Chapter 1

Pemburu Mantra

“Aku hanya ingin keluar sebentar, sebentar saja,” ujar anak perempuan peri itu memohon. “Hanya di bawah jendela, di dahan itu. Aku tidak akan terbang dan aku tidak akan memberi tahu siapa-siapa. Aku janji.”

 

“Oh, D.o, kau kan tahu kenapa kau tidak boleh begitu.” Suara Yoona datang dari sisi lain meja jahit, teredam oleh semulut penuh peniti. Rambut cokelatnya telah terlepas dari simpulnya, jatuh dalam ikal-ikal yang basah kuyup. Pipinya berwarna merah muda akibat kehangatan ruangan itu yang sulit ditahan. “Tidak ada yang boleh. Tidak aman.”

 

“Tapi para Pengumpul pergi ke luar sepanjang waktu,” kata D.o. “Begitu pula Chanyeol.”

 

“Chanyeol adalah Pemburu bagi Sang Ratu,” kata Yoona dengan ketegasan yang tidak biasa, “tanpanya dan para Pengumpul, kita semua akan kelaparan. Tapi mereka hanya ketika harus keluar. Mereka tidak berada di luar lebih lama daripada yang mereka harus, dan kau dan aku tidak harus, maka begitulah.”

 

D.o melompat dan menyeret sebuah kursi tanpa sandaran ke jendela, berjinjit dari dudukan itu supaya bisa melihat dengan lebih baik. Kalau ia melihat lurus ke luar, hanya ada dan dahan pohon. Tapi kalau ia menjulurkan lehernya dan memandang dengan tajam ke bawah, ia bisa melihat—

 

“Oh, D.o, duduklah,” kata Yoona jemu. “Kau menghalangi udara segar.”

 

D.o cemberut dan melompat ke kursinya, sebuah konstruksi gemetaran dari ranting pohon dan rumput kering yang terasa seolah bisa hancur kapan saja. “Tapi panas di sini,” katanya menggerutu. “Dan sangat jelek.” Seperti sebagian besar ruangan lain di dalam Oak, apartemen yang ia tinggali bersama Yoona berdinding polos, berperabotan kaku, dan sesak. Tidak seperti kebun yang ia intip melalui jendela yang terbuka. Bentangan ladang rumput seperti beledu yang dibingkai oleh semak-semak dan dibintik-bintiki dengan bunga-bunga terang. Itu cantik.

 

“Kenapa kau tidak turun ke dapur?” kata Yoona yang merasa terganggu, matanya terpaku pada keliman yang sedang ia jahit. “Aku dengar para Pemburu menemukan sebuah sarang lebah pagi ini. Kalau kau mengelap piring atau menyapu lantai sedikit, mungkin mereka akan membiarkanmu mendapatkan sedikit madu.”

 

“Aku tidak lapar.” Di samping itu, Hyoyeon ada di dapur. Tidak seorang pun berani menawari D.o tawaran manis seperti itu ketika Kepala Koki ada di sekitar sana. Kecuali mungkin Sooman, yang sudah tua, baik hati, dan agak linglung. D.o belum melihat Sooman selama berhari-hari.

 

“Polesi cermin, kalau begitu,” kata Yoona

 

D.o menjadi cerah. Cermin panjang pada tatakan berukirnya merupakan benda cantik di ruangan itu, sebuah tanda mata dari Hari-Hari Sihir. Dulu itu milik Penjahit sebelumnya, yang merupakan ibu telur D.o sendiri. Mereka pun mempunyai nama yang sama. D.o telah menghabiskan banyak waktu di depan benda itu, membisikkan rahasia pada pantulan dirinya sendiri. Tidak ada anak lain di Oak, maka gadis berambut hitam dalam cermin itu adalah benda terdekat yang menjadi kawan bermain bagi D.o.

 

D.o berdiri dan melangkah ke arah kaca itu, tetapi bahkan ketika ia bergerak, jendela menangkap matanya lagi. Dahan-dahan Oak besar memancarkan cahaya bagaikan batu permata yang memesona dari langit yang biru. Dedaunan membisikkan janji-janji tentang angin sepoi-sepoi yang ia dambakan untuk dirasakan. Seekor burung robin bertengger di atas sebuah ranting yang dekat, memiringkan kepalanya pada gadis itu. D.o merasakan sebuah dorongan mendadak untuk menyelam menembus jendela dan melompat ke punggung burung itu. Bersama-sama mereka akan melayang tinggi jauh dari Oak, ke tempat ia juga bisa terbang dengan bebas—

 

Dengan satu sentilan sayap-sayapnya, burung robin itu menghilang. “Tidak adil,” sembur D.o. “Kenapa kita tidak bisa pergi ke luar? Hanya karena sang Ratu bilang itu tidak aman. Bagaimana ia bisa tahu? Ia juga tidak pernah meninggalkan Oak!”

 

Yoona merampas peniti terakhir dari mulutnya, tampak syok. “Tentu saja sang Ratu tidak meninggalkan Oak! Ia yang menjaga kita semua tetap hidup sejak kita kehilangan sihir. Kalau bukan berkat perlindungannya, Oak akan membusuk dan mati. Segala macam makhluk mengerikan akan datang merayap ke dalam untuk menyantap kita. Ia tidak berani pergi ke luar, karena kalau apa pun yang terjadi kepadanya, itu akan menjadi akhir bagi kita semua!” Suaranya bergetar pada frasa terakhir, seakan-akan ia sudah bisa melihat bencana itu terjadi.

 

D.o bersandar pada kusen jendela, memandangi langit di luar. “Tetap saja tidak adil,” protesnya.

 

Kata-katanya diikuti dengan sebuah jeda yang berat, lalu sebuah desahan dari Yoona. “Aku rasa kau sudah cukup besar untuk tahu,” katanya. “Aku tidak menceritakannya padamu sebelumnya, tapi—“

 

“Aku sudah tau tentang Pencabutan,” potong D.o. Ia telah menghabiskan sepanjang sore membersihkan debu dari rak-rak buku untuk mendapatkan cerita itu dari Seohyun, Pustakawan Oak. “Dulu sekali seseorang memasang sebuah kutukan kepada semua orang di Oak, sehingga kita tidak bisa melakukan sihir lagi. Setiap orang menjadi bingung dan ketakutan, dan banyak peri mati. Kemudian Ratu Taeyeon datang, hanya saja ia belum dipanggil Taeyeon. Ia dulu bukan Ratu, tapi aku tidak ingat bagian itu—“

 

“Dulu namanya Taeng,” kata Yoona lembut.

 

D.o tidak menghiraukan selaan itu. “Dan ia masih punya sihir karena waktu itu ia tidak berada di Oak ketika Pencabutan terjadi. Ia harus menjadi Ratu karena tidak ada orang lain yang cukup pintar atau kuat lagi. Ia membuat banyak peraturan yang berbeda supaya orang-orang tetap aman dari gagak, rubah, dan makhluk-makhluk lain di luar. Tapi mereka tetap membuat kesalahan-kesalahan bodoh dan terbunuh juga. Akhirnya ia memberi tahu semua orang bahwa tidak aman pergi ke luar Oak, selamanya.” Ia menyelesaikan kalimat terakhir dalam satu tarikan napas, dan berbalik dengan membangkang untuk menatap Yoona. “Lihat kan, aku sudah bilang aku tahu.”

 

“Oh… ya,” kata Yoona, bingung. “Yah, aku kira—“

 

“Kecuali bahwa ini peraturan yang bodoh,” D.o melanjutkan dengan keras kepala, “karena aku tidak bodoh dan aku tidak akan terbunuh, makanya!” Dengan selintas cahaya sayap-sayapnya, ia melompat ke atas kusen.

 

“D.o!” Yoona memekik. “Turun!”

 

Tetapi D.o tidak ragu-ragu. Berjongkok di pinggiran jendela, ia mempelajari jarak antara dirinya sendiri dan dahan terdekat. Kemudian, tepat sebelum tangan-tangan Yoona menangkapnya, D.o melompat.

 

Dengan sayap-sayap terentang, D.o mendarat dengan rapi seperti seekor capung. Ketika ia menegakkan dengan bangga dan senang, ia dihadiahi sentuhan angin sepoi-sepoi musim panas yang mengangkat rambut lengketnya dari dahi. Rasanya luar biasa.

 

“D.o, kembali! Tidak, tunggu. Tetap di sana, dan aku akan mencari bantuan. Tapi tidak, aku tidak bisa meninggalkanmu… Oh, apa yang harus aku lakukan?” Yoona melayang-layang maju-mundur di dekat jendela yang terbuka. Ia jelas terlalu ketakutan untuk memanjat jendela itu sendiri, yang berarti D.o bisa, setidaknya, mempunyai beberapa menit kebebasan lagi.

 

Dengan penuh semangat gadis peri itu memanjat dahan sampai paling ujung. Ia membungkuskan kedua lengannya sekeliling sebuah ranting yang lentur dan bergantungan di sana, terpesona. Di bawahnya membentang kebun yang selalu ia dambakan untuk dijelajahi: keliaran yang nyaris tidak dijinakkan dari pagar mawar di timur, bunga-bunga kecil berbaris gemuk ke barat, lading rumput bertitik-titik bunga. Dan di kejauhan ada Rumah yang menciutkan hatinya.

 

Sudah ada peri di Oak selama lebih dari empat ratus tahun, kata Seohyun. Itu membuat Rumah tersebut sebagai pendatang baru, dan itu tidak sopan. Tidak seorang pun pernah diundang untuk menetap di sana. Tetapi, wajahnya yang dari batu, jendela-jendelanya yang kosong, dan atapnya yang memuncak dengan sombong, tidak mengizinkan adanya pertanyaan, apalagi perdebatan. Menurut kabar burung, Rumah itu penuh dengan monster, tetapi D.o belum pernah melihat satu pun. Mungkinkah ia akan melihat satu monster hari ini?

 

“D.o, oh D.o, kumohon.” Yoona memohon dengan sangat, tetapi suaranya terdengar samar sekarang dan mudah untuk tidak dihiraukan. D.o meluncur di ranting itu dan melangkahi akhir dahan itu. ia menendang kedua tumitnya yang telanjang. Bagaimana ia bisa menahannya begitu lama, terperangkap di dalam Oak seperti narapidana?

 

Pikirannya terganggu oleh sebuah suara dari bawah, suara yang membuat bulu tengkuknya. D.o mengintip dari pinggir dahan untuk melihat sesosok makhluk yang sangat besar, dengan anggota badan berwarna cokelat matahari dan wajah tanpa rambut yang bulat, berdiri di kaki Oak. Saat D.o memperhatikannya, makhluk itu melompat untuk menggenggam dahan terendah dan mulai memanjat pohon ke arah D.o.

 

Ia pasti sudah dari tadi berada tepat di bawahku, pikir D.o, tubuhnya gemetaran. Ia setengah senang, setengah ngeri. Dan sekarang ia naik. Haruskah aku lari? Haruskah aku terbang? Atau haruskah aku tetap di sini, sangat kecil dan diam, dan berharap ia tak melihatku?

 

Monster itu punya rambut hampir sehitam rambut D.o, tetapi lebih berkilau dan terpangkas dekat dengan kepalanya, memamerkan sepasang telinga yang bulat bundar dengan aneh. Matanya, ketika dia mengangkat mata itu ke atas untuk mencari dahan berikutnya, sebiru mata Yoona. Meskipun ukurannya besar, ada sesuatu yang familier tentang ciri-cirinya—

 

Itu seorang anak, D.o menyadari, kegembiraannya bangikit. Seperti dirinya. Seorang teman bermain sungguhan. Akhirnya!

 

Sementara itu, Yoona telah berhenti kebingungan dan mulai naik pitam. “D.o, kalau kau tidak kembali ke dalam Oak sekarang juga—“

 

“Shh!” kata D.o. “Kau akan membuatnya takut!”

 

Itu membuat Yoona terhenti. “Membuatnya takut… apa?”

 

“Monsternya, tentu saja.” D.o memberitahunya dengan tidak sabar, tanpa melepaskan perhatiannya dari anak itu. Dia hanya berada dua dahan di bawah D.o sekarang. Meskipun tampaknya dia belum melihat D.o, dia berhenti dan memiringkan kepalanya ke satu sisi seakan-akan sedang mendengarkan.

 

Beberapa detak jantung berlalu dalam hening. Kemudian D.o mendengar Yoona berkata dalam bisikan tertahan, nyaris tidak terdengar di atas dedaunan yang bergemirisik. “D.o. Jangan… oh, kumohon. Apa pun yang kau lakukan, jangan bergerak.”

 

D.o sudah tinggal dengan Yoona seumur hidupnya, tetapi gadis peri itu belum pernah mendengar nada suara itu dari mulut ibu asuhnya sebelumnya. Yoona tidak saja terdengar gugup, atau bahkan cemas. Ia terdengar ketakutan.

 

Rasa percaya diri D.o menjadi goyah. Ia mulai menggeliat ke belakang, dengan sangat hati-hati, ke arah Oak. Ia bisa mendengar monster itu bernapas terengah-engah saat meneruskan memanjat. Napas D.o sendiri bertambah cepat saat ia menyadari betapa dekatnya anak itu sekarang. Cukup dekat untuk menangkapnya dalam tangan anak itu yang kotor, untuk merobek sayap-sayapnya, dan untuk menjejalkan gadis peri itu ke dalam mulutnya yang merah dan setengah terbuka.

 

Kemudian anak itu mendongak, dan pandangannya bertemu dengan mata D.o.

 

Rasa takut dalam diri D.o meledak seperti gelembung-gelembung sabun. Ia takjub melihat wajah makhluk itu, tetapi tidak ada tanda kejahatan atau rasa lapar. Faktanya, kalau D.o belum pernah diyakinkan dalam seumur hidupnya bahwa peri adalah satu-satunya orang sungguhan di dunia ini, ia mungkin akan telah menangkap kesiagaan dalam kedua mata itu sebagai kecerdasan.

 

Menurut kata hati, D.o merentangkan tangannya. Gigi-gigi anak itu berkilat ketika dia menarik dirinya sejajar dengan dahan D.o, dan jari-jarinya yang besar terulur ke arah si gadis peri.

 

Mendadak D.o merasakan dirinya ditangkap dari belakang dan direnggut ke udara. Tenggorokan tercekat dengan ngeri. Bahkan, ia tidak bisa memekik ketika sang penangkap menyeretnya menyusuri panjang dahan dan melemparkannya menembus jendela ke dalam Oak. D.o terguling ke lantai yang berdebu, mengangkat sebelah tangan untuk melindungi dirinya sendiri—hanya untuk menyadari bahwa Chanyeol yang berdiri di hadapannya, terengah-engah dan marah.

 

D.o telah diselamatkan oleh Pemburu sang Ratu tersebut.

 

Rambut cokelat Chanyeol mengembung akibat angin, baju panjang tunik dan legging-nya bergaris terkena kotoran. Wajah peri wanita itu mengerut berkonsentrasi. Ia membanting jendela itu menutup dan bersandar kepadanya, mendengarkan sungguh-sungguh. Kemudian ia berputar dan membentak D.o. “Dasar serangga kecil yang bodoh dan egois! Dan kau, Yoona—“ Ia berhenti, amarah memudar dari wajahnya “Yoona?”

 

Tidak ada jawaban. D.o berbalik dan melihat Yoona terbaring di atas permadani sejauh satu lengan darinya. Matanya tertutup, wajahnya tanpa warna.

 

“Oh, dasar hama,” kata Chanyeol letih. Ia membungkuk, menarik D.o berdiri dan menarik gadis peri itu ke kursi terdekat. “Duduk disitu, jangan bergerak. Aku akan memanggil Penyembuh.”

 

 

 

 

“Ia hanya pingsan,” kata Siwon, berdiri dari sofa tempat Yoona berbaring. “Aku akan memberinya teh chamomile ketika ia bangun. Ia akan butuh istirahat dan ketenangan supaya pulih.”

 

“Ya, dia tidak akan bisa banyak beristirahat sambil menjaga yang satu ini,” kata Chanyeol sambil melirik D.o. “Baiklah, Nak, ikutlah denganku. Kau bisa menjelaskan tingkahmu kepada sang Ratu—“

 

“Itu tidak perlu,” kata sebuah suara angkuh. Mereka berbalik untuk melihat Krystal, pendamping sang Ratu, berdiri di ambang pintu. “Yang Mulia mengirimku untuk menyelidiki. Benarkah pemahamanku bahwa anak ini sungguh”—ia berhenti dan menunjukkan sedikit rasa muak—“merangkak keluar dari Oak?”

 

“Ya, dan dalam dua detak jantung lagi, ia sudah berada di dalam tenggorokan manusia kecil itu,” kata Chanyeol. “Kalau jumlah kita tidak tinggal sedikit, menurutku gadis kecil ini memang pantas mendapatkannya.”

 

“Manusia?” kata D.o, menguji kata aneh itu.

 

“Tapi itu tidak mungkin,” kata Krystal, tampak terkejut dan gelisah. “Setiap pagi sang Ratu memperbarui mantra-mantra perlindungannya supaya manusia menjauh.”

 

“Itu bekerja pada manusia dewasa,” kata Chanyeol. “Tapi anak-anak adalah cerpelai kecil yang nakal. Dan omong-omong tentang anak-anak, yang satu ini”—ia menunjuk D.o—“jelas sudah terlalu liar untuk diatasi oleh Yoona. Orang lain harus mengambil anak nakal ini.”

 

“Aku harus berkonsultasi dengan Yang Mulia,” kata Krystal. Perut D.o melilit. Bagaimana kalau sang Ratu mengirimnya untuk tinggal dengan seseorang seperti Chanyeol? Atau lebih parah lagi, Hyoyeon?

 

“Aku minta maaf,” sembur D.o. “Biarkan aku tinggal dengan Yoona. Aku akan bersikap baik dari sekarang—“

 

“Kau,” kata Chanyeol, melesat berputar untuk melotot kepada D.o, “tutup mulut. Masalah yang telah kau perbuat ini, kau beruntung kalau sang Ratu tidak memotong sayapmu dan membuatmu menggosok jambangan di aula sampai usiamu lima puluh tahu.”

 

Mata D.o membesar. Ia bersandar di kursi, kedua tangan tergenggam patuh di pangkuannya.

 

“Nah,” kata Krystal, “itu kelihatannya agak ekstrem. Sang Ratu penuh belas kasih, tapi jelas anak ini perlu dididik.”

 

“Serahkan ia kepadaku,” kata Chanyeol. Ia melangkah ke depan, menangkap siku D.o dan menyentakkannya berdiri. “Aku akan membuatnya takut sedikit.”

 

“Kalau kau berencana memukulinya—“ Krystal memulai, tetapi Chanyeol menyela.

 

“Aku punya sesuatu yang lebih baik daripada menjadi nenek sihir tukang pukul. Percayalah kepadaku,” kata Chanyeol. Sambil berkata begitu, ia mendorong D.o ke pintu.

 

Dengan panik, D.o menancapkan kedua tumitnya ke lantai, tetapi Chanyeol dengan mudah menangkap belakang tuniknya dan  mengangkatnya ke udara. Kain itu terkumpul di bawah sayap-sayapnya. D.o menendang dan menggeliang-geliut, tetapi Chanyeol bergerak dengan tegas keluar ruangan bersamanya, tanpa terpengaruh. Ketika mereka mencapai tangga depan, Chanyeol menjatuhkan D.o kembali berdiri dan berkata, “Enam musim dingin lalu ibu telurmu keluar dari Oak di tengah badai es dan membeku hingga mati. Ketika aku menemukannya, ia sudah melepaskan sihir terakhirnya dan menghilang. Tidak ada yang tertinggal selain setumpuk pakaian tua—dan kau. Telur utuh pertama yang kami temukan selama entah berapa tahun yang Mama tahu, dan kami semua menahan napas. Takut kau tidak akan menetas. Kau pikir sang Ratu bodoh, membuat peraturan seenaknya? Kau bisa saja mati di luar sana tadi.”

 

“Dia tidak bermaksud melukaiku,” protes D.o. “Dia hanya ingin bermain—“

 

“Begitu pula kucing,” kata Chanyeol. “Dan mereka memakanmu setelah itu. Sekarang kau bisa berdiri, atau aku akan membawamu di atas bahuku seperti tikus mati. Kau tetap harus menuruni tangga itu.”

 

“Apa yang akan kau lakukan kepadaku?”

 

“Kau akan tahu,” kata Chanyeol. “Sekarang jalan.”

 

Dengan mulut kering dan kaki kotor, D.o mematuhi. Chanyeol menyodoknya menuruni dua putaran penuh tangga spiral, kemudian menyeberangi lintasan dan mengelilingi lengkung aula ke sebuah pintu asing. Di sana Chanyeol mengetuk dengan buku-buku jarinya dan menunggu, jari-jari menepuk-nepuk gagang belatinya. Ketika jelas tidak ada orang yang akan menjawab, Chanyeol menempelkan bahunya ke pintu dan mendorongnya terbuka.

 

Ruangan itu berbau basi di dalam, dan udaranya berselimut debu. Chanyeol menyalakan sebuah lampu dan membawanya ke kasur kecil sempit yang ditumpuk dengan selimut. Sesosok peri berbaring telentang, matanya terbuka dan kaku.

 

“Lihat,” kata Chanyeol. “Kau mengenalinya?”

 

Tentu saja D.o seharusnya tahu itu siapa. Tapi sosok di tempat tidur itu tampak sangat berkeriput dan lemah. Tidak seperti dirinya yang sebelumnya berpipi semerah apel, sehingga lebih mudah untuk percaya bahwa ia adalah orang asing. Kulitnya yang dulu tidak terpengaruh usia kini berubah seputih serpihan debu, menunjukkan pembuluh darah di bawahnya. Lengan dan kakinya kurus, dan kepalanya hanya menahan beberapa rumpun rambut yang menguban. Ia berbau salep tanaman comfrey, tetapi bau busuknya lebih kuat. D.o tersandung mundur dari tempat tidur itu, menutup mulutnya dengan kedua tangan.

 

“Benar,” kata Chanyeol. “Ini Sooman. Ia biasa menyelinapkan untukmu makanan dari dapur, kan, ketika Hyoyeon tidak melihat? Ia bahkan tidak setua itu, kau tahu. Hanya seratus sembilan tahun.”

 

“Apa yang… telah terjadi kepadanya?”

 

“Kami menyebutnya Keheningan.” Chanyeol menarik selimut-selimut itu kembali ke atas Sooman. “Pertama kau menjadi lebih cepat marah—bahkan kadang-kadang kasar. Kemudian kau menjadi bingung, dan mengoceh tidak masuk akal. Segera kau menjadi terlalu lemah untuk bergerak, terlalu kedinginan untuk dihangatkan oleh api apa pun. Akhirnya kau menjadi seperti ini.” Ia memberi isyarat tubuh pada sosok di tempat tidur itu. “Tidak bergerak, tidak memberikan tanggapan. Kau kehilangan pendengaran, penglihatan, setiap indra dan perasaanmu. Akhirnya kau hanya… memudar.”

 

D.o menelan ludah. “Tapi aku kira… kita tidak bisa sakit.”

 

“Kami kira juga begitu,” kata Chanyeol, “sampai ini mulai terjadi. Kau pernah penasaran kenapa jumlah kita sangat sedikit? Aku rasa tidak, karena kau hanya pernah mengenal Oak yang kosong. Tapi ketika aku seumuranmu, jumlah kita dua kali lipat lebih banyak. Dan itu bahkan setelah kondisi kita menjadi sangat buruk, setelah sang Ratu menyuruh semua orang tetap berada di dalam.”

 

Kepala D.o berputar-putar. Ia menutup matanya, berusaha mengenyahkan sosok tubuh Sooman yang tersia-sia. “Maksudmu mereka semua… mati seperti ini?”

 

“Mama Agung, tidak,” kata Chanyeol. “Tapi bahkan sedikit seperti ini saja sudah terlalu banyak. Sudah cukup buruk kita hanya mencemaskan peri-peri yang melakukan hal bodoh keluar dari pintu dan terbunuh. Lebih sering daripada telur-telur mereka tidak hancur atau dimakan oleh gagak sebelum kami bisa menemukannya. Tapi, ketika Keheningan menjangkiti seorang peri, itu bahkan lebih buruk lagi, karena kemudian tidak ada telur sama sekali.”

 

Rasa mual melanda D.o. “Aku tidak… aku tidak pernah tahu—“

 

“Tentu saja kau tidak tahu,” kata Chanyeol datar, “karena Yoona tidak mau membuatmu bermimpi buruk. Hatinya memang terlalu lembut.”

 

“Tapi—“ D.o masih sedikit berjuang untuk mengerti. “Dari mana Keheningan datang?”

 

“Ah, itulah pertanyaannya,” kata Chanyeol. “Tidak ada yang tahu, bahkan tidak sang Ratu. Aku telah melihat ini terjadi beberapa kali sekarang. Kau tahu apa yan kupikirkan?” Ia memberi tanda kepada D.o supaya mendekat, lalu mencondongkan badan dan berbisik ke telinga gadis peri itu. “Ini gara-gara manusia.”

 

Terkejut, D.o tersentak mundur. “Sekarang kau perhatikan aku, kan?” kata Chanyeol. “Pikirkanlah. Rumah itu dibangun persis setelah seratus tahun yang lalu… dan Keheningan datang tidak lama setelah itu. Kau kira itu hanya kebetulan?”

 

Chanyeol benar, D.o menyadari sambil menunduk menatap kedua tangannya sendiri dengan ngeri. Tadi ia mengulurkan tangan kepada seorang anak manusia, anak laki-laki itu. Apa yang akan terjadi kepada D.o kalau tadi ia menyentuhnya?

 

“Hanya ada empat puluh enam jumlah kita yang tersisa sekarang.” Chanyeol menekankan, “dan dengan para manusia itu tepat di depan pintu kita, tinggal di Oak adalah harapan terbaik kita untuk tetap bertahan hidup. Jadi, kalau kau tidak mau berakhir dalam kulit kacang yang sama dengan Sooman—“

 

D.o tidak tahan lagi. Ia berputar, tersandung permadani, dan bergegas keluar dari ruangan secepat yang kakinya bisa. Saat melesat menaiki tangga spiral, ia berusaha memikirkan mainan-mainannya, buku-bukunya, cerminnya Yoona—apa pun selain hal mengerikan yang telah Chanyeol tunjukkan kepadanya.

 

D.o melemparkan dirinya menembus pintu Yoona dan bertubrukan dengan seseorang yang tinggi. Terhuyung-huyung mundur, ia mendongak melihat wajah tegang dan mata abu-abu Siwon yang suram—dengan itu, D.o menangis.

 

“Kau tidak perlu mencemaskan anak itu sekarang,” kata Chanyeol dari belakangnya, ketika Siwon berdecak mencela dan Siwon mengusap rambut D.o. “Ia tidak akan melakukan lagi.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
KyungBy
mianhae jika ada yang typo ^^

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet