Don't forget me

I don't know that Angel's name

“Aku akan melepaskan perbanmu.”

“Uhm.”

“Bagaimana?” 

Seorang pemuda membuka matanya perlahan, ia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang memasuki indera penglihatannya. Namun yang ia lihat hanyalah pandangan kabur dan buram. Beberapa kali ia mengusap-ngusap kedua matanya dengan punggung tangannya namun hasilnya nihil.

“Minggu depan kau akan menjalani operasi dan matamu akan pulih sepenuhnya.” Seorang dokter dengan kacamata bulat yang besar menaruh perban di tangannya ke meja. Tangannya mengusap puncak kepala pemuda yang duduk di ranjang.

“Benarkah? Dan aku akan bisa melihat lagi?” tanya pemuda itu dengan semangat.

“Ya, tentu saja. Park Chanyeol akan kembali menjadi bintang lapangan.” Dokter itu tersenyum lebar, berusaha memberi semangat pada pasiennya. 

...

 “Chanyeol!

“Park Chanyeol!”

“Chanyeol-ah!”

“Chanyeol, temanmu datang. Mereka jauh-jauh ke sini untuk mengunjungimu.” Park Sun Young- ibunya Chanyeol, membuka pintu kamar rawat ini. Di belakangnya berdiri tiga orang pemuda yang merupakan teman Chanyeol.

Layaknya sepangan kekasih yang belum bertemu bertahun-tahun, tiga orang pemuda itu langsung menyerbu Chanyeol saat melihatnya terbaring di ranjang rumah sakit. Sementara yang dipanggil mendudukkan dirinya di ranjang

“Ibu akan membeli minuman.” Sun Young menutup pintu kamar rawat itu, meninggalkan empat orang pemuda yang mengangguk padanya mantap.

“Ini aku Sehun!” Sehun memajukan kepalanya tepat di depan Chanyeol.

“Aku Kai!” tidak mau kalah, Kai mendorong kepala Sehun bergantian menatap Chanyeol.

“Ada aku juga, Suho.” Suho menarik kerah kedua anak itu dari hadapan Chanyeol, takut-takut kedua anak idiot itu mengganggu Chanyeol. “Bagaimana keadaan matamu?” Suho menarik sebuah kursi dan mendudukinya.

“Masih kabur, aku hampir tidak bisa melihat. Tapi aku bisa melihat kalian walau samar-samar.” Chanyeol menjawabnya dengan senyuman lebar, berusaha menunjukkan kalau ia baik-baik saja. “Sebentar lagi aku akan menjalani operasi, dan aku akan bisa melihat lagi!” lanjutnya dengan penuh semangat.

Ketiga teman yang mengunjunginya terdiam mendengar pernyataan Chanyeol. Jujur, mereka sangat sedih. Sebulan tanpa seorang Park Chanyeol di sekolah terasa beda, hari-hari di sekolah mereka tidak seasik saat bersama Chanyeol.

“Hei, kenapa diam? Ayolah, aku pasti bisa melihat kembali.”

“Pa-parah ya.”

“Katamu hanya luka ringan! Ternyata sampai gak bisa lihat begitu.”

“Ayolah cepat kembali! Semua anggota tim menunggu kepulihanmu.”Ucap Sehun bersemangat.

“Semua menunggu ku ya..”

...

Sudah sebulan lamanya Chanyeol menjalani perawatan di rumah sakit luar kota untuk memulihkan matanya. Kecelakaan yang menimpanya membuat matanya nyaris buta. 

‘Aku takut kembali. Aku takut kembali dan semua orang merasa diriku bukanlah yang dulu.. sebulan lebih aku di rumah sakit. Apa diriku sudah di lupakan? Apa mereka semua baik-baik saja tanpa diriku?’

Chanyeol memegang gagang besi di sepanjang dinding rumah sakit untuk menuntunnya berjalan. Pandangannya masih kabur, pikirannya berkecamuk memikirkan hal-hal tentang kehidupan normalnya. Jujur, ia ingin kembali, ia rindu pada kehidupan normalnya.

Aroma rumput segar di hirupnya dalam-dalam. Tangannya ia rentangkan lebar-lebar seolah ia baru saja keluar dari penjara. Ia mendongak ke atas, menatap langit biru yang membentang. Tapi hal itu percuma karena pandangannya masih kabur. Namun, ia beruntung karena masih bisa melihat benda di sekitarnya walau buram.

Chanyeol duduk di sebuah bangku taman rumah sakit, ia mengeluarkan iPod dari sakunya, memakai headset dan menikmati musik yang mengalun di telinganya sambil menutup mata.

“Boleh aku duduk di sini?” sebuah suara menginterupsi kegiatan Chanyeol. Seorang pemuda yang memakai baju khas pasien duduk di sebelah Chanyeol. Pemuda itu membawa infus yang menggantung di tiang bersamanya.

“Tentu saja.” Jawab Chanyeol singkat.

“Kau tak bisa melihat?” tanya pemuda tersebut.

“Bisa kok!” jawab Chanyeol dengan nada tinggi. “Penglihatanku mengabur- sudah itu saja. Tapi aku masih bisa melihat.” Lanjutnya dengan nada yang lebih rendah.

“E-eh maaf, aku hanya bertanya.” Pemuda itu menjawabnya dengan kikuk dengan perasaan sedikit bersalah. 

“Hn.” 

“Mau permen? Aku punya dua.” Pemuda itu mengeluarkan dua permen lolipop dari saku celananya, yang satu ia berikan pada Chanyeol- tepatnya menarik tangan Chanyeol dan menaruh lolipop itu di telapak tangan Chanyeol dengan paksa. Dan, yang satu lagi ia makan sendiri.

“Terimakasih.” Ucap Chanyeol berterima kasih, ia menyunggingkan sebuah senyum di bibirnya.

Sejak saat itu, bangku kecil di taman belakang rumah sakit menjadi tempat favoritnya. Setiap hari, Chanyeol mendatangi tempat itu dan seperti biasa duduk di salah satu bangku tempat dia bertemu seseorang itu. Dan ia juga mulai menyukai permen.

.

Esok hari, saat Chanyeol sedang duduk di bangku itu. Pemuda itu-Baekhyun muncul lagi. Seperti kemarin, Baekhyun memberinya sebuah permen lolipop lagi.

“Kau tahu, kadang aku rindu teman-temanku.” 

Chanyeol tersentak mendengar ucapan Baekhyun yang tiba-tiba, ia membuka mulut dan membalas ucapan Baekhyun. “Aku juga. Sebulan lebih aku di sini.”

“Sudah empat bulan aku di sini... aku hanya takut dilupakan.”

Ucapan Baekhyun kali ini tidak mendapat jawaban apapun dari Chanyeol. Hanya keheningan di antara mereka sampai Baekhyun mengucapkan sebuah kalimat lagi.

“Sebenarnya rumah sakit tidak seburuk itu. Aku juga memiliki teman di sini mau itu anak kecil, seorang nenek tua, seorang suster dan mereka semua baik kepadaku. Dan aku juga punya teman baru di sini dan itu kau hehehehe.” Baekhyun menutup ucapannya dengan senyuman lebar, membuat pipinya naik dan kedua matanya melengkung lucu.

Walau buram, Chanyeol bisa melihat Baekhyun sedang tersenyum. Dan itu membuat dirinya agak senang.

“Kau beruntung masih bisa melanjutkan hidup, sementara aku-“

“Memangnya kau sakit apa?” belum sempat melanjutkan kata-katanya, Chanyeol memotong ucapan Baekhyun. Membuat Baekhyun sadar akan apa yang ia bicarakan dan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

“Tidak, aku tidak apa-apa. Hey, boleh aku mendengarnya juga?” Baekhyun mengambil satu headset yang bertengger di telinga Chanyeol dan menaruhnya di telinganya. “Woah kau tahu, aku suka lagu ini.”

Sejak saat itu, lagu ‘Dear God’ menjadi lagu favoritnya. Dan sejak saat itu, setiap hari mereka bertemu di sini. Di bangku taman belakang rumah sakit.

.

“Hei, aku membawa susu. Kau mau?” Baekhyun menyodorkan sekotak susu strawberry kepada Chanyeol yang sedang duduk. Setelah susu kotak itu di terima Chanyeol, ia duduk di samping Chanyeol.

“Strawberry?”

“Hm, aku sangat suka susu strawberry. Aku suka strawberry.” Jawab Baekhyun sambil meminum susu kotaknya dari sedotan.

Chanyeol mengangguk pelan sambil meminum susu itu.

“Beberapa hari lagi aku operasi.” Chanyeol membuka pembicaraan.

“Hm, benarkah? Operasi untuk matamu? Wah, nanti kau bisa melihat wajah tampanku ini dengan jelas dong! Ahahaha.” Baekhyun tertawa. Entah kenapa tawa itu membuat hati Chanyeol tenang, padahal mereka baru mengenal tiga hari.

.

Chanyeol menghentikan ucapannya saat ia mendengar Baekhyun terbatuk. Ia bisa melihat Baekhyun mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, namun Chanyeol tidak bisa melihat dengan jelas apa itu. Tapi bisa ia lihat Baekhyun memakan sesuatu-apalah itu.

“Apa itu?” tanya Chanyeol penasaran.

“Hanya permen.” Jawab Baekhyun dengan nada mantap, berusaha meyakinkan pemuda di hadapannya.

“Oh. Kau tidak membagiku?” ucap Chanyeol sambil mengerucutkan bibirnya lucu. Yang melihatnya hanya terkekeh geli sambil menyenggol lengan Chanyeol.

“Maaf aku hanya punya satu. Aku akan bernyanyi untuk menggantikannya.” Jawab Baekhyun sambil menepuk punggung Chanyeol beberapa kali.

“Huh, aku tidak mau. Suaramu pasti jelek.”

“Kau akan menyesal nanti~”

“Baiklah aku bersedia mendengarkannya.”

Mereka terdiam beberapa saat sebelum Baekhyun berdehem membersihkan suaranya.

“Baiklah aku mulai.”

Jogeuman nalgaetjit neol hyanghan ikkeullim naege ttaraora sonjitan geot gataseo

Aejeolhan nunbitgwa mueonui iyagi gaseume hoeoriga morachideon geunal bam

Omyohan geudaeui moseube neogseul noko hanappunin yeonghoneul ppaetgigo

Geudaeui momjise wanjeonhi chwihaeseo sum swineun geotjocha ijeobeorin nainde

Walcheucheoreom sappunhi anja nuneul ttel su eobseo siseoni jayeonseure georeummada neol ttaragajanha~

Nal annaehaejwo~

Yeah geudaega salgo inneun gose nado hamkke deryeoga jwo

Oh, sesangui kkeuchirado dwittaragal teni

Budi nae siyaeseo beoseonaji marajwo achimi wado sarajiji marajwo oh

Kkumeul kkuneun georeum geudaen namanui areumdaun nabi

.

Ini hari ke lima mereka bertemu lagi, dan esok hari Chanyeol akan menjalankan operasi. Di lubuk hatinya ia merasa takut kalau operasi itu gagal dan ia akan buta. Selamanya. Karena itu, ia menceritakan rasa takutnya kepada Baekhyun.

“Kau akan baik-baik saja. Aku yakin itu. Jangan takut! Kau pasti berhasil- uhuk. Ayolah, apa kau tidak ingin melihat wajahku ini? Kalau ingin, kau harus menjalani operasi mu dan kita bertemu lagi di sini. Oke?” Baekhyun menggenggam tangan Chanyeol dengan erat, seakan ia memberi seluruh semangatnya pada Chanyeol.

“Baiklah, aku akan menjalani operasinya. Tapi janji kita akan bertemu lagi.”

“Aku janji.” Baekhyun menjulurkan kelingkingnya, lalu ia mengambil tangan Chanyeol. Kedua kelingking anak Adam itu bertautan, mengikat sebuah janji di antara mereka berdua. Menyebabkan kedua ujung bibir mereka terangkat dan membuat sebuah senyuman.

“Hei,” yang lebih pendek melepaskan tautan mereka lebih dulu. Ia tersenyum dan menunduk, “apapun yang terjadi kau tidak akan melupakanku kan?” Baekhyun menatap mata Chanyeol lekat.

“Tentu saja! Aku tidak akan melupakanmu. Kau tahu? Aku sangat menyukai suara indahmu. Lain kali kalau aku membawa gitar, aku ingin duet denganmu.” Ujar Chanyeol semangat.

“Kau bisa bermain gitar?” Baekhyun memiringkan kepalanya lucu.

“Tentu saja! Aku pandai bermain gitar hehehehe.”

“Aku tidak perca- uhuk uhuk.” 

“Hei, kau tak apa?”

“Tak apa- hanya tersedak. Aku kembali dulu ya, mau minum. Uhuk.” Baekhyun menepuk-nepuk dadanya kasar, berusaha menghentikan batuknya. Ia berdiri dan mulai melangkah menjauh.

“Kau yakin? Aku akan membantu.” Chanyeol berdiri, berusaha membantu Baekhyun dengan memegang pundaknya. “Aku akan menuntunmu, walau penglihatanku masih buram tapi aku masih bisa melihat kok.”

“Ah- tidak apa-apa. Ja~ aku pergi.” Baekhyun melepaskan tangan Chanyeol dari bahunya dengan lembut, lalu berjalan menjauh dari Chanyeol sambil melambaikan tangannya. 

“Jangan meninggalkanku sebelum aku melihat wajahmu dengan jelas!” teriak Chanyeol dengan semangat. Ia tersenyum lebar dan melambaikan kedua tangannya.

“Baiklah!” Baekhyun berusaha berteriak sambil menahan sakit yang teramat sangat. Senyum masih terukir di bibirnya, walau ia tahu kalau senyum itu tidak bisa dilihat Chanyeol dengan jelas. Setidaknya ia ingin tersenyum tulus, untuk orang itu.

“Hei siapa namamu??” Chanyeol berteriak ke arah Baekhyun pergi. Ia tidak mendapat jawaban, sepetinya Baekhyun sudah berjalan jauh sehingga tidak mendengar teriakannya. Ia kembali duduk dan bersender di bangku itu.

Baekhyun menyusuri koridor rumah sakit sambil menuntun infusan di sampingnya. Ia terus terbatuk dan terbatuk. Mulutnya mengeluarkan darah saat ia terbatuk. Ia pun bertopang pada dinding rumah sakit, kakinya melemas dan mulai kehilangan fungsi. Dirinya merosot di dinding sambil terus terbatuk, tangannya terhentak menyebabkan jarum infusnya lepas dan tangannya mengeluarkan darah segar. Dua orang perawat yang melihatnya pun segera menghampirinya. Mengisyaratkan yang lain untuk segera memanggil dokter lalu membawanya ke Unit Gawat Darurat.

...

“Perbanmu akan di lepas tiga hari lagi. Jangan melepasnya sebelum itu.” Ucap dokter tersebut sambil tersenyum kepada Chanyeol.

“Baiklah.” Chanyeol mengangguk singkat kemudian ia berbaring dan menarik selimut. Setelah ia mendengar suara pintu di tutup dan telah memastikan dokter itu sudah pergi jauh, ia bangkit dan berjalan keluar sambil meraba-raba sekitar.

Chanyeol berniat berjalan menuju bangku kecil di taman belakang rumah sakit, tempatnya bertemu dengan seorang pemuda yang baginya seperti malaikat. Datang kepadanya saat di ketakutan. Walau matanya di perban dan ia tidak dapat melihat apa-apa, itu tidak menjadi masalah. Ia yakin ia mengingat jalan menuju taman belakang itu. Keluar dari kamar, belok kanan lalu berjalan lurus beberapa meter, kau sudah berada di taman.

Setelah dituntun oleh seorang perawat yang kebetulan lewat, ia telah sampai di taman belakang. Chanyeol mengucapkan terima kasih, meyakinkan perawat itu untuk meninggalkannya sendiri lalu ia duduk di bangku kecil tersebut. Menunggu seseorang yang telah berjanji akan bertemu dengannya.

Sungguh, Chanyeol ingin menceritakan beberapa ketakutannya saat ia di operasi. Ia ingin mencurahkan segalanya. Dan ia ingin bertanya nama orang itu. Ya, mereka belum mengetahui nama masing-masing. Yang Chanyeol ingat hanyalah suara orang itu, merdu, halus dan menenangkan jiwa.

Senyuman enggan luput dari wajahnya, pertanda bahwa Chanyeol sedang bahagia. Ia akan menanyakan nama orang itu, pasti.

Detik-detik berubah menjadi menit. Menit-menit berubah menjadi jam. Perasaan gelisah dan khawatir mulai singgah di benaknya karena orang itu tak kunjung datang. Ia yakin, pada jam-jam ini mereka biasa bertemu. Ia juga sudah menanyakan jam kepada perawat tadi.

“Kapan kau datang? Kau sudah berjanji kan?” Chanyeol berucap sendiri, sudah sejam ia duduk di sini dan sepertinya suhu mulai merendah. 

“Ayolah kau sudah berjanji tidak akan meninggalkanku.” Chanyeol mulai khawatir, satu jam lagi terlewat dan seseorang yang ia tunggu-tunggu tak kunjung datang. Namun ia masih yakin orang itu akan datang, menunggu beberapa jam lagi bukan masalah baginya kalau pada akhirnya dia bisa bertemu malaikatnya. Walaupun ia belum bisa melihat malaikat itu. Baginya, cukup mendengar suaranya saja. Sudah lebih dari cukup.

Satu jam lagi terlewat. Terhitung sudah tiga jam, Chanyeol menunggu dengan perasaan khawatir yang enggan singgah barang sedetik pun dari dirinya.

“Kau bukannya meninggalkan ku bukan?” bulir air mata mulai turun ke pipi mulusnya. Walau matanya tertutup perban, kita masih bisa tahu kalau Chanyeol menangis.

“Ayolah, aku rindu suara merdumu itu.”

Tes

Tes 

Awan-awan mendung mulai meneteskan tetes air satu demi satu, sebelum akhirnya mereka membasahi bumi dengan hujan deras. 

Walau tubuhnya mulai basah karena hujan, Chanyeol masih diam di tempatnya. Menunggu seseorang yang telah berjanji padanya. Menunggu seseorang yang kini berharga baginya. Menunggu seseorang yang tidak ingin dilupakan. 

“Tolonglah datang padaku. Aku rindu padamu. Aku tahu kau tidak akan meninggalkanku ya kan? Kau berjanji kita akan bertemu lagi, kau tidak akan mengingkarinya kan? Kau pasti akan memberikan permen padaku kan. Oh ya, pasti kau terlambat karena itu, oke aku akan menunggumu lagi hehehe.” 

Air hujan menyamarkan air mata Chanyeol, menyembunyikan fakta bahwa pemuda itu sedang menangis saat ini. Pemuda itu sedang menunggu seseorang yang bahkan tidak ia ketahui namanya. Bodoh, ya memang bodoh. Park Chanyeol kau bodoh karena tidak menanyakan nama orang itu dari awal.

“Kau tidak datang bukan?” 

Chanyeol menangis dan menangis. Ia takut, sangat takut kehilangan orang itu. Ia takut tidak bisa bertemu dengan malaikat yang memiliki suara indah itu lagi. Ia ingin melihat lagi walau itu hanya sekali, sebuah senyum yang terlihat buram waktu itu. 

“Aku bahkan tidak tahu nama malaikat itu.”

“Aku tidak akan melupakanmu.”

Chanyeol tidak tahu, ia tidak tahu kalau malaikatnya kini sedang berjuang antara hidup dan mati. Sedang terbaring lemah dengan beberapa alat bantu melekat pada tubuhnya. Garis-garis kehidupan yang terukir di layar, semakin melemah dan melemah.

Selesai.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Arummartian #1
Chapter 1: Komen apa ya? Bingung haha. Ceritanya bagus dan nyentuh banget, authornya keren deh huhu sampe bingung mau ngomen apa.

Sering berkarya ya thor~~