The First and The Last

The Man Who Can't Be Moved

Perkenalkan, aku Kim Jongin atau kalian bisa memanggilku Kai. Terserah, aku tidak akan mempermasalahkannya. Tapi, kuharap kalian tidak usah memanggilku Kkamjong. Bukannya aku tidak suka, aku memang mengaku kalau warna kulitku sedikit lebih gelap dari kebanyakan orang Korea. Namun, panggilan itu mengingatkanku pada seseorang. Do Kyungsoo, dia sangat senang memanggilku seperti itu. Aku tidak terlalu lama mengenalnya, namun dia bisa dengan mudahnya membuat hidupku berubah menjadi seperti sekarang.

 

Aku berjalan di sebuah gang sempit. Ini sudah cukup larut. Aku mempercepat langkahku agar bisa segera sampai ke halte. Saat kedua mataku sudah menemukan sebuah halte di seberang jalan, hatiku rasanya senang sekali. Beberapa hari ini aku memang cukup sibuk karena harus mengurus tugas-tugas akhir kuliahku. Aku memang sudah di semester akhir dari kuliahku yang mengambil jurusan teknik sipil dan saat ini aku sedang menyusun skripsiku. Aku baru saja akan pulang ke rumah dari rumah temanku, Oh Sehun. Saat sudah sampai di halte, aku duduk sebentar sembari menunggu bus yang akan ku naiki. Aku membuka catatanku yang berisi bahan-bahan untuk skripsiku. Aku terlalu larut hingga tidak menyadari kalau saat ini, ada seseorang yang duduk tepat di sampingku. Aku mendongak dan melihat sebuah bus berhenti sebentar, namun sayang itu bukan bus yang akan ku tumpangi. Aku menggerutu karena udara yang sudah semakin dingin. Tepat saat itu aku sadar, kalau aku sedang tidak sendirian. Seseorang di sampingku duduk sambil memeluk lututnya karena sepertinya ia juga kedinginan. Wajahnya pucat, namun ia tetap terlihat sangat manis. Aku memegang tangannya, dan dapat ku rasakan jutaan watt aliran listrik mengalir dalam tubuhku. Sungguh, aku benar-benar tidak menyangka jika tangannya mampu mengalirkan listrik dan menyetrumku.

“Eh, kau tidak apa-apa?” mata hazel besarnya menatapku tajam tapi sedikit takut.

“Kk… kau ssi.. ssiapa?”

“Kim Jongin atau Kai. Terserah kau ingin memanggilku apa.” Aku tersenyum lebar sambil mengulurkan tanganku ingin menjabatnya. Ia menatapku bingung sejenak, lalu tersenyum dan menyambut tanganku.

“Do Kyungsoo.” Aku benar-benar tidak habis fikir, bahkan senyumannya pun mampu mengalirkan listrik dan menyetrumku walau aku hanya melihatnya. Aku benar-benar penasaran, apa memang ada manusia yang mampu mengalirkan listrik dalam tubuhnya?

Aku segera melepas genggaman tangannya yang hangat – sebelum aku terbunuh karena terkena setrumnya.

“Kau kedinginan?”

“Memangnya kau tidak?” dia bertanya padaku sedikit marah. Hei memangnya salahku apa? Aku ‘kan cuma bertanya.

Aku sebenarnya ingin balik marah, namun saat aku menatap matanya, lidahku terasa kelu. Aku juga tak mengerti apa yang sedang terjadi pada diriku. Yang terjadi selanjutnya benar-benar berbanding terbalik dengan isi kepalaku.

“Pakailah, kau lebih membutuhkannya.” Aku sendiri kaget saat menyadari jaket yang tadi ku gunakan sudah berpindah tempat. Ya, jaketku sekarang sudah melekat erat melapisi kaus putih kebesaran yang dipakainya. Aku merutuki kebodohanku dalam hati, bisa-bisanya aku memberikan jaketku pada orang lain sedang aku sendiri juga membutuhkan itu.

“Terimakasih.” Dia tersenyum padaku. Kalian tahu? Senyumannya bagai matahari pagi yang menghangatkanku. Sekujur tubuhku menjadi panas hanya karena senyumannya. Darahku berdesir hebat. Rasa dingin yang tadi melingkupi seluruh tubuhku seketika tergantikan oleh rasa hangat yang menenangkan yang terpancar dari senyum manisnya.

“Apa yang kau lakukan?” Setidaknya aku bisa mengontrol diriku dan menutupi kegelisahan yang tiba-tiba muncul dalam hatiku.

“Aku membutuhkan ketenangan.”

“Apa kau merasa ini tempat yang cocok?”

“Tak bisakah kau merasakan kesunyian yang melingkupi tempat ini?”

Aku hanya mengernyitkan alisku. “Apa definisi ketenangan dan kesunyian menurutmu sama?”

“Memangnya kau tidak berfikiran sama sepertiku?” Dia menoleh dan menatap kedua mataku ingin tahu. Tak tahu kah dia, jika tindakan kecilnya itu berdampak hebat bagi diriku?

Aku segera berbalik menatap daun-daun yang mulai berguguran, menghindari kontak mata dengannya sebelum aku jatuh dan tidak bisa kembali lagi. Atau mungkin aku terlambat menyadari kalau aku memang sudah jatuh?

“Bagiku, ketenangan adalah saat di mana kau bisa merasakan yang namanya kenyamanan. Kenyamanan tidak hanya didapat dalam kesunyian. Justru, terkadang kesunyian malah membuatku tidak tenang.”

Ia tertawa – sungguh, suaranya sangatlah lembut terdengar di telingaku. “Itu karena kaunya saja yang tidak bisa diam, Kkamjong.”

Aku cukup tersentak mendengarnya memanggilku seperti itu. Jika orang lain yang menyebutku seperti itu maka aku akan menendang orang itu, meski itu kakakku sekalipun. Namun, dia berbeda dan entah kenapa aku tidak keberatan. Aku justru senang mendengarnya.

“Apa kau tidak bisa mendapat ketenangan yang kau inginkan di rumahmu?”

“Rumahku terlalu ramai.” Ia tersenyum simpul, tetapi kali ini aku bisa merasakan nada kesedihan dalam suaranya. Aku ingin bertanya, tetapi kurasa ini terlalu cepat.

“Bagaimana kalau kau ikut aku ke rumahku?”

“Kenapa aku harus?” Pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Dia benar, aku tidak seharusnya bertindak secepat itu. Aku dan dia baru saling kenal beberapa menit lalu dan aku sudah berani mengajaknya ke rumahku. Walau aku sama sekali tidak berfikir untuk bertindak jahat, namun tetap saja dia pasti akan waspada.

“Kalau begitu, bagaimana dengan tepi sungai Han? Ku dengar di sana suasananya cocok untuk orang yang mencari ketenangan. Its not too far from here, we can go by just walk.”

“That’s great idea. Should we go now?”

“Yes!” aku berlari meninggalkannya menuju Sungai Han. Aku mendengar suara langkah kakinya yang juga berlari mengejarku. Aku memperlambat lariku dan menoleh ke belakang. Aku tertawa melihatnya yang berjongkok dengan napas terengah-engah karena berlari. Aku mengulurkan tanganku dan ia menyambutnya.

“C’mon, we almost there.”

“You’re too fast!” Ia menatapku marah, namun itu terlihat lucu di mataku.

“I’m sorry, k? C’mon take my hand, I’ll be with you.”

“I don’t ask you to stay.”

“I’m not saying like that.”

“Whatever.” Kami berjalan pelan dalam kesunyian. Aku berharap bisa merasakan saat-saat seperti ini setiap hari dalam hidupku. Kesunyian yang melingkupi kami bukanlah kesunyian yang mencekam, melainkan semakin menenangkan kami. Hatiku merasa begitu damai dan semakin bertambah saat aku menyadari tangan kecilnya berada dalam tanganku. Aku merasa seolah dia adalah milikku. Setiap detik, setiap langkah yang kami lewati, serasa bagai detik terindah yang pernah ku lewati dalam hidupku. Selama ini tidak ada hal yang begitu special yang pernah terjadi dalam hidupku. Namun, malam ini aku merasa adalah malam yang tak akan pernah bisa terlupakan.

Kami duduk di salah satu bangku yang tersedia. Udara dingin semakin menusuk tulang-tulangku, namun itu tak berarti apa-apa bagiku. Selama dia tetap di sampingku, selama itu juga tidak ada hal lain yang bisa menganggu fikiranku. Aku melihatnya memejamkan matanya, menikmati tiupan angin yang menerpa wajah pucatnya. Rambut hitamnya melambai-lambai mengikuti kemana angin berusaha membawanya. Wajah damainya tersenyum. Suara cicitan burung, derik dedaunan yang saling bergesekan, dan daun-daun kecoklatan yang perlahan jatuh ke tanah, bagai latar yang semakin menambah keindahan malam ini. Aku mengambil ponselku, mengabadikan momen ini. Aku takut jika momen ini hanya akan berlangsung sekali saja.

“Seandainya aku masih bisa merasakannya esok malam.”

“Aku akan selalu menyediakan waktuku untuk menemanimu.”

“Aku takut justru akulah yang tak punya waktu.”

Aku menatapnya tidak mengerti. Apa yang dia katakan barusan? Apa dia sebegitu sibuk hingga tak bisa menyediakan waktunya, walau untuk dirinya sendiri?

“Kkamjong, aku harap kau menjaga dirimu baik-baik.”

Aku mengernyitkan alisku, menatapnya bingung. Apa yang dia katakan barusan? Apa aku terlihat tidak baik-baik saja?

“Aku tidak mengerti ucapanmu.”

“Aku harus pergi.” Dia berdiri dan akupun mengikutinya.

“Kau mau kemana?”

“Maaf, Kkamjong, aku harus pergi. Ambillah.” Dia menyodorkanku sebuah amplop biru kecil. Aku benar-benar bingung dibuatnya. Namun, aku tetap mengambil amplop itu.

“Kuharap kita bisa bertemu besok, di sini.”

“Berdoalah pada Tuhan.” Dia tersenyum padaku dan berlari meninggalkanku.

 

Aku tidak menyangka kalau itu adalah pertemuan pertama sekaligus menjadi yang terakhir.

 

Aku tersenyum kecil mengingat peristiwa itu. Tetapi, tetap saja aku tak bisa menyembunyikan kesedihan luar biasa yang aku rasakan tiap saat peristiwa itu melintas tak sengaja di kepalaku. Aku menaruh sebuket bunga mawar putih yang tadi kubeli dalam perjalanan ke sini. Aku yakin dia pasti menyukai bunga ini, walau aku tak sempat bertanya padanya waktu itu. Tak lupa aku juga memejamkan mataku sejenak, berdoa pada Tuhan untuk kebahagiaannya. Saat aku membuka mataku, aku tersenyum menatap tempat peristirahatan terakhir orang yang kucintai. Aku mencium nisannya, dan beranjak pergi. Walaupun sekarang dia sudah tak bersamaku di dunia ini lagi, aku yakin dia tetap menjagaku dari tempatnya berada sekarang.

Walaupun aku hanya sekali bertemu denganmu, namun kurasa sekali saja cukup. Setidaknya aku tahu, hingga akhir hidupmu, kau tetap mencintaiku.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
icha_ne #1
Chapter 1: crita singkat yang mengharukan,,,
12kyungsoowl #2
Chapter 2: TT.TT waeeeeee kyungie ku(?)

stay strong kamjjong uups...
parkHyunIn #3
T.T knp hrs gini sih :( aahhhhhhh kasia sm kai nya :"(
DoStan #4
Chapter 2: Oh my! Ceritanya dalem, tp knpa alurnya cepet bgt. Berasa dburu. Tp mending jg si, sakit bgt soalnya. Knapa kaisoo ff tu mostly angst??
indahdo
#5
Chapter 2: TT.TT
bagi tisunya dong thor, mau mewek nih
ceritanya simple tapi kena banget :3

keren ff nya thor :)