Chapter 3

Pemburu Mantra

“Kau membuat pinggirannya terlalu tajam,” kata Chanyeol.

D.o nyaris tidak mendengarnya. Seluruh konsentrasinya terfokus pada usahanya membentuk pisau baru. ini adalah yang terakhir dari beberapa usahanya dalam membuat sebuah pedang tarung. Dalam hatinya, ia tahu ini akan gagal seperti semua usaha lainnya. Semakin ia mengasah pinggirannya, semakin cepat pisaunya remuk. Semakin tajam ujungnya, semakin mudah pisaunya patah.

“Ini tidak ada gunanya,” kata D.o akhirnya, melemparkan batunya ke bawah. “Kenapa kita tidak punya senjata sungguhan?”

“Terbuat dari logam, maksudmu?” tanya Chanyeol sambil menyeka seikal kayu dari pancang yang sedang ia raut. Sedang hujan, jadi sedikit bisa mereka berdua lakukan selain duduk di Akar Timur dan menunggu awan bergeser. “Kenapa kita harus punya?”

“Kenapa kita tidak harus punya? Ada benda-benda logam di Oak.”

“Hanya yang tersisa dari Hari-Hari Sihir. Lentera, potongan-potongan perhiasan, dan beberapa alat. Tapi sebagian besar terbuat dari kuningan atau perunggu, terlalu halus untuk menjadi senjata. Lagi pula, sang Ratu tidak terlalu suka ada logam di sekita sini. Kau tidak pernah tahu logam itu terbuat dari apa.”

“Apa maksudmu?”

“Besi dingin,” kata Chanyeol tidak sabar. Ketika pandangan D.o masih tampak kosong, Chanyeol melanjutkan, “Beso dingin menghentikan sihir—kalau murni, begitu. Tapi tidak ada banyak besi di sekitar sini lagi. Sekarang ini kau sebagian besar menemukan baja.”

“Baja,” kata D.o. “Itu besi dicampur dengan…?”

“Mama yang tahu,” kata Chanyeol. “Yang kutahu, kalau aku sampai terkena baja, aku masih bisa terbang setelah itu. Itu berarti cukup bagus bagiku.”

Tidak pernah disadari oleh D.o sebelumnya bahwa terbang bersifat sihir, tetapi sekarang ia menyadari memang pastilah begitu. “Jadi kita masih punya sihir.”

“Ya, itu tidak banyak gunanya, karena kita tidak bisa mengendalikannya,” kata Chanyeol. “Kadang-kadang salah satu dari kita berhasil membaca mantra secara tidak sengaja. Aku pernah melihat Leeteuk berubah ukuran sekali, berusaha menjatuhkan sebuah lubang tikus. Tapi itu selalu hilang dalam waktu satu atau dua jam.” Ia mendengus kecil dan menambahkan, “Kau tidak bisa menggunakannya untuk membunuh Wormwood Tua, kalau itulah yang kau pikirkan.”

D.o mendorong punggung kedua tangannya ke mata. “Pasti ada logam yang bisa kita gunakan,” katanya.

“Tidak di Oak,” kata Chanyeol. “Kecuali, kau mau pergi ke Rumah dan memintanya ke manusia?”

Mulut D.o merapat saat ia mengambil batu yang baru dan membungkuk untuk bekerja kembali. meskipun ia telah belajar banyak untuk menghormati Chanyeol, ada saat-saat di mana gurauan gelap peri yang lebih tua itu terlalu berlebihan.

Kemudian, sebuah pikiran menyambar D.o. Apakah mereka berdua benar-benar tahu bahwa manusialah yang membawa Keheningan? Bagaimanapun, D.o sendiri seharusnya sudah mati sekarang, kalau berdekatan dengan manusia sajalah yang menjadi penyebabnya. Bagaimana kalau Chanyeol salah, dan penyakit itu datang dari sumber lain? Kalau begitu, pergi ke Rumah untuk mencari logam mungkin bukanlah ide yang buruk sama sekali.

Aku perlu bicara kepada Siwon, D.o memutuskan. Penyembuh itu telah menangani beberapa kasus Keheningan sekarang. Kalau ada yang tahu cara kerja penyakit itu, Siwon-lah orangnya.

 

“Kau mau meminta apa dariku?” kata Siwon. Sikapnya resmi dan sopan. Ia tampah hanya sedikit terkejut menemukan D.o di pintunya.

“Pengetahuan,” kata D.o.

“Kau punya apa untuk ditawarkan kepadaku sebagai gantinya?”

“Tanaman obat, jenis apa pun yang kau mau.” Akan cukup mudah untuk memetiknya kali lain ia dan Chanyeol pergi berburu. Tak diragukan lagi, Siwon akan menghargai bahwa ia tidak harus menunggu para Pengumpul mendapatkannya.

Alis Siwon naik. “Setuju. Aku mau chervil, kalau kau bisa mendapatkannya. Kalau tidak, aku bisa selalu menggunakan lebih banyak comfrey atau kulit pohon dedalu. Pertanyaanmu?”

“Apakah ada cara untuk melindungi dirimu dari Keheningan?”

“Tidak ada yang aku tahu,” kata Siwon. Kemudian, saat melihat kekecewaan di wajah D.o, ia menambahkan, “Kenapa kau bertanya? Sudah bertahun-tahun sejak Sooman meninggal, dan seharusnya kau tidak dalam bahaya, tidak pada seusiamu.”

“Seusiaku?” D.o terkejut. “Maksudmu kau harus menjadi lebih tua?”

“Jauh lebih tua, menurutku. Aku ragu memberikan angka yang tepat, tapi sejauh ini, semua Oakenfolk yang aku lihat terjangkit Keheningan telah lahir jauh sebelum Pencabutan.” Ia tersenyum sedih. “Bahkan, meskipun mereka terlalu bingung untuk mengingatnya.”

“Tapi mereka semua pernah kontak dengan manusia,” kata D.o. “Berapa lama sampai mereka terkena?”

Siwon mengerutkan dahi. “Maaf?”

“Ini cuma“—D.o ragu-ragu, lalu menceburkan diri—“karena sekarang aku menghabiskan banyak waktu di luar. Aku takut suatu hari aku berpapasan dengan manusia lagi. Jadi, aku perlu tahu seberapa serius—“

“Kenapa kau berpikir Keheningan ada hubungannya dengan manusia?” Siwon terdengar benar-benar bingung.

“Maksudmu tidak?”

“Aku tidak berpikir bagaimana bisa,” kata Siwon. “Tidak ada Oakenfolk yang pernah aku rawat sebelumnya yang pernah berdekatan dengan manusia, setidaknya sepanjang hidupku. Faktanya, salah satu kasus terawalku sangat takut kepada manusia sampai-sampai ia tidak mau membuka jendelanya, bahkan di musim panas. Ia takut melihat manusia. Dan Yixing peri kecil yang pemalu. Aku tidak bisa membayangkan ia akan berbeda dari yang tadi aku ceritakan, bahkan sebelum ia kehilangan sihirnya.”

D.o bersandar ke bingkai pintu, lega. Jadi itu tidak benar, hal yang selama ni ia percaya. Instingnya benar, dan Chanyeol salah.

Artinya, selama ia tidak membiarkan manusia menangkapnya, ia bisa menyelinap ke dalam Rumah untuk mencari logam. Tidak ada orang yang akan tahu.

“Kau baik-baik saja?” tanya Siwon. “Kau perlu berbaring?”

“Tidak,” kata D.o. “Aku baik-baik saja.”

 

Di liar jendela D.o, Oakenwyld membentang terbayang-bayang, sepotong bulan nyaris tak terlihat dalam langit yang bercoreng awan. Bersandar pada ambag jendela, D.o memandang ke luar menyeberangi kebun, perutnya menegang penuh harap.

Bahkan kalau ia bisa menemukan sepotong atau sekeping logam di dalam Rumah, bisakah ia benar-benar kabur tanpa terdeteksi? Kalau hal terburuk terjadi dan ia tertangkap, apa yang akan dilakukan oleh para manusia terhadapnya?

D.o menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Kemudian ia memanjat ke atas kusen jendela dan kepalanya masuk lebih dulu ke dalam kegelapan.

Sayap-sayap beningnya mengepak terbuka. Ia meluncur turun ke permukaan lading rumput, kaki telanjangnya hampir mengusap rumput. Pada jam ini, sebagian besar Oakenfolk sedang tidur. Ia berhenti dan melirik ke balik bahunya untuk berjaga-jaga. Kalau-kalau ada orang tahu ia keluar pada malam hari, sendirian.

Tetapi, batang pohon yang besar itu tetap gelap, jendela-jendelanya tertutup. Menjadi yakin, D.o berbalik dan melanjutkan penerbangannya kea rah Rumah. Ketika bongkah besar abu-abu rumah itu membayang di jalannya, ia mulai bimbang. Sejenak ia hampir berbalik pulang, kemudian ia mengingatkan dirinya untuk apa yang ia cari—logam, manusia punya logam—dan berhasil melanjutkan.

Segera lading rumput di bawahnya diisi oleh jalan batu. Ia menukik ke atas dengan tajam, mendarat tepat di luar pintu masuk belakang Rumah. Sepasang pintu disisipi kaca jendela menjulang di atasnya, bersinar dengan cahaya bisu. Apa yang akan ia temuka di sisi lain? Memanggil keberanian, ia menekankan wajahnya pada dasar jendela dan mengintip ke dalam.

Awalnya ia hanya bisa melihat wujud-wujud gelap. Ia menangkupkan kedua tangannya pada kaca, memandang menembus tirai tipis. Apa yang ia lihat kemudian membuatnya tercekat. Ia membiarkan kedua tangannya terjatuh, terpesona. Rumah batu yang buruk, di mana para monster manusia tinggal… di dalamnya, itu cantik.

Tidak pernah dalam hidupnya ia melihat perabotan yang luar biasa indahnya, dengan lekuk-lekuk seperti aliran air dan kayu gelap dipelitur supaya berkilau. Permadani terbaik Oak kelihatan kasar kalau dibandingkan dengan jalinan dedaunan yang menutupi sofa manusia. Semua permadani buatan tangan Yoona tidak ada yang bisa menandingi karpet halus yang mengalir melintasi lantai mereka. Bahkan, dinding-dindingnya mustahil mulusnya dan lurus. Apakah dinding itu benar-benar dicat biru, atau hanya tipuan cahaya?

Tunggu. Cahaya. Dari mana datangnya cahaya? Ia tidak melihat api, lilin, tetapi seluruh ruangan bersinar dengan kilauan cahaya. D.o melesat kembali ke jendela, bersungguh-sungguh. Ah, itu dia sumbernya: sepasang rangkaian lampu di kedua sisi sofa. Tapi, bagaimana api di dalam mereka yang seperti kertas tidak menangkap terang itu?

Sihir, pikir D.o dengan berkecil hati. Manusia punya sihir.

D.o duduk dengan berat di undakan pintu. Sekarang ia tahu bahwa para manusia bukanlah monster. Mereka mungkin masih berbahaya, tetapi mereka bukan binatang yang hidup dengan insting belaka. Mereka cerdas. Mereka orang.

Serta-merta sebuah bayangan lewat di depannya. Ia melompat panic sebelum menyadari dirinya masih aman. Wujud gelap itu tetap berada di sisi terjauh dari pintu. Faktanya, dengan cahaya seterang itu datang dari bagian dalan Rumah, dan tidak ada selain kegelapan di kebun tempat D.o berdiri, akan sulit bagi para manusia itu untuk melihatnya, kecuali mereka sudah tahu harus melihat ke mana. Dengan hening, ia menegur dirinya sendiri atas kepengecutannya tadi. D.o merangkak ke dekat jendela lagi.

“Kau sudah lihat?” Suara itu terdengar hampa dari sisi lain kaca. “Kita dapat surat dari Jongin hari ini.”

Penutur itu seorang wanita yang lebih tua, rambutnya seperti sebuah topi longgar ikal-ikal cokelat bergaris perak. Dia mengangkat sebuah nampan dari meja teh dan melangkah keluar dari pandangan lagi, menambahkan sambil berlalu. “Dia terdengar jauh lebih bahagia akhir-akhir ini. Aku penasaran, mungkin dia sudah bertemu seseorang?”

Mereka menuturkan bahasa kami, pikir D.o heran. Bagaimana mereka bisa hidup sangat dekat dengan kami selama bertahun-tahun, dan kami tidak pernah tahu itu?

“Aku meragukan hal itu,” kata sebuah suara yang lebih dalam. D.o menjulurkan lehernya untuk melihat seorang manusia lainnya memasuki ruangan dan duduk sejenak, bingung melihat rahang persegi, dada rata, dan tangan-tangan yang berat; kemudian ia menyadari bahwa kedua manusia itu berpasangan, dan ini pastilah yang jantan. Makhluk yang tampak aneh dia itu! Tapi, dia juga mengingatkan D.o pada anak laki-laki yang pernah ia temui saat sedang memanjat Oak, bertahun-tahun lalu itu. apakah anak itu tinggal di Rumah juga?

“Yah, bagaimanapun, dia menikmati paduan suaranya,” ujar yang wanita, “dan mereka telah menjadikannya kapten tim dayung tahun ini.”

“Xiumin,” kata pria itu, melambaikan sebuah lembar kertas terlipat kepada wanita itu, “aku bisa membaca.”

Pasangannya membuat suara tertawa kecil dan terdiam. Akhirnya pria itu membiarkan halaman kertas itu jatuh ke pangkuannya dan bersandar mundur dalam kursinya sambil mendesah.

“Tidak di sini saat Natal,” kata pria itu sedih.

“Oh, Chen, dia masih muda. Usia enam belas, akankah kau mau melepaskan kesempatan pergi ke Paris untuk duduk saja di rumah bersama orangtuamu? Setidaknya dia akan diurus dengan baik, dan kita akan bertemu dengannya pada Tahun Baru.”

“Semoga.” Pria itu melemparkan amplop ke meja teh. Amplop itu bergerak cepat menyeberangi permukaan meja dan tersandung ke lantai. D.o membaca alamat yang tertulis di atas surat itu dengan cepat—Chen dan Xiumin Kim—kemudian merunduk kembali ke dalam baying-bayang saat pria itu mendekat.

“Kau perlu bantuan dengan piring-piring itu?” tanyanya, berhenti untuk mengambil surat tadi. “Aku akan mengeringkannya, kalau kau mau.”

“Baiklah,” kata wanita itu, kemudian seolah terkesan bantuan itu bukan apa-apa sehingga menambahkan, “makasih.”

D.o mundur selangkah, tercengang. Bagaimana bisa manusia berterima kasih kepada pasangannya, begitu saja? Berutang seumur hidup kepada pria itu, semuanya dan beberapa piring?

Di sisi lain, D.o menyadari ketika syoknya surut, pria itu tampaknya juga sama tidak sadarnya tentang tingkah anehnya itu. pria itu menawarkan bantuan tanpa diminta, dan bahkan tanpa mengambil waktu untuk tawar-menawar. Apakah dia benar-benar menghargai jasanya sesedikit itu? Tidakkah dia takut pasangannya akan mengambil keuntungan darinya?

Atau, apakah mungkin kedua manusia ini telah mencapai semacam pengertian, dan tidak lagi perlu untuk tawar-menawar sama sekali?

Sebagian dari diri D.o ingin tetap di sana dan mencari tahu. Tapi, ia sudah membuang cukup banyak waktu. Ia bisa melihat tidak ada logam yang berguna di sini. Biar bagaimanapun, ia tidak berani masuk ke ruangan it. Dengan satu lirikan sedih menembus kaca, D.o mundur beberapa langkah dan meluncurkan dirinya ke atas jendela berikutnya.

D.o melintas dari dapur ke ruang makan, ke tingkat puncak Rumah dan turun lagi, terpesona dan tertarik oleh benda-benda yang ia lihat sepintas di dalam. Namun, ia tetap tidak melihat sesuatu yang seukuran pisau peri. Akhirnya ia menemukan sebuah ruangan yang tampak lebih menjanjikan. Ruangan itu berpenerangan samar. Saat ia mengintip ke dalam celah di tirai, ia bisa melihat apa yang tampaknya sebuah ruang belajar. Dinding-dindingnya dibarisi rak-rak buku. Di seberang D.o berdiri sebuah meja belajar dengan kertas-kertas ditumpuk di atasnya. Dan di sana, di bawah pancaran lampu berleher angsa, duduklah sebuah kendi yang terbuat dari tanah liat dan menyimapn beberapa batang pena, sebuah penggaris, dan—

“Oh,” bisik D.o takjub.

Pada pandangan pertama, benda itu tampak seperti sebuah tombak. Sebuah tongkat perak berkilat, hanya sedikit lebih pendek daripada D.o sendiri. Dari kepala-kepala tombak berbentuk berlian yang dipahat oleh D.o dan Chanyeol, tombak itu mempunyai bilah yang panjang dan bersudut. Ujungnya kelihatan tajam dan garang. D.o menepukkan kedua tangannya dengan girang. Kalau ia bisa menarik bilah itu terlepas dari tangkainya, itu akan menjadi pisau yang sempurna.

Ruangan itu terlantar. D.o telah mendapatkan kesempatannya, kalau saja ia bisa menemukan jalan untuk masuk. D.o merangkak, menjejalkan kedua tangannya ke dalam retakan di bawah jendela, dan menarik ke atas. Sejenak ia tidak merasakan apa-apa selain sengatan buku-buku jari yang lecet. Ia takut jendela itu terkunci. Kemudian terdengar suara keriut, dan jendela itu bergeser. Butuh beberapa usaha hingga harus menggertakkan gigi lagi. Akhirnya ia membuat sebuah celah yang cukup lebar untuk bisa menyelip masuk.

Sekarang adalah kesempatan terakhirnya untuk kembali. Saat ini ia aman, para manusia tidak kelihatan di mana pun. Tetapi, begitu ia memasuki Rumah, apa pun bisa terjadi. Kalau mereka punya lampu bersihir, mereka mungkin punya jebakan sihir juga. Apakah risiko ini pantas diambil?

Ia bisa masuk sedikit dulu, D.o memberi tahu dirinya sendiri saat ia berbaring di atas ambang jendela. Dengan begitu, ia masih punya waktu untuk kabur kalau ada yang salah. Menggeliat menembus celah itu, ia memanjat berdiri di sisi jauh dan menunggu, setiap urat menegang. Tidak ada yang terjadi. Ia mulai bertanya-tanya apakah para manusia itu memang punya sihir.

Sayap-sayapnya yang sensitive bergetar di punggungnya, tidak sabar untuk mencicipi udara. D.o ragu-ragu, kemudian merentangkan sayapnya lebar-lebar dan meluncur turun ke meja belajar. Dengan kedua tangan, ia merenggut pisau itu dari tiang peraknya, dan menariknya.

Benda itu terangkat dengan mudah… terlalu mudah, karena saat ia terbebas, seluruh wadanya terbalik. Berusaha tetap berdiri saat pena dan pensil berjatuhan bergemerincing di sekitarnya, D.o tidak melihat yang terburuk dari bahaya itu sampai sudah terlambat. Kendi tanah liat itu tersandung dari pinggir meja belajar dan menghantam lantai bawah.

“Apa itu?” teriak suara wanita tadi dari ruangan lain. Pasangannya menjawab, “Kedengarannya seperti dari ruang belajar.”

Langkah-langkah kaki di koridor—terlalu cepat, terlalu dekat. Tidak ada waktu untuk mencapai jendela. D.o harus menemukan tempat untuk bersembunyi. D.o berlari ke sisi lain meja, mencari-cari dengan kalut ke semua arah. Melihat di bawahnya ada sebuah keranjang penuh dengan kertas kusut, ia melemparkan pisau tadi ke dalamnya dengan ujungnya di depan, lalu melompat menyusul. Ia baru saja sempat merunduk dan menarik secarik kertas di atas kepalanya sebelum mendengar sebuah suara keras. Ruangan itu pun dibanjiri dengan cahaya.

“Apa itu, Chen?” tanya wanita itu.

“Sesuatu menjatuhkan pena-penaku.” Pria itu bali berseru. “Seekor tikus, aku rasa.” Dia melangkah ke sekeliling meja belajar, bayangannya menggelapkan keranjang. D.o menunduk ngeri.

“Oh, bagus.” Pasangannya terdengar lega. “Asalkan memang Cuma itu. Aku akan memasang jebakan sebelum kita pergi tidur.”

“Mm,” kata pria itu ragu-ragu. D.o mendengar sebuah gesekan dan denting ketika pria itu mengangkat kendi dari lantai dan menjatuhkan alat-alat tulisnya kembali ke dalam benda itu. Kemudian pria itu mematikan lampu dan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya.

D.o menekankan wajahnya ke lutut, menelan ludah. Pria itu tadi sangat dekat dengan tempat persembunyian D.o, sangat dekat sehingga peri itu bisa membauinya. Berkat belas kasihan Mama, pria itu tidak membaui D.o. Ia harus keluar dari Rumah sekarang juga.

Bernapas keras, ia melemparkan dirinya dari satu sisi keranjang sampah itu ke sisi lainnya sampai benda itu terguling, menghujaninya dengan gumpalan-gumpalan kertas kusut. Kemudian ia menyeret pisau curiannya ke atas sinar bulan yang tersaring masuk menembus tirai dan mulai menelitinya.

Bilah itu longgar, berguncang pada sendinya. D.o memain-mainkan tangkainya sampai ia menemukan cara untuk memelintirnya. Terlepas, dan pisau barunya terjatuh ke atas lantai kakinya.

Akhirnya ia mendapatkan sebuah senjata yang sempurna; sebuah segitiga perak ramping yang lebih ringan daripada batu flint, lebih kuat dan lebih melenting daripada tulang. Ujung jauhnya mempunyai lubang di mana tadinya sesuai dengan larasnya—sebuah poros yang sempurna untuk sebuah pangkal.

Meninggalkan dua potong laras terbaring di samping keranjang yang terjungkal, D.o merayap keluar jendela dan terbang kembali ke Oak, hadiahnya yang gemerlapan tergenggam di antara gigi-giginya.

Malam itu ia tidak tidur sama sekali.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
KyungBy
mianhae jika ada yang typo ^^

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet