Pulang

Fight for faith

 

“ ... You can burn up our mosques, and our homes, and our schools...

But, our spirit will never die...

We will not go down, in Gaza tonight! “

( We will not go down—Michael Heart)

~}{~

Last Chapter;

Cuap-cuap sikit, boleh tak?

Terima kasih Tuhan YME—Allah SWT—yang sudah memberikan nikmat yang begitu luar biasa dalam menyelesaikan ff ini.

Terima kasih pada pihak Author Goldensnow dan para crew juga para Juri, sehingga otak kecil—payah—milik saya menginvasi seluruh emosi sehingga menggerakan jemari-jemari mungil di tangan saya untuk menulis ff seperti ini.

Terima kasih buat semua media pemberitaan yang sudah memberi informasi dalam menyelesaikan fanfiksi amatiran seperti ini.

Terima kasih, untuk para stalkers, readers, comentators, reviewers, subcribers, voters, and many more. Thank you very much! *LOVES-bbuing-bbuing*

Terima kasih Bunda, terima kasih banyak atas bimbingan serta kasih sayangmu.

Terima kasih Minu, yang sudah ngedoktrin otak saya dengan kata-kata mutiara untuk Palestina.

Aku tahu banget, pasti ada juga yang gak suka baca ff yang berisi konten sensitif seperti ini, tapi, bukankah aku sudah pernah bilang di awal chapter ‘jika tidak berkenan, tidak apa jika tak ditengok’ yang berarti ‘kalau gak suka, ya gak usah dibaca pun gak apa’

 Yang mau aku sampaikan di sini itu, bukan persoalan agama atau isu sara—yang emang sangat sensitif untuk diangkat menjadi tema— tapi aku lebih mengangkat tema, Family—kekeluargaan—, bromance, dan humanity—kemanusiaan—,karena menyadari, berapa banyak remaja seperti kita yang terampas tempat tinggalnya hingga cita-citanya (agak emosi pas sekolah milik PBB juga ikut di bombardir)

Maaf jika wacana dalam ff ini—mungkin—pernah menyakiti pihak mana pun, aku gak bermaksud menyinggung ras atau pun agama mana pun. Saya minta maaf. Apa yang aku lihat, baca, yakini, dan dengar itulah yang saya tulis.

Aku tahu ff ini masih sangat jauh dari kata bagus, tapi aku harap pesan yang tersirat di dalamnya bisa tersampaikan dengan baik—walaupun aku kurang yakin sih, pesan yang tersirat benar-benar tersurat dengan baik atau tidak—aku harus menyelesaikan ff ini kurang dari tiga hari sebenarnya, rada ngebut ya? Aku gampang kehilangan mood dalam penulisannya. Ini semua berdasarkan sudut pandang dari Minho, sebuah ending dadakan yang gak begitu manis, tapi kuharap banyak yang suka.

Semua kejadian di dalam ff ini murni adalah bualan yang saya ciptakan, tidak ada maksud untuk menjelekan atau pun menghakimi pihak tertentu. Saya hanya menulis sesuai dengan yang otak saya perintahkan, jika ada kejadian yang sama persis atau pun hampir menyerupai itu murni ketidak sengajaan—kebetulan—semata.

I don’t take any profit from this fanfiction.

...

Untuk ribuan nyawa anak-anak Gaza,

Untuk para pejuang Hamas,

Untuk kemerdekaan yang mereka teriakan,

Untuk jutaan harapan yang terpenggal oleh pedang Zionis,

 

~}{~

.

 

Rumah sakit As Syifa, Gaza.

Pemuda itu berulang kali merutuk menyalahkan dirinya atas insiden yang terjadi pada Zitao. Di sekelilingnya, berhamburan penduduk sipil Gaza yang saling memapah satu sama lain. Kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak yang segera di ungsikan ke Rumah Sakit Syifa di sudut kota Gaza. Sementara kaum lelaki yang masih bisa bertahan dengan luka ringan masih terus berjuang mengevakuasi warga yang terkena imbas roket Zionis yang jatuh setiap menit.

Raungan ambulan bersahutan dengan gema frase-frase Ketuhanan yang terus menerus warga teriakan, kepanikan para penyelamat operasional tercetak jelas saat jerit kesakitan terdengar segera setelah pintu ambulan terbuka. Para anggota medis mulai berlarian menyambut para korban dengan tandu-tandu bernoda darah. Pemandangan itu menghentakan dirinya yang kalut akan rasa bersalah atas obsesinya.

Ia menatap nanar sebuah ruangan yang terbuka tak jauh dari tempatnya berdiam. Wajah letih yang terbaring di sana masih terlihat damai dalam terpejam meski luka yang dialaminya sangat serius. Mengapa ia bisa lupa dengan janji itu, janji yang pernah menjadi acuan dirinya untuk tetap hidup dan kembali dengan selamat ke tanah air setelah misi selesai.

‘Berjanjilah satu hal, hyung—‘

‘Kau harus kembali dengan keadaan utuh dan tak kurang satu hal apapun! Karena kalau tidak—

—aku berjanji akan menyusulmu ke sana, lalu menarik paksa tubuhmu untuk pulang, meskipun kau sudah menjadi mayat!’

‘Ingatlah! Ini janji seorang prajurit!’

Naif. Hal itulah yang pertama terpikirkan olehnya ketika akhirnya janji itu benar-benar telah terlaksanakan. Ia tak mau kehilangan lebih banyak lagi. Ia tak mau kehilangan lagi kali ini. Ia tak akan kehilangan adiknya itu.

Tak akan.

Pelipisnya berdenyut nyeri. Berapa lama ia tinggalkan rumah, berapa musim yang sudah terlewati, bahkan ia pun melupakan hari kematian ayah kandungnya sendiri karena tak sanggup untuk kembali. Terlalu banyak penderitaan di sini yang harus ia lihat. Tangan kokohnya sudah tak menggenggam senjata lagi. Sorban—kain panjang penutup muka—nya sudah dilepas paksa saat ia membawa tubuh ringkih Zitao ke dalam ambulan.

“Dia—benar-benar ke sini... dia benar-benar ingin menyeretku pulang...” Gumam pemuda itu seraya menenggelamkan wajahnya dalam kedua telapak tangan yang gemetar. Meredam tangis, yang entah sejak kapan ia tahan.


“Lepaskan! Dia hanya anak kecil!” Tubuh pemuda Korea itu melayang dengan ringan ke arah seorang prajurit yang hendak memukul seorang gadis kecil. Pemuda itu mencengkram tangan sang prajurit, namun berhasil dihardik kasar oleh prajurit tersebut.

“Siapa kau?! Kau tak ada hak untuk menghentikan kami!” Seru prajurit itu dengan bahasa Inggris yang payah. Ia kembali ingin melayangkan pukulan kepada tubuh mungil yang masih beringsut di tanah dengan terisak.

“Aku pers! Aku pers!! Lepakan dia!” teriak pemuda Korea seraya menunjukan kartu tanda pers internasional miliknya ke muka prajurit laknat itu.

Prajurit itu hanya menggeram marah, matanya nyalang tak bersahabat memandang pemuda Korea itu. Dari kejauhan pemuda Korea itu bisa mendengar sayup-sayup suara rekannya meneriaki namanya.

‘—Choi?! Repoter Choi!!’

Pemuda Korea itu menoleh ke arah para kawanan relawan media yang bersembunyi di balik reruntuhan ketika truk-truk milik Israel  mulai berdatangan, juga sekelompok orang bertopeng mengelilinginya.

‘Ah?! Mungkinkah mereka... Hamas?!’

Gema frase-frase Ketuhanan yang sering ia dengar dari media kini dengan lantang bergaung di telinganya. Pemuda itu sempat termangu memandang situasi yang teramat genting seperti ini sebelum akhirnya ada tangan mungil yang memeluk kakinya.

Pemuda Korea itu tak ingin membuang waktu. Ia segera mendekap tubuh gadis kecil itu lalu membantunya untuk berdiri. Kain di kepala gadis itu sedikit tertarik oleh prajurit yang geram. Tapi pemuda Korea itu segera menampiknya, membawa gadis kecil itu pada dekapannya.

Ia tak tahu bagaimana melukiskan keadaan yang ada di sekelilingnya. Rentetean desingan peluru serta debubam roket  bersinggungan dengan teriakan Takbir. Yang reporter muda itu tahu, ia harus segera bersembunyi, mencari tempat perlindungan bagi dirinya juga gadis kecil ini, mengingat dirinya kini tidak bersenjata.

Tak ada—tak ada reruntuhan maupun celah untuk mereka bersembunyi. Gadis kecil pada dekapannya bergetar, wajahnya basah akibat keringat dan airmata yang bercampur, bibirnya tak henti melantunkan frase lainnya yang membuat reporter muda itu hingga hafal di luar kepala.

“Hold on!” bisik reporter muda itu kepada sang gadis kecil, suaranya sedikit bergetar karena menyaksikan sesuatu yang sangat ramai dibicarakan oleh rakyat sedunia. Sekarang ia berada di tengah kericuhan perang. Ia berbalik mencari celah untuk melarikan diri. Seorang tentara mengacungkan senjatanya ke hadapan pemuda Korea itu, namun detik kemudian tentara itu tumbang dengan pelipis yang berlubang.

Seseorang telah menembaknya, tepat di hadapan pemuda Korea dan juga sang bocah. Peluh bercampur debu serta serpihan mesiu, tubuh pemuda itu menengang, bergetar lebih hebat menatap genangan darah di kakinya.

‘as—taghfirullah!! Astaghfirullah!’

Lagi. Bibir mungil itu kembali melantunkan kalimat seperti itu sambil terisak di dekapan pemuda Korea.

“Kau takut?” tanyanya pada sang gadis kecil. Sang gadis hanya memandang pilu kepadanya. Jejak-jejak airmata telah menjadi noda ketika debu-debu menempel di pipinya yang merah. Pemuda Korea itu tahu, gadis kecil ini pasti tidak mengerti bahasa yang ia gunakan. Sebagai gantinya ia hanya mengusap kepala yang beralas kain itu sambil mendekapnya lebih erat.

Karena berkonsentrasi menggendong bocah di dadanya, ia tersentak ketika melihat sosok tentara yang hendak membidik dirinya juga sang bocah. Dengan sigap ia membalikan badan menjadikan bahunya sebagai tameng dari tembakan tersebut.

DARR!

“AARGH!! SSSHH...” Dadanya kembang kempis menahan peluru aktif yang bersarang di bahu belakangnya. Rasanya panas, perih dan ngilu. Pelukan pada sang bocah sedikit melonggar, namun, tak menyurutkan semangat sang pemuda untuk melindunginya.

“Help! Help! O—Allah! Salimna—Oh Tuhan! Selamatkan kami—!” bocah pada pelukan pemuda Korea itu meraba lubang yang mengalirkan darah pada punggung sang pemuda. Ia kembali terisak menggumamkan kalimat-kalimat yang sama. Kalimat demi kalimat itu bagaikan sebuah mantra bagi sang pemuda. Ia bertahan menghindari serangan demi serangan, hingga manik coklatnya menangkap siluet bertopeng yang melambaikan tangannya untuk segera masuh ke sebuah rumah tak jauh dari kericuhan.

Dengan sisa-sisa tenaga ia mencapai rumah itu. Nyeri di pundaknya semakin terasa terkoyak ketika sesuatu yang tumpul menghamtam tepat di luka tembaknya. Gadis kecil dalam dekapannya histeris, tubuhnya merosot ke bawah seiring dengan erangan pilu dari sang pemuda yang kini bersimbah penuh darah. Tentara yang baru saja memukulnya menggunakan senapan laras panjang itu kembali mengacungkan senjatanya lagi, membidik tepat di tengkorak kepalanya ketika sang pemuda mengerang tak berdaya di tanah.

DAARR!

Dan lagi. Militan Hamas kembali menyelamatkan nyawanya. Tentara itu terkapar di sebelahnya, dengan kepala berlubang. Ia ingin segera bangkit, namun, tubuhnya limbung, seluruh  syarafnya hampir hilang rasa. Ia sempat menatap bocah yang sejak tadi ia dekap sekarang berada di gendongan seorang yang menggunakan topeng pada wajahnya sebelum kesadarannya mengambang. Sedangkan, tubuhnya di papah oleh dua orang yang berkostum sama.

Cahaya perlahan meredup. Ia tak sadarkan diri sampai pada akhirnya ia membuka mata, sepasang manik hijau kebiruan menatapnya cemas. Pemuda Korea berusaha menggerakan organ tubuhnya, seluruh tubuhnya nyeri, terlebih pada bahu belakangnya. Ia dibantu duduk oleh seorang lelaki tambun berjanggut yang kemudian mengucapkan terima kasih untuknya.

“Kau sungguh berani, ‘nak. Melindungi anakku sehingga ia selamat dari tangan-tangan bejad Zionis. Terima kasih banyak! Terima kasih!”

Pemuda Korea itu tersenyum lemah, “Itu sudah menjadi tugasku. Aku hanya tak bisa membiarkan itu terjadi di depan mataku.”

Lelaki tambun di hadapannya hendak menitikkan airmata, ia berujar kembali menggunakan bahasa Inggris yang fasih. Lelaki tua tambun itu terlihat sangat berpendidikan.

“Subhanallah, Masya Allah!—Maha Suci Tuhan, Sungguh Tuhan telah menghendaki itu!—kami pun tidak tahu namamu, dan dari mana kau berasal, ‘nak. Tapi kau telah menyelamatkan salah satu dari kami dengan taruhan nyawamu. Semoga kau selalu dilindungi Tuhan!”

Pemuda Korea itu mengangguk lemah, seraya mengaminkan perkataan sang lelaki tua, setelahnya ada seorang lelaki bertopeng membawa tas punggung milik pemuda Korea lalu menyerahkan kembali ke pangkuan pemuda Korea tersebut.

“Namamu Minho Choi, warga negara Korea Selatan, seorang reporter televisi nasional. Meski hanya seorang kuli tinta, tapi kau sungguh berani.” Lelaki bertopeng itu melepas kain sorban yang melilit wajahnya, menampilkan wajah rupawan khas Timur Tengah.

“Namaku Amar Alfawwaz. Aku Kapten Batalion Hamas. Aku sangat berterima kasih padamu karena telah menyelamatkan nyawa adikku. Kau pantas mendapatkan sebuah penghargaan, teman. Tapi di tengah perang ini kami belum mampu memberimu apa-apa.” Amar tersenyum rahasia, ia memebentangkan tangan keseluruh ruangan. “Kami masih terjajah.”

“Terima kasih, teman. Tapi aku tidak butuh apapun. Aku sudah sangat senang, salah satu impianku kini sedang aku jalani.” Minho tersenyum, tangan kirinya menggapai bahu Amar. Perasaan haru bercampur bangga menyelimuti hatinya. Akhirnya, ia bisa mengambil andil dalam pembebasan Palestina, meski sangat sedikit.

“Apa impianmu wahai pemuda pemberani?” Kini lelaki tambun lainnya angkat bicara, suaranya teredam oleh kain yang melilit wajahnya. Di tangannya ada sebuah senapan panjang yang disandarkan di bahunya

“Palestina. Tanah ini, adalah impianku.” Amar yang ada di hadapan Mino dapat melihat kobaran api semangat membakar mata coklat milik reporter muda itu ketika mulai bercerita. “Aku memang tidak tahu awal mula sejarah tentang pertempuran antara kalian. Aku pernah mempelajarinya, tapi tetap saja aku tidak mengerti karena seperti yang kalian tahu—keyakinanku dengan kalian berbeda. Tapi aku berpikir—“Minho menatap iris sewarna zamrud milik gadis cilik  yang ada di belakang Amar. Gadis cilik itu  mengerling dengan polosnya ia pasti tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang di sekelilingnya, membuat Minho tersenyum kecil.

“—tidak ada yang salah dengan perbedaan, bukan? Bahkan, dinding perbedaan itu semakin membuat hatiku bergetar, ketika pertama kali menyaksikan pemberitaan tentang negara kalian di internet. Sejak saat itu, aku punya keyakinan, bahwa misi kemanusiaan bukan menyinggung agama apa yang kita anut. Tapi sampai mana kita mampu meraba, apakah masih ada telinga yang mau mendengar, mata yang mau melihat dan hati yang mau mengasihi kepada sesama; tanpa memandang warna kulit serta keyakinan.

Dan aku percaya pada kata hatiku.”

Tanpa sadar Amar menitikan air mata, pemuda Palestina itu menggenggam erat tangan Minho yang berada di bahunya. “Subhanallah—Maha Suci Tuhan—aku hanya sekedar percaya pada mukjizat yang Tuhan berikan, tapi kini aku berhadapan sendiri dengan mukjizat itu. Kau sungguh berhati mulia, teman.”

“Aku tidak semulia itu Amer—ah! Maksudku Amar. Maaf.”Minho terkikik canggung, merasa malu salah melafalkan nama pemuda di hadapannya.

“Kau pemuda  yang istimewa Mim—ah! Namamu, bagaimana mengejanya? Aku sedikit kesulitan.” Kini berganti, Amar yang tersenyum canggung.

“Min Ho. Sebut saja begitu; Min Ho.”

“Bolehkah kami memberikanmu nama lain, semacam julukan mungkin. Mengingat besarnya keberanian, impian serta tekadmu.”

Minho merasa terhormat, matanya kini berbinar dan hatinya menghangat. Yang ada dalam benak dan hatinya, ia tak ingin beranjak dari sini. Ia ingin di sini.

Minho mengangguk, Amar segera menoleh ke arah adik kecilnya, ia berbicara dengan bahasa Arab yang Minho tidak mengerti sama sekali. Ia dapat melihat cahaya di dalam dua keping zamrud itu ketika gadis kecil itu menatapnya, senyuman di bibir mungilnya melebar. Zamrud itu lalu menoleh ke arah Amar, menatapnya penuh kepastian sebelum kembali menoleh membidik manik coklat milik Minho. Kemudian mengucapkan sebuah kata, yang tak lain adalah simbol kekuatan dalam dirinya.

“Akbar—“


.

“Akbar?”

Pemuda itu mengangkat kepalanya yang tertunduk, menatap dua buah manik sewarna zambrud yang kini berada di hadapannya. Seorang gadis kecil yang selalu berada di sampingnya sejak ia dirawat dulu oleh para relawan Hamas. Seorang gadis kecil yang pernah dilindungi oleh segenap jiwanya.

“Fatimah? Sedang apa di sini?” pemuda Akbar itu merubah air mukanya. Ia tak ingin terlihat kacau di depan Fatimah. Tapi di mata gadis kecil itu, akting Minho sangat buruk, Fatimah bahkan tahu saat ini Minho sedang gelisah.

Gadis itu tersenyum manis lalu mendudukan dirinya di samping Minho. Fatimah Alfawwaz, adik dari Amar, anak petinggi Hamas yang ternyata masih berusia empat belas tahun. Minho ikut tersenyum melihatnya, ia masih ingat betul betapa mungilnya gadis ini saat pertama kali bertemu. Tapi kini gadis itu telah beranjak remaja, tubuh mungilnya telah tumbuh lebih berisi, wajahnya kemerahannya semakin berseri setiap harinya, kain yang membingkai kepalanya semakin ia rapatkan. Fatimah sudah tak bersekolah lagi, tapi ia belajar semakin giat agar kemampuan berbahasanya semakin bagus, ia juga mempelajari tentang pengobatan dan sudah sebulan ini Fatimah telah menjadi relawan di Rumah Sakit Syifa.

“Aku ingin bertemu adik dari kak Akbar.” Ujar Fatimah polos, ia tersenyum tipis memandang wajah gelisah Minho. Minho menggeleng lemah, ia tak bisa mempertemukan Fatimah dengan Zitao, “Tapi, Fa—“

Sejak menyaksikan sendiri penembakan terhadap Minho, Fatima mengalami fobia berat terhadap tentara berseragam. Minho khawatir, jika Fatimah kembali ketakutan jika melihat Zitao yang notabennya masih seorang tentara sekutu.

“Aku tahu kak, tenanglah.” Dua keping zamrud milik Fatimah menatap tubuh tak berdaya Zitao yang berada di ruang rawat di hadapannya. Ia menghela napas pelan, “Aku tahu, dia adalah tentara sekutu IDF.”

“Tapi dia telah menyelamatkan nyawa seorang anak kecil.” Zambrud itu menatap hangat manik coklat Minho, “Tindakan mereka sangat mulia, kak. Mengingatkan aku dengan kejadian waktu itu. Jika tak ada dirimu, aku mungkin—“

“Fa, Tuhanmu lah yang telah menyelamatkanmu. Bukan aku.”

Fatimah beranjak dari duduknya, senyum di wajahnya masih lekat terpatri. “Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah menuntunmu untuk menjejakan kaki di tanah kami. Meskipun satu banding sejuta, tapi aku yakin masih akan ada lagi orang-orang sepertimu yang akan membantu kami. Dan salah satunya adalah adikmu juga temannya.”

Meski Minho ingin sekali memeluk gadis yang ada di hadapannya ini, tapi ia urungkan. Setelah tinggal cukup lama bersama penduduk Gaza, Minho belajar tentang batasan-batasan antara lelaki dan perempuan yang tak terikat oleh hubungan darah atau pernikahan. Minho mendongak menatap kilauan zambrud Fatimah yang tak pernah redup.

Cantik.

“Terima kasih Akbar. Atas besarnya tekadmu, atas besarnya impianmu, juga atas besarnya hatimu. Kau lebih dari sekedar pahlawan bagi kami. Berbulan-bulan kau ikut mengangkat senjata demi untuk melindungi kami. Terima kasih, Oppa—abang—“

Hati Minho bergetar mendengar Fatimah memanggilnya dengan sebutan Oppa dengan logat Arab yang masih kental. Sedikit terdengar asing memang, tapi Minho tetap bangga dengan gadis ini. Minho belum pernah sekali pun mengajari Fatimah berbahasa Korea, dia hanya pernah  mengajari beberapa bahasa Inggris yang ringan saja. Fatimah hanya terkekeh geli melihat wajah terkejut Minho.

Fatimah terhenyak dengan raungan ambulan yang semakin mendekat, ia segera mohon pamit pada Minho untuk kembali  membantu tim medis. Tapi sebelum ia beranjak, ia menoleh sekali lagi pada Minho.

Oppa—apa kau tak ingin pulang?” Minho tersentak mendengarnya, mulutnya membuka menutup seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun tercekat di tenggorokannya. “Jujur saja, saat ini adikmu membutuhkan alat medis yang lebih canggih untuk mengobati benturan pada kepalanya. Mungkin sulit untuk mencari jalan kembali, tapi kak, jika kau ingin kembali ke tanah airmu, maka kembalilah, aku yakin kak Amar pasti akan membantumu. Mungkin... tugasmu telah selesai di sini. Seperti yang aku katakan, aku percaya pasti ada Akbar-Akbar lainnya yang akan datang membantu kami.”

 “Fa—“

“Ah—aku harus kembali membantu, sepertinya korban semakin banyak. Aku tinggal tak apa ya, kak?”

Minho mengangguk, seraya melambaikan tangannya pada gadis itu. Fatimah berlari kecil menyambut kedatangan ambulan. Gadis itu tumbuh begitu cepat, semangat yang ia pupuk sejak kecil tak pernah kandas. Meskipun Fatimah tumbuh tanpa seorang ibu, itu tidak menjadikan sifat kewanitaannya hilang. Fatimah adalah sosok gadis kecil yang lembut serta pemikir yang cerdas. Ia tidak bertindak menggunakan emosi saja, namun, juga perhitungan yang tepat. Tumbuh di tengah-tengah kericuhan di atas Tanah Terjanji—Gaza—membangun pribadi yang sangat istimewa pada diri Fatimah.

Minho kembali tertunduk lesu, ucapan Fatimah kembali berputar di benaknya.

 ‘Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah menuntunmu untuk menjejakan kaki di tanah kami. Meskipun satu banding sejuta, tapi aku yakin masih akan ada lagi orang-orang sepertimu yang akan membantu kami’

Minho terbayang sosok Zitao. Ia bahkan tak pernah berpikir sedikit pun jika Zitao akan benar-benar menyusulnya dan malah bersekutu dengan IDF. “Zitao... dia—“

‘Tapi dia telah menyelamatkan nyawa seorang anak kecil’

“Dia melunasi janjinya dengan ceroboh—dasar Xiao Maomao! Dia benar-benar ingin menyeretku kembali.“

‘—apa kau tak ingin pulang?’

“Pulang... apa aku masih bisa untuk pulang? Apa hatiku sanggup meninggalkan Gaza?” Minho bermonolog pada dirinya sendiri. Rasa bimbang merasuki nuraninya.

—saat ini adikmu membutuhkan alat medis yang lebih canggih untuk mengobati benturan pada kepalanya.’

“Bagaimana caranya keluar dari labirin ini.” Minho sekali lagi menatap Zitao yang terbaring lemah. Gaza layaknya sebuah labirin yang hampir tak ditemukan jalan keluarnya. Pun jika ada, maka jalan itu akan terkunci, dan Israel telah membuang kuncinya.

Jalur keluar masuk Gaza dikontrol ketat oleh Israel. Bahkan dalam beberapa tahun, Zionis hanya mengizinkan sangat sedikit warga Gaza untuk memasuki wilayahnya. Israel berdalih menjaga keamanan wilayahnya dari pelaku bom bunuh diri dan militan lainnya dari Gaza. Pembatasan selama bertahun-tahun itu telah merugikan warga Palestina baik dalam bidang pekerjaan, pendidikan dan perjalanan.

Setidaknya ada enam pintu yang menghubungkan Gaza dengan dunia luar. Ia menerawang kembali peta wilayah perbatasan Gaza, di bagian Selatan berbatasan dengan Mesir—ada Rafah dan Karem Shalom—,tiga di perbatasan Timur, dan satu di utara;yang semuanya perbatasan Gaza dengan Israel. Jelas sekali dia harus menggunakan jalur di bagian Selatan, tapi apakah masih mungkin?

 ‘aku yakin kak Amar pasti akan membantumu.’

Minho merasakan dadanya menghangat hanya karena mengingat bagaimana air muka Fatimah remaja yang sedang berbicara padanya. Gadis itu kini semakin cerdas dengan pemikirannya. Kini Minho beranjak menuju sebuah tempat dimana ia akan menjumpai sahabat seperjuangannya, Amar.


.

“Perlintasan di Rafah sudah tertutup, aku akan mencari jalan keluar lain. Sebenarnya tidak akan sulit jika itu hanya dirimu yang akan pergi karena passport dan kartu tanda persmu masih berlaku hingga sekarang, tapi—dua orang itu...”Amar tampak menerawang ia memandangi lemari kecil di sebelah nakanya mencari sejumlah arsip tentang perbatasan wilayah Gaza.

Mesir juga sangat membatasi kemampuan warga Gaza untuk melakukan perjalanan ke wilayahnya. Tahun lalu, Mesir membuka perbatasan selama 17 hari saja. Dan selama pertempuran antara Israel dan militan Hamas yang mengontrol Gaza baru-baru ini, hanya mereka yang memiliki paspor Mesir atau asing atau mendapat izin khusus yang diperbolehkan untuk keluar Gaza.

“Apa masih tidak mungkin, saudaraku Amar?” Minho memang sudah mempertimbangkan hal ini. Tidak mudah membawa dua orang prajurit sekutu yang kini statusnya sedang dipertanyakan.

“Tidak—tidak! Semuanya pasti mungkin, hanya butuh sedikit strategi. Bagaimana jika jalur laut—mungkin agak berbahaya jika ada yang mengenali salah satu di antara mereka... ” Cetus pemuda Palestina itu. Amar meraih sebuah gulungan, menimangnya sebelum menjatuhkannya di atas nakas lalu membukanya.

Bentangan garis-garis memanjang membelit satu sama lain, menciptakan gambar-gambar abstrak sebuah sketsa yang menyerupai lorong-lorong yang saling bersinggungan.

“Apa ini?—oh! Jangan bilang kalau...” Minho menatap pemuda Palestina di hadapannya dengan mimik yang tak bisa ditebak, mengundang senyuman tipis di wajah sang pemuda Palestina.

“Proyek ini baru setengahnya, kita akan menambah beberapa jalur lagi. Sejauh ini sudah hampir lima sampai sepuluh kilometer yang sudah digunakan untuk mendistribusikan makanan, serta obat-obatan. Dan ini sangat efektif! Aku pikir kau harus mencobanya.” Ujar Amar penuh semangat. Ia menelusuri satu jalur yang saling berhubungan dengan jari telunjuknya, mata Minho mengikuti arah yang Amar tunjukkan.

Minho mengernyit menangkap sebuah garis yang menunjukan jalan buntu. Ia mendongak menatap dua keping zamrud yang serupa dengan milik Fatimah. “Apa bisa sampai pelabuhan terdekat?”

“Bisa saja tapi—setelah pemblokadean sebuah kapal dengan bendera Turki yang membawa para relawan dan bantuan ke Gaza di perairan Mediterania, aku rasa sedikit sulit. Tunggu—“ Amar memalingkan wajahnya untuk menatap wajah Minho. ”—Apa kau akan ke Turki?”

Minho mengangguk kecil, “Aku akan ke bandara yang ada di sana, aku akan pastikan pesawat milik Angkatan Udara China akan menjemput kami di sana.”

Amar terhenyak mendengarnya, matanya melebar seakan apa yang baru saja diucapkan Minho adalah sesuatu yang tidak mungkin. ”Pesawat Angkatan Udara China? Bagaimana bisa?”

“Pamanku seorang Jendral Besar di China, beliau ayah dari Zitao. Korea memang tidak menjalakan hubungan luar negeri dengan Turki, tapi China—negara itu memiliki hubungan diplomasi dengan Turki, kami bisa mendapat pertolongan dari sana.”

“Tak salah lagi, darah beranimu turun temurun dari pamanmu.” Amar menepuk bangga bahu Minho, keduanya terkekeh bersamaan.

“Bukan—bukan hanya dari pamanku, tapi juga dari ayahku. Ayahku juga seorang Mayor Jendral, tapi beliau sudah gugur saat bentrok dengan Angkatan Laut Korea Utara.” Minho berusaha terlihat tegar, namun raut sedih masih terpendar dari sorot matanya.

“Maafkan aku kawan.”

“Sungguh tidak apa, Komandan!” Minho tersenyum jahil ke arah Amar, seraya memukul bahunya pelan.

Amar kembali terkekeh mendengar guyonan Minho.

“Jadi kita akan bergerak dari mana?” Mata Minho kini kembali berbinar menatap sketsa terowongan bawah tanah para militan Hamas.

“Bagaimana jika kita tunggu hingga adikmu sadar dulu, Akbar.”

“Tapi Amar—bolehkah aku minta sesuatu padamu?”

“Apa itu?”

Minho tampak menimbang kembali pertanyaannya, ia menghela napas pelan. “Bolehkah—“


.

Korban kembali berjatuhan, kini bukan hanya rumah penduduk yang menjadi sasaran roket-roket Zionis, tapi juga sebuah sekolah yang di bangun oleh PBB. Anak-anak kembali menjadi korban, tak sedikit yang mengalami luka parah pada fisik maupun mental.

Minho sangat ingin ikut bergerak bersama dengan penduduk lain, ikut mengevakuasi atau pun ikut berjuang angkat senjata mempertahankan hak para penduduk sipil. Namun, Amar melarangnya. Menurut Amar, Minho harus fokus mengawasi perkembangan kesehatan Zitao. Sudah seminggu ini, zitao belum sadarkan diri, sedangkan keadaan di Gaza semakin runyam.

Minho sedikit beruntung, teman Zitao yang ia kenal bernama Sehun telah membaik dan kini juga ikut bersamanya di Rumah Sakit Syifa untuk menemani Zitao. Sehun telah bertekad untuk menanggalkan seragamnya, dan ikut membantu Minho mencari jalan keluar untuk kembali pulang.

Setelah Minho meyakinkan Amar serta kawanan militan lainnya, Sehun kini boleh mendengarkan rencana pembangunan terowongan bawah tanah milik Hamas. Minho mengutarakan bahwa Sehun adalah tentara yang cerdas dalam membangun taktik perang melalui udara, Sehun bahkan dapat membaca radar udara untuk mendeteksi roket serta rudal-rudal pesawat tanpa awak. Sehun pun juga ikut andil dalam melakukan serangan udara ke salah satu kota di Israel.

Terkadang Sehun kembali ke Rumah Sakit, bermain bersama Afaf yang juga masih di rawat. Sehun baru tahu, jika Afaf sudah tidak mempunyai orang tua. Kedua orang tuanya tewas sesaat setelah terkena serangan roket. Hati Sehun sekali lagi bagaikan teriris mengingat luka tembak pada bahu Afaf yang akan meninggalkan bekas, terutama pada mentalnya, bagaimana bisa seorang bocah berumur tujuh tahun tinggal seorang diri di tengah perang seperti ini, Sehun tidak bisa membiarkannya hidup sendiri.

Sehun menggendong Afaf yang sibuk berceloteh menghafal nama buah dari bahasa Inggris. Jika ditanya dari mana Afaf belajar, maka Sehunlah yang telah menjadi gurunya.

“Afaf, do you wanna go with me and live in my hometown?”

Afaf mengerling, butuh waktu cukup lama agar ia memahami perkataan Sehun. “Tuan mau pulang? Bawa Afaf pulang juga.” Sahutnya khas dengan logat Arab. Sehun mengangguk pasti. Bibir mungil itu terkatup rapat.

“Ada apa Afaf? Kau tidak mau ikut?” Afaf masih terdiam sesekali menatap sendu wajah Sehun.

“Afaf tidak ingin tinggalkan Gaza. Gaza sedang sedih, Afaf ingin buat Gaza tidak sedih lagi. Afaf akan jadi tentara yang membawa pistol panjang dan usir semua orang jahat dari Gaza, mister.

Kini Sehun yang dibuat terdiam mendengar celotehan bocah laki-laki itu. Sehun tersenyum tipis, lalu mengusap surai hitam milik Afaf. Bagaimana bisa anak sekecil ini, mempunyai pemikiran mulia seperti itu. Jujur saja, Sehun memang sangat bangga dengan bocah ini, tapi satu hal telah membebaninya. “Lalu Afaf akan tinggal di mana, dan dengan siapa?”

“Di sini Afaf akan tinggal bersama banyak orang. Ada paman Amar, ada paman Ahmed, bibi Farhah, ada juga kak Fatimah. Semuanya sayang Afaf. Tuan jangan khawatir, Afaf akan makan yang banyak supaya cepat besar agar bisa usir orang jahat. Afaf kan anak kuat.”

Mata Sehun memanas mendengarnya, hatinya menjadi hangat karena ucapan Afaf. Ia segera mendekap Afaf ketika sebutir bening lolos dari kelopak matanya. Afaf yang tak mengerti hanya bisa memeluk balik Sehun sampai akhirnya Sehun melepas pelukannya. Ia mengacungkan jari kelingking.

Would you promise me? Afaf harus janji akan jadi tumbuh menjadi pria yang berani dan kuat.”

Afaf tersenyum lebar, dengan semangat ia menyambut kelingking Sehun dengan jari kelingking mungil miliknya.

Promise! Janji seorang tentara!”


.

Zitao telah siuman, dan kini masih di tengah perawatan Fatimah juga Farhah, seorang perawat di Rumah Sakit Syifa. Luka jahitan pada dahinya telah mengering, namun, pendarahan pada luar tengkorak kepalanya masih sangat mengkhawatirkan.

Afaf juga lebih sering menjumpai Zitao di kamar rawatnya. Bocah itu sering berceloteh riang menghibur Zitao.

“Afaf mirip kau sewaktu kecil ya.”

Suara itu...

Hyung—Minho-hyung?”

Pintu ruang rawatnya terbuka. Mata sipit Zitao terbelalak menatap sesosok pemuda yang sudah sangat ia kenal memasuki kamarnya. Hanya saja, kulitnya terlihat lebih gelap, dan ototnya semakin liat membalut setiap inchi tubuhnya. Dan juga pemuda itu memakai pakaian layaknya penduduk sipil di Gaza. Pemuda itu tersenyum lebar menatap keterkejutan Zitao.

“Xiao Huang—“

Hyung!”

Zitao tidak bisa lagi menahan tangisnya, Minho segera menghampirinya lalu mendekap Zitao yang masih terduduk di ranjangnya. Melihat adegan temu kangen kakak-adik seperti itu, Farhah segera menggendong Afaf dan membawanya keluar kamar diikuti oleh Fatimah, mereka ingin memberikan waktu untuk Zitao juga Minho.

Hyung—Kau masih hidup.. kau hidup! Apa ini mimpi?” Gumam Zitao di tengah tangisnya dalam dekapan Minho.

“Aku di sini, Tao-ya. Aku di sini—tenanglah!” Minho melepaskan pelukannya, ia mengusap jejak airmata di pipi Zitao.

“Hey—apakah seorang prajurit kebanggaan China secengeng ini?” Minho mencubit pipi Zitao hendak menggodanya.

“Diamlah! Aku begini karena kau tahu! Tapi—kau kemana saja hyung?”

“Aku pasti akan menceritakan semuanya, tapi tidak sekarang. Pertama-tama aku harus membawa kalian kembali pulang.”

“Pulang?” Zitao mengernyitkan dahinya, “Tapi bagaimana caranya? Para tentara IDF pasti akan mencari tahu tentang kami. Dan pihak dari sekutu juga pasti melacak keberadaan kami.”

Minho tersenyum tipis mendengar kegusaran Zitao, “Tenanglah—aku dan sahabatku Amar, telah memikirkan hal itu. Kau tidak boleh berpikir terlalu keras, cukup istirahat yang banyak agar cepat pulih.”

Zitao hanya mengangguk kecil mendengarnya, Minho berdeham sekali, “Aku juga akan membawa seseorang pulang bersama kita.”

Zitao menoleh dengan cepat menatap Minho, “Eh—siapa?”

Minho meringis, menahan senyum canggung dari bibirnya. “Seseorang.”


.

Amar sangat ingin mengantar kepergian sahabatnya, Akbar. Tapi tugas telah menanti di depan mata, Zionis kembali membombardir sebuah Rumah Sakit dan juga sejumlah rumah ibadah. Mendengar jumlah korban yang semakin meningkat, para militan Hamas mulai geram dan membangun serangan balasan.

‘Saudaraku, aku titipkan satu-satunya hartaku di dunia. Aku yakin kau pasti akan menjaganya layaknya kau melindungi Tanah Terjanji ini. Jika, suatu saat kita masih bisa bertemu lagi, ingatlah hari ini. Ingatlah hari-hari kemarin. Ingatlah, Tanah Palestina telah berhutang kemerdekaan kepadamu.’

Pesan terakhir Amar terus terngiang di telinganya. Minho pun sempat ragu untuk melanjutkan perjalanan menggunakan kendaraan para pengungsi. Sebuah truk yang kebanyakan berisi anak-anak dan wanita. Truk ini akan segera membawa mereka ke perbatasan menuju ke pelabuhan.

Setelah menempuh berjam-jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di lokasi pelabuhan. Puluhan prajurit IDF mengamankan satu persatu dari mereka. Zitao menahan geram ketika melihat salah seorang wanita diperlakukan layaknya seorang tahanan oleh petugas pelayanan pelabuhan, namun, Sehun dapat menahan emosi Zitao.

Tiba saatnya Minho bersama tiga orang lainnya mengurus keberangkatannya. Petugas pelayanan agaknya tidak terlalu peduli dengan arsip yang disodorkan oleh Minho. Petugas itu justru menyuruh Minho mengisi formulir baru dan melakukan interogasi yang lebih mendetail. Tiga orang yang bersamanya hanya diam saja, mereka sudah tahu apa rencananya untuk mengelabui para petugas imigrasi di pelabuhan. Setelah mengisi semua formulir, Minho menyerahkannya, lalu petugas itu mendelik menatap ke arah Minho.

“Apa urusan kalian di Palestina?” pertanyaan ketus keluar dari bibirnya.

Pers—media. Mereka adalah crew kami yang selamat, seluruh izin serta passport mereka hangus terkena imbas ledakan bom darat. Tapi kartu tanda pers kami masih ada, silahkan diperiksa.” Zitao baru mendengar sang kakak sepupu bersikap sedingin ini. Dalam pandangan Zitao, mata Minho menyiratkan kebencian yang amat dalam, separuh jiwanya telah tertinggal di Gaza. Apa Zitao tega menyeretnya untuk kembali? Zitao kembali gelisah.

“Lalu—siapa wanita ini? Ia bukan seperti orang Asia. Apa kau telah mendapatkan gadis Gaza untuk dijadikan istri?” mata petugas imigrasi itu menatap lapar pada gadis yang dibawa oleh Minho, belum lagi Minho membuka mulut hendak menjawab, petugas itu kembali melontarkan ucapan yang tajam.

“Kau seharusnya tak mengencani gadis dari sana, bung. Mereka sudah kotor. Sekotor bangsanya.”

Sehun memejamkan matanya menahan emosi, sedangkan tangan pucatnya mencengkram bahu Zitao agar ia tidak meledak di tempat seperti ini. Sedangkan Minho, jangan diragukan lagi. Rahangnya mengeras, ia katupkan mulutnya rapat-rapat menahan amarah yang kini sudah mencapai batasnya.

“Dia Fatimah—dia bukan gadis dari Gaza.” Bohong Sehun, ia tak akan menunggu Minho untuk menjawab pertanyaan petugas imigrasi. Karena ia tahu Miho akan meledak hebat jika Fatimah telah dilecehkan dengan kata-kata seperti itu. “Dia gadis dari Pakistan, dia pembaca berita kami.”

Minho telah meminta Fatimah untuk ikut ke Korea untuk melanjutkan sekolah. Amar mengizinkannya, tentu dengan banyak pertimbangan. Melihat dari sisi keselamatan adiknya, akhirnya ia melepas Fatimah untuk melanjutkan hidup yang lebih baik. Awalnya Fatimah menolak, ia ingin tetap di Gaza. Tapi, dengan dalih meraih cita-citanya untuk menjadi dokter, Amar berhasil membujuknya. Fatimah pun setuju untuk pergi, tapi ia berjanji, suatu saat jika ia sudah berhasil menjadi dokter, ia akan kembali ke Tanah Terjanji itu untuk membantu para korban.

Interogasi berjalan dengan sengit, semua pertanyaan dijawab oleh Sehun, karena saat ini hanya dia lah yang dapat mengontrol emosi.

“Kalian awak media, tapi, di mana peralatan kalian?”

“Hancur karena rudal.”

“Rute mana yang kalian pilih?”

“Turki. Antalya.”

Jawaban singkat dari mulut Sehun mengakhiri sesi interogasi menyebalkan itu. Lagi-lagi, mereka diperlakukan layaknya tahanan. Tubuh mereka didorong-dorong untuk memasuki sebuah ruangan kecil di dalam kapal yang bermuatan besar. Tubuh mereka berhimpitan satu sama lain. Fatimah digiring ke sebuah ruangan khusus untuk para wanita. Awalnya Minho cemas, tapi gadis cerdas itu bisa meyakinkannya, semua akan baik-baik saja.

Sirine tanda keberangkatan nyaring terdengar. Apa ini senja terakhir di Gaza? Apa ini artinya ia benar-benar harus meninggalkan tanah yang telah menjadi impiannya? Minho kembali mengingat Amar dan para militan Hamas lain yang kini sedang bertahan serta memperjuangkan kemerdekaannya. Zitao dan Sehun membeku di sisinya, entah apa yang ada dibenak kedua prajurit itu, satu sisi hatinya lega karena ia akan segera membawa Zitao kembali untuk menjalani pengobatan.

Hyung.”Suara Zitao terdengar lemah, Minho segera melempar pandangan ke arah Zitao menatapnya khawatir.

“Ada apa? Kau merasa pusing?”

“Tidak. Hanya saja—“

“Kenapa?”

Jeda sejenak, Zitao tampak terpejam sambil menghembuskan nafas lelas. Ia pernah menyaksikan ketakutan, kepanikan, kesedihan, kesengsaraan, serta keputusasaan. Namun semua keadaan itu lenyap tergantikan oleh semangat membara para penduduk Gaza. Gumaman frase Ketuhanan yang pernah Afaf teriakan kembali bergema di telinganya.

“Ada apa Zitao, katakanlah jangan buat aku khawatir.” Minho mencengkram lengan Zitao.

Zitao membuka matanya, ia menatap Minho meminta kepastian akan hatinya, “Hyung—ajarkan aku bagaimana bunyinya Takbir yang sering diteriakan oleh mereka.”

Minho memandang Zitao takjub, ia meraih bahu Zitao mencari kebenaran dalam manik kelamnya. “Tentu saja. Ikuti caraku berucap, mungkin sedikit aneh karena logat Korea ku.”

Zitao mengangguk, ia menyamankan duduknya, sementara Sehun kini sudah terlelap.

Allah—“ Minho memulai , bibirnya bergetar ketika mendiktekannya.

Zitao membuka mulut, ada getaran halus dalam hatinya. “Allah.”

“—Hu.”

“Allahu.”

“Ak—bar“

“Akbar—“

“Gabungkan seluruhnya. Artinya, Tuhan Yang Maha Besar.”

Bibir curve milik Zitao bergetar mengucapkannya, sebuah kalimat yang layaknya mejadi mantra penyemangat penduduk Gaza, “Allahu—Akbar. Allahu Akbar.”

“Allahu Akbar...”

Setetes air hangat membasahi pipi Minho, ketika merasakan kapal yang ditumpanginya mulai bergerak. Terlalu banyak kenangan yang ditorehkan oleh Tanah Terjanji itu di dalam relung batinnya. Terlalu besar pula tekadnya untuk membebaskan Palestina.

Kini janji tinggalah janji, namun, Minho yakin suatu saat Palestina akan merdeka.

‘Ma’assalamah, yaa akhinalmahbuub Amar, ila liqo’!—Keselamatan menyertaimu, wahai saudaraku yang terkasih Amar, sampai berjumpa lagi!’

FIN.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Pandananaa
Last chapter;Thank you very much guys! for all your support!!!

Comments

You must be logged in to comment
blublue #1
Chapter 4: Gak tau ini mau ngomong apa sbenernya. Tersentuh banget..
Perjuangan rakyat gaza,pertolongan minho,tao,sehun yg benar2 atas dasar kemanusiaan.. AWESOME!
Always pray for Gaza :)
amelloo13
#2
Chapter 4: woowwww...bagus banget endingnyaaa aku suka banget^^
bikin kelanjutannya dong. gimana kehidupan fatimah selnjutnya di korea dan tambahin karakter anggota exo disana. hehehe please authornim pleaseeeeee huhuhuuuuu
MissKey693
#3
Chapter 1: Belum end ya kan ? aku tungguin deh kelanjutannya.. ^_^

Aku prihatin banget sama keadaan orang-orang di Gaza TT_TT semoga mereka semua baik-baik aja, sedih rasanya karna cuman bisa bantu lewat doa :'(

lanjut ya !! semangat !!

*pst.. semoga menang kontesnya ! ;)
amelloo13
#4
bagus dan menarik banget ceritanya,padahal baru 1 chapter tapi udah bikin nagih dan penasaran.
sangat beda dari yang lain
being different is good tho ^^
keep up ur good work!
-AFFIndonesia-