Chapter 4

Pemburu Mantra

Begitu D.o telah membulatkan genggamannya dan mengikatkannya dengan kulit dan belitan tali, pisau barunya terpasang dengan sangat nyaman di tangannya seakan-akan telah tumbuh dari situ. Sendirian di kamarnya, ia berlatih menyayat, menusuk, dan melempar bilah itu, dengan sekarung rumput kering sebagai sasaran. Segera ia merasa siap untuk mencobanya dalam sebuah perburuan sungguhan. Sayangnya Chanyeol tidak pernah jauh ketika mereka berburu, dan D.o tidak berani mengambil risiko siapa pun mengetahui kunjungannya ke Rumah, tidak sekarang. Ia hanya harus menunggu kesempatan berburu sendirian.

Ketika musim gugur memudar menjadi musim semi, Chanyeol menjadi enggan ke luar. Tidak gara-gara Wormwood Tua—yang sudah tidak kelihatan selama berminggu-minggu—tetapi memang cuacanya tidak terlalu dingin untuk berburu, malah terlalu lembap, atau terlalu berangin. Sekarang sebagian besar pelajaran mereka bertempat di dalam Oak. Chanyeol mengajari D.o cara memberi warna cokelat pada kulit binatang menggunakan otak-otak binatang yang mereka bunuh. Itu adalah urusan yang berantakan dan bau. Meskipun D.o tidak ragu bahwa pengetahuan itu akan berguna, tampaknya itu adalah pengganti yang buruk bagi udara segar dan kebebasan.

Ketika butir-butir pertama salju terombang-ambing dari langit, D.o telah kehilangan semua ketertarikannya pada pewarnaan, pencairan lemak, dan tugas-tugas membosankan lainnya yang diajarkan oleh Chanyeol. D.o merasa gelisah, siap untuk sebuah tantangan baru. Pikirannya semakin dan semakin berpaling ke Rumah, beserta makhluk-makhluk ganjil yang tinggal di dalamnya.

Tentu saja tidak ada alasan sungguhan baginya untuk kembali ke sana, tidak sekarang karena ia sudah mendapatkan pisaunya. Namun ia tergoda. Rumah dengan segala perbedaannya dari Oak begitu sangat memikat. Perabotannya, karpetnya, lainnya. Semuanya tampak saling melengkapi yang D.o rasakan anehnya menyenangkan, seperti hidangan yang dimasak dengan baik bagi indra-indranya. Dan kemudian tentu saja ada para manusia, yang telah menata semua itu.

Bagaimana orang-orangnya tahu sangat sedikit tentang manusia? Sebelum Pencabutan kekuatan sihir mereka, para peri bebas menjelajahi dunia luar Oak, dan membuat catatan tentang segala yang telah mereka pelajari.

Perpustakaan penuh dengan berbagai pengamatan mereka tentang setiap makhluk yang bisa dibayangkan, termasuk para pemangsa yang paling berbahaya. Bagaimana mungkin manusia lolos dari perhatian mereka?

Kecuali—pikiran itu datang dengan pelan tetapi berisi desakan penyingkapan—dahulu ada buku-buku tentang manusia di suatu tempat di Oak, dan orang-orang hanya lupa tempat untuk menemukannya?

 

Ada masa, jauh sebelum D.o dilahirkan, ketika perpustakaan sibuk dengan kegiatan. Kursi-kursi aus pakai yang melingkar di meja tengah, punggung buku yang terlipat, dan halaman-halaman rombeng dari buku-buku di rak, menjadi saksi semangat untuk belajar yang sekarang hampir tak dikenal di antara para Oakenfol. Bahkan, ada sebuah lemari buku tinggu yang didesain untuk memamerkan tambahan terbaru bagi koleksi mereka. Sekarang lemari itu tidak menyimpan apa-apa selain debu, karena tidak ada penulis di Oak pada hari-hari ini, seperti halnya tidak ada lagi pelukis atau pemusik. Entah bagaimana kreativitas para peri, begitu pula gairah mereka terhadap pengetahuan, telah mati.

Pustakawan Oak juga bertanggung jawab bagi arsip-arsip dan ruang-ruang penyimpanan. D.o tidak terkejut menemukan mejanya kosong. Sangat mungkin Seohyun sedang bersama para Pengumpul, memastikan catatan-catatannya sudah tepat tentang simpanan musim dingin Oak, atau memelitur lentera dan hiasan kuno lainnya untuk Santap Tengah Malam Musim Dingi. D.o mengangkat godam dan mengetuk gong kuningan di atas meja, mengirimkan sebuah tanda logam yang dalam menggema menembus ruangan dan memasuki koridor.

Ketika Seohyun muncul beberapa saat kemudian, ia kelihatan baru saja di serang, dengan secoreng kotoran di satu pipi dan rambutnya kacau balau. “Kau menginginkan sesuatu?” tanyanya.

“Aku sedang mencari buku tentang manusia,” kata D.o

Seohyun tampak waspada. “Apakah sang Ratu yang mengirimmu?”

“Tidak,” kata D.o. “Aku hanya ingin mencari tahu lebih banyak tentang mereka.”

Pustakawan itu bisa terlihat kurang tegangnya. Melangkah ke belakang meja, ia mengambil catalog dan mulai membalik-balik halamannya. “Yah, aku memang punya beberapa jilid di koleksi khusus,” katanya. “Kalau kau terpikir topic tertentu—“

“Koleksi khusus? Kenapa mereka tidak berada di rak-rak utama?”

Lagi-lagi ada tatapan menyelidik itu dari tatapan Seohyun, seakan-akan ia sedang memutuskan harus berbuat apa dengan pertanyaan D.o. “Karena mereka… khusus,” katanya. “Dan langka. Aku tidak bisa memberikannya begitu saja kepada siapa pun.”

“Dengar,” kata D.o jengkel. “Aku kira membantu orang menemukan buku sudah seharusnya menjadi kewajibanmu. Tapi kalau kau mau tawar-menawar denganku, aku punya sepotong bulu tupai yang bagus, baru diwarnai, dan ukurannya pas untuk menutup seprai. Kau bisa mendapatkannya kalau kau suka. Tapi aku ingin melihat semua buku yang kau punya, tidak hanya satu atau dua.”

Seohyun mengerjap, seperti sangat terkeut dengan tawaran menarik itu—atau mungkin hanya akibat keberanian D.o. Dengan mencuri pandang ke pintu, ia berkata, “Ya, baiklah. Tapi,” ia menambahkan ketika membimbing D.o kea rah bagian belakang perpustakaan, “ini di antara kita saja. Kau seorang Pemburu, jadi aku rasa kau punya alasan yang bagus untuk tahu. Tapi, aku tidak berpikir sang Ratu akan senang kalau ada orang yang mulau membaca buku-buku itu.”

Di bagian belakang perpustakaan, hampir tidak terlihat dalam baying-bayang di antara rak-rak buku, berdirilah sebuah pintu sempit. Seohyun membuka kuncinya dengan salah satu kunci di ikat pinggangnya, dan membiarkan D.o memasuki sebuah ruang kecil (ruang rahasia) tempat sebuah kursi duduk di samping sebuah rak tinggi yang menggembung berisi buku. “Itu dia,” kata Seohyun.

“Yang mana?” tanya D.o.

“Semuanya,” kata Seohyun dengan satu sentuhan ketidaksabaran. “Ada lampu dan kotak sumbu di puncak rak. Tetap tutup pintunya sementara kau membaca. Beri tahu aku ketika kau sudah selesai. Aku mau kembali ke ruang penyimpanan.” Kemudian ia menghilang, meninggalkan D.o mendongak memandangi rak itu dan bertanya-tanya dari mana ia akan mulai.

Sepertinya ia telah menemukan sesuatu untuk dilakukan sepanjang musim dingin.

 

Setelah itu, D.o mengunjungi ruang tersembunyi itu sesering yang ia bisa. Seohyun menjadi terbiasa dengan keberadaannya di perpustakaan, bahkan mulai meninggalkan kunci untuknya dengan sendirinya. Pada Pertengahan Musim Dingin, D.o telah membaca setiap buku di rak itu, beberapa di antaranya dua kali.

Satu hal setidaknya menjadi jelas: sikap Oakenfolk kepada para manusia telah berubah secara drastic sejak buku-buku ini ditulis. Sepertinya sebelum Pencabutan, para peri tidak hanya tahu banyak tentang kebiasaan-kebiasaan manusia, mereka juga sangat tertarik kepada manusia. Secara alami Oakenfolk akan menjadi lebih berani ketika mereka masih mempunyai sihir. D.o terpukau karena buku-buku itu tampaknya meliputi semua aspek yang mungkin tentang kehidupan dan lingkup pergaulan manusia.

Di antara hal-hal lainnya, ia belajar bahwa manusia tidak mempunyai sihir sama sekali. Semua ha laneh yang ia lihat di Rumah adalah hasil kerja dari benak-benak cerdas dan tangan-tangan yang penuh keahlian, tidak lebih. Lebih jauh lagi, manusia tidak memakan peri, atau memburu mereka untuk berolahraga. Faktanya, sedikit sekali di antara mereka yang memercayai keberadaan kaumnya. Semua manusia tahu tentang peri adalah kisah-kisah konyol, yang D.o baca dengan campuran senang dan jijik: cerita-cerita di mana manusia menipu peri untuk menjadi pasangan mereka, atau anak-anak manusia diculik dan digantikan oleh makhluk pengganti yang jahat. Bahkan, ada satu kisah tentang peri yang menyewa seorang bidan manusia untuk membantunya melahirkan. Tidak masuk akal, ketika semua orang tahu bahwa peri menetas dari telur, dan bahwa sang Ibu pasti meninggal sebelum anak telurnya bisa dilahirkan!

Ia juga membaca bahwa manusia laki-laki dan perempuan kadang-kadang saling membuat sumpah, menjadi pasangan seumur hidup. Mungkin inilah mengapa pasangan di dalam Rumah tidak merasa perlu untuk tawar-menawar, dan tidak melihat apa pun yang aneh tentang saling berterima kasih. Tetap saja, tampaknya aneh bagi D.o jika siapa pun saling berkomitmen sepenuhnya. Bukankah lebih baik menjadi bebas, dan tidak berutang kepada siapa-siapa?

Belajar tentang manusia itu menarik. Tetapi, semakin D.o membaca tentang mereka, semakin ia menjadi bingung. Ada Pencabutan atau tidak, kelihatannya tidak masuk akal. Kalau kaum perinya dulu sangat tertarik kepada manusia, mengapa sekarang mereka sangat tidak peduli dan takut?

Selama berminggu-minggu Oakenwyld menjadi cokelat dan kering, sementara simpanan musim dingin para peri menjadi semakin sedikit dan dagis segar semakin sulit datang. Setiap malam D.o memikirkan buku-buku itu sampai kepalanya nyeri. Namun, ia tidak bertambah dekat sama sekali dengan jawaban pertanyaannya sendiri. Ia mempertimbangkan untuk bertanya kepada Seohyun tentang apa yang ia pikirkan. Itu akan sulit dilakukan tanpa menjelaskan kunjungannya ke Rumah. D.o sendiri tidak yakin bisa memercayai peri yang lebih tua itu dengan rahasia tersebut. Akhirnya ia menyerah, mengembalikan kunci, dan kembali mempelajari kebiasaan gagak sebagai gantinya.

Akhirnya musim semi tiba, diumumkan kali pertama oleh hamburan tetes salju, kemudian oleh bunga crocus yang mengangkat kepala-kepala keemasan dan ungu mereka di dasar Oak. Binatang-binatang merayap keluar dari rumah-rumah musim dingin mereka, dan udara menghangat bersama nyanyian burung. Ketika matahari keluar, D.o cepat mengikuti, bersuka ria dalam kesempatan untuk merentangkan sayap-sayapnya. Ia telah menembak seekor tikus besar dan mengulitinya di dekat Gerbang Ratu ketika Chanyeol melangkah dengan berat dan berkata, “Tidak ada yang bisa aku ajarkan kepadamu lagi.”

D.o mendongak dengan tajam. “Apa?”

“Aku bilang, tidak ada yang bisa aku ajarkan lagi.” Chanyeol mengayunkan rambut gelapnya ke belakang dengan gereka cepat kepalanya. “Kau mengetahui pekerjaan ini sebaik aku sekarang. Oak hanya membutuhkan satu Pemburu, sejauh yang aku tahu, kau bisa mengambil alih juga.”

D.o terpaku diam. Ia tidak menduga hal ini akan datang secepat ini. Chanyeol mungkin tidak mencintai berburu seperti D.o, mungkin bahkan senang melepaskannya, tetapi ia adalah guru yang cermat dan penuh tuntutan. Kalau ia percaya D.o sudah siap—

“Kau bagus,” kata Chanyeol. “Kalau kau bertanya kepadaku, ini tidak alami. Aku rasa kau gila karena benar-benar menginginkan pekerjaan kotor ini. Kalau kau berakhir dalam perut seekor gagak, aku tidak akan terkejut. Tetap saja, kau lebih baik dalam pekerjaan ini daripada aku, maka… ini.” Ia melepaskan ikatan kulit dari lengannya dan mengulurkannya pada D.o.

“Oh,” kata D.o samar. Kepalanya berputar-putar. Ketika jari-jarinya menutup di sekeliling ikatan itu, ia merasa muda dan kecil lagi.

“Aku akan pindah dari pondok Pemburu minggu ini,” ujar Chanyeol. “Aku memberitahumu kapan kau bisa pindah ke situ.”

D.o mengangguk, perhatiannya terlalu terganggu untuk bicara.

“Sang Rati alam ingin bertemu denganmu juga. Ia akan bertanya apakah kau mau mengambil sebuah nama biasa yang baru. aku akan memberitahunya bahwa aku sudah mengakuimu, dan ia akan memanggilmu dalam satu hari atau sekitar itu.”

Ada jeda yang canggung. “Baiklah,” kata D.o, karena Chanyeol tampaknya menunggu sebuah jawaban.

Tetap saja Chanyeol berdiam di sini, menunduk menatap D.o. “Kau tahu,” kata Chanyeol akhirnya, “kau duduk di hampir tempat yang sama saat aku menemukan telurmu.”

“Oh?” kata D.o.

Chanyeol mengutuk, berbalik cepat, dan melompat masuk kembali ke Oak, membanting pintu di belakangnya. D.o duduk berjingkat kembali. Tadi maksudnya apa?

Sebagian dari dirinya tergoda untuk menyusul peri yang lebih tua itu dan bertanya. Tapi tikus yang sudah setengah dikuliti ini akan menarik perhatian gagak kalau ia meninggalkannya terlalu lama. Sejenak D.o mendesah, lalu mengangkat batu apinya lagi. Chanyeol bisa menjaga dirinya sendiri, dan tentunya begitu. D.o sekarang adalah Pemburu bagi Sang Ratu. Ada pekerjaan yang harus ia lakukan.

 

Bulan sabit berpendar lemah di malam yang disumbat oleh awan, dan sebuah kabut telah terdiam di atas Oakenwyld. D.o meluncur keluar dari jendelanya dan menjatuhkan diri ke tanah, mengernyit akibat rumput dingin yang licin di bawah kakinya. Bukan malam yang paling menyenangkan untuk berada di luar, tetapi sesuatu yang aneh sedang terjadi di Rumah. Ia tidak bisa menahan godaan untuk menyelidiki.

Kalau itu sekedar rasa penasaran yang tak beralasan, ia pasti telah menahannya. Karena dengan semua pembelajarannya ia masih belum bisa mengungkap hal salah apa yang telah terjadi antara kaumnya dan para manusia, kembali ke Rumah merupakan satu-satunya cara yang bisa ia pikirkan untuk belajar lebih banyak. Apa pun yang telah membuat Oakenfolk menjadi sangat ketakutan terhadap manusia, tampaknya telah terjadi sekitar waktu yang sama dengan kemalangan mereka—kehilangan kekuatan gaib mereka, pudarnya kemampuan kreatifitas mereka, dan yang terburuk adalah kedatangan Keheningan yang mematikan. Mungkinkah semua hal ini terhubung?

Ini adalah pertanyaan yang rumit. Ia tidak bisa berharap bisa menjawabnya mala mini. Setidaknya, ia bisa mencari tahu tentang satu hal: Mengapa para manusia terjaga selama ini? Mereka telah mematikan lampu dan pergi tidur pada waktu yang sama, tetapi sekarang Rumah bersinar lagi. Ia bisa melihat baying-bayang bergerak-gerak di dalamnya. Sesuatu yang genting pasti telah membangunkan mereka. Tapi apa?

Mendarat di atas beranda yang berkerikil, D.o merunduk dan mengintip menembus pintu. Ia terkejut melihat wanita manusia itu, Xiumin, duduk di atas sofa dalam gaunnya, mata bengkak dan pipi basah dengan air mata. Di dekatnya berdirilah pasangannya, bertelanjang kaki dan berantakan, berbicara pada benda berbentuk aneh di tangannya.

“…tidak bisa diungkapkan sekarang ini, ya, aku mengerti. Tapi, kapan kami bisa bertemu dengannya?”

Kemudian datang sebuah jeda panjang.

“Begitu. Baiklah. Sampai jumpa.” Pria itu meletakkan benda tadi kembali ke sangkutannya, wajahnya memucat. Sejenak dia memandangi dinding, kemudian dia berbalik kepada istrinya dan berkata, “Tampaknya ini… sangat serius. Kita harus… mereka pikir sebaiknya kita langsung datang.”

Xiumin membuat suara tercekik. Kedua bahunya mulai gemetaran. Pria itu menatapnya dengan pasrah, lalu mengulurkan tangan dan memeluknya saat wanita itu menangis. D.o memperhatikan mereka, kebingungan oleh emosi yang berlebihan ini, sampai kedua manusia itu memisahkan diri dan berjalan pelan dari ruangan itu, mematikan lampu saat pergi. Beberapa saat kemudian D.o mendengar pintu depan dibanting, segera diikuti oleh suara kerikil terinjak-injak. Ia menyadari, mereka telah meninggalkan Rumah bersama-sama.

Saat ia berjalan kembali kea rah Oak, D.o mengerutkan dahi. Apa yang mungkin telah membuat para manusia itu sangat kacau? Sesuatu yang parah telah terjadi kepada “dia”—putra mereka Jongin, mungkin. Tapi, kalau bencana itu telah terjadi, mengapa mereka bergegas di tengah malam? Mereka kan tidak bisa melakukan apa-apa lagi tentang itu.

D.o masih merenungkan cara-cara aneh para manusia ketika angin bergeser, dan sebuah aroma lembap yang familier terembus lewat. D.o berputar, tangannya menyentuh pisau logam yang ia bawa di ikat pinggangnya. Dia kembali, pikirnya. Hanya itu yang sempat ia pikirkan sebelum gagak itu menukik turun dan menjatuhkannya ke tanah. D.o berguling dengan tiupan angin itu, melompat tepat waktu untuk menghindar dikunci. Kemudian ia mencabut belati baru dari sarungnya dan melemparkan diri pada musuhnya.

Gagak itu terbang untuk menghadapi D.o, paruhnya menyambar, tetapi D.o menyelam pada menit terakhir. Ia merunduk di bawah sayap gagak itu yang terentang, terbang sangat rendah sampai-sampai rumput yang basah menyapu pipinya. Kemudian ia memutar diri, dan menyayat tepat melintasi bagian belakang kedua kaki gagak itu.

Gagak itu memekik dan tersandung, sayap-sayap terkoyak memukuli tanah. D.o yakin ia telah membuat gagak itu pincang. Tetapi gagak itu melompat tegak lagi, dan dengan sebuah koakan meluncurkan dirinya ke udara. D.o ragu-ragu, mendongak pada bayangan gelap yang meninggi di atasnya. Tentunya gagak itu tidak mundur secepat ini? Bahkan kalau dia memang pergi, bisakah D.o tahan membiarkannya pergi?

D.o melompat dari tanah dan melesat mengejar gagak itu, sayap-sayapnya mendengung dengan marah. Dalam satu detak jantung, ia telah melewatinya dan berayun untuk mengambang di udara, menunggu untuk melihat apa yang akan gagak itu lakukan.

D.o tidak perlu menunggu lama. Dengan sebuah kilatan gila di matanya, gagak itu berbalik kepada D.o. Gadis peri itu terpaksa lari. Ketika gagak itu mengejarnya, D.o tidak merasa takut. Seekor gagak dengan kesehatan penuh memang cepat dan mematikan, tetapi D.o telah melukai yang satu ini. Sekarang gagak itu hampir tidak bisa mengejarnya.

D.o melesat melintasi pekarangan dank e dalam bayangan Oak. Ia menyelip-nyelis dengan mudah di antara dahan-dahan Oak yang lebar celahnya. Tepat sebelum ia mencapai batang, ia banting arah ke samping. Sementara gagak itu, silau ileh rasa sakit dan amarah, menghantam tepat ke batang pohob itu. D.o mendengar suara retak yang mengerikan, sebuah suara tergelincir yang diikuti oleh gedebuk, lalu hening.

Setombak cahaya keemasan ditembakkan dari Oak ketika jendela teratasnya mendadak terbuka. D.o sekilas melihat wajah Ratu Taeyeon yang pucat dan marah. Gadis peri itu mengangkat tangannya untuk memberi hormat sebelum memutar kembali untuk mencari tahu musuhnya sudah menjadi apa.

Sekarang, ketika kegilaan pertarungan mereka telah surut, D.o kecewa melihat gagak yang terbaring kusut di dahan bonggol atas ternyata bukanlah Wormwood Tua. Itu adalah gagak yang lebih kecil, terlalu muda dan tidak berpengalaman untuk menjadi petarung yang baik. Tidak heran D.o telah mengalahkannya dengan begitu cepat. Kegembiraannya memudar, ia terbang ringan di sampingnya dengan sebuah belati terhunus, siap untuk menikamnya begitu gagak itu bergerak. Ternyata tidak perlu. Matanya telah menjadi hampa dan sayap-sayapnya bergantung lunglai seperti karung. Salah satu kaki D.o menyodok gagak itu dengan hati-hati. Ia melompat mundur ketika gagak itu tergelincir dari dahan pohon dan jatuh ke tanah. Musuhnya telah mati.

Hanya kemudian D.o mendapati lengannya berdarah. Merasa pening, ia berjongkok saat Krystal berseru dari arah jendela, “Mama Agung yang penuh belas kasih! Itu D.o?”

“Pergilah dan jemput dia,” kata suara Ratu Taeyeon. “Bawa dia ke hadapanku.”

Sesaat kemudian D.o merasakan seseorang menariknya berdiri. “Ugh,” kata Krystal, dan tangan-tangan yang menahannya tadi segera ditarik. “Ia bau.”

Sayangnya, itu benar. Gagak adalah makhluk kotor dan tidak semua darah pada D.o adalah darahnya sendiri. Ia memalingkan kepalanya, menemukan pada saat yang sama bahwa lehernya nyeri parah. Ia melihat Krystal memandanginya dengan mata yang waspada dan hampir ketakutan.

“Sebentar,” kata sang Ratu. “Senjata apa itu yang ia bawa?”

Krystal membungkuk untuk memeriksa belati yang masih tergenggam di tangan D.o. “Tampaknya ini terbuat dari logam, Yang Mulia. Pisau yang aneh.”

“Logam? Logam macam apa?”

Pendamping sang Ratu menyentuh bilah itu dengan hati-hati, hidungnya mengerut tidak suka. “Baja, Yang Mulia. Aman, menurutku.”

“Bawa itu juga,” kata sang Ratu. Kemudian ia berhenti dan menambahkan, “Suruh ia mandi dulu.” Ia menarik kembali kepalanya yang bersinar dan menutup jendela.

“Kau dengar kata-kata Yang Mulia,” kata Krystal. “Sebaiknya kau ikut denganku.”

 

Beberapa saat setelah itu, D.o sudah terbalut perban dari pergelangan tangan sampai siku. Dengan tubuh segar, ia mengenakan tunik dan celana panjang paling bersih yang bisa ia temukan. D.o mengikuti Krystal naik ke putaran terakhir tangga spiral ke ruang-ruang sang Ratu.

Sementara Krystal, dengan lampu di tangan, membimbingnya sepanjang koridor. D.o mencuri pandang ke dalam setiap ruangan yang ia lewati. Lengkungan masuk pertama menunjukkan sebuah ruang pertemuan kecil yang dihias dengan tirai merah tua. Berikutnya adalah sebuah kamar mandi pribadi dengan berbagai peralatan dari batu-batu dipelitur dan sebuah cermin yang bahkan lebih besar dari cerminnya Yoona. Dan yang terakhir sekaligus paling menarik, sebuah perpustakaan yang oleh jilid-jilid terbuka dan lembar-lembar kertas bercoretan, seakan-akan sang Ratu telah di sela di tengah pembelajaran yang genting. Hanya satu pintu terakhir yang tersisa, dan itu tertutup. Krystal berhenti dan mengetuk pintu dengan hormat dengan pengetuk dari kuninga.

“Masuk,” sahut sang Rati dari dalam.

Krystal membuka pintu. “Yang Mulia, D.o di sini.”

“Baiklah. Kau boleh meninggalkan kami.”

Pendamping sang Ratu membungkukkan kepalanya dan menarik diri. D.o ditinggal sendirian di ambang pintu, memandangi ruangan itu dan berpikir betapa ruangan itu mengingatkannya pada Rumah—meskipun perabotan di sini lebih tua, dan mulai kelihatan sedikit using. Ada sebuah tempat tidur bulu yang lebar dengan sebuah tiang di setiap sudut, dan sebuah meja dengan dua kursi yang dilapisi oleh jahitan yang halus. Jendelanya, dua kali ukuran jendela mana pun di Oak, melihat langsung ke Rumah. Jendela itu tertutup sekarang, tirainya ditarik.

Di sisi jauh ruangan itu berdiri sebuah meja rias yang di bagian atasnya ada sebuah cermin lonjong. Di sanalah Taeyeon duduk sambil menyisiri rambutnya. Ia tidak mendongak saat D.o mendekat dan menampilkan bungkuk hormat ritualnya. Ketika D.o telah selesai menghormat, Taeyeon meletakkan sisirnya dan berbalik anggun dalam kursinya, menarik gaunnya.

“Tepatnya apa maksudmu dengan tingkahmu yang ceroboh tadi?” tanyanya.

Mata hitam D.o bertemu dengan mata sang Ratu yang biru. “Untuk membunuh seekor gagak, Yang Mulia.”

“Dan kau berhasil melakukannya,” jawab Taeyeon. “Tapi, kenapa kau berada di luar selarut ini?”

D.o membuka mulut dan menutupnya lagi, rona wajahnya menjadi semakin suram. Bagaimana bisa ia menjelaskan tanpa mengakui bahwa ia telah pergi ke Rumah? Akhirnya ia menjawab, “Yang Mulia, aku berusaha mengenyahkan bahaya dari orang-orang kita. Dan… aku ingin mencoba senjata baruku.”

“Ah, ya.” Taeyeon mengulurkan tangannya. “Tunjukkan kepadaku pisau logam milikmu.”

D.o menarik belati itu dari sarungnya dan mengulurkannya pada sang Ratu. Taeyeon mengambilnya dalam kedua tangannya yang putih dan panjang. “Kelihatannya,” katanya datar, memegang pinggiran tajamnya naik ke cahaya, “efektif. Bagaimana kau mendapatkannya?”

“Aku menanyaimu,” kata sang Ratu. Nada suaranya lembut, tetapi saat bicara sayap-sayapnya terangkat dan terentang lebar. Sebuah pengingat tanpa kata tentang kekuatan sihirnya.

“Aku mencurinya,” kata D.o. “Dari Rumah.”

“Tempat para manusia tinggal.”

“Ya.”

“Apakah kau berniat membuat kebiasaan tidak mematuhi perintahku dan mempertaruhkan nyawamu?”

D.o menegakkan bahunya. “Yang Mulia, aku membutuhkan senjata yang lebih baik untuk melawan gagak. Dan aku tidak bisa melihat cara lain untuk mendapatkannya. Ya, dengan begitu aku mempertaruhkan nyawaku. Aku mempertaruhkannya lagi malam ini… dan aku akan terus mempertaruhkan nyawaku selama kau menyebutku Pemburu-mu, karena itulah kewajibanku.”

Sang Rati terdiam sejenak. Akhirnya ia berkata, “Tidak patuh mungkin kau ini, tapi kau juga pemberani. Aku tidak tahu satu Pemburu pun yang pernah membunuh seekor gagak. Baiklah, kau mendapatkan ampunanku kali ini. Tapi waspadalah, Nak. Kau bukan tandingan manusia dan aku tidak ingin kau memasuki Rumah mereka lagi. Aku dimengerti?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Bagus.” Taeyeon melihat sayapnya dan berpaling kembali pada cermin. Ia membaringkan pisau itu di atas meja rias. “Jadi, bagaimana aku akan menghargai keberanianmu?”

D.o menegakkan dirinya. “Yang Mulia… aku ingin mengganti namaku.”

“Itu saja?” tanya sang Ratu. “Tapi keistimewaan itu memang selalu menjadi milikmu. Tentunya kau tahu itu. besok, ketika aku menegaskanmu secara publik sebagai Pemburu baruku, kau boleh memilih sendiri nama biasa apa pun yang kau mau.”

“Tapi kau takkan membiarkanku memilih nama apa pun,” kata D.o. “Bukan nama yang benar-benar aku inginkan.” Ia memberi isyarat pada bilah di atas meja.

Sang Ratu bersandar pada kursinya, menatap pantulan D.o dengan mata menyipit. “Apakah aku memahami sepenuhnya? Kau pasti tahu, tidak ada orang kita yang pernah mengambil nama seperti itu.”

“Aku tahu.”

“Kau bertekad untuk menjadi berbeda, kan?” gumam sang Ratu. Kemudian dalam nada suara yang lebih segar, ia berkata, “Baiklah. Aku akan mengumumkan pilihanmu kepada yang lainnya besok. Tapi kalau kau mati dalam pertarungan, nama itu tidak akan diteruskan kepada anak telurmu.”

“Itu tidak apa-apa,” kata D.o. “Aku tidak ingin begitu. Yang Mulia, aku boleh mengundurkan diri? Aku… lelah.”

“Boleh.” Sang Ratu mengangkat belati itu, berbalik, dan mengulurkan pangkalnya kepada D.o. “Ini senjatamu. Aku memberikannya kepadamu. Kalau siapa pun bertanya bagaimana kau mendapatkannya, kau akan memberi tahu mereka demikian—bahwa kau menerimanya sebagai hadiah dariku.”

Itu akan memuaskan rasa penasaran peri-peri lain tentang dari mana bilah itu telah datang, tanpa membiarkan mereka curiga bahwa Pemburu mereka telah mengunjungi Rumah. Menatap ke dalam mata Taeyeon, D.o merasakan terpaan rasa kagum. Tidak heran ia-lah sang Ratu. “Aku akan melakukannya,” kata D.o, mengambil pisau itu dengan hati-hati.

“Kau boleh pergi,” kata Taeyeon

D.o membungkuk dan mundur dari ruangan. Krystal menemuinya di koridor, berdecak tidak setuju pada senjata di tanganya. “Sunggu, D.o—“

“Tidak.”

“Tidak? Tidak apa?”

“Mulai sekarang,” kata D.o tegas, “kau bisa memanggilku Kyungsoo.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
KyungBy
mianhae jika ada yang typo ^^

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet