Chapter 2

Blind

“Jiyong! Jiyong!” aku berteriak tidak karuan. Tubuhku terjatuh dari ranjang yang cukup tinggi. Dengan tergesa aku berjalan sambil meraba-raba dinding sampai menemukan pintu kamar. Kubuka kenopnya, dan kembali berjalan tergesa. Badanku menabrak banyak benda, beberapa jatuh dan menimbulkan kegaduhan. Aku takut. Bukan takut karena tidak bersama Jiyong, namun takut karena aku belum hafal kondisi rumah ini. Kudengar suara langkah menghampiriku.

Waeyo?” ternyata yang menghampiriku Jiyong. Dia menggenggam tanganku. Terasa basah.

“Kamu kemana saja?! Kenapa tidak bangunkan aku?! Kamu kan tahu aku tidak bisa melihat!” dengan ketus aku membentak Jiyong. Membentak suamiku.

“Maaf. Tidurmu nyenyak sekali, aku jadi tidak tega. Ayo sarapan bersamaku. Aku sudah buatkan makanan enak.” dengan lembut Jiyong menuntunku. Membuatkan sarapan? Aku bahkan tidak diizinkan appa untuk memegang pisau.

“Ayo duduk.” terdengar suara kursi digeser. Dengan pelan aku duduk di kursi yang disiapkan Jiyong. Aroma panggangan tercium dimana-mana.

“Kamu memasak apa?” aku bertanya bertepatan dengan Jiyong meletakkan piring di depanku. Suara dentingan piring dan kayu terdengar sangat jelas. Terasa Jiyong duduk di sampingku.

Apple French toast. Kudengar kamu suka apel.”

“Kenapa kamu bisa tahu?”

“Seorang suami harus tahu kesukaan istrinya. Buka mulutmu.”

Dengan enggan kubuka mulutku. Sebuah potongan hangat dan lengket memasuki mulutku. Kucoba untuk mengunyah. Ya, apel. Sebuah rasa yang dapat melupakan rasa sedih karena terkekang. Menyegarkan meski sesaat.

“Sebenarnya aku belum tahu banyak tentang dirimu. Kita saling dijodohkan. Betul, kan?” Jiyong memecah kesunyian saat aku masih mengunyah. Kuanggukkan kepalaku.

“Jadi, bisa kau ceritakan bagaimana dirimu? Siapa dirimu? Dan apa yang harus kulakukan?”

Kutelan sisa roti yang masih ada di mulutku, lalu berdeham.

“Namaku Park Sandara, maksudku, Kwon Sandara. Aku anak tunggal di keluargaku. Seperti yang kamu tahu, aku buta. Aku dimanja oleh keluargaku karena kekuranganku ini. Aku cacat."

"Kamu tidak cacat." Jiyong menjawab sembari mengunyah. Bicaranya tidak begitu jelas, namun itu jelas-jelas membuatku kaget.

"Kenapa kamu bisa berkata begitu? Kamu itu orang asing. Kamu tidak tahu apa-apa." 

"Kamu sempurna, maksudku, karena kau buta jadi kau cacat seutuhnya? Penglihatan tidak harus selalu dari mata."

"Lebih baik kau ceritakan saja siapa dirimu."

"Baiklah. Namaku Kwon Jiyong, as well, suamimu. Aku anak bungsu. Ibu dan ayah sebenarnya sangat ingin memanjakanku, namun aku menolak. Pikirkan saja apa jadinya kalau anak lelaki terlalu dimanjakan? Oleh karena itu aku selalu menentang keinginan mereka, kecuali satu. Dijodohkan denganmu."

"Berandalan tanggung." aku memotong kalimat Jiyong. "Harusnya kamu juga menentang perjodohan kalau kamu memang tidak mau dimanja."

"Aku workaholic. Tidak bergaul dengan banyak wanita."

"Oh, gila kerja, ya."

"Hari ini kita jalan-jalan keluar, ya?"

***

Sesuatu yang panas namun tak berwujud menimpa wajahku. Pipiku langsung terasa hangat. Semakin hangat dan menjalar ke seluruh tubuhku.

"Apa ini?" aku meraba-raba seluruh wajahku.

"Itu cahaya. Cahaya matahari. Nyaman, kan?" aku mengangguk mengiyakan. Aroma rerumputan tercium dimana-mana. Hingar-bingar mengusik pendengaranku.

"Kita dimana?" aku terus melangkah mengikuti derap langkah Jiyong yang tersamar oleh kebisingan.

"Di taman. Ibuku bilang, kamu tidak bebas pergi kemana-mana. Mungkin kamu sudah sering pergi ke taman, namun hari ini kita akan kencan. Ini baru pemberhentian pertama. Kita akan makan es krim enak dan pergi ke petshop."

Spontan, aku bertepuk tangan. Aku sering mendengar kata 'kencan', namun belum pernah sekalipun melakukannya. Terdengarnya sangat menyenangkan.

"Ya sudah, kita ke petshop sekarang saja!" aku menarik-narik lengan Jiyong. Jiyong terkekeh.

"Sebetulnya aku sudah belikan peliharaan untukmu. Untuk menemanimu kalau aku sibuk kerja. Buka tanganmu." kuturuti perintah Jiyong. Hewan peliharaan? Tiba-tiba sebuah benda berbulu halus ada di pangkuanku. Aku kaget, dan mencoba melepaskannya. Namun Jiyong menahan tanganku.

"Jangan dilepas. Usap bulunya."

Kuusap benda itu perlahan. Terasa sesuatu mengibas-ngibas di perutku, lalu benda itu mengeong.

"Kucing!" kuusap kucing itu terus-menerus dan memeluknya. Kucing itu mendengkur pelan.

"Siapa namanya?"

"Dadoong!" aku menjawab pertanyaan Jiyong secara langsung. "Aku Daroongie, kamu Jiyongie, dia Dadoongie!" Jiyong langsung terbahak mendengar perkataanku.

"Kamu lucu sekali. Sudah kubilang kamu sempurna."

 

 

 

To be continued....

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Rizukayuki
#1
Chapter 3: So sweet deh jiyong♥♥
Sekuel dong author-nim kalau sempat, berhubung dara udh ga buta lg :D
farahfitri #2
Chapter 3: untung aja bukan jiyong yg donorin kalo enggak kan bakal radanyesek endingnya hehe
dillatiffa
#3
Chapter 3: Omong2 itu hadiahnya, bukan kornea mata jiyong kan?? cuman operasi aja kaan?? >.<
manis.. :v
gadisayu #4
Chapter 3: Bagussss thor.. mantabbbbb...
tapi agak kecewa soalnya chapter 3 nya sedikitt, perpanjangg dong thorr.. hihihihi ;p
tapi smua nya bagusssss..
lanjutttt thorrr..
farahfitri #5
Chapter 2: Bagus thorrr. Penasaran gimana kelanjutan rumah tangga mereka hehehe. Please jgn bikin sad ending yaaa
Gzb123 #6
Chapter 1: Aaaaaahhhh bahasa yeyeye ><