T(w)oday-s #2

T(w)oday-s

Jimin berjalan masuk melewati gerbang sekolahnya pagi itu. Di saat murid-murid berjalan bersama teman mereka Jimin hanya bisa menutup rapat-rapat telinganya dengan earphones dan memutar lagi dengan suara keras. Kim Joon Myeon. Nama itu tetap berada dalam kepalanya sejak kemarin malam. Tidak ada informasi lanjut tentang siapa Kim Joon Myeon ini apalagi tentang alasan kenapa Park Byeong Su ingin orang itu dibawa kehadapanny.

“apa dia guru? Murid?” Jimin bertanya-tanya pada dirinya sendiri. “ada banyak orang sekolah sebesar ini bagaimana aku bisa mencarinya kalau aku tidak pernah bicara dengan satu orangpun.”

Dia mengeluh panjang lebar dan akhirnya memukul pelan kepalanya dengan kesal, “Shin Jimin kau memang benar-benar menyedihkan.”

Kemudian dia menyadari sesuatu yang muncul tiba-tiba dikepalanya, Kim Suho. Anak itu pasti bisa membantuku. Pikirnya. “apa anak itu benar-benar bisa membantuku? Mungkin tidak.”

“apa yang bisa membantumu dan mungkin tidak bisa membantumu?”

Jimin mendengar suara seseorang yang bertanya padanya di jeda lagu yang baru saja selesai di putar. Dia menoleh dan melihat Suho tersenyum lebar kearahnya dan mememarkan sederet giginya yang rapi. Awalnya Jimin akan mematikan lagu yang sedang dia dengar namun saat ekspresi wajah Suho yang berjalan disampingnya dia langsung mengurungkan niatnya itu dan terus berjalan menuju kelasnya.

Sebaiknya tidak usah minta bantuan anak ini.

***

Suho sedang sibuk meluruskan kerutan-kerutan di seragamnya dan memastikan rambutnya yang sudah tersisir rapi. Di sebelahnya duduk seorang pria berusia 60an,Kim Hun Myeon. Kakeknya yang seorang direktur sebuah perusahaan besar di Seoul.

“aku sudah terlihat tampan?” tanyanya pada kakeknya.

“tentu saja, cucuku memang pemuda paling tampan yang pernah aku lihat.”

Suho tertawa samar, “itu karena aku cucu kakek jadi aku selalu terlihat tampan.”

“memangnya di sekolahmu tidak ada yang mengatakan kalau kamu adalah pemuda yang paling tampan?”

“hampir semuanya.” jawabnya bangga. “tapi…” wajah Jimin tiba-tiba muncul dalam kepalanya.

“tapi?”

Dia segera menggeleng dengan cepat saat kakeknya menunggu ucapannya selanjutnya. “tidak. Tidak ada.”

Lalu Hun Myeon mengangguk mengerti, dia tersenyum melihat cucu satu-satunya itu. “perempuan? Dia tidak melihatmu sebagai murid laki-laki yang paling tampan?”

Dia mengangguk, “dia bahkan tidak mau bicara denganku.”

“itu artinya ada dua kemungkinan.” Ujar Hun Myeon. “pertama dia adalah gadis yang benar-benar baik dan kedua dia gadis yang benar-benar berbahaya.”

“aku tidak tahu pasti apa dia anak yang baik atau tidak. Tapi aku bisa pastikan dia bukan anak yang berbahaya.”

Hun Myeon mengangguk mengerti mendengar penilaian cucunya tentang gadis yang membuatnya tertarik. Tanpa disadari mereka sampai di depan gerbang sekolah Suho. Sekali lagi dia merapikan rambutnya dan menoleh pada kakeknya dengan senyumnya yang khas.

“aku pergi dulu, kakek.”

“baiklah, fighting!” dia menirukan apa yang dilakukan kakeknya dengan mengangkat satu tangannya yang terkepal dan berkata ‘fighting’ dengan semangat.

Setelah mobil kakeknya menghilang di tikungan dia berjalan masuk melewati gerbang dan melihat sosok murid perempuan yang duduk disampingnya saat berada dalam kelas. Suho setengah berlari menyusul Jimin yang berjalan beberapa langkah di depannya dan sedang berbicara sesuatu.

“dasar aneh, dia benar-benar bicara sendiri?” gumamnya pelan saat mendengar Jimin bicara pada dirinya. Kemudian tertawa geli melihat gadis itu memukul kepalanya sendiri dengan cara yang menggemaskan.

“apa anak itu benar-benar bisa membantuku? Mungkin tidak.” Dia mendengar Jimin mulai mengatakan hal-hal yang membuatnya penasaran.

Lalu dia mempercepat langkahnya dan bertanya, “apa yang bisa membantumu dan mungkin tidak bisa membantumu?”

Dia langsung tersenyum lebar memamerkan sederet giginya yang rapi saat Jimin menoleh kearahnya. Meskipun dia sudah tahu kalau Jimin tidak akan menjawab pertanyaannya tapi tetap saja melihat gadis itu berjalan meninggalkannya membuat perasaannya sedikit terluka.

 

Hari itu masih seperti hari-hari sebelumnya. Mereka belajar seperti biasa, Suho juga masih sering melirik ke arah Jimin seperti biasa dan Jimin juga masih tidak mempedulikannya seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Banyak hal dari Jimin yang membuatnya tertarik sekaligus penasaran. Meskipun begitu Jimin termasuk murid pindahan yang sangat pintar untuk murid-murid di kelasnya. Dia tidak pernah benar-benar terlihat serius memperhatikan apa yang diterangkan guru di depan kelas tapi saat guru menyuruhnya untuk mengerjakan soal ke depan dia bisa menyelesaikan dalam waktu singkat.

Suho memperhatikan Jimin sambil bertopang dagu. Sejak pagi gadis itu terlihat mengerutkan dahi seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Hanya tinggal satu jam sebelum bel pulang berbunyi, Suho melirik kearah Jimin.

“Jimin-ah.” Panggilnya. “Shin Jimin. Shin Jimin. Shin Jimin.” Dia terus memanggil nama Jimin seperti anak kecil sampai gadis itu menoleh kearahnya.

“berhenti memanggil namaku seperti itu.” Jimin mengatakannya dengan nada sinis. “aku tidak suka.”

Suho memamerkan senyumnya seperti biasa. “tapi aku suka padamu. Lagi pula itu karena aku sudah memanggilmu sejak tadi tapi kau sama sekali tidak mau melihat kemari.”

Kemudian hal yang sama sekali tidak diduganya terjadi Jimin menopang dagu melihat kearahnya dengan serius. Suho menghindari tatapan mata Jimin hanya beberapa detik setelah gadis itu melihat kearahnya dan sesekali mencuri pandang kearah Jimin yang masih menatapnya. Dia berdeham karena salah tingkah. Lalu mendengar Jimin tertawa samar.

“oh,” Suho terpana melihat Jimin yang mengalihkan pandangannya setelah itu. “ini pertama kalinya aku melihatmu tertawa.”

Jimin sontak berhenti tertawa dan kembali memasang wajah tanpa ekspresi. “itu karena tidak pernah ada hal yang lucu yang perlu di tertawakan.” Ujarnya.

Suho mengangguk dan tersenyum memandang Jimin, “kau tau, kau terlihat sangat cantik saat tertawa. Sepertinya wajah ceria lebih cocok untukmu.”

Kali ini Jimin yang berdeham karena menyembunyikan rasa malunya. Sementara Suho melakukan apa yang dilakukan Jimin sebelumnya memandangnya sambil bertopang dagu.

 

Setelah melihat Jimin tertawa di kelas, Suho mengikutinya saat mereka pulang sekolah. Meskipun Jimin tidak mengatakan apapun dan hanya berjalan tanpa suara Suho sudah merasa itu adalah kemajuan. Dia tidak pernah melihat Jimin menaiki bus dan hanya berjalan kaki sampai kerumahnya. Sekarang dia mengikuti gadis itu.

“kamu benar-benar suka jalan kaki? Tidak capek?”

“karena aku perlu waktu untuk berpikir.” Jawab Jimin.

Suho mengerutkan kening tidak mengerti apa maksud ucapan Jimin. Berpikir? Memangnya apa yang dia pikirkan? Hutang negara? Keuntungan perusahaan entertainment? Berapa jumlah penggemar idol-idol di Korea?. Saat dia sedang mengajukan banyak pertanyaan di kepalanya Jimin tiba-tiba berhenti.

“ada apa?”

Beberapa saat mereka hanya berdiri seperti itu di tengah jembatan penyebrangan. “Suho.”

Suho tertegun mendengar Jimin menyebutkan namanya untuk pertama kalinya. “ya?”

“kau ingat apa yang aku bilang dihari pertama aku pindah ke sekolahmu?”

Dia mengangguk, “jangan percaya apapun yang aku katakan, jangan ikut campur apapun yang aku lakukan…dan jangan berusaha dekat denganku. Aku ingat dengan baik. Kenapa?”

“apa kalau aku bilang aku menyukaimu kau akan percaya? Kalau aku terlibat masalah apa kau akan membantuku? Kalau kau tau aku bukan dari keluarga baik-baik apa kau akan tetap dekat denganku?”

Tidak menyangka apa yang ditanyakan Jimin, Suho tidak bisa menjawab apa-apa. “aku tidak pernah punya teman dan aku tidak berniat untuk memulainya sekarang. Jadi jangan bersikap seperti ini terus.”

Setelah mengatakan itu, Jimin melangkah pergi meninggalkannya. Suho sendiri tidak berniat menyusul dan hanya memandangnya menjauh dan menghilang di tikungan jalan.

 

***

 

Apapun yang dipikirkan Jimin dia tetap tidak akan menyerah sampai disitu. Hanya karena Jimin mengatakan dia tidak berniat untuk berteman dengannya bukan berarti dia tidak akan berusaha untuk membuat gadis itu berubah pikiran. Seperti biasa, setiap jam istirahat atau saat jam kosong Jimin akan membaca bukunya. Suho yang duduk disebalahnya memperhatikannya dengan kepalanya yang bersandar di atas meja.

“Jimin…Shin Jimin…Shin Jimin. Jimin…Shi…n Jimin.”

Setelah beberapa lama akhirnya Jimin menyerah untuk bersikap tidak peduli dan melihat kearahnya. “apa?”

Suho hanya merengut memasang wajah cemberut seperti anak kecil. “Shin Jimin.”

“berhentilah memanggil namaku seperti itu.” ujarnya. “aku benar-benar tidak suka mendengarnya.” Jimin bicara dengan penekanan di setiap katanya.

“tapi aku suka menyebutnya seperti itu.” bantah Suho. “Shin Jimin. Aku. Suka. Pada. Mu.”

Kali ini Jimin benar-benar menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa dia gambarkan. Dia baru akan bicara lagi saat melihat Jimin tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan berdiri bersamaan saat dia menjawab siapapun yang menghubunginya.

“ini belum sampai seminggu…”hanya itu yang bisa di dengar Suho saat Jimin keluar dari dalam kelas.

Memperhatikannya dengan bingung dan penasaran dengan siapa yang menghubunginya sampai harus kelaur seperti itu. Dan apa maksudnya dengan ‘ini belum sampai seminggu’ memang apanya yang belum sampai seminggu. Sibuk dengan pikirannya yang penasaran tentang Jimin dia merasakan sesuatu bergetar dari dalam saku celananya. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan menjawab panggilan pada ponsel tersebut.

yeoboseyo.”

apa benar ini, Kim Joon Myeon?”

Sesaat Suho tertegun mendengar seseorang menyebut nama kecilnya yang tidak pernah dia dengar lagi sejak kedua orang tuanya meninggal  sepuluh tahun yang lalu dan kakeknya mengganti namanya menjadi Kim Suho.

 

*Next

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
jungdamy
#1
Chapter 4: This is so great authornim! Boleh aku translate ke english gak? Tapi main cast nya aku ganti. Its okay kalo ga boleh :)
milohunhun #2
Chapter 4: keren. five stars for you ^ ^