cherry dream boat

in the hollows of our youth

 

Di malam yang sama saat Vanessa berkata bahwa dia dan Jeremy berencana untuk menikah, Krystal menanyakannya satu pertanyaan yang membuat dirinya direnggut masa lalu lagi.

 

“Bu,” Krystal masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk, melangkah santai dan membaringkan badannya di atas tempat tidur.

 

Vanessa yang sedang melipat baju-bajunya dan memasukkannya ke dalam lemari sekilas menoleh pada putrinya, lalu sibuk berkutat dengan pakaiannya kembali. “Hmmm?”

 

“Ada yang mau kutanyakan.”

 

“Ya, Soojung.” Meskipun Jeremy memberikan nama Krystal untuk anak tunggalnya itu, tapi keluarga Jung tetap memberikan nama Korea untuknya. Jung Soojung, begitu semua orang di rumah ini dan keluarga Korea lainnya yang mereka kenal memanggilnya.

 

“Kuharap kau tidak marah,” Krystal menggigit bibirnya, “ini tentang ayah. Bukan Jeremy, tapi Daniel.”

 

Vanessa terhenyak seketika, tangannya sekejap terasa lemas. Tapi dia memasang topengnya lagi, hanya dalam waktu sepersekian detik. Dia memastikan dirinya nampak tenang dan bijak, meski segala hal tentang Daniel Richardson selalu membuat jantungnya berdegup lebih kencang dan perutnya melilit. Vanessa tak pernah sanggup menceritakan masa lalu pada Krystal, jadi dia meminta Jessica yang melakukannya saat umur Krystal mencapai sembilan tahun. Vanessa pikir Krystal akan berubah menjadi anak pemberontak setelah dia tahu asal-usulnya, tapi ternyata tidak. Putrinya itu masih bersikap normal.

 

Tapi sejak diberitahu tentang kisah Vanessa dan Daniel, kadang Krystal akan menanyakan hal-hal aneh pada ibunya. Apakah ayah masih hidup? Apa pekerjaannya sekarang? Apakah dia tahu namaku Krystal? Apakah Ibu pernah bertemu dengannya lagi? Setiap pertanyaan yang dilontarkan Krystal berhasil membuat napas Vanessa sesak, seperti ada lubang di tengah-tengah dadanya. Pertanyaan-pertanyaan itu mengingatkan bahwa selama ini dia selalu merasa kosong dan dia selalu memaksakan seulas senyum pada orang-orang, menghantam dirinya dalam sekejap hingga dia sadar dia merasa tersesat. Hilang.

 

“Apakah dia tahu ibu akan menikah?”

 

Vanessa terdiam hingga akhirnya dia menggeleng. “Tidak.”

 

“Apakah ibu punya rencana untuk memberitahunya?”

 

Vanessa menggeleng lagi. “Tidak.”

 

“Kenapa ibu tidak mau memberitahunya?”

 

“Karena aku tak tahu di mana dia berada sekarang, Soojung.”

 

“Ibu bisa mencarinya.” Krystal membalas dengan nada ringan, seakan-akan apa yang mereka bahas sekarang bukanlah masalah. Percakapan ini membuat kepala Vanessa berdenyut semakin keras. “Mungkin dia ada di New York City. Kita bisa mulai dari sana, dari kediaman keluarganya. Lalu—“

 

“Berhenti membahas Daniel.” Vanessa menyela cepat, dengan suara serak dan nada yang makin meninggi. Antara marah dan nyaris menangis. “Kita tak perlu mengingat dia lagi. Atau setidaknya, jangan membuatku mengingatnya lagi. Biarkan masa lalu tetap berada di tempatnya, Soojung.”

 

Krystal masih mengatupkan mulutnya, memandang ibunya yang masih menghadap ke lemari dan membelakangi wajahnya. Punggungnya nampak kuat, setelah hampir sembilan belas tahun menahan kesakitan itu dan memasang topeng yang membuatnya nampak tangguh itu. Tapi, bagi Krystal, ibunya tetap saja hanya wanita lemah jika dihadapkan pada Daniel. Begitu mudah membuat ibunya menjadi rapuh, cukup sebutkan satu nama itu saja. Dan, wush, Vanessa Jung akan melepaskan topengnya.

 

“Kita punya Jeremy sekarang.”

 

“Aku punya Jeremy sejak dulu, Bu. Kau saja yang hidup dihantui oleh bayangan Daniel, hingga tak sadar Jeremy selalu ada di sini.” Krystal tak tahu dari mana dia memilik keberanian untuk mengucapkan kalimat seganas itu. Dia bahkan kaget, tapi juga merasa sedikit bangga. Kadang Krystal berpikir Vanessa belum cukup dewasa menjadi seorang ibu. Dia memang wanita yang bertanggung jawab, tapi dia sering nampak linglung akan banyak hal. “Kupikir, jika Ibu benar-benar mencintai Jeremy dan melupakan Daniel, seharusnya Ibu tak perlu sedih atau takut atau sakit hati setiap kali nama Daniel disebut.”

 

Vanessa memutar badannya, menatap anak gadisnya lekat-lekat. “Jung Soojung, masuk ke kamarmu.”

 

Krystal berkedip, sekali, dua kali. Dia lalu mendesah pelan. “Tentu saja. Aku sudah menduga Ibu mengakhiri percakapan ini dengan kalimat itu.” Krystal melompat dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu.

 

***

 

Sebelum Krystal harus pergi ke Berkeley untuk kuliah, dia menghabiskan musim panasnya dengan bekerja di restoran milik keluarganya. Sebenarnya, setiap liburan musim panas, dia selalu bekerja di sini. Tapi ini tahun terakhirnya menetap di Annapolis dan ini pertama kalinya dia digaji setelah bekerja.

 

Dia bertugas sebagai pelayan, bersama dengan empat orang lainnya—dua pekerja full time dan dua pekerja paruh waktu. Selain itu, ada dua orang kasir dan tiga koki—termasuk kakek Krystal sendiri. Hanya ada lima orang Korea yang bekerja di sana: ketiga koki, Krystal, dan seorang remaja lelaki yang bekerja paruh waktu. Remaja lelaki itu cukup pintar memasak masakan khas Korea, karena itu kadang kakek Krystal akan menyuruhnya untuk membantu di dapur.

 

Nama lelaki itu Kim Jongin, tapi anak-anak di sekolah memanggilnya Kai. Ka-i, bukan Kay. Krystal tak punya ide bagaimana pemuda itu mendapat julukan itu, jadi Krystal tetap memanggilnya Jongin selama ini. Lagipula, setiap orang Korea yang tinggal di daerah sini memanggil satu sama lain dengan nama Korea mereka. Tidak ada Krystal, yang ada hanyalah Soojung. Tidak ada Kai, melainkan Jongin.

 

Jongin berumur delapan belas tahun, sama sepertinya. Dia pindah dari New York City ke Annapolis di umur tiga belas tahun karena pekerjaan ayahnya sebagai manajer bank. Dia dan Krystal bersekolah di tempat yang sama, tapi tidak pernah mengambil kelas yang sama. Meski keluarga mereka saling mengenal, tapi mereka masih memperlakukan satu sama lain seperti orang asing. Bahkan hingga sekarang, setelah Jongin bekerja di restoran keluarga Jung. Mungkin itu karena Sandra, gadis yang dipacari Jongin sejak umurnya empat belas. Sandra tak pernah suka jika Jongin berteman baik dengan perempuan, apalagi Krystal—satu-satunya orang Korea di sekolah mereka selain Jongin. Selalu ada kabar bahwa Krystal dan Jongin berpacaran, hanya karena mereka orang Korea. Padahal berbicara pun jarang.

 

Tapi mungkin alasannya bukan Sandra. Karena, bahkan setelah sebulan putus dari gadis itu, hubungan Krystal dan Jongin hanya sekedar saling kenal. Meski mereka bekerja di restoran yang sama, berada di dapur yang sama—Jongin membantu memasak dan Krystal mencuci piring—mereka hanya berbicara jika ada perlu saja. Percakapan paling basa-basi yang pernah mereka ucapkan hanyalah:

 

Jongin: Anjingmu lucu. Mirip Hachiko, anjing yang punya film sendiri itu.

 

Krystal: Ya, ini hadiahku saat ulang tahun kelima belas. Kakek mendapatkannya dari temannya, orang Jepang. Namanya Kuro.

 

Sebelum Krystal melanjutkan kalimatnya, Jongin sudah berlari mengejar Kuro yang berlari ke pantai, sambil berteriak, “Hachikooo!!!”

 

Tapi, sebentar lagi, mereka mungkin akan lebih dekat dari itu.

 

Di satu siang yang terik, seminggu setelah Krystal memberondongi Vanessa dengan pertanyaan aneh dan menyebabkan Vanessa menghindari Krystal selama beberapa hari, Krystal mendengar percakapan antara Jongin dan kakeknya.

 

Saat itu Krystal sedang mengepel dapur, sementara kakeknya dan Jongin duduk di ambang pintu belakang dapur. Restoran sedang sepi, hanya ada enam pelanggan yang sibuk menikmati hidangan dengan tawa yang meledak hingga ke dapur. Kakeknya menggunakan kesempatan itu untuk merokok diam-diam—nenek dan ibu Krystal tak pernah mengijinkannya merokok, tapi mereka sedang tidak ada—dan memberikan sebatang rokok pada Jongin. Jongin menerimanya, tapi segera memasukkannya ke saku celananya.

 

“Kakek harus berhenti merokok.” Krystal berkata saat dia mengepel di dekat kakeknya dan Jongin.

 

“Ini rokok pertamaku di minggu ini.” Kakeknya memberi pembelaan.

 

“Ini masih hari Senin, tentu saja.” Krystal mendengus sambil terus mengepel.

 

Setelah itu kakeknya bercakap-cakap dengan Jongin. Jongin mengabarkan bahwa dia akan berhenti bekerja minggu depan, dia harus pergi menemui sepupunya dan mengurus persiapan universitasnya. Dia akan tinggal di rumah sepupunya kalau sudah kuliah nanti, jadi biaya hidupnya takkan terlalu mahal. Dia juga harus kembali ke Annapolis setelah itu, untuk mengambil barang-barangnya, kemudian pergi lagi. Setahu Krystal, pemuda itu akan belajar astrofisika di kuliah nanti. Tapi Krystal tak tahu di mana Jongin akan kuliah. Dan sebenarnya, dia tidak terlalu peduli.

 

Kakek Krystal menyayangkan kepergian Jongin, karena itu berarti anggotanya di dapur akan berkurang. Padahal kerja Jongin cukup bagus selama ini, karena itu Kakek suka memberinya tip di akhir minggu. Ternyata Jongin sedang mengumpulkan uang untuk simpanannya semasa kuliah. “Kemana kau akan pergi?”

 

“New York City.”

 

Krystal segera terkesiap dan menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar, kepada Jongin yang berjongkok di sana. “Benarkah? New York?”

 

Kakek Krystal dan Jongin segera memutar kepala mereka ke belakang, menghadap Krystal. Jongin mengangguk. “Kenapa?” tanyanya.

 

Krystal berpura-pura untuk bersikap tenang. “Tidak ada apa-apa,” dia mengedikkan bahu. “Hanya ingin tahu saja.”

 

Saat itu, Krystal ingat akan rencana ibunya yang akan pergi ke Philadelphia bersama Jeremy minggu depan. Mereka akan mengunjungi keluarga Bailey selama seminggu penuh untuk membicarakan persiapan pernikahan. Krystal juga ingat pada jumlah tabungannya di bank, cukup banyak. Bahkan, dia masih punya sisa lima ratus dolar jika dia menggunakan sebagian uang tabungannya membeli tiket pulang pergi dari Annapolis ke New York dan mencari hostel dan biaya belanja di New York City. Dia bisa mendapatkannya jika Bibi Jessica mau membantunya menjadi wali untuk mengambil uang itu. Dia tahu bibinya itu pasti mau.

 

Yang Krystal butuhkan tinggal satu. Seorang teman, yang akan menunjukkan arah kepadanya, yang akan memastikan agar dia tidak menghilang, yang akan membantunya mencari Daniel Richardson.

 

Sepertinya, orang yang tepat adalah Kim Jongin.

 

***

 

Setelah berpikir semalaman, akhirnya Krystal memutuskan memberitahu Jongin esok siangnya. Karena restoran selalu tutup hari Selasa dan Krystal pikir dia harus memberi Jongin lebih banyak waktu untuk menimbang-nimbang, Krystal mendatangi rumah pemuda itu dengan nekat.

 

Rumah Jongin tidak jauh dari pelabuhan—di mana rumah Krystal berada—hanya butuh waktu lima menit untuk bersepeda ke sana. Jongin tinggal di apartemen bersama kedua orang tuanya, meski gedung itu tidak mirip apartemen,karena hanya punya tiga lantai dan enam apartemen. Seingat Krystal, Jongin punya satu kakak laki-laki. Krystal lupa namanya, tapi yang pasti kakaknya sedang melanjutkan studi di UCLA. Biasanya kakak Jongin akan datang ke Annapolis setiap Thanksgiving.

 

Krystal segera memarkirkan sepeda putihnya di trotoar, lalu menaiki undakan dan menekan tombol bel apartemen nomor 202—nomor apartemen keluarga Kim. Baru sekali memencet bel, suara Jongin sudah kedengaran.

 

“Siapa?” tanyanya.

 

“Jung Soojung.” Krystal melafalkan nama Koreanya, mengira pintu akan dibukakan segera untuknya. Tapi ternyata tidak, karena Jongin masih menanyakan hal lain lagi.

 

“Untuk apa datang ke sini?”

 

“Aku mau bicara padamu.” Aku mau bicara padamu, Krystal mengulangi kalimat itu dalam hati. Dia meringis, kedengarannya seram sekali, seolah-olah Jongin berada dalam masalah atau pemuda itu telah melakukan hal yang buruk di mata Krystal. Dia tidak yakin itu adalah jawaban yang tepat.

 

Tapi Jongin tidak memprotes lebih jauh. Dia hanya membalas, “Tunggu sebentar,” dan lima menit kemudian dia membuka pintu gedung. Tapi Jongin tidak mengundang Krystal masuk, dia hanya menyembulkan separuh badannya lewat pintu yang agak terbuka. Lalu dia bertanya, “Bicara tentang apa?”

 

Jongin cukup tinggi hingga Krystal harus agak mendongak saat berbicara pada pemuda itu, membuat tekadnya mendadak ciut. Dari mana Krystal harus mulai? Dari awal cerita Vanessa Jung dan Daniel Richardson? Atau dari rencana pernikahan Vanessa Jung dan Jeremy Bailey? Krystal lupa menyiapkan bagian ini. Jadi, pada akhirnya, dia hanya mengatakan, “Aku ingin pergi ke New York City. Diam-diam. Dan aku harap kau mau menemaniku—HEY!”

 

Bahkan sebelum Krystal menyelesaikan dialognya, Jongin sudah berniat menutup pintu. Tapi dengan gesit Krystal menahan pintu tertutup dengan memasukkan sepatunya ke dalam ruangan gedung, membuat Jongin tidak bisa benar-benar menutup pintu rapat-rapat kecuali dia ingin melukai telapak kaki Krystal.

 

“Aku tidak punya waktu untuk omong kosong ini.” Jongin mendengus, berusaha menendang kaki Krystal ke luar tapi tak bisa. Gadis itu terlalu gigih dan sangat kuat. Mata Jongin memicing ke arah Krystal, tapi gadis itu tak takut. Biasanya Krystal akan merinding dan segera mengalihkan perhatian saat seseorang menatapnya sinis di sekolah. Tapi mereka sudah lulus dan Krystal sudah cukup dewasa, jadi hari ini dia tak setakut itu. “Jangan bilang kau ingin ke New York City untuk mewujudkan mimpi terpendammu; berdiri di panggung broadway atau bergabung dengan sirkus atau menemukan lelaki yang bisa membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama di sana. Karena jawabannya tidak, aku takkan membantumu.”

 

“Kau belum mendengar penjelasanku!” Krystal memekik, berharap ada seseorang yang menangkap basah tindak-tanduk kasar Jongin dan membela Krystal hingga Jongin tidak bisa melakukan apa pun selain menunduk karena malu. Tapi hal itu tidak terjadi, maka Krystal harus berjuang untuk dirinya sendiri. “Aku mau mencari seseorang di New York!”

 

Jongin memutar bola matanya. “Cinta sejatimu?”

 

Krystal menarik napas. Ini waktunya, dia berkata pada dirinya sendiri. Dia harus jujur kali ini.

 

Selama tinggal dan dibesarkan di Annapolis, semua teman Krystal dan kenalan keluarga Jung mengira ayah Krystal adalah seorang tentara yang pergi ke Lebanon dan menghilang tanpa ada kabar. Karena lebih melegakan mendengar Vanessa Jung patah hati karena kisah tragis yang dimaklumi orang-orang, daripada patah hati karena hubungan mereka dilarang akibat perbedaan kasta.

 

Dan hari ini, Krystal harus membenarkan semuanya. “Aku harus menemukan ayahku. Dia bukan tentara, dia tidak pernah pergi ke Timur Tengah. Hanya saja pernikahannya dengan ibuku ditentang.”

 

Jongin membeku, tidak berkedip dan tidak mengernyit dan tidak memaksa menutup pintu lagi. Dia hanya memandang Krystal, kali ini tidak dengan tajam, tapi masih terkesan tegas dan sedikit angkuh. “Aku akan membantumu,” dia bergumam, pada akhirnya. Dia tidak berkata kau berbohong selama ini, dia tidak bertanya kenapa kau bohong selama ini?

 

Krystal sangat kaget, karena dia pikir Jongin harus membutuhkan waktu tiga hari tiga malam untuk menyetujuinya. Tapi ternyata cuma makan waktu lima menit. “SUNGGUH?!” Dia berteriak, lebih keras daripada yang sebelumnya. Dia bahkan terlalu terkejut untuk tersenyum puas.

 

“Tapi ada syaratnya.” Jongin melipat tangannya. “Kau harus menceritakanku kisah aslinya.”

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onehellofa #1
Chapter 3: bahasa ny udah kyk yg di novel2 romance aja. wkwk. ditunggu lanjutannya yaaa u w u
dhedho
#2
Chapter 3: Jongin disini bantu krystal bgt..seneng lah.. kirain bkal dingin sm krystal.. hehe (^-^)
dhedho
#3
Chapter 2: Ceritanya bagus!!! \(^O^)/
Gaya bahasa yg dipake jg enak dibacanya.. apalagi maincastnya.. kaistal (^-^)
Ditunggu lanjutannya ya author hehe..
Lalarian #4
Chapter 2: Suka sama karakternya jongin :)
Lalarian #5
Chapter 1: Benar-benar beda dari yang lain. Update soon,
affexions
#6
this is interesting!! update soon please:))
affexions
#7
this is interesting!! update soon please:))
edelweisses #8
Ini cerita yang cukup menarik, kata2 yang author bawa juga pas sekali. Aku tunggu kelanjutannya authornim, fighting!