sangat membutuhkannya dia tidak ada lagi.”

Mendengar perkataan gadis itu reflek aku berkata “Aku turut berduka cita...”

Tiba-tiba dia memandangku dengan kesal lalu memukul kepalaku dengan keras.

“Hey, kau pikir Oppa-ku sudah meninggal apa? Asal kau tahu, beberapa hari yang lalu aku baru saja meneleponnya. Kau ini... memang kalau ngomong suka tidak dipikir dulu.” Gerutu gadis itu padaku.

Sorry sorry. Baiklah lanjutkan ceritamu, aku siap mendengarkannya.”

Kemudian gadis itu melanjutkan ucapannya setelah meminum gelas sojunya yang ketiga.

 “Aku sekarang tidak tahu apa yang Oppa lakukan diluar sana. Juga apa yang sedang ia rencanakan.”

 Setelah itu gadis itu terdiam selama beberapa saat kemudian ia melanjtkan ucapannya lagi.

“Aku rasanya ingin lari dari semua ini. Aku benci dengan keadaanku saat ini. Aku benci ayahku, aku benci ibuku, aku juga benci oppa-ku. Oppa di luar sana seperti burung yang baru keluar dari sangkar. Dia bebas. Sedangkan aku masih terkungkung dalam sangkar. Aku sangat sayang Jaehyun Oppa. Tapi aku takut jika dia nantinya juga meninggalkanku. Aku takut dia tidak mengajakku keluar dari sangkar ini.”

“Sekarang, aku tidak punya satu orang pun yang bisa aku percaya.”

“Kau bisa percaya padaku.”

Ah bodoh. Baru saja kau bilang apa Park Chanyeol. Kata-katamu barusan kedengarannya seperti gombalan lelaki kelas rendah saja.

Gadis itu menyunggingkan senyum simpulnya.

“Jadi sekarang apa kau mau berteman dengan orang broken home seperti aku?”

  Ah... broken home ya.

Aku membalas senyumnya.

“Tentu saja. Bukankah aku sudah bilang sebelumnya kalau kita ini sama.”

Persamaan pertama, senja. Persamaan kedua, broken home. Dunia ini terlihat adil saat kau juga menemukan seseorang yang terlihat sama sepertimu.

---

Jarum jam menunjukan pukul 12 lewat 20 menit. Aku mengajak gadis itu untuk pulang dan dia bersikeras masih ingin menghabiskan waktu ditempat ini.

Akhirnya dengan sangat terpaksa aku memapah gadis itu menuju mobil. Pipinya terlihat memerah dan dia terlihat sangat mabuk. Gadis itu berjalan sempoyongan hingga tiba-tiba ia duduk bersimpuh di tengah jalan.

“Mr Stranger.” Bisiknya.

Aku mencoba mengajaknya berdiri untuk memapahnya kembali tetapi tiba-tiba ia menangis terisak-isak di hadapanku.

“Aku benci. Aku benci, aku benci semuanya.” Isak gadis itu.

Untung saja malam itu jalan terlihat sepi sehingga tidak ada orang yang memperhatikan kami berdua. Aku menepuk punggungnya perlahan.

“Semuanya akan baik-baik saja. Tenanglah.”

Gadis itu masih menangis. Bahkan sekarang isakannya menjadi keras. Dengan ragu-ragu aku memutuskan untuk memeluknya sambil menepuk-nepuk punggungnya. Dia menenggelamkan kepalanya di bahuku sambil terus terisak-isak.

Tapi tiba-tiba saja aku merasakan cairan hangat meluber di coat-ku. Kemudian ia melepas pelukanku lalu ia bangkit berdiri dan berlari di pinggir jalan untuk mengeluarkan sisa isi perutnya

Hey, yang benar saja. Aku sudah berbaik hati meminjamkan bahuku tetapi dia memuntahiku begitu saja. Aku melepaskan coat ku dengan kesal. Dari jauh aku melihat gadis itu terus berusaha mengeluarkan isi perutnya. Aku menghampirinya lalu menepuk punggungnya perlahan dengan iba.

Baiklah kau kumaafkan. Aku tahu sepertinya kau menderita sekali.

---

Setelah melalui banyak rintangan akhirnya aku berhasil memasukan gadis itu ke dalam mobilku. Aku menyalakan mobil kemudian mulai menyetir sambil menahan rasa kantuk yang melandaku. Saat ini waktu menunjukan hampir pukul satu dini hari dan aku masih berkeliaran di jalan bersama orang yang baru aku kenal beberapa jam yang lalu.

Sounds weird but it happened to me.

Ditengah perjalanan tiba-tiba aku teringat sesuatu. Alamat gadis itu. Bagaimana bisa aku mengantarkannya pulang jika aku tidak tahu dimana alamat rumahnya.

“Hey rumahmu dimana?”

Tak terdengar satu jawaban pun dari bibir gadis itu. Aku menoleh ke samping dan melihat gadis itu tertidur dengan lelap disebelahku. Aduh bagaimana ini. Aku berusaha membangunkannya dan bertanya dimana alamat rumahnya lagi, tetapi gadis itu tidak bergeming sama sekali.

Aku menggrukan kepalaku dengan bingung.

Bagaimana ini. Apa yang seharusnya aku lakukan.

---

Pada akhirnya aku melajukan mobil menuju apartemenku

Setelah memarkir mobil dengan susah payah aku berusaha mengeluarkan gadis itu dari mobil lalu menggendongnya menuju kamar apartemenku.

Aku membuka kunci kamar kemudian dengan segera merebahkan gadis itu diatas tempat tidurku. Aku memijat lenganku yang terasa sakit. Menggendong seorang wanita yang sedang mabuk berat ternyata rasanya melelahkan sekali. Lebih melelahkan lagi bila kau menggendongnya menuju kamar apartemenmu dan kau bingung apa yang kau lakukan setelah itu.

Kelihatannya hal ini sering terjadi di drama-drama yang sering ditayangkan di televisi. Kelihatannya saja romantis tapi saat aku sendiri yang mengalaminya.... tidak ada romantisnya sama sekali.

Aku memasukan coat-ku ke dalam kantong laundry lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah semua acara membersihkan diri selesai, aku mengambil selimut baru dari dalam lemari dan mengambil sebuah bantal untukku tidur di sofa.

Aku masuk ke dalam kamarku untuk melihat gadis itu sebelum aku tidur. Dia tidur dalam lelap dan sangat tenang. Seolah olah sudah lama sekali dia tidak tidur selelap itu, aku merapikan selimutnya kemudian menyalakan lampu tidur di sampingnya.

Good night, gadis senja.

---

Hani’s POV

Aku membuka mataku perlahan sambil memijat kepalaku yang terasa sedikit pusing. Saat kesadaranku sudah kembali normal aku terlonjak kaget dari atas kasur.

Ini dimana?

Sedang dimana aku?

Aku langsung melihat pakaianku –karena aku takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, dan mendapatinya ia melekat utuh di tubuhku.

Aku mengingat ingat kembali semalam apa saja yang aku lakukan.

Apa saja ya yang aku lakukan. Terakhir seingatku aku sedang makan tteobboki dengan Mr Stranger.

Ah ya, Mr Stranger. Jangan-jangan ini rumahnya. Aduh....

Bagaimana ini bisa terjadi. Bodoh sekali kau Ahn Heeyeon.

Aku turun dari tempat tidur lalu membuka pintu kamar dengan hati-hati.

“Bagaimana tidurmu? Kelihatannya nyenyak sekali.”

Aku terlonjak kaget saat melihat laki-laki itu tepat berdiri di depan pintu kamar.

“Hm anu itu.. maaf sebelumnya. Maaf...”

“It’s okay. Kau hari ini ada jadwal apa. Ini sudah hampir pukul 9 pagi. Kau mau sarapan dulu? Tadi aku membuatkan sup. Lumayan bisa membantumu dari ya rasa hangover semalam hahahaha.”

Lalu lelaki itu tertawa dengan lepas sambil meletakan nasi ke dalam mangkuk.

Bisa-bisanya dia menertawaiku.

“Kau mau makan tidak?” Katanya sambil mengacungkan mangkuk kosong di udara.

Aku menggelengkan kepalaku. Malu sekali rasanya sudah memaksa menumpang menginap, masa juga masih mau menumpang makan.

Aku membalikkan badan berusaha mencari kamar mandi tapi tiba-tiba perutku dengan tidak tahu malu berbunyi dengan sangat keras. Langsung saja aku menundukan kepalaku, mencoba menyembunyikan pipiku yang memerah.

“Sudahlah tidak perlu malu-malu lagi. Duduk saja. Kita kan teman.” Katanya sambil meletakkan semangkuk piring lagi di hadapannya.

Apa katanya barusan?

Kita teman?

Sejak kapan ya?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet