D [Don't]

Alphabetical Drabble

D | fhayfransiska | Angst, Family | G


Kim Jong In, Kim Joon Myun


D for Don’t


“Sayunya membuat mata Jong In terbuka lebar,
apakah sudah saatnya?”


________


Jong In tidak pernah sungguh-sungguh
menyadari bagaimana muka pucat itu menjadi
semakin pucat seiring waktu berjalan. Tentang
langkah gontai yang terkesan menyeret, punggung
yang tak lagi tegak, juga lengan-lengan
menggantung yang semakin kurus. Jong In tidak
pernah peka soal semua itu. Sebab, senyuman di
wajah rapuh itu tidak pernah luntur.


Dan pemuda ini baru menyadari semuanya setelah
tragedi tersebut terjadi. Kebakaran yang melahap
seperempat dari rumah mereka sebab kakak laki-
lakinya yang lupa mematikan kompor. Sosok
kakaknya itu terbaring lemas agak jauh dari dapur,
beruntunglah ia masih selamat. Dari sinilah Jong In
tahu, penyakit yang tengah diderita kakak satu-
satunya—yang membuatnya pingsan tiba-tiba tanpa
sempat mematikan kompor—,Kim Joon Myun.


“Kau bodoh, Kak.”


Hanya menatap udara yang transparan di
hadapannya, Jong In berujar dengan tak bernada.
Padahal sosok yang ia ajak bicara tengah berbaring
tepat di sampingnya, tapi ia tetap enggan menoleh
sekedar bertatap muka. Ia sendiri tidak tahu
mengapa.


“Aku tahu.”
“Kau berbohong padaku.”
“Memang.”
“Aku membencimu.”
“Aku bisa mengerti.”


Kedua pria itu lantas diam, tidak ada lagi pernyataan
dan sahutan. Larut dalam problema-problema yang
sedang melingkup kuat di otak mereka. Jong In
menghembuskan napas berat seusai mendapati
kakaknya yang kini terpejam, entah pura-pura atau
benar tertidur. Digunakan kesempatan itu untuk
meniti lebih dalam rupa kakaknya, seolah manusia
bekulit porselen itu adalah seonggok emas yang
harus diteliti tingkat karatnya.


Pipinya semakin tirus dan lingkar hitam di matanya
nampak begitu jelas. Sosok itu terlihat letih,
mungkin kelelahan karena menahan sakit yang
serasa menusuk-nusuk setiap sel tubuhnya. Jong In
tidak tahu mengapa tiba-tiba perasaan menyesakkan
membanjiri langit-langit hatinya, juga reka adegan
di masa lampau yang kembali terputar sempurna di
otaknya.


“Kalau kau meninggalkanku, aku tidak akan pernah
memaafkanmu.”


Dugaan Jong In benar, Joon Myun tidak benar-benar
tidur. Sebab setelah Jong In melontarkan sebaris
kalimat seperti di atas, sepasang iris obsidian itu
perlahan membuka dengan begitu lemah, seolah hal
itu benar-benar sulit dilakukan olehnya.
Dan senyum itu lagi-lagi terkulum.


“Kalau begitu, kau tidak akan pernah memaafkanku,
Jong In.”
“Jangan berkata seenaknya, seolah kau tahu
semuanya.” Kali ini Jong In menatap lurus mata
Joon Myun, sedikit garang dan bernada kesal, tanda
tidak setuju.
“Aku bicara soal kenyataan.”
Jong In mendengus, “Aku tidak percaya pada
kenyataan.”
Kalau kenyataan itu menyakitkan, aku menolak
untuk memercayainya.


Kali ini Joon Myun masih mengulum senyum maklum,
Jong In memang benar keras kepala, adik laki-laki
yang paling ia sayangi itu. Kalau sudah punya
prinsip, tidak akan ada seorang pun yang bisa
mematahkannya, begitulah Jong In. Ia memang
terkesan kaku, tapi bagi Joon Myun, hati Jong In
jauh lebih baik daripada hati orang-orang di luar
sana. Jauh. Orang-orang hanya tidak tahu, itu saja.


“Aku sudah capek, Jong In. Aku tidak kuat lagi.”


Suara parau itu menggelitik gendang telinga Jong
In, dan pemuda ini tidak suka mendengarnya. Serasa
begitu pasrah dan menyedihkan, ia sungguh benci
nada suara seperti itu. “Menyerah berarti
menyedihkan, Kak. Bertahan adalah yang terbaik.”
Lalu terdengar napas berat dihembuskan pelan.


“Aku jadi ingat masa kecil kita dulu. Kau yang masih
begitu bergantung padaku, selalu menangis dan
mengadu padaku. Kau benar-benar anak kecil yang
polos.” Jong In tidak tahu mengapa tiba-tiba Joon
Myun berkata demikian, mengingat-ingat soal
kenangan di masa lalu dan mengabaikan apa yang
baru saja ia katakan.


“Itu karena papa dan mama tidak pernah pulang
lagi.” Jong In mendengus, “Oleh karena itu aku
bergantung padamu.”


Dan pria yang lebih tua itu tersenyum sedih, “Jadi
kau begitu karena aku adalah satu-satunya pilihan?”


Kedua bola mata hitam milik Jong In membulat,
sedikit sangsi dengan pertanyaan si kakak, “Tidak.”
sergahnya cepat. “Tidak begitu.” Tentu saja tidak.


Joon Myun terkekeh lemah, tahu benar sikap gengsi
yang dimiliki adik laki-lakinya. Jadi ia hanya bisa
memaklumi dan selalu memaklumi. Joon Myun tiba-
tiba terbatuk keras, membuat pria itu langsung
memposisikan tubuhnya duduk, dibantu dengan Jong
In yang semakin melihatnya dengan sorot khawatir.


Batuk Joon Myun sulit berhenti sehingga Jong In
segera berinisiatif mengambilkan segelas air putih.
Dan setelahnya, batuk itu mereda. Namun belum
sanggup menghilangkan gema-gema mengerikan di
telinga Jong In. Entah sejak kapan, suara batuk
kakaknya menjadi bentuk intimidasi sendiri bagi Jong
In. Membuatnya takut.


Punggung Joon Myun bersandar dan bahunya melorot
lemas, napasnya pelan-pelan mulai kembali teratur.
Dapat Jong In lihat titik yang berkilauan di sudut
mata kakaknya, masih bertahan di sana agar tidak
jatuh, tidak ingin jatuh lebih tepatnya.


Tapi … kenapa senyum itu masih saja terkembang di
sana?


“Aku ingin bertahan, kok. Tapi tubuhku menolak.”


Jong In mengangkat wajahnya cepat. Detiknya
serasa berhenti ketika tatapan sayu itu tertangkap
iris hitamnya, sayu yang berkaca-kaca dan menolak
dengan tegas untuk diterka apa yang tersembunyi
ada di dalamnya. Hanya kesedihan yang dalam dan
sebuah kepasrahan saja yang jelas terlihat. Sebuah
firasat aneh menggeluti tubuh Jong In. Sayunya
membuat mata Jong In terbuka lebar, apakah sudah
saatnya?


Jangan. Tolong jangan .


“Jong In, aku yakin semuanya akan baik-baik saja
nantinya. Meski aku tidak ada.”
Jong In tidak ingin menjawab.


Seumur hidup Jong In berdoa, tidak pernah ia
bersungguh-sungguh hingga seperti ini. Sepanjang
hidupnya ia berani bertaruh untuk melakukan
apapun, asalkan cukup kali ini saja Tuhan mendengar
doanya. Mengabulkan permintaannya.
Tuhan, tolong jangan ambil kakakku.


Joon Myun batuk lagi. Lebih keras dan lama hingga
darah segar turut keluar, sapu tangan Joon Myun
sudah tak lagi bersih. Wajahnya bahkan membiru dan
bibirnya memucat, punggungnya terus bergoncang
dan sebelah tangannya menutupi mulutnya yang
masih terbatuk.


Sementara itu tidak ada yang Jong In lakukan selain
membiarkan telaga menggenang di pelupuk matanya.
Batinnya terus bergumam, Tuhan, tolong dengar
doaku kali ini saja. Tolong! Dan aku tidak akan
minta yang lain lagi.


“Aku …” Joon Myun berkata di sela-sela batuknya.
Jangan bilang apa-apa lagi, Kak!


“Aku … pulang, ya.” Pria itu masih berusaha
tersenyum kendati air matanya telah jatuh dan
batuknya yang masih mendera, “Aku pulang ya, Jong
In.” Senyum yang tidak akan pernah Jong In lupa.


Selamat tinggal.
.


Dan lalu tidak ada suara lagi, batuk itu tidak lagi
terdengar. Tidak ada lagi suara yang akan
mengintimidasi Jong In. Sampai kapan pun. Hening.
Sementara sosok berkulit pucat itu tergeletak lemah
di ranjang, air mata Jong In perlahan turun. Namun
ia tidak ingin melihat kakaknya, jadi ia hanya
menatap udara, lagi-lagi kosong. Dan menangis
tanpa suara.


Menangisi keabadian.

 


__FIN__

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
amusuk
#1
Chapter 2: ;____; sediiiiih
sitinurkh #2
Chapter 1: Wah.ngerih....


Baekhyun.nekat.bgt...