oh, instincts are misleading

in the hollows of our youth

 

 

Jongin meminta Krystal untuk menunggu di depan gedung sebentar. Lalu, lima menit kemudian, Jongin muncul mengenakan kaus hitam, celana panjang berbahan jins, dan Converse abu-abu. Kalau Krystal ingat-ingat, anak itu memang tidak punya setelan yang cukup berwarna. Semua pakaiannya hanya berputar-putar di sekitar warna gelap dan mendung. Hitam, biru tua, biru donker, abu-abu, sesekali putih. Satu-satunya pakaian berwarna agak cerah yang dia miliki adalah mantel hijaunya, yang selalu dikenakannya setiap musim dingin.

 

“Kita bisa bicara di rumahmu saja,” Krystal berkata saat Jongin menuruni undakan.

 

“Tidak. Aku memang ingin sedang jalan-jalan.” Jongin mengedikkan bahu, menyibakkan poni panjangnya ke samping. Sejak musim panas, rambutnya semakin panjang hingga nyaris mencapai leher. “Aku ingin makan es krim.” Jongin berkata, sambil menatap ke arah langit yang agak terik siang itu.

 

Ada sebuah kedai es krim enak di dekat pantai, namanya Rosie’s. Jadi mereka segera pergi ke sana; Krystal dengan sepeda putihnya dan Jongin dengan skateboard-nya. Kedai es krim itu kecil dan sempit, hanya ada tiga meja untuk pembeli yang makan di tempat. Untungnya masih ada satu meja tersisa, jadi mereka buru-buru masuk dan menguasai meja itu.

 

Beberapa menit setelah duduk, seorang pelayan mendatangi meja mereka. Pelayan itu ternyata Anna Williams, teman sekolah Krystal dan Jongin dulu. Anna berteman baik dengan Krystal, mereka selalu berpasangan di kelas biologi selama empat tahun berturut-turut. Dia tahu Krystal tak pernah berteman dengan Jongin selama sekolah, jadi dia sangat terkejut menemukan keduanya makan es krim bersama siang itu.

 

“Oh, wow,” Anna menyipitkan matanya, tapi tersenyum. “Kalian jalan bersama sekarang?”

 

“Tidak, tidak!” Krystal menggeleng cepat, menatap Jongin dan Anna secara bergantian. “Kami hanya membicarakan sesuatu. Hal-hal tentang Korea dan semacamnya.” Krystal mengedikkan bahu, lalu memandang ke arah Jongin dan bercerocos dengan bahasa ibunya. Katanya pada Jongin, “Mari kita pakai bahasa Korea saja, agar dia tidak tertarik mendengarnya. Kita harus berpura-pura membicarakan sesuatu yang serius agar dia percaya.”

 

Jongin menatapnya dalam diam, lalu tawanya pecah beberapa saat kemudian. “Kau tidak pandai berpura-pura,” Jongin bergumam, memakai bahasa Korea juga.

 

Tapi mereka benar-benar melakukannya, berbicara dengan bahasa Korea, agar Anna tidak bertanya lebih lanjut lagi. Untungnya sekolah sudah berakhir, Anna tak bisa memberitahu siapa pun tentang apa yang dilihatnya hari ini. Takkan ada gosip lagi, takkan ada drama.

 

Krystal memesan banana split, sementara Jongin memesan es krim rasa mint. Rasanya lucu, sekaligus aneh. Karena setelah lima tahun mengenal, baru kali ini mereka dekat—hanya beberapa bulan sebelum keduanya terbang ke arah yang berlawanan, melanjutkan hidup masing-masing.

 

“Beritahu aku ceritanya,” Jongin berkata, pada akhirnya. Sebelum siang ini, mungkin Jongin hanya tahu bahwa ayah Krystal adalah seorang musisi gila. Krystal tak punya ide siapa yang memberitahu Jongin. Semua orang tahu, semua orang menceritakan satu sama lain, menyatukan fakta dan kebetulan dan cerita itu terbentuk. Tapi sekarang, di ruangan sempit dan gerah ini, akhirnya Jongin sadar bahwa sosok itu cuma ilusi. Dia sudah tertipu selama ini.

 

Jadi, setelah menyeruput sedikit air putih, Krystal bercerita. Dari awal hingga akhir. Dari Daniel Richardson hingga Jeremy Bailey. Dari pernikahan ibunya yang ditentang hingga rencana pernikahan yang lain, sembilan belas tahun kemudian. Krystal juga bercerita tentang perawakan Daniel Richardson, yaitu semua hal yang tidak dimilikinya. Daniel berambut pirang, Krystal berambut hitam. Daniel bertubuh tinggi, Krystal bertubuh pendek sebagaimana perempuan Asia kebanyakan. Daniel memiliki mata biru yang indah, Krystal hanya memiliki mata berwarna cokelat. Tak ada aspek yang membuat orang yakin bahwa Daniel adalah ayah biologisnya.

 

Di antara setiap kalimat dan jeda, di antara helaan napas Krystal, di antara suapan es krim yang dicomot gadis itu sedikit-sedikit, Jongin terus mendengarkan dengan seksama. Dia menatap Krystal lekat-lekat, mencermati ekspresi dan gerakan tangan Krystal saat berbicara. Dia mencerna setiap kata dan mencoba memahaminya, kata-kata itu tidak hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Jongin adalah pendengar yang cukup baik, karena dia adalah pembicara yang agak buruk.

 

“Jadi,” Jongin bertanya setelah Krystal selesai menceritakan sejarah orang tuanya, “kau sudah punya rencana tentang New York City?”

 

Krystal mengangguk. “Aku akan bilang pada kakekku bahwa aku akan berkemah dengan beberapa teman perempuan selama beberapa hari. Oh ya, kapan kau akan pergi ke New York?”

 

“Senin pagi.” Lalu Jongin menambahkan. “Aku kembali ke Annapolis hari Sabtunya.”

 

“Aku hanya punya waktu sampai Jumat. Mungkin aku akan pulang naik kereta. Oh ya, kalau boleh tahu, berapa nomor penerbanganmu? Agar aku berusaha mendapatkan pesawat yang sama. Yah, jika kau tidak keberatan, sih.”

 

“Siapa bilang aku akan naik pesawat?” Jongin menyeringai. “Aku harus membawa banyak barang dari sini, jadi aku akan menyetir. Akan kujemput kau hari Senin pagi.”

 

Krystal tak percaya bagaimana dedikasi lelaki itu untuk membantunya. Jongin ternyata sangat baik, atau dia hanya sedang bersikap sopan. “Aku mengerti,” gadis itu mengangguk. Kemudian dia bercerita tentang rencananya menginap di hostel remaja murah, dia bertanya Jongin apakah lelaki itu tahu di mana tempat seperti itu berada.

 

Tapi Jongin malah berkata, “Lebih baik tinggal di flat sepupuku saja.”

 

Krystal melongo. “Apa?”

 

Flat sepupuku ada di Queens.”

 

Gadis itu menggeleng cepat-cepat. “Tidak, tidak, tidak. Aku hanyalah tamu tak diundang, aku tak bisa mengharapkan hal sebanyak itu. Lagipula sepupumu tak mengenalku—“

 

“Kakak-kakak sepupuku sangat baik. Tinggal ceritakan saja masalahmu, aku yakin mereka dengan senang hati membantu. Lagipula seminggu bukan waktu yang lama.” Jongin menjelaskan. “Aku hanya ingin membantu, sih. Setidaknya uang yang kau keluarkan akan semakin sedikit. Lagipula aku yakin dia juga takkan keberatan.”

 

Krystal terpekur beberapa saat. Jongin benar dalam segala hal dan Krystal yakin lelaki itu tidak sedang menipunya sekarang. Harga diri Jongin terlalu tinggi untuk menipu seseorang.

 

“Jadi, bagaimana?” Jongin berdeham.

 

“Baiklah, jika kau dan sepupumu tidak keberatan.”

 

Jongin tersenyum puas, segera menegakkan punggung dan memperbaiki posisi duduknya. Krystal ikut tersenyum, menyadari bahwa Jongin yang dilihatnya musim semi lalu di lorong sekolah sangat beda dengan Jongin yang duduk di Rosie’s hari ini. Dia nampak lebih bersahabat dan ternyata mau membantu. Mungkin aura itu ditutupi oleh Sandra selama ini, hingga Krystal tak pernah melihatnya. Atau mungkin Jongin memang muak dengan sekolah, hingga dia menganggap semua orang sama membosankannya seperti pelajaran dan menutup dirinya sendiri.

 

Krystal berceloteh lagi tentang gadis bernama Laura Richardson, dia mengambil iPhone di dalam saku celana pendeknya dan membuka Instagram. Krystal menunjukkan beberapa foto pada Jongin, bercerita tentang kemiripan Laura dengan Daniel, dan kebingungannya akan Laura yang memakai bulu mata palsu di setiap foto.

 

Jongin nyaris tertawa saat Krystal membahas tentang bulu mata. Saat Krystal bertanya apa pendapat lelaki itu pada Laura Richardson, komentarnya hanya, “Dia seksi, tapi bukan tipeku.”

 

Tentu saja, Krystal pikir. Semua cowok di sekolahnya sudah pasti menganggap gadis pirang itu seksi. Krystal diam-diam membandingkan dirinya sendiri dengan Laura. Laura selalu mengenakan gaun ketat atau celana ketat atau tank top ketat di setiap fotonya. Semua bajunya pasti ukuran S karena tubuh rampingnya. Dia pandai memakai make up. Dia cocok menjadi finalis Victoria’s Secret atau America Next Top Model.

 

Dan Krystal? Krystal hanyalah Krystal. Dengan kaus yang dibelinya di garage sale di dekat taman bermain, celana pendek longgar yang warnanya sudah luntur, dan sepatu keds kuning yang sudah berubah warna menjadi cokelat. Rambutnya hanya dikuncir asal-asalan, hanya untuk menghindari kegerahan di musim panas yang terik.

 

Dibandingkan Laura yang mirip model dan berlibur di Hawai untuk musim panas, Krystal memang sudah cocok berada di dapur dan menghabiskan musim panas dengan mencuci piring-piring kotor sampai tangannya berkerut dan lecet.

 

“Aku tahu,” Krystal mengulum senyum. “Tipemu itu seperti Sandra Martin.”

 

Sandra Martin memang bukan gadis pirang yang memegang pom-pom dan menghabiskan waktu satu jam untuk memilih apa yang akan dipakai ke sekolah. Sandra Martin adalah gadis kreatif yang sejak dulu tahu bahwa minatnya selalu berada pada dunia seni. Dia dikenal karena lukisan-lukisan indahnya dan pahatan-pahatannya yang menakjubkan. Dia adalah murid kesayangan setiap guru seni rupa di sekolah mereka dan karyanya selalu dipamerkan di pekan sekolah. Tapi, seperti yang semua orang tahu, seniman memiliki jiwa yang labil. Begitu juga Sandra. Dia bukan gadis yang cukup bersahabat. Tapi setidaknya dia jujur dan blak-blakan.

 

Krystal cukup kagum pada Sandra karena berani meneriaki beberapa gadis centil—yang dikenal sebagai tukang bully—di sekolah dengan panggilan “Manusia palsu!” dan tidak sekali pun mundur saat gadis-gadis itu menggencetnya di toilet perempuan saat mereka masih junior. Tapi perkelahian tidak terjadi, karena Jongin dan teman-temannya dari klub bisbol—Jongin bergabung di klub bisbol semasa sekolah—segera datang dan gadis-gadis itu buru-buru menghindar karena tak mau kukunya patah. Pertengkaran itu adalah topik panas di kafeteria selama sebulan, kejadian yang takkan dilupakan oleh anak-anak di sekolah sepanjang masa. Termasuk Krystal, yang saat itu juga menonton dari balik pintu toilet. Jantungnya berdebar kencang saat melihat kejadian itu, seolah-olah dia sedang menonton kembang api atau drama Romeo dan Juliet.

 

Krystal iri karena tak pernah punya keberanian seperti Sandra.

 

“Tidak juga,” Jongin menjawab dengan nada datar. “Aku baru sadar dia cukup ekstrem.”

 

Dari mana saja kau selama ini? Krystal bertanya-tanya dalam hati. “Oh ya, ngomong-ngomong, apakah benar kalau kau yang menjadi model untuk sketsa lelaki telanjang yang digambar Sandra—“

 

“Sialan. Itu bukan aku!” Jongin mendesis, membanting meja agak keras, sampai-sampai dua gadis yang duduk di meja sebelah mereka menoleh. Jongin segera menundukkan wajahnya sedikit, masih mencibir.

 

Krystal hanya menyambut ekspresi Jongin dengan tawa. Dia tak pernah melihat Jongin sepanik itu sebelumnya. Dia pernah melihat Jongin memecahkan piring di dapur saat bekerja, tapi wajahnya tidak sepanik ini. Tidak semerah ini. “Tidak apa-apa,” Krystal berkata di sela-sela tawanya, “hanya bertanya. Lagipula tidak mirip denganmu, kok.”

 

Sketsa lelaki telanjang itu menimbulkan kontroversi hingga Sandra harus menghadap pada kepala sekolah, sekali. Gosip itu merebak, bahwa Jongin adalah modelnya. Alasannya simpel, karena Jongin adalah pacarnya. Krystal ingat masa-masa itu, saat mereka baru sebulan di tingkat sophomore. Dia, Anna, dan beberapa temannya yang lain melewati kelas seni dan melihat sketsa milik Sandra yang ditinggalkan di sana. Mereka melihatnya seraya salah satu dari mereka mengolok-olok sketsa itu, hanya beberapa saat sebelum Jongin melesat masuk ke dalam ruangan dan menyambar kertas tersebut. Jongin membawanya keluar, mungkin mau dibuang atau dibakar atau hanya dihapus. Entahlah, Krystal tak tahu.

 

Beberapa menit kemudian, mereka membayar pesanan mereka pada Anna dan segera keluar untuk kembali ke rumah masing-masing.

 

Sebelum pulang ke arah yang berlawanan, Jongin bertanya pada Krystal. Kali ini tidak memakai bahasa Korea lagi. “Apakah aku orang pertama yang tahu rencana ini?”

 

Krystal tersenyum tipis. “Sebenarnya tadi aku ingin memberitahu bibiku dulu, lalu Joanna, karena aku akan berpura-pura berkemah bersamanya. Tapi Bibi tidak ada di rumah sepanjang siang, sementara Joanna sedang kencan dengan pacarnya dan aku tak mau mengganggunya. Jadi kupikir aku segera memberitahumu saja. Itu berarti, ya, kau orang pertama yang kuberitahu.”

 

Jongin mengangguk sebelum pergi. “Kalau begitu, sampai jumpa besok, Soojung.”

 

***

 

Esok siangnya, di restoran, yang menyapa duluan adalah Jongin.

 

“Hai, Soojung.” Jongin berkata saat dia baru saja masuk melalui pintu belakang, segera meletakkan ranselnya di atas kulkas dan mengenakan celemek yang diambilnya dari balik pintu.

 

“Oh, hai, Jongin.” Krystal balas menyapanya, seraya menggiring Kuro keluar dari dapur lewat pintu belakang. Ada seorang koki, namanya John Park, yang agak cerewet jika Kuro berkeliaran di dapur. Jadi Krystal harus mengeluarkan Kuro sebelum pemuda itu datang.

 

“Itu Hachiko.” Jongin menatap Kuro dengan pandangan datar.

 

“Namanya Kuro.” Krystal mengoreksi.

 

Biasanya percakapan mereka hanya sebatas itu. Tapi, setelah apa yang terjadi kemarin, Jongin tidak bisa tidak bertanya lebih jauh.

 

“Aku sudah memberitahu bibiku semalam. Dan seperti yang kuduga, dia mau membantuku. Sebenarnya tadi dia ingin ikut, tapi dia tak bisa meninggalkan kakek dan nenekku hanya berdua. Semua orang akan jadi gila,” dia melanjutkan, menggeleng-gelengkan kepalanya, “lalu aku juga sudah beritahu Joanna. Tapi aku tidak bilang pergi ke New York bersamamu untuk mencari ayahku. Jadi aku memberi alasan lain.”

 

“Coba kutebak. Kau bilang kau akan melakukan hal gila yang tak pernah kau lakukan selama musim panas, seperti yang ada di novel-novel dan film-film. Misalnya, menemukan turis Italia dan menciumnya di patung Liberty?” Jongin menaikkan satu alisnya, menyeringai samar.

 

“Kubilang di Met. Lagipula aku tidak kepingin melihat Liberty, kok.”

 

“Tapi, kalau kita sudah sampai di sana, jangan ajak aku ke Met, oke?”

 

“Kenapa? Met mengingatkanmu akan Sandra?” Krystal bertanya, lalu mengedikkan bahunya. “Kau tahulah, Met itu museum seni. Seni mengingatkanmu pada seniman. Sandra adalah seniman, begitulah.”

 

“Tidak.” Jongin bergegas masuk ke dalam dapur ketika dia melihat John Park sudah berjalan menghampiri mereka dari kejauhan. “Hanya saja seni seperti itu membosankan. Kau tidak mengerti apa artinya kalau tidak diberitahu.”

 

Krystal bertanya-tanya apakah dia terlalu lancang karena sudah membahas Sandra, dua kali. Padahal Jongin sudah putus dengannya. Jongin bisa saja masih patah hati, karena yang mengakhiri hubungan mereka adalah Sandra. Krystal harap Jongin tidak menganggapnya tidak sopan.

 

Sepertinya pemuda itu memang tidak merasa terganggu atas pertanyaan Krystal, karena beberapa menit kemudian, Jongin segera memanggilnya untuk menulis pesanan pelanggan yang duduk di meja nomor dua.

 

***

 

Hari Jumat, Vanessa dan Jeremy akan terbang ke Philadelphia di sore hari.

 

Pagi harinya, beberapa jam sebelum Vanessa pergi, dia duduk di sebelah Krystal yang sedang sarapan di depan TV.

 

“Ibu akan pergi jam tiga.” Vanessa membuka percakapan.

 

“Aku tahu,” Krystal masih terus menekuni layar TV sambil mengunyah sereal Froot Loops yang tak pernah bosan disantapnya setiap pagi.

 

“Kau akan menginap di rumah temanmu selama aku pergi, ya?” Sudah hampir seminggu berlalu sejak pertanyaan tentang Daniel Richardson ditujukan Krystal untuk Vanessa, maka selama itu pula dia menghindari anaknya untuk tidak bertanya lebih banyak lagi. Mereka hanya berbicara sesingkat mungkin. Pagi, Soojung. Pagi, Bu. Aku mau pergi ke Wal-Mart, kau mau menitip apa? Coca Cola dua botol. Soojung, beritahu Kakek dan Nenek, aku harus pergi ke rumah sakit sekarang. Oke.

 

“Ya. Rumah Joanna,” Krystal mengangguk, berusaha berbicara setenang mungkin. Joanna adalah teman baik Krystal sejak kelas tujuh. Dan sudah kebiasaan jika Krystal pergi menginap di rumah Joanna jika libur panjang, atau Joanna yang menginap di rumah Krystal. “Mungkin kami akan pergi berkemah atau nonton konser atau ke pesta. Aku takkan membuat masalah selama Ibu pergi. Aku janji.”

 

Vanessa ikut memandang layar televisi, lalu mendesah pelan. “Aku percaya padamu.”

 

Jangan. Krystal nyarik berbisik, tapi yang dilakukannya hanyalah mengunyah dan mengunyah dan menatap layar TV tanpa berkedip.

 

Meskipun Krystal adalah anak Vanessa satu-satunya, tapi kadang keduanya merasa ada tembok yang memisahkan mereka. Tembok itu diciptakan oleh Vanessa, dibangun dari rahasia-rahasianya, perasaannya yang tak pernah diberitahunya pada siapa pun kecuali Jeremy, dan kebingungannya untuk memperlakukan seorang gadis remaja yang bisa mengurus dirinya sendiri. Krystal malah lebih dekat dengan kakeknya dan bibinya, Jessica. Bahkan kadang Vanessa merasa anaknya itu lebih dekat dengan Jeremy daripada dirinya. Mungkin apa yang Krystal katakan benar, mungkin sejak dulu Krystal sudah memiliki Jeremy—jauh sebelum Vanessa memiliki lelaki itu.

 

“Kau adalah anak yang baik.” Ibunya berbicara lagi, suaranya sayup-sayup kedengaran di antara teriakan seorang lelaki di TV. “Kau bisa melakukan banyak hal sendirian, tanpa perlu bantuanku. Kau takkan keluar berpesta setiap akhir pekan, kau takkan bolos dari sekolah untuk diskon besar-besaran di mall, kau takkan menolak jika disuruh membantu mengurus restoran. Di satu sisi, kau adalah anak yang sangat mudah diurus. Namun kadang aku khawatir bagaimana kau bergaul dengan anak-anak seumuranmu.”

 

Krystal tertawa keras-keras, di dalam hati dia cukup terharu karena tak pernah sekali pun berpikir ibunya akan berpikiran sejauh itu tentang Krystal dan hidupnya. “Bukannya Ibu juga begitu saat sekolah dulu? Kecuali, satu, aku tidak mendapat nilai A di semua mata pelajaran—nilaiku bervariasi—dan dua, aku tidak jadi valedictorian saat acara kelulusan.”

 

Vanessa tersenyum tipis, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang yang diletakkannya di atas paha Krystal. “Uang sakumu selama aku pergi. Siapa tahu kau mau beli pizza dengan Joanna atau mau pergi ke konser nanti.”

 

Krystal menghitung-hitung berapa uang yang dapat dihabiskannya selama di New York City sambil tersenyum lebar. Dia tidak akan jatuh miskin selama di sana. Mungkin dunia memang menginginkannya untuk pergi ke New York City, sehingga banyak sekali hal yang membantunya untuk mempermudah perjalanan ini.

 

“Terima kasih, Bu.” Krystal berkata, sebelum Vanessa turun ke lantai dasar—tempat restoran berada—dan meninggalkan Krystal yang masih mengulum senyum.

 

***

 

Sorenya, Vanessa dan Jeremy pergi ke bandara dengan mobil Jessica. Krystal tidak ikut karena dia masih harus bekerja.

 

Vanessa mencium kedua pipi Krystal dan memeluknya sebelum masuk ke mobil. “Jadilah anak yang baik,” pesannya, yang membuat hati Krystal mencelos. Tapi anak gadisnya itu hanya tersenyum tipis, tidak mengatakan apa-apa.

 

Krystal melambaikan tangannya, masih terus berdiri di depan restoran sampai mobil itu melaju cepat.

 

Jongin melihatnya dari balik dapur.

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
onehellofa #1
Chapter 3: bahasa ny udah kyk yg di novel2 romance aja. wkwk. ditunggu lanjutannya yaaa u w u
dhedho
#2
Chapter 3: Jongin disini bantu krystal bgt..seneng lah.. kirain bkal dingin sm krystal.. hehe (^-^)
dhedho
#3
Chapter 2: Ceritanya bagus!!! \(^O^)/
Gaya bahasa yg dipake jg enak dibacanya.. apalagi maincastnya.. kaistal (^-^)
Ditunggu lanjutannya ya author hehe..
Lalarian #4
Chapter 2: Suka sama karakternya jongin :)
Lalarian #5
Chapter 1: Benar-benar beda dari yang lain. Update soon,
affexions
#6
this is interesting!! update soon please:))
affexions
#7
this is interesting!! update soon please:))
edelweisses #8
Ini cerita yang cukup menarik, kata2 yang author bawa juga pas sekali. Aku tunggu kelanjutannya authornim, fighting!