T(w)oday-s #4 [LAST]

T(w)oday-s

Mereka masuk lebih jauh ke dalam pabrik. Disanalah dia melihat pemuda itu, Kim Suho atau yang baru beberapa jam yang lalu dia kenal sebagai Kim Joon Myeon. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya dengan lebam biru yang mulai terlihat di wajahnya.

“apa yang kau lakukan padanya?” jerit Jimin pada mereka tanpa melepaskan pandangannya dari Suho.

Dia melihat pemuda itu berlahan mengangkat wajahnya dan melihat lurus kearahnya. Jimin melihat Suho mulai mengenalinya dan bergerak berusaha melepaskan tangan dan kakinya yang terikat dikursi saat melihat Jimin di pegang oleh dua orang suruhan Byeong Su.

“lepaskan dia!” Suho berteriak dengan suaranya yang paling keras sambil terus mencoba melepaskan tali yang mengikatnya. “lepaskan dia!”

Byeong Su tertawa terbahak-bahak dan kali ini orang-orangnya ikut tertawa bersamanya. “lepaskan dia? kau tidak tau kalau karena dia aku membiarkanmu hidup selama sepuluh tahun ini dan karena dia juga aku akan membuatmu menyusul orang tuamu. Kenalkan, Shin Jimin, cucu perempuanku.”

“aku mohon, aku mohon jangan sakiti dia. Aku mohon.” Jimin kehilangan tenaga di kakinya dan menangis memohon pada Byeong Su untuk tidak menyakiti Suho saat Byeong Su menyuruh orangnya untuk kembali memukul pemuda itu. “aku mohon!! Park Byeong Su, Hentikan!!”

Melihat mereka tidak juga berhenti memukul Suho, Jimin menginjak keras kaki kedua laki-laki yang menahannya dan berlari menuju Suho tapi Byeong Su lebih cepat dan gesit darinya. Laki-laki itu menarik tangannya dan memukul wajahnya dengan keras hingga membuatnya terjerembab ke tanah.  Menahan rasa sakit dan juga amarahnya, Jimin mengepalkan tangannya hingga memutih.

“kau mencari bukti itu, kan?” tanpa menoleh pada Byeong Su, Jimin mengungkit soal bukti yang tidak dia ketahui. “bukti itu tidak ada padanya.”

Byeong Su menarik rambut Jimin dan memaksanya berdiri, “apa yang kau ketahui?”

“bagaimanapun kau memaksanya untuk mengingat dimana orang tuanya menyimpan bukti itu, kau tidak akan pernah mendapatkannya.” Jimin berbicara dengan nada sinis sambil menahan rasa sakitnya, “karena dia tidak pernah menjadi saksi. Kau membunuh Kim Joon Myeon bersama orang tuanya hari itu dan kau memberikan hidup yang baru untuk Kim Suho.”

“jangan bicara bertele-tele! Cepat katakan apa yang kau ketahui tentang bukti-bukti itu?!” bentak Byeong Su.

Jimin tertawa sinis kearah pria tersebut dengan tatapan kebencian dari matanya, “Park Byeong Su, kau sudah kalah jauh sebelum Kim Hun Joon mengumpulkan bukti-bukti kejahatanmu. Kau…” dia mencoba menepis tangan yang mencengkram rambutnya dengan sangat kuat. “kau sudah kalau sejak istrimu memilih bunuh diri daripada bertahan denganmu. Kau sudah kalah sejak putri tunggalmu lebih memilih menjadi anak dari orang tua ibunya dibanding mengakuimu sebagai ayahnya dan kau sudah kalah sejak kau hidup dalam ketakutan karena anak yang kau biarkan hidup itu akan mendapatkan ingatannya sewaktu-waktu.”

“dasar gadis bodoh!!” Jimin kembali terjatuh ke tanah dengan keras saat Byeong Su menamparnya dengan kuat.

“kau kira aku akan dengan mengatakan itu aku akan percaya begitu saja denganmu dan membiarkan anak itu hidup?” Byeong Su merampas senjata yang dipegang oleh anak buahnya dan mengarahkannya pada Jimin. “kau kira sejak kau masuk ke sekolah itu aku tidak memperhatikan gerak-gerikmu. Aku melihatmu, Jimin sayang. Kakekmu ini sangat menjagamu. Aku bahkan melihat kalau anak bodoh itu mengikutimu kemanapun kamu pergi dan mencoba dekat denganmu.”

Byeong Su tertawa terbahak-bahak sementara tidak ada hal yang lucu yang bisa di tertawakannya, “kau suka pada anak itu? sayang? Cinta?”

“Ji…Jimin-ah.” Dia mendengar suara Suho yang terdengar serak. “Ji…min.”

Tidak hanya Jimin yang memperhatikan Suho tapi Byeong Su tersenyum sinis seperti baru saja mendapatkan ide bagus untuk dilakukannya. Dia kembali menarik rambut Jimin lalu berjalan mendekati Suho. Beberapa langkah di depannya dia memerintahkan anak buahnya untuk melepaskan ikatan Suho dan memaksanya untuk berdiri. Sementara Jimin kembali di hempaskan ke tanah.

“kau suka pada cucuku bukan?” tanyanya pada Suho. “sekarang kau tahu, gadis bodoh yang kau sukai itu adalah cucu dari pembunuh kedua orang tuamu. Kau masih menyukainya?”

Mata Jimin tidak melepaskan senjata yang ada di tangan Byeong Su. Satu hal yang sejak kecil dia takutkan adalah berhadapan dengan benda yang berbentuk senjata dan kali ini dia berhadapan langsung dengan senjata asli itu sendiri. Melihat kondisi Suho membuatnya sadar kalau dia sudah melakukan kesalahan besar dengan berniat untuk melindungi ayahnya dari kekejaman kakeknya. Tapi kedua laki-laki itu sama sekali tidak ada bedanya. Mereka hidup hanya untuk menyakiti dia, ibunya dan kakaknya. Changmin berhasil membuat mereka lepas dari Young Kyeong. Sekarang giliran dia untuk melepaskan mereka dari Park Byeong Su.

“jika kau tidak tahu dimana bukti itu maka teruslah seperti itu.” kata Byeong Su. “karena sekarang aku akan mengantarkanmu menyusul orang tuamu.”

Jimin menatap ngeri saat Byeong Su mengarahkan senjatanya lurus kearah Suho yang terkulai lemah. Dia berdebat dalam kepalanya, membunuh atau dibunuh. Membiarkan Suho mati sama artinya dia yang membunuh pemuda itu. Sementara satu-satunya cara menolongnya adalah membiarkan dirinya sendiri terbunuh. Oppa, cepat tolong aku…

Sejak kecil dia selalu berada dalam rumah. Belajar dirumah, bermain dirumah. Dia juga tidak pernah punya teman. Satu-satunya teman yang dia miliki adalah kakaknya, Shin Changmin. Lalu saat takdir membawanya bertemu dengan ‘teman’ pertamanya dia tidak punya pilihan lain untuk menghargainya tanpa suara.

***

“Jimin-ah…Park Jimin! Jimin! Bangun, buka matamu! Park Jimin aku bilang buka matamu!!”  meski dia menjerit dengan suaranya yang paling keras gadis itu masih belum membuka matanya.

Waktu benar-benar seperti sedang mempermainkan pikirannya ketika dia mendengar bunyi tembakan yang menggema di pabrik itu bersamaan dengan Jimin yang berlari tepat di hadapannya. Entah kenapa saat itu matanya memilih untuk bisa melihat dengan jelas dan otaknya berpikir jernih hanya seketika sebelum gadis itu terjatuh tepat di hadapannya dengan darah yang mengalir deras dari sisi tubuhnya. Kemudian pertolongan datang.  Byeong Su yang masih terpaku setelah menembakkan peluru pada cucunya dengan tangannya sendiri tanpa perlawanan di tangkap oleh para polisi.

“Jimin, tidak-tidak jangan biarkan matamu tertutup.” Dia memohon pada Jimin yang mulai kehilangan kesadarannya.

Lalu laki-laki yang dia lihat malam saat dia mengikuti Jimin sampai ke dekat rumahnya berlutut di samping Jimin dan terlihat sangat panik memegang wajah Jimin.

“Jimin-ah, dongsaeng buka matamu.” Suho mendengar laki-laki itu juga memohon agar Jimin membuka matanya yang berlahan terpejam. Saat nafasnya mulai melemah kedua laki-laki itu semakin panik dan berteriak meminta bantuan sesegera mungkin.

Aku tidak mungkin kehilanganmu sekarang, tidak saat aku baru mengatakan kalau aku menyukaimu hari ini. Suho terus berharap dalam hati tanpa sadar pandangannya mulai terlihat kabur dan kemudian gelap seketika.

 Dia berada dalam mobil itu bersama kedua orang tuanya. Setelah orang tua dan kakeknya pergi kesuatu tempat, Suho bertukar tempat dengan kakeknya. Benar, orang ketiga yang menjadi saksi tempat dimana bukti itu disembunyikan oleh ayah dan ibunya bukan dia. Karena dia tidak pernah berada disana, dia tidak pernah pergi kesana. Kakeknya, Kim Hun Myeon yang melihat semuanya. Satu-satunya orang yang mengetahui dimana bukti itu tersimpan dan Suho yang mengetahui kuncinya. Kunci yang dihadiahi oleh ayahnya saat ulang tahunnya yang ke sembilan hanya sehari sebelum kecelakaan itu.

“Suho…Suho, bangun nak.” Hun Myeon memegang erat tangan cucu kesayangannya sejak dokter menempatkannya di ruang perawatan. “Suho… ini sudah waktunya kamu bangun buddy.”

Pikirannya terasa sangat tenang. Dia merasa seperti sedang berdiri di tengah padang rumput di kaki gunung. Dari tempatnya berdiri dia melihat pasangan melambaikan tangan kearahnya dari kejauhan. Dia bisa langsung mengenali siapa pasangan tersebut, ayah dan ibunya. Mereka memanggilnya untuk mendekat. Dan dengan senang hati dia berjalan menuju orang tuanya lalu dia mendengar suara kakeknya yang terdengar sedang menangis. Suho…Suho, bangun nak. Suho…ini sudah waktunya kamu bangun, buddy. Suho tersenyum mengingat kenangannya saat harus tidur bersama kakeknya selama setahun karena mimpi buruk yang selalu menghantuinya. Sejak saat itu kakeknya selalu memanggilnya dengan sebutan buddy.

Suho kembali melihat kearah orang tuanya. Dan kali ini dia tidak hanya melihat dua orang disana, tapi tiga. Dia menajamkan penglihatannya dan melihat siapa satu sosok lagi yang berdiri disamping ibunya. Jimin? Shin Jimin. Senyumnya semakin lebar saat yakin kalau orang itu adalah Jimin. Gadis itu tersenyum kearahnya dan kemudian melambaikan tangan padanya. Dia kembali melangkah menuju orang-orang yang dia sayangi namun suara kakeknya kembali membuatnya berhenti dan melihat keatas langit yang cerah.

“apapun yang terjadi, kamu harus tetap bertahan. Kamu harus tetap bertahan. Kamu sudah berjanji pada kakek tidak akan meninggalkan kakek sendiri… bangun Suho, kakek mohon padamu, bangun nak.”

Kali ini suara kakeknya mulai membuatnya bertanya-tanya, ada dimana dia? apa yang sedang dia lakukan disini? sejenak dia tidak tahu apa dan kenapa dia berada disana lalu dia menangkap sosok kakeknya berdiri di arah yang berlawanan dari Jimin dan orang tuanya. Dia melihat kakeknya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar kearahnya. Kenangan lain muncul dalam pikirannya saat kakeknya selalu melakukan hal yang sama dan dia akan berlari kedalam pelukan kakeknya yang akan memeluknya dengan erat dan meyakinkannya bahwa dia tidak akan pernah sendiri apapun yang terjadi. Berada di tengah-tengah orang-orang yang di cintainya Suho melihat kearah Jimin dan orang tuanya yang masih berdiri melambaikan tangan kearahnya lalu dia melihat kearah kakeknya yang masih merentangkan tangan menunggunnya. Kemudian dengan langkah pasti dia berlari…

Berlahan Suho membuka matanya. Dia meringis kesakitan saat mengangkat kelopak matanya. Kemudian dia menyentuh pelipisnya dan merasakan perban yang ada di keningnya. Beberapa saat dia menatap langit-langit diatasnya kemudina kejadian yang dialaminya sebelumnya menghantam ingatannya. Dia duduk tegak seketika dan kembali meringis saat merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit.

“Suho…” Hun Myeon yang duduk disampingnya dan menggenggam tangannya langsung menahan tubuhnya yang hampir terjatuh kesamping. “terima kasih Tuhan, akhirnya kamu bangun. Terima kasih, nak.”

Suho masih belum sepenuhnya mengerti dengan apa yang terjadi padanya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali saat kakeknya memeluknya dengan sangat erat sebelum melepaskannya dan menatapnya.

“apa yang terjadi?” baru bertanya seperti itu tiba-tiba dia mengingat sosok gadis yang  berdiri disamping orang tuanya. “Jimin? Shin Jimin, bagaimana dia? apa yang terjadi padanya? Dia baik-baik saja, kan? Kakek, beritahu aku bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja, kan? Dia juga ada di rumah sakit ini, kan?”

“Tenang, Suho. Tenang. Dia baik-baik saja.” tapi bukan itu yang dilihatnya dari mata kakeknya.

Air mata lalu menetes dari matanya bersamaan saat dia mulai mengerti mimpinya. Jimin berdiri disamping orang tuanya sementara kakeknya berdiri sendiri di arah yang berlawanan.

“apa dia…” Suho tidak bisa melanjutkan ucapannya dan hanya bisa pasrah saat Hun Myeon kembali menarik tubuhnya kedalam pelukannya. “dia berusaha menyelamatkanku. Dia berusaha menyelamatkanku, Kek. Dia berusaha menyelamatkanku!!”

Dia mulai berteriak histeris karena apa yang baru saja dia alami. Berlahan kakeknya mendorong tubuhnya namun masih tetap meletakkan kedua tangannya di pundak Suho.

“kamu tidak berpikir kalau gadis itu meninggal karena menyelamatkanmu, kan?”

Suho tertegun mendengar ucapan kakeknya. Lalu Hun Myeon memukul kepala cucunya dengan wajah kesal. “dasar anak bodoh! Tentu saja dia tidak meninggal. Kau kira kakekmu ini akan membiarkan gadis itu meninggalkanmu begitu saja tanpa mengetahui kalau kau adalah laki-laki paling tampan dan paling baik dari semua laki-laki yang ada di muka bumi ini?”

“Jimin selamat? Dia masih hidup.”

“setidaknya.” Suho yang tadinya ingin tersenyum lega kembali menahan nafas saat kakeknya mengatakan kata ‘setidaknya.’ Apa maksudnya?. “gadis itu kehilangan banyak darah. Dokter berusaha memberikan penanganan yang terbaik untuknya. Meskipun sekarang dia masih dalam keadaan koma tapi dia berada dalam keadaan yang stabil.”

“dia akan baik-baik saja?” tanya Suho. “aku mau melihatnya.”

Suho baru akan bergerak turun dari ranjangnya saat kakeknya kembali menahannya, “tidak sekarang anak muda. Ini masih tengah malam lagi pula ibu dan saudara laki-lakinya berada disana menemaninya. Dan dia jelas tidak mau melihatmu pertama kali saat membuka matanya dengan wajah seperti ini.”

“memang ada apa dengan wajahku.” Suho menyentuh wajahnya sendiri dengan tangannya. “hanya ada perban di kepalaku.”

“kamu mau kakekmu ini memberikan cermin besar untukmu?” kakeknya tertawa jahil. “sebaiknya besok pagi saja. Belum ada tanda-tanda dia akan sadar dalam waktu dekat.”

Sepertinya takdir benar-benar mempermainkan kita, Jimin. Setelah mempertemukan kita…ia lalu ingin mengambilmu kembali dariku…

Suho duduk disamping ranjang tempat Jimin terbaring koma di rumah sakit. Dibandingkan dengan luka yang ada pada tubuhnya kondisi Jimin terlihat lebih parah darinya. Dia memutuskan akan tetap ada disana sampai Jimin sadar. Meskipun harus berhadapan dengan saudara laki-laki Jimin, Changmin yang juga sama keras kepalanya untuk tidak beranjak dari sana meninggalkan dia berdua dengan Jimin.

“mereka masih dibawah umur jadi aku tidak akan membiarkan dia berdua saja dengan adikku.” Kata Jimin saat ibunya menyuruhnya untuk keluar dan istirahat.

Satu hari, dua hari lalu hampir seminggu Jimin masih tertidur pulas dalam mimpinya. Kakeknya benar, belum ada tanda-tanda Jimin akan sadar dalam waktu dekat. Tapi Suho yakin Jimin pasti akan bangun. Dia akan sadar secepatnya. Tidak ada lagi ancaman yang akan menakutinya, Park Byeong Su sudah mendekam dalam penjara dengan banyak kejahatan.

Suho memang bukan saksi yang mengetahui dimana bukti yang dia cari mati-matian itu berada. Kakeknya, Kim Hun Myeon yang mengetahui dimana tempatnya setelah sekian tahun setelah membaca surat yang ditinggalkan Hun Joon di buku lama milik ayahnya yang tidak pernah dibacanya sampai beberapa bulan yang lalu. Setelah menemukan bukti yang tersimpan dengan aman dalam sebuah kotak besi dalam sebuah brankas yang disimpan dalam sebuah bank di luar kota dia masih belum bisa membukanya dan menyerahkannya pada polisi sampai kejadian itu terjadi. Suho menyimpan kuncinya. Dan kunci itu yang mengantarkan Park Byeong Su kedalam tahanan tepat sehari sebelum kasus kecelakaan ayahnya di tutup.

Kemudian hari yang mereka tunggu akhirnya tiba. Pagi itu Suho baru masuk kedalam kamar Jimin dan menyapa Changmin yang duduk di kursi yang terletak disamping ranjang Jimin. Kakeknya dan Ibu Jimin sedang sarapan di kantin rumah sakit. Mereka berdua memperhatikan tanpa ada yang berani menarik nafas saat melihat Jimin menggerakkan jari-jarinya.  Changmin segera memanggil dokter yang langsung masuk bergabung bersama mereka beberapa saat kemudian dan memeriksa keadaan Jimin yang saat itu hanya diam tanpa mengatakan sepatah katapun setelah sadar. Ibu Jimin dan kakek Suho juga sudah berada disana bersama mereka.

“Jimin?” Park Hyeon memanggil nama anaknya dengan hati-hati. “Jimin sayang,” tapi Jimin hanya melihat mereka tanpa ekspresi.

“eom…ma.” Gumamnya. Hanya dengan mendengar suara serak Jimin berhasil membuat Park Hyeon menangis terisak dalam pelukan Changmin sebelum memeluk anak perempuannya.

Suho dan kakeknya memperhatikan pemandangan haru keluarga kecil di depan mereka. Sampai Jimin menyadari keberadaan mereka.

“siapa mereka, eomma?”

Tidak hanya Suho dan kakeknya yang terkejut mendengar pertanyaan Jimin tapi kakak dan ibunya juga sama terkejutnya dengan mereka.

“Jimin, kamu tidak…”

“Jimin-ah.” Changmin dengan cepat memotong ucapan ibunya. “kamu tidak ingat? Kamu mengalami kecelakaan lalu Suho dan kakeknya menolongmu.”

Changmin bicara dengan nada meyakinkan. “kamu ingat apa yang oppa ajarkan padamu saat orang lain menolongmu?”

Jimin mengangguk patuh pada kakaknya lalu melihat kearah Suho dan kakeknya. “terima kasih.” gumamnya.

Suho melihat Jimin yang berbeda dari yang dia kenal. Bukan lagi murid baru yang tidak pernah tersenyum, bukan lagi murid yang akan menghabiskan waktu istirahat dan jam kosongnya dengan membaca buku dikelas dan bukan lagi Jimin yang tidak ingin berteman dengannya. Saat ini dia melihat gadis yang berbeda dari yang dia kenal. Gadis yang tersenyum manis padanya, yang tertawa pada lelucun kakaknya dan mendengarkan dengan seksama setiap orang yang bicara dengannya.

 

Tidak masalah jika takdir mempermainkan kita dengan cara seperti ini, Jimin. Tidak masalah jika takdir menyimpan kenangan buruk itu dari ingatanmu. Mungkin akan lebih baik seperti ini, aku tidak akan membencimu karena kamu adalah cucu dari pembunuh orang tuaku dan kamu tidak akan membenciku karena membuat hidupmu menderita karena masalahku. Kita…lebih baik seperti ini.

 

*END*

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
jungdamy
#1
Chapter 4: This is so great authornim! Boleh aku translate ke english gak? Tapi main cast nya aku ganti. Its okay kalo ga boleh :)
milohunhun #2
Chapter 4: keren. five stars for you ^ ^