First Meet

The Stranger

Aku menuruni anak tangga di tepi sungai Han sambil merapatkan coatku. Angin hari ini cukup dingin dan menusuk tulang tapi aku tidak mempermasalahkannya. Aku hanya berharap sore ini langit tetap cerah dan tidak berawan hingga senja datang. Ya, aku sedang menanti senja. Sudah dua hari ini aku sibuk dengan duniaku –dunia yang kubenci, hingga tidak sempat melakukan rutinitas kesukaanku. Bagiku hanya senja di tepi sungai Han yang selalu bisa membuat sedikit rasa benciku terhadap seluruh isi dunia ini menghilang.

Aku duduk di spot favoritku. Kursi di tepi sungai Han yang selalu tidak ada orangnya, seperti seolah-olah kursi itu memang tercipta untukku. Setiap kali aku datang ke tempat ini, pasti aku akan duduk disini. Lalu aku hanya diam menatap sungai yang mengalir dengan tenang sambil menunggu senjaku datang. Sering kali aku berpikir apakah air di sungai Han ini tidak pernah bosan mengalir dalam tenang. Apakah air tersebut tidak ingin memberontak. Apakah ia tidak ingin bergejolak riang seperti air di laut. Apakah ia tidak ingin mencoba mebuat gulungan-gulangan kecil lalu pecah menjadi buih. Aku tersenyum kecut melihat air di sungai Han, rasanya seperti melihat diriku sendiri.

Perlahan-lahan langit di depanku terlihat berwarna jingga. Aku tersenyum melihat senjaku datang.

Halo, senja. Aku sudah menantimu sedari tadi.

“Kau sedang melihat apa?”

Aku terlonjak kaget saat mendengar ada suara lelaki tepat disampingku. Aku memandang laki-laki itu dengan kesal.

“Bukan urusanmu.” Jawabku singkat sambil memalingkan wajahku. Aku mencoba menikmati senjaku lagi sebelum ia hilang ditelan malam. Lagipula aku sendiri tidak suka membicarakan senja yang kusukai ini dengan orang asing seperti dia.

“Aku lihat, kau hanya diam saja daritadi sambil memandang sungai dengan tatapan kosong. Lalu mendadak kau tersenyum gembira. Padahal aku tidak melihat hal yang menarik. Bisakah kau berbagi hal yang menarik bagimu itu denganku?”

“Kau ini.... dasar Stalker.” Aku bangkit dari kursi sambil memandang wajah lelaki asing itu dengan kesal. Ternyata di tahun 2015 yang sangat modern seperti ini, masih ada saja penguntit kuno macam lelaki itu.

“Hey aku bukan stalker. Duduklah lagi.” Kata lelaki itu sambil menarik lenganku. Aku memandangnya dengan tatapan tajam.

“Oke oke, aku bukan stalker, Selain itu aku juga tidak bermaksud mencuri kesempatan memegang tanganmu. Oke, Sorry.”

Aku masih berdiri lalu menatap lelaki itu dengan bingung. Memangnya dia siapa. Tingkahnya seolah-olah mengenaliku dengan baik.

“Apa kau, mengenalku?” aku bertanya sambil duduk kembali di sampingnya.

“Tidak. Aku hanya sering melihatmu duduk disini sendiri. Tapi dua hari ini kau tidak datang kesini.”

Mendengar perkataan lelaki itu tiba-tiba saja bulu kudukku meremang. Aku tidak menyangka benar-benar bertemu penguntit tidak tahu diri di tempat kesayanganku. Dengan segera aku berdiri dari kursi.

“Dasar Stalk...”

Tiba-tiba saja suaraku tercekat. Tangan lelaki itu kembali menahan lenganku untuk kedua kalinya, tak lupa sorot matanya berubah menjadi tajam. Lelaki itu memandangku lekat-lekat. Ya Tuhan, ingin menangis aku rasanya. Mimpi apa aku bertemu dengan penguntit macam dia. Kalau aku diapa-apakan olehnya bagaimana ini. Keringat dingin mulai menetes di dahiku.

Lelaki itu menarikku kembali untuk duduk di sampingnya. Kakiku terasa lemas dan aku duduk begitu saja di sampingnya. Lelaki itu masih menatapku dengan tajam, ia melepaskan tangannya dari lenganku lalu tiba-tiba saja tawanya meledak.

“HAHAHAHAHA. Lucu sekali. HAHAHAHAHA. Wajahmu terlihat pucat. HAHAHAHAHA. Kau, segitunya ya takut denganku. Tenang saja aku bukan stalker.”

Lelaki itu terus saja tertawa tidak ada hentinya. Aku ingin sekali segera pergi meninggalkan tempat itu tapi kakiku masih terasa lemas.

“Kau pikir ini semua lucu.”

“Hahaha maaf maaf. Aku hanya mengerjaimu. Habis kau tidak mau berbagi kesenanganmu denganku.”

Aku mendiamkannya sambil kembali menatap langit. Aku akan menikmati senjaku baru setelah ia menghilang, akan kudamprat lelaki itu habis-habisan. Berani-beraninya dia mengerjaiku.

“Seharusnya kau bilang saja apa yang bisa membuatmu senang dengan duduk diam disini, karena aku sama denganmu.”

Aku tetap diam tak memperdulikan omongannya. Semburat ungu mulai mewarnai langit dan perlahan lahan menghapus warna jingga. Berarti sebentar lagi senjaku hilang. Aku harus menikmatinya, karena besok-besok belum tentu aku bisa duduk disini sambil menatap senja. Aku menarik nafas lalu menghembuskannya kuat-kuat. Setelah melihat senja aku selalu merasa perasaanku menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahkan mendadak saja aku lupa bahwa aku kesal dengan lelaki asing di sampingku, yang sedari tadi bertingkah seolah-olah dia mengenaliku.

“Kau suka senja ya?” Tanyanya.

Aku hanya menjawab dengan anggukan sambil terus menatap langit, melihat sisa sisa garis berwarna jingga yang masih terlihat di ufuk barat.

“Sebenarnya aku baru tahu beberapa hari yang lalu kalau melihat senja disini bisa sebagus itu. Tapi aku tidak pernah mencoba duduk disini. Aku hanya melihat senja dari dalam mobil, ya kau tahu kan disini dingin sekali anginnya.” Aku melihat lelaki itu mendekap kedua tangannya.

“Tapi hari ini, aku mencoba duduk disini sambil menikmati senja, sama sepertimu. Aku tahu ini kedengarannya berlebihan, tapi ternyata melihat senja disini memang indah sekali. Terima kasih ya, sudah mau berbagi kesenanganmu denganku.”

Aku melepaskan pandanganku dari langit lalu menatap lelaki asing di sampingku dan lelaki itu menatapku kembali sambil tersenyum.

“Aku pergi duluan ya. Maaf sudah memaksamu berbagi tempat denganku. Lain kali kalau aku merasa butuh mencari kesenangan, aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku akan mencari tempat lain hehe. Oke kalau begitu, byeee.”

Laki-laki itu berdiri dari kursi lalu berjalan menuju mobilnya. Aku memandang siluet punggungnya yang berjalan semakin menjauh. Tadi ia tersenyum, tadi ia tertawa tergelak saat mengerjaiku, tapi entah mengapa aku seperti melihat ada kilat rasa sedih di matanya.

Tiba-tiba aku teringat perkataannya beberapa saat yang lalu.

“Seharusnya kau bilang saja apa yang bisa membuatmu senang dengan duduk diam disini, karena aku sama denganmu.”

Dia sama sepertiku. Apa itu berarti dia juga sedang mencari pelarian, mencari obat penghibur hati, atau mencari baterai kehidupan? Kalau dia sama sepertiku, seharusnya aku juga tau apa yang sedang ia rasakan saat ini.

Aku berdiri dari kursi lalu memanggilnya dengan lantang. “Heeeyyy!!!.”

Dari jauh lelaki itu berbalik sambil menatapku dengan heran.

“Lain kali, kalau kau merasa sedih datanglah kesini. Aku mau berbagi tempat ini denganmu.”

Jinjja?” Teriaknya dari kejauhan.

Aku menganggukan kepalaku sambil melambaikan tanganku padanya. Lelaki itu tersenyum sambil membalas lambaian tanganku setelah itu ia masuk ke dalam mobilnya. Aku duduk kembali lalu memandang lampu lampu kuning temaram yang terpantul sungai Han.

Sepertinya dia bukan lelaki yang buruk, Hee Yeon.

---

Sebenarnya aku masih ingin duduk berlama-lama di tempat ini, karena aku tahu tidak ada lagi tempat yang menyenangkan bagiku selain disini.

Bagaimana dengan rumah?

Berbicara mengenai rumah, bagi kebanyakan orang mungkin rumah adalah tempat untuk kembali pulang. Tapi bagiku rumah adalah tempat untuk pergi mengucapkan selamat tinggal.

----

Aku memasukan mobilku ke dalam garasi rumah. Beberapa pelayan menunduk sambil mengucapkan selamat datang saat aku melewati mereka. Aku bergegas berjalan ke kamarku, tetapi langkahku berhenti saat sekretaris Kim memanggil namaku.

“Permisi Nona, Tuan meminta Nona untuk makan malam bersama dengan Tuan dan Nyonya sekarang juga.”

Aku menghela nafas kemudian memutar berjalan menuju ruang makan. Jangan bayangkan aku nanti akan bercengkrama dengan riang gembira, karena sesungguhnya ruang makan dirumah ini adalah arena adu mulut yang selalu siap membuatku naik darah setiap saat.

Aku memasuki ruang makan lalu seorang pelayan menarikan sebuah kursi untukku.

“Selamat malam ayah, ibu.” Aku mengucapkan salam dengan datar lalu mengambil sendok dan garpu. Menu hari ini adalah kesukaan ayahku, beef steak medium rare dengan mushroom sauce. Tak lupa segelas wine merah –dan hanya itu satu-satunya gelas berisi wine di meja makan. Kalau seperti ini berarti ayah sedang berada dalam mood yang tidak baik –bahkan bisa dibilang sangat buruk. Koki dirumah ini selalu begitu, setiap kali ayah terlihat bad mood dan mudah marah mereka selalu memasak masakan ini. Hal ini membuatku untuk berbuat lebih berhati-hati, makan dengan cepat, dan kalau bisa jangan ucapkan satu patah kata pun kalau tidak ingin terkena amukan sang penguasa rumah.

Hari itu ayah bercerita pada ibu mengenai perusahaan dan saham yang tiba-tiba menurun drastis. Aku hanya makan dalam diam, aku tidak ingin mendengarkan pembicaraan mereka lebih lanjut, karena aku tahu kelanjutannya adalah seperti—

“Ahn Hee Yeon, darimana saja kau tadi. Sekretaris Kim bilang kau melewatkan kelas bahasamu. Bukankah kau seharusnya tadi sedang les bahasa jerman dan perancis?”

“Tumben sekali ayah ingin tahu apa saja urusanku.”

“Kau ini memang anak tak tahu diuntung. Ayah sudah berusaha mencoba menempatkanmu di posisi kepala pemasaran global. Tetapi kau terus saja bersikap kekanak-kanakan.”

“Bukankah aku sudah berulang kali bilang, aku tidak tertarik untuk bekerja di perusahaan ayah. Aku ingin..”

“Apa? Menjadi desainer? Pekerjaan macam apa itu. Pekerjaan itu tidak menjaminmu untuk kaya..”

“Tapi aku tau aku akan bahagia ayah.”

“Anak kecil, berani-beraninya bicara bahagia. Tahu apa kamu tentang bahagia.”

Aku mengerjapkan kedua mataku mencoba menahan air mata yang siap jatuh kapan saja.

“Yang aku tahu bahagia itu bisa hidup bebas tanpa tekanan dari orang lain. Bahagia itu dapat kasih sayang yang cukup dari kedua orang tua. Kemudian setia terhadap pasangan juga akan membuat bahagia....”

“Hee Yeon, cukup. Jaga mulutmu.” Kali ini ibuku ikut berbicara. Aku tidak peduli ibuku menyuruh diam seperti apa aku akan tetap melanjutkan ucapanku.

“Kemudian setia terhadap pasangan juga akan membuat bahagia.. bukannya selingkuh dengan orang lain. Ayah jelas tidak tahu bagaimana definisi bahagia yang sebenarnya.”

PLAK

Satu tamparan keras mengenai pipiku.

“Jaga mulutmu. Aku membesarkanmu bukan untuk menerkamku kapanpun kau mau. Kalau kau seperti ini terus, aku akan mengusirmu sama seperti kakakmu waktu itu.”

Aku berdiri dari kursiku.

“Coba saja ayah mengusirku. Aku akan sangat menantikan hari dimana ayah mengusirku. Karena aku tahu suatu saat nanti ayah pasti akan membutuhkanku dan datang memohon padaku.”

Aku membungkukan badanku di depan ayah dan ibu lalu berjalan keluar dari ruang makan. Aku menundukan kepalaku sambil mengusap beberapa air mata yang jatuh. Ya begitulah, tidak pernah terjadi hal yang indah dirumah ini. Bagiku rumah ini adalah neraka.

Aku segera bergegas masuk ke dalam kamar lalu menguncinya. Air mataku terus saja mengalir. Berulang kali ayah bersikap seperti ini padaku. Aku tahu beliau memberiku segala hal yang orang lain inginkan seperti mobil, uang, kedudukan yang tinggi. He gives me everything, except love.

Kubuka handphoneku lalu aku menghubungi nomor yang seharusnya tak boleh kuhubungi. Pada nada sambung ketiga aku mendengar suaranya dari kejauhan.

“Oppaa.... Oppaaa...” Aku berusaha menahan tangisku tapi yang ada aku menjadi merasa sesak.

“Hani. Hani-ah. Ada apa? Kau kenapa?” Suara Jae Hyun Oppa terdengar penuh dengan rasa khawatir.

“Bawa aku pergi dari rumah ini, Oppa. Aku sudah tidak tahan lagi. Lebih baik aku diusir dan pergi denganmu” kali ini aku menangis terisak-isak. Aku tidak punya tempat untuk melarikan diri dari dunia yang kejam ini selain pada Jae Hyun Oppa.

“Hani, Ahn Hee Yeon, dengarkan Oppa, kau harus kuat. Nanti bila semua urusan Oppa sudah selesai. Oppa akan datang membawamu pergi. Sementara ini kau harus bersabar dulu. Ikuti saja apa kata ayah.”

“Baik, Oppa.”

“Apa kau sudah melakukan hal yang aku minta sebelumnya.”

“Ya. Sudah kulakukan.”

“Oppa minta maaf tidak bisa ada disaat kau sedih seperti ini.”

“Oppa tidak akan meninggalkanku sendiri kan?”

“Tidak. Bukankah aku sudah berjanji padamu. Hani-ah, kau sebaiknya cepat tidur. Lupakan saja semua perkataan dan sikap ayah. Aku tahu kamu pasti kuat menghadapi semua ini.”

“Ya Oppa.”

Aku menutup telepon dari Jaehyun Oppa dengan sedih. Kalau Jaehyun Oppa tidak segera membawaku pergi dari tempat ini, berarti aku harus melakukan sesuatu. Aku harus bisa menemukan bagaimana cara meninggalkan neraka ini.

Karena aku pun juga berhak untuk hidup bahagia di dunia ini.

---

Oke readers, bagaimana?

Jadi cerita kali ini menceritakan tentang Hani EXID x Chanyeol EXO

Ya lelaki asing itu tak lain dan tak bukan adalah Park Chanyeol.

Next Chapter interaksi mereka berdua akan lebih banyak daripada Chapter ini.

Fanfic ini muncul ketika aku sedang pusing mengerjakan bab 5 dan bab 6 *sigh*

But overall, semoga kalian menyukainya.

 

See you soon

-Venusa Rays-

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet