I'm Hurt.

I'm Hurt.

Senja itu aku dan kau duduk bersandarkan sebuah batang pohon besar di atas bukit seraya memandang langit mulai berganti warna. Di tengah kekagumanku pada langit senja itu, kulirikkan pandanganku sedikit padamu. Dari lensa mataku, kau tampak tenang menatap langit itu sembari membiarkan angin sore menerpa wajah dan rambutmu pelan. Kau terlihat begitu tenang dan damai. Kau lalu menutup matamu sejenak tak beberapa lama kau pun membukanya lagi. Disaat itu pula kau tiba-tiba saja menatapku. Aku tak bisa berkata apapun saat kau menatapku, hanya sebuah senyum yang tersungging di bibirku dan sebuah bunyi debaran jantung yang berdentam tak beraturan.

Kau lalu mengangkat tanganmu dan menaikkan jari kelingkingmu di hadapanku. Aku menatapmu bingung. Di tengah rasa bingungku itu, kau malah meraih tanganku dan memintaku untuk menautkan kelingkingku pada kelingkingmu.

“Berjajilah untuk selalu disisiku,” ucapmu meminta padaku. Aku mengangguk ragu lalu melakukan apa yang kau minta, yakni menautkan kelingkingku padamu sekaligus berjanji untuk selalu disisimu.

Lima tahun berlalu sejak kejadian senja itu...

“Naya-ssi!” teriakmu sambil berlari kearahku dan sesekali melompat kegirangan sama seperti saat kau masih kecil ketika baru saja menerima hadiah ulang tahun berupa  mobil-mobilan.

“Ada apa?” tanyaku. Kau menarik secarik kertas dari dalam amplop coklat lalu memberikannya padaku dengan tatapan bangga bercampur bahagia. Aku menerima kertas itu lalu lekas membacanya. Belum selesai aku membaca keseluruhan isinya, kau tiba-tiba merangkul pundakku lalu berteriak dengan bersemangat, “Aku akan menjadi seorang bintang terkenal!” Dan tanpa diduga-duga kau mengecup pipiku singkat. Kurasakan pipiku kini mulai bersemu merah seperti tomat. Kuharap kau tak melihatnya.

“Aku turut bahagia,” ucapku sembari berusaha menyembunyikan wajahku yang sudah merah padam seperti tomat. Kau lalu memelukku erat lalu membisikkan sesuatu, “Berjanjilah untuk selalu ada disisiku dan terima kasih karena kau sudah berada disisiku selama ini.” Aku membenamkan wajahku pada pundakmu yang kokoh. Kutumpahkan air mata kebahagiaanku untukmu. Ya, hanya untukmu dan selalu untukmu.

Enam tahun berlalu dengan cepat sejak kau memelukku waktu itu...

Saat itu, aku tengah duduk di depan TV ruang tengah sambil sesekali menekan-nekan remote TV mencari channel yang bagus untuk aku saksikan. Jemariku kemudian terhenti ketika aku melihat seseorang yang aku kenal sebelas tahun yang lalu. Ya, itu kau, Park Chanyeol. Walau sudah enam tahun berlalu, aku tidak akan melupakan wajahmu yang selalu berputar di benakku.

Saat musik dimulai, kau bersama sebelas orang pria lainnya mulai menyanyi dan menari. Tatapanmu masih sama dengan tatapan sebelas tahun yang lalu, saat kau dan aku tengah menatap langit senja yang indah di atas bukit. Saat ini kau benar-benar sudah membuktikan bahwa kau sudah menjadi bintang yang bersinar.

Aku juga takkan pernah lupa saat diakhir acara kau mengucapkan namaku dengan nada bahagia sebagai rasa ucapan terima kasihmu atas dukungan dariku selama ini.

“Dan, terima kasih pada Naya Kim yang sudah berada disisiku selama ini. Aku sangat berterima kasih karenanya.” Begitu ucapmu lalu diakhiri dengan sebuah senyum manis di layar kaca. Aku bangkit dari sofa lalu menyentuh wajahmu di layar kaca. “Aku akan terus berada disisimu,” gumamku.

Dua tahun berlalu sejak kau tersenyum padaku waktu itu...

Bagai sebuah kejutan di pagi hari, kau datang ke rumahku dengan membawa seikat mawar putih tergenggam di tanganmu. “Untukmu. Selamat hari ulang tahun,” ucapmu lalu memelukku. Tahukah kau saat itu seketika sekujur tubuhku membeku?

Dan tidak berhenti sampai disitu saja, selepas sarapan kau mengajakku berjalan-jalan di taman. Ya, hanya kau dan aku. Sampai tiba saat kau meninggalkanku sebentar dengan alasan ingin menjemput temanmu yang akan kau kenalkan padaku. Aku mengangguk ragu melepaskan kepergianmu yang sesaat itu karena takut kau takkan kembali kesini untuk menemaniku.

Beruntung kekhawatiranku tak terjadi, namun ada yang lebih membuatku terluka. Di saat kau kembali saat itu, kau mengandeng seorang gadis lainnya bersamamu.

“Perkenalkan, namanya adalah Song Heera,” katamu dengan sangat senang disambut dengan sebuah rangkulan hangat pada Heera. Aku mengangguk ragu dan mengulurkan tanganku pada Heera.

“Namaku Kim Naya. Senang bertemu denganmu.”

Heera menerima uluran tanganku. Untuk sesaat kami berjabat tangan dengan erat, “Aku juga sangat senang bertemu denganmu.”

Satu tahun berlalu sejak perkenalanku dengannya saat itu...

“Naya-ssi!” teriakmu dari kejauhan. Seperti biasanya, saat kabar bahagia datang kau akan dengan bersemangat berlari sambil sesekali melompat-lompat seperti anak kecil kearahku.

“Kali ini apa, Chanyeol-ssi?” tanyaku penasaran dengan kabar bahagia apalagi yang akan ia lontarkan padaku. Kau lalu duduk disampingku lalu merogoh saku jaketmu, aku menunggu disampingmu dengan sabar. Sedetik kemudian, kau memperlihatkan sebuah kotak berwarna merah kehadapanku dengan sebuah senyum lebar terlukis di wajahmu. Kau lalu membukanya perlahan. Aku menatapmu dan isi dari kotak itu bergantian, kedua mataku mulai terasa panas. Mungkin sebentar lagi aku akan menangis karena bahagia.

“Maukah kau.....menjadi pendamping pengantinku, Naya-ssi?” tawarmu. Air mata pertamaku jatuh. Bukan setetes air mata kebahagiaan, melainkan sebuah air mata kekecewaan. Apa aku terlalu sering bermimpi jika kelak kau akan memintaku untuk menikah denganmu? Harusnya aku tak usah bermimpi seperti itu, jika malah kenyataannya sesakit ini.

“Naya-ssi? Kau mau atau tidak?” tawarmu sekali lagi. “Dan cincin ini, apakah terlihat bagus jika Heera yang memakainya?” tanyamu lagi. Rasanya saat ini aku seperti tengah ditikam dengan sebilah pisau yang tajam lalu ditembak anak panah yang diujungnya baru saja diberi racun mematikan. Terlalu sakit.

Aku mengangguk pasrah. Tidak ada sepatah kata pun yang dapat keluar dari mulutku. Kau kemudian menutup kotak itu dan kembali memasukkannya ke dalam saku jaketmu. Bagai sebuah gerakan film yang diputar lambat, kau menarikku dalam pelukanmu yang kurasa adalah merupakan pelukan terakhirmu untukku.

“Terima kasih karena sudah mau berada disisiku,” bisikmu lembut tepat di telingaku.

Hari ini terhitung sudah enam bulan, sejak kau memelukku untuk yang terakhir kalinya. Detik ini, aku menatap pantulan diriku berbalut sebuah gaun putih selutut dengan tatapan yang sulit aku jelaskan. Harusnya aku bahagia namun terselip sebuah rasa kekecewaan dan kesedihan di hatiku.

Aku melangkah ragu keluar dari ruanganku. Aku mencarimu di tengah kerumunan orang-orang yang lalu-lalang. Aku memandangmu sejenak dari kejauhan sebelum akhirnya aku datang mendekatimu.

“Tenang saja. Jangan gugup sepeti itu,” kataku menenangkanmu. Kau memegang kedua bahuku lalu menatap kedua bola mataku dalam-dalam, “Terima kasih. Bahkan sampai saat ini kau masih saja berada disisiku.”

“Aku hanya mencoba untuk menepati janjiku padamu.”

Dan kini, aku berdiri diatas sebuah karpet berwarna merah sambil berjalan perlahan menuju sebuah altar bersamamu. Posisiku bukan berada disampingmu, tetapi aku berada di belakangmu, sebagai pendamping pengantin wanitamu. Langkahku terhenti saat kau dan Heera sudah berhadapan diatas altar.

Aku menatap lurus padamu dan Heera bergantian. Beberapa saat kemudian, kau menyematkan cincin yang sempat kau tunjukkan padaku satu setengah tahun yang lalu. Heera lalu melakukan hal yang sama padamu. Aku menatap kalian berdua dengan senyum yang kupaksakan.

“Dan pada akhirnya, aku akan selalu ada disisimu, sebagai sahabatmu, Park Chanyeol.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Kururirururara
#1
I can't read this but I'm sure it will be good!
seulras
#2
Huhu... Actually Heera's scene is too little -,- but it's okay haha