Chapter 2

Pemburu Mantra

D.o duduk di atas pinggulnya, menyeka alis dengan lengan atasnya. Sepanjang pagi ia telah menggosok lantai aula makan, memelitur setiap batu sampai bersinar, tetapi ia masih jauh dari selesai. Seperti biasa, Hyoyeon memberi D.o tugas paling melelahkan yang bisa ia temukan.

 

Jendela di belakangnya terbuka. Suara tetes hujan yang lembut bercampur dengan aroma rumput basah dan tanah yang baru berpaling. D.o menghirup napas dalam-dalam saat bekerja. Hampir tujuh tahun telah berlalu sejak ia melangkah keluar dari Oak dan bertemu dengan anak manusia itu. Ia tidak pernah melupakan pahitnya rasa kebebasan. Meskipun rasa takut terhadap Keheningan membuatnya tidak berani keluar lagi, ia masih sering memikirkannya.

 

Semuanya berubah sejak hari itu, sebagian besar menjadi buruk. Ia diambil dari Yoona dan diberikan kepada Siwon, yang mengisi hari-hari D.o dengan kerja dan belajar. Siwon tidak pernah memberinya kesempatan untuk bermalas-malasan. Ketika ia telah belajar membaca, menulis, dan melakukan tugasnya untuk memuaskan sang Ratu, ia dipindahkan ke sebuah ruangan miliknya sendiri di dekat kaki tangga spiral. Ia diberi tahu bahwa ia harus melakukan tugas apa pun yang diberikan peri lain, sampai ia cukup umur untuk mendapatkan pekerjaannya sendiri.

 

Sejak saat itu, D.o telah melakukan segalanya dari menyisir wol kelinci sampai menggali toilet baru. Ia tahu apa yang benar-benar ia dambakan: menjadi Pengumpul. Itu kerja keras, ia tahu, tanpa waktu untuk menjelajah atau berjalan-jalan. Itu juga berbahaya, karena peri dengan keranjang di punggungnya adalah tanda yang mudah bagi para pemangsa kalau ia tidak tetap waspada. Tetapi D.o yakin, tidak ada di antara semua itu yang akan menjadi masalah baginya, seandainya ia bisa keluar lagi.

 

Para Pengumpul dipilih berdasarkan kekuatan dan daya tahan mereka daripada kecerdasan. D.o merasa percaya diri, ia mempunyai keduanya untuk menjadi calon yang baik. Satu-satunya pertanyaan, akankan sang Ratu merasakan hal yang sama? Atau, akankah Penglihatan sihirnya menyuruhnya untuk menempatkan D.o di jabatan lain, dan D.o hanya harus mengusahakan yang terbaik di situ?

 

Sampai baru-baru ini, D.o tidak membebani diri dengan berbagai pertanyaan seperti itu. Dulu ia masih terlalu muda untuk melakukan pekerjaan dewasa. Tetapi, selama musim dingin ia telah menjulang seperti pohon muda, bingkai kanak-kanaknya yang kurus mulai terisi. Sekarang ia lebih tinggi satu lalat daripada semua orang lain di Oak. Ia juga bekerja keras untuk membuktikan dirinya penuh tanggung jawab terhadap semua tugasnya, tidak peduli seberapa tidak menyenangkannya tugas itu. Kapan pun sang Ratu bisa memanggilnya ke sebuah pertemuan dan D.o bertekad untuk menjadi siap.

 

Ia membungkuk lagi untuk bekerja, menggunakan sikat dengan kekuatan yang telah diperbarui. Satu jam lagi aku selesai, ia memberi tahu dirinya sendiri. Kemudian ia bisa mandi dan memilih buku dari perpustakaan, untuk menghadiahi diri sendiri setelah satu lagi tugas penuh derita dari Hyoyeon selesai dilakukan dengan baik.

 

“D.o! Dimana kau?”

 

Suara itu datang samar-samar dari koridor, teredam oleh gema. Itu terdengan seperti Krystal. D.o menyentakkan kepalanya ke atas untuk mendengarkan. Kalau pendamping sang Ratu mencarinya—

 

“Ini dia!” Krystal berseru, bergegas ke dalam aula makan. “Sedang apa kau di sini? Dapur kosong, dan kami semua menunggumu sedari tadi! Kata Hyoyeon, ia memberimu pesanku sejam yang lalu.”

 

Tentu saja ia melakukannya, pikir D.o dengan percikan amarah. Tidak diragukan lagi bahwa itu telah membuat senang Hyoyeon. Kepala koki itu meninggalkannya menggosok lantai ketika ia harus bersiap-siap untuk saat terpenting dalam hidupnya. Ia melemparkan sikat ke dalam ember dan berdiri.

 

“Oh, Mama Sayang,” kata Krystal, “kau tidak bisa menghadap sang Ratu dengan penampilan seperti itu!” Ia memutar tubuh D.o dan mendorongnya sedikit k earah pintu. “Mandi, lalu pergi ke Yoona. Cepatlah!”

 

Tidak ada waktu untuk berdebat. D.o berlari cepat, melompati meja-meja saat ia pergi, dan melesat menyusuri koridor ke ruang mandi. Air di dalam bak besar dingin. D.o mengertakkan giginya dan mencebur ke dalam, menggosok kotoran di bawah kuku-kuku jarinya. Ia memakai sabun dan mengeramas rambutnya, lalu meloncat keluar lagi, menjambret selembar handuk untuk menutupi dirinya saat terbang. Bergegas sepanjang terowongan yang kosong, ia menaiki tangga spiral, dua anak tangga sekaligus. Ia kehabisan napas dan meneteskan keringat di depan pintu Yoona.

 

Ia hampir mengetuk pintu sebelum pintu itu terbuka, dan sepasang tangan yang mengambang menariknya ke dalam. “Aku kira kau tidak akan pernah ke sini! Cepat, kenakan ini!” kata Yoona. Ia memasukkan sehelai gaun sempit putih dan panjang sehalus sutra berwarna bunga thistle ke dalam lengan D.o.

 

D.o menggeliat ke dalam rok itu seperti cacing, lalu ke dalam gaunnya. Baunya seperti tanah dan kuntum mawar. Bahannya begitu bagus sehingga tampak tidak punya berat sama sekali. Lengan bajunya hanya menggembung, potongan lehernya rendah dan kotak, dan roknya jatuh dalam lipatan-lipatan lembut dari bagian atas yang mengusap mata kakinya.

 

“Ini terlalu pendek,” keluh Yoona. Ia sibuk di sekeliling D.o dan menarik bermacam-macam bagian dari gaun itu pada tempatnya. “Aku sudah tahu ini terlalu pendek, bahkan setelah aku mengeluarkannya. Kau tetap bisa bernapas, kan? Hanya saja jangan bernapas terlalu banyak,” ujarnya cepat-cepat ketika D.o mulai menarik napasnya. “Kau akan menceraikan-beraikan jahitannya, dan Seohyun tidak akan pernah membiarkanku mendengar akhir ceritanya. Kenapa kau lama sekali?”

 

“Tadi aku tidak tahu,” kata D.o

 

Yoona memilih sebuah sisir dan mulai menata rambut D.o. “Maksudmu… Hyoyeon tidak memberitahumu? Tindakan yang penuh dengki! Yah, ia akan menyesal ketika—“

 

“Ia sudah selesai?” tanya Krystal dari belakang mereka. D.o berbalik untuk melihat pendamping sang Ratu itu berdiri di ambang pintu, satu kakinya mengetuk-ngetuk dengan tidak sabar.

 

“Oh, aku ingin mengangkat rambutnya. Yah, lupakan saja…,” kata Yoona, lalu ia menyerahkan sepasang sandal kepada D.o.

 

D.o membungkuk untuk mengenakan alas kaki itu. Seperti gaunnya, sandal itu pun terlalu kecil, tetapi ia harus mengatasinya. Yoona sudah menarik D.o ke arah Krystal, yang menatapnya dari atas ke bawah dan mendesah. “Aku rasa memang terpaksa begini. Ini.” Ia mengulurkan sebuah bulu panjang yang bergulung lembut.

 

“Ini untuk apa?” tanya D.o.

 

“Kau akan memberinya kepada Yang Mulia,” kata Krystal. “Itu bagian dari upacara. Sekarang cepatlah!”

 

 

 

 

D.o berhenti di depan jalan masuk aula sang Ratu. Ia mendongak memandangi permadani hias meriah yang bergantungan dari kasar. Meskipun sudah using termakan usia, warnanya menakjubkan, sebagaimana pola-pola rumit berisi burung dan bunga yang mereka gambarkan. Tidak ada peri hidup yang tahu cara mewarnai sepuhan seperti itu lagi, apalagi menggambar dengannya. Melihat mereka membuat tenggorokan D.o sesak. Tampaknya sangat salah jika karya semengagumkan ini, seperti banyak benda kreatif lainnya yang telah dibuat oleh kaumnya di masa lalu, sekarang hilang dari Oak untuk selamanya.

 

Krystal berdehem keras di telinga D.o, lalu mengumumkan, “Yang Mulia yang anggun, Ratu Taeyeon, mengundang warganya untuk menghadap.”

 

Ujung jauh ruangan berkubah tinggi itu dimakan tempat oleh sebuah mimbar setengah lingkaran. Di atasnya berdiri sebuah kursi berukiran, semua tentang sulur yang membelit, dan di dalamnya duduklah sang Ratu Oakenfolk. Gaun sutranya mengalir di sekeliling kakinya, dan rambutnya berwarna kuning pirang, dimahkotai sebuah lingkaran berhiaskan batu-batu zamrud. Sosoknya cantik, tetapi matanya tidak menyimpan kehangatan. Raut wajahnya tidak memancarkan apa-apa.

 

“Majulah,” bisik Krystal, mencolek punggung D.o.

 

Anehnya, sampai sekarang D.o masih merasa tenang. Setelah ia membuat sang Ratu menunggu—sampai hanya Mama yang tahu seberapa lama—lalu muncul dengan rambut lembap dan gaun yang tidak sesuai ukurannya, sepertinya keadaannya tidak bisa menjadi lebih buruk lagi. Kemudian ia ingat mengapa ia di sini, dan seberapa inginnya ia menjadi seorang Pengumpul. Ketika ia mengambil langkah pertamanya, ia tersandung.

 

Bisik-bisik menerpa aula, dan pipi D.o bersinar malu. Dengan hati-hati ia menegakkan bahunya dan berjalan ke depan, memegang bulu di depannya. Asalkan jangan mencuci piring, ia berdoa dalam diam, apa pun selain mencuci piring… karena seberapa pun kecewanya ia kalau tidak menjadi seorang Pengumpul, akan jauh lebih buruk kalau ia berakhir menjadi bawahannya Hyoyeon.

 

Ia baru saja mencapai akhir karpet ketika sang Ratu berbicara. Suaranya dingin dan jauh.

 

“Berlututlah.”

 

D.o jatuh berlutut, mengernyit ketika jahitan di bawah ketiaknya terkoyak. Ia bisa merasakan tatapan tajam sang Ratu kepadanya. Itu bukan perasaan yang nyaman.

 

“Peri,” kata Ratu Taeyeon, “hari ini kau memberiku layananmu?”

 

“Ya,” kata D.o.

 

Berikan bulunya,” desis Krystal. D.o bangkit dengan canggung dan berjalan ke depan untuk menawarkan bulunya kepada sang Ratu.

 

“Aku terima layananmu,” kata Taeyeon. “Dan apakah kau memberiku rasa hormatmu?”

 

D.o tidak terlalu yakin apa maknanya, tetapi kedengarannya tidak berbahaya. “Ya,” katanya.

 

“Aku terima rasa hormatmu,” kata sang Ratu, kemudian, dengan suara lebih rendah, “dan apakah kau memberiku… namamu?”

 

D.o membeku. Sebagai tambahan bagi nama biasa yang diwarisi dari ibu telurnya, setiap peri terlahir dengan sebuah nama rahasia yang hanya miliknya. Siapa pun yang tahu nama itu bisa menguasainya dengan mutlak. Apakah ini benar-benar cara sang Ratu memastikan semuanya kesetiaan warganya? Apakah menolak dianggap berkhianat?

 

Pada akhirnya D.o hanya terpikir satu jawaban yang bukanlah penyangkalan langsung. Suaranya bergetar saat ia menjawab, “Nama saya D.o, Yang Mulia.”

 

Sebuah desahan menembus aula. Taeyeon mundur dengan senyum yang tidak bisa dimengerti. “Aku terima namamu. Dan sekarang aku memanggil dengan kebijaksanaan Penglihatan, sehingga aku bisa mengumumkan kepadamu sifat layananmu…”

 

Ada jeda panjang ketika mata biru bunga hyacinth sang Ratu meluncur tidak focus dan kemudian menajam lagi. “D.o,” katanya, “kau berguru kepada Chanyeol.”

 

Apa?” pekik sebuah suara yang familier dari bagian belakang aula, tetapi cepat-cepat disuruh diam oleh warga Oakenfolk lainnya. Di atas mimbar, lutut-lutut D.o menekuk, kemudian kepalanya berputar seperti sebuah biji ek yang jatuh. Hanya itu yang bisa ia lakukan supaya tidak jatuh. “Aku… mohon maaf?” katanya lemah.

 

“Begitulah Penglihatan telah memberitahuku,” kata Ratu Taeyeon, “dan begitulah akan menjadi. Kau akan dilatih menjadi Pemburu baruku.” Ia berkata dengan percaya diri, tetapi sebuah bara ketidaktentuan memercik di balik matanya. “Semoga Mama melindungi dan memberimu keberhasilan, D.o dari Oak.”

 

Dalam bayangan terliarnya, D.o tidak pernah menduga hal ini. Tugas paling berbahaya di Oak, tetapi ini juga yang paling bebas. Para Pengumpul diharuskan untuk membanting tulang dan bersembunyi di lubang-lubang perlindungan, tetapi Pemburu sang Ratu terbang, melindungi dirinya hanya dengan kecepatan dan keahlian. Tugas itu tidak hanya membutuhkan tubuh yang kuat dan tangan yang mantap, tetapi juga mata yang tajam dan kecerdasan yang cepat juga. Dan terbaik dari segalanya, itu berarti meninggalkan Oak secara berkala, tidak hanya selama musim ranum, tetapi juga sepanjang tahun. Chanyeol akan menjadi nomor yang keras, D.o tahu, tetapi sekarang pikiran tentang itu tidak bisa menyusutkan kebahagiaannya.

 

“Yang Mulia,” D.o tergagap, membungkuk dalam-dalam kepada sang Ratu. “Aku sulit berkata bahwa—“ Tapi Taeyeon hanya menggelengkan kepalanya, mengalihkan pandangannya pada keramaian di bawah.

 

“Kalian boleh pergi,” ujar sang Ratu kepada mereka dengan suara jernih. “Chanyeol, datanglah dan akui anak bimbinganmu.” Kemudian, tanpa berkata lagi sang Ratu berdiri, memberi isyarat kepada Krystal dan keluar dari aula.

 

D.o berkeliaran menyusuri jalan menuju mimbar, masih bingung. Ketika ia dekat dengan kaum Oakenfolk-nya, ia mendengar bisik-bisik. Banyak di antara mereka yang menghina atau mengasihani. Tampaknya hanya sedikit yang berpikir D.o akan berhasil dalam jabatan barunya. Beberapa bahkan sangsi ia akan bertahan. Hyoyeon tampak puas, seakan-akan ia berpikir, pekerjaan baru D.o adalah sebuah hukuman yang sesuai. Seringainya memudar saat Chanyeol mendorong melewatinya dan menancapkan dirinya di sisi D.o.

 

“Apa?” kata Chanyeol kepada peri-peri lainnya. “Ia anak bimbinganku, bukan kalian, jadi pergilah.”

 

Sambil menggerutu, peri-peri lainnya berbaris pergi. Hanya Yoona yang berhenti, membersihkan satu matanya seakan-akan ada sesuatu di dalamnya, sebelum bergegas mengejar yang lain.

 

“Belas kasihan Mama,” gumam Chanyeol. “Hari ini benar-benar seperti telur burung tekukur. Baiklah, Nak”—ia berbalik kepada D.o—“lepaskanlah baju norak yang kau kenakan itu dan pakailah baju yang lebih pantas. Kita akan keluar.”

 

Yoona melipat kedua tangannya ketika ia melihat kerusakan pada gaun itu. Tetapi, ia tidak menyia-nyiakan waktu untuk menemukan sebuah tunik, baju rompi, dan celana panjang untuk dikenakan D.o. D.o hanya bisa menduga bahwa pastilah hak istimewa para Pemburu untuk mendapatkan pakaian tanpa biaya. Yoona menolak untuk tawar-menawar dengan D.o. Ia juga meminta maaf untuk pakaian yang ukurannya tidak sesuai dan berjanji akan segera membuatkan baju-baju yang lebih baik untuk D.o. Ini menyenangkan. Namun, Yoona juga terus-terusan mendesah dan melirik D.o dengan muram. Ini tidak terlalu menyenangkan, dan D.o senang akhirnya bisa pergi.

 

Ia menemukan Chanyeol di dekat pintu gerbang Sang Ratu, di dekat kaki tangga spiral. Bersama-sama mereka menarik pintu yang berat itu terbuka, memanjat tangga akar-akaran, dan muncul dari Oak ke dalam sore yang mendung dan berkabut. Cahaya matahari tersaring remang-remang menembus selubung awan, dan udara berbau tanah dan hijau-hijauan. Chanyeol berjalan tegak lurus menyeberangi ladang rumput dan tabung panah berayun-ayun di sisinya. D.o melambatkan diri, mendongak memandangi tubuh pohon yang amat besar itu. Ia belum pernah memandanginya dari sudut ini sebelumnya, dan melihatnya membuat D.o terpesona.

 

Oak setidaknya berumur lima ratus tahun. Pada hari-hari yang lebih menyenangkan, pohon itu menaungi lebih dari dua ratus peri di dalam bagian dalamnya yang berlubang. Bahkan dengan standar manusia, pohon ini sangat besar. D.o menduga, hanya mantra-mantra Ratu Taeyeon yang menjaganya dari manusia supaya tidak berusaha tinggal di situ juga. Pembawa wabah Keheningan atau tidak, hampir cukup untuk membuat D.o mengasihani manusia, karena bagaimana bisa membandingkan rumah batu mati mereka dengan kemegahan Oak yang hidup?

 

“Berhentilah berlambat-lambat dan bergeraklah,” bentak Chanyeol. “Ada yang harus kita lakukan.”

 

D.o bergegas menyusulnya. Memilih jalan mereka melalu tanah lembap dari lapisan-lapisan bunga, mereka merunduk di bawah pagar bunga putih privet dan tergelincir di turunan selicin embun ke lapangan di baliknya. Rumput tumbuh panjang di sini, bercampur dengan alang-alang dan bunga liar. Nyaris D.o bisa mendengar deguk sungai kecil dekat Oakenfolk tempat mengambil air mereka.

 

“Baiklah,” kata Chanyeol. “Pelajaran pertama. Bagaimana supaya tidak terbunuh.” Ia melindungi matanya dengan satu tangan dan menjulingkan matanya ke atas. “Hal pertama yang harus kita lakukan ketika kau meninggalkan Oak, selalu, adalah berhati-hati dari para pemangsa. Kebanyakan burung dan binatang tidak menghiraukan kita, tetapi rubah akan memakan kita kalau mereka mendapatkan kesempatan itu, begitu pula kucing, burung hantu, dan terutama gagak.” Ia merendahkan tangannya dan berbalik pelan, mengamati lapangan dalam semua arah saat melanjutkan, “Ada satu gagak besar jelek yang khusus—Wormwood tua, kami menyebutnya begitu. Kau harus berhati-hati darinya. Dia telah membunuh Kris, Pemburu sebelumku. Sejak saat itu dia kelaparan untuk mencicipi peri lagi.”

 

D.o melirik dengan cemas pada kedua tangannya yang tanpa senjata. “Jadi, apa yang kita lakukan kalau kita melihatnya?”

 

Chanyeol mendengus. “Kau harus tanya? Kita bersembunyi, tentu saja. Di dalam Oak, kalau kita bisa sampai ke sana dengan cukup cepat, atau turun ke lubang perlindungan terdekat yang bisa kita temukan.”

 

“Oh,” kata D.o, anehnya merasa kecewa.

 

“Langit bersih,” kata Chanyeol. “Baiklah, kalau begitu, ikuti aku.” Ia merentangkan sayap-sayapnya dan lepas landas.

 

Meskipun tidak berpengalaman, D.o tidak bimbang. Ia melompat tanpa ragu mengikuti Chanyeol, memercayai instingnya untuk mengambil alih—dan memang begitu. Sebuah satu tolakan yang mendebarkan, sedikit terhuyung-huyung, dan ia dibawa udara. Ini dia, pikir D.o, ngeri dan senang sekaligus. Aku terbang!

 

Awalnya mereka meluncur dalam sebuah garis lurus, bergerak ringan di atas rumput ke arah pepohonan terdekat. Kemudian Chanyeol terbang miring menjauh dari pepohonan tersebut. D.o dengan hati-hati mengikuti contoh itu. ketika gurunya menukik ke atas, ia melakukan hal yang sama. Awalnya ragu-ragu, tetapi D.o memperoleh rasa percaya diri dengan setiap kepakan sayap.

 

Ketika Chanyeol memimpinnya menembus serangkaian maneuver sederhana, kegugupan D.o meleleh. Ia menyadari betapa cepatnya ia bisa bergerak menembus udara, bagaimana sekibas kecil ujung sayapnya bisa mengirimnya membelok ke arah yang berbeda. Ia bisa menyelam, ia bisa berguling, ia bahkan bisa melayang di tempat, seperti capunglah sayap-sayapnya menyerupai. Sepanjang hidupnya ia telah mendamba untuk terbang, tetapi ia tidak pernah membayangkannya semudah ini.

 

Tidak lagi puas mengikuti contoh Chanyeol, D.o mulai berzig-zag menyeberangi lapangan. Dari jauh ia mendengar Chanyeol berteriak, dan mengingatkan dirinya untuk waspada terhadap gagak, D.o meluncurkan dirinya ke arah langit lagi.

 

Melayang tinggi dengan aliran ke atas, ia memperhatikan untuk kali pertama sebuah barisan tiang panjang di pinggiran selatan lapangan. Mereka tertaut dengan tambang-tambang gelap—semacam penghalang? Utas teratas diduduki burung-burung gereja secara berselang-seling. Penasaran, D.o melayang mendekat…

 

“Berhenti!” D.o menoleh ke belakang untuk melihat Chanyeol terbang cepat menembus udara ke arahnya. “Jangan pernah menyentuh tali itu!” bentaknya, mencengkeram lengan D.o dan merenggutnya pergi. Terkejut, D.o terjatuh seperti batu, menyeret Chanyeol ke bawah bersamanya. Mereka roboh berguling ke rumput. Sungguh berbahaya jika dekat dengan sepetak daun jelatang yang bisa membuat gatal. Selama beberapa saat mereka berdua terlalu kehabisan napas untuk berbicara.

 

“Jangan pernah pergi seperti itu lagi tanpa aku,” kata Chanyeol, terengah-engah. Ia memanjat berdiri dan mulai menepuk kotoran dari tubuhnya sendiri. Masih kehabisan napas, D.o mendongak menatap tiang-tiang yang menjulang di atasnya.

 

“Itu… apa?” tanyanya.

 

“Aku tidak tahu itu disebut apa, atau apa gunanya. Itu buatan manusia. Aku hanya tahu ada sihir di dalamnya, dan kalau kau menyentuhnya, kau akan mati sebelum mencapai tanah.”

 

“Tapi burung-burung itu—“

 

“Kepalamu terbuat dari kayu keras ya?” Chanyeol meledak. “Kau bukan burung! Dan begitu pula Amber. Salah satu tambang itu jatuh dalam sebuah badai, ia pergi untuk melihat, satu sentuhan, dan zap! Tidak ada yang tertinggal dari dirinya. Bahkan, tanpa sebutir telur.”

 

“Kau melihat itu terjadi?”

 

“Tidak, tapi Leeteuk melihatnya—mentor lamaku. Apa kau pikir aku mengarangnya sendiri?”

 

Nada suara Chanyeol menyindir, dan D.o merasa wajahnya terbakar. “Tidak,” katanya. “Aku Cuma penasaran bagaimana kau bisa tahu.”

 

“Siwon menyimpan sebuah buku,” kata Chanyeol. “Setiap kali salah satu orang kita meniggal, namanya ditulis di situ, juga caranya meninggal. Dan kalau kau tidak mau namamu menjadi yang berikutnya, sebaiknya kau mendengarkanku ketika aku memanggilmu. Kali pertama, kau dengar?”

 

“Aku dengar,” kata D.o, mengernyit saat ia bangkit. Seluruh tubuhnya nyeri, terutama otot-otot sayapnya.

 

Chanyeol melirik ke langit lagi. “Kita sudah berada di luar cukup lama,” katanya. “Sebaiknya kita kembali, sebelum gagak mulai tertarik.” Ia mengentak menemubus rumput.

 

“Kau pernah melawan satu?” tanya D.o, bergegas supaya tidak ketinggalan. “Gagak, maksudku.”

 

“Kalau pernah,” kata Chanyeol. “Aku tidak sedang berbicara denganmu sekarang ini.”

 

“Bagaimana dengan manusia? Kau pernah berurusan dengan mereka?”

 

“Tidak pernah,” kata Chanyeol datar. “Dan kau pun begitu, kalau kau punya setengah saja kecerdasan kelinci. Ketika mereka berkeliaran di kebun, atau memotong rumput dengan gerobak berisik mereka itu, kita tetap di tempat rendah dan menunggu sampai mereka pergi.” Ia menatap tajam D.o. “Kecuali, kau punya ide lain?”

 

D.o menggeleng.

 

“Aku rasa tidak. Sekarang kalau kau sudah siap untuk menggunakan sayapmu dengan pantas daripada bertingkah bodoh dengan mereka, ini waktunya kita terbang pulang.”

 

 

 

 

Dari titik itu sampai seterusnya, minggu-minggu berbaur bersama ketika D.o menghabiskan hari demi hari bersama Chanyeol, mempelajari keahlian Pemburu. Atas perintah mentornya, D.o berlari, memanjat, dan terbang di sekeliling Oakenwyld. Ia bertambah waspada terhadap segala bahaya, tetapi juga tumbuh lebih berani. Terbang masih menjadi kesenangan terbesarnya. Tetapi, ia pun mulai menikmati pelajaran-pelajarannya untuk alasan lain: kebanggaannya dalam kekuatan dan ketangkasannya yang berkembang, kesenangan dari memburu mangsa, dan kekuatan tawar yang diberikan oleh keahlian-keahlian barunya. Sekarang setidaknya ia bisa melakukan barter dengan peri-peri kaumnya yang setara dan mendapatkan hal-hal seperti lilin yang pantas dan sabun yang utuh sebatang, daripada harus menggabungkan dari potongan-potongan dan sisa-sisa yang ia peroleh saat melakukan tugas.

 

Pada hari-hari ketika cuaca buruk atau kegiatan manusia membuat mereka harus tetap berada di dalam Oak, Chanyeol mengajar D.o untuk membuat senjatanya sendiri dan menggunakan senjata itu. Begitu D.o membuat busur dan anak-anak panah pertamanya, ia menembaki target sampai bisa mengenai bagian tengah—delapan dari sepuluh kali—sebelum berpindah ke tikus, kodok, dan serangga terbang. Jari-jarinya kapalan dan otot-ototnya mengeras; penciuman, pendengaran, dan penglihatannya menjadi tajam.

 

Chanyeol mengajarinya cara untuk membunuh mangsa dan memotongnya dengan cepat sebelum gagak datang untuk menyelidikinya. Ia menunjukkan kepada D.o tempat-tempat persembunyian terbaik yang ada di Oakenwyld, dan terowongan perlindungan rahasia ke dalam Oak yang hanya diketahui oleh para Pemburu dan Pengumpul. Ketika D.o mendengarkan dan belajar, dan berlatih berbagai keahlian barunya, ia merasa semakin yakin bahwa Penglihatan sihir sang Ratu saat itu tidak menipunya. Dari semua tugas di Oak, inilah yang memang ditakdirkan bagi D.o.

 

 

 

 

Suatu sore pada musim panas, D.o dan Chanyeol pulang dari sebuah pemburuan yang sukses. Bundelan mereka penuh dengan daging tupai. Kemudian D.o menyadari keberadaan wujud gelap bertengger di puncak pohon terdekat. Itu seekor gagak besar. Matanya yang kuning terpaku dengan lapar kepada mereka.

 

“Itu dia,” desis Chanyeol. “Wormwood Tua. Lari!”

 

Ia dan D.o melompat ke tempat perlindungan, tetapi gagak itu mendadak menukik untuk menghalangi jalan mereka, berkoak-koak. Satu sayap hitam memukul jatuh D.o. Ia berjuang berdiri, Chanyeol terperangkap di bawah cakar bersisik sang gagak. Ia berteriak saat paruh burung itu menikam ke arahnya. Sejenak kemudian Wormwood Tua melemparkan kepalanya ke belakang dan menelan. D.o merasa mual. Kemudian ia menyadari bahwa tadi Chanyeol berhasil mendorongkan buntelannya di depan dirinya. Gagak itu malah sedang melahap persediaan daging mereka.

 

Tidak ada waktu untuk berpikir, hanya untuk bertindak. D.o melemparkan buntelannya ke samping, merampas pisau tulang dari ikat pinggangnya, dan meluncurkan dirinya pada gagak itu. Saat ia mendarat mengangkang di punggung gagak itu, asap debu membuat kepalanya pening. Kedua lututnya tergelincir bulu-bulu gagak yang licin. D.o tersandung, bahkan sebelum ia bisa melancarkan satu panah. Ia mendarat di atas kedua kakinya. Ketika Wormwood Tua mengepak berputar untuk menghadapinya, D.o sudah siap. Dengan semua kekuatannya, ia menancapkan belatinya ke bahu Wormwood Tua. Gagak besar itu pun memekik.

 

Beberapa detak jantung berlalu dalam sebuah luapan gila bulu-bulu hitam dan sayap-sayap yang mendera-dera. Pisau tulang D.o patah. Ia terhuyung-huyung mundur dengan pangkal tanpa guna itu di tangannya. Kakinya serasa tersengat api. Ia tidak menghiraukan rasa sakit itu saat menyambar sebuah batu kerikil dan melemparkannya ke kepala gagak itu. Wormood Tua melirik. Gagak itu berkoak sambil melompat ke udara, sayap-sayapnya mengepak-ngepak.

 

Chanyeol mencakar-cakar menyusuri turunan itu dan menghilang di antara akar-akaran perlindungan, meninggalkan buntelannya di belakang. D.o melemparkan batu lain supaya gagak itu tetap berjarak, lalu melesat mengejar Chanyeol. Kehabisan tenaga, mereka berbaring bersama dalam kegelapan. Keduanya memperhatikan Wormwood Tua mematuk buntelan-buntelan yang mereka telantarkan. Ketika tidak ada yang tersisa selain cabikan kulit, gagak itu memekik gusar dan berkepak pergi.

 

Chanyeol merangkak keluar ke sisi jauh perlindungan itu. Ia bergerak dengan kaku, satu tangan menekan tulang-tulang iganya yang memar. “Dasa otak ngengat. Kau bisa saja terbunuh tadi!”

 

D.o terpincang-pincang menyusulnya. Kakinya masih berdarah. Cakar gagak itu telah menggoresnya. Untungnya luka itu tidak dalam. “Aku tahu,” katanya

 

“Kau menyerangnya. Seekor gagak dewasa.” Chanyeol menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Kenapa kau tidak lari tadi?”

 

“Aku tidak tahu,” kata D.o. “Hanya saja… seperti itulah satu-satunya hal yang harus dilakukan.”

 

“Kau,” kata Chanyeol singkat,”gila.” Ia menyandang tabung panahnya dan mulai berjalan ke arah Oak. D.o mengikuti. Mereka baru pergi beberapa langkah sebelum Chanyeol berhenti. Chanyeol membungkukkan kepalanya, dan ungu mewarnai kedua pipinya saat ia bergumam, “Dan aku rasa… aku berutang nyawa kepadamu.”

 

“Oh,” kata D.o, dan kemudian,”yah,” ia tidak bisa memikirkan jawaban lainnya.

 

“Tapi jangan pernah lakukan apa pun yang berotak kutu seperti itu lagi!” Chanyeol membentak, dan  mengentak pergi.

 

“Tadi aku melukainya, tapi,” kata D.o, menyusul Chanyeol. “Dia akan kaku di bahu itu dari sekarang.”

 

Chanyeol mendengus tidak percaya dan tetap berjalan.

 

“Kalau kita melawannya bersama-sama,” D.o melanjutkan, “kita mungkin bahkan bisa membunuhnya.”

 

Gurunya berputar ke arahnya, menangkap kedua bahunya, dan mengguncangkannya sangat keras sampai telinganya berdenging. “Jangan pernah berpikir tentang itu lagi. Itu mustahil, bahkan bagimu. Kau dengar aku?”

 

D.o mendengar kata-kata itu, tetapi peringatan di dalamnya nyaris tidak ia kenali. Hanya satu frasa yang menggema dalam benaknya: bahkan bagimu. Kepalanya terasa ringan; datang dari Chanyeol, itu pastilah bukan rayuan belaka. Mustahil, bahkan bagimu.

 

Tidak mustahil, pikir D.o saat ia memperhatikan peri yang lebih tua itu berjalan pergi dengan tegak. Aku hanya butuh pisau yang lebih bagus.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
KyungBy
mianhae jika ada yang typo ^^

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet