03: Terbangnya Wu

Disney Nightmare [Indonesian]

 

Disclaimer: Disney Nightmare by Rendeboo.


03: Terbangnya Wu

Jongin menghilang saat ia tak memperhatikan. Ketika mengikat tali sepatuku dan beranjak kembali untuk menghindari orang-orang. Mataku memeriksa sekeliling dengan cepat namun kemudian menerima begitu saja bahwa ia memang benar-benar menghilang.

Waktu kita terbatas.

Ia tak berbohong.

Belum terlalu gelap, jadi memanfaatkan cahaya remang yang tersisa, aku berjalan lebih jauh. Kaki-kakiku meronta dan perutku berbunyi, jadi ketika aku melihat sebuah rumah di depanku, aku tak ragu-ragu mendekatinya. Rumah itu seperti mansion bergaya Inggris yang sering kulihat di film lama. Cahaya terlihat dari luar jendela, menambah keinginanku untuk masuk ke dalam. Aku mengetuk dua kali, namun tak sekalipun mendapat jawaban.

“Aku akan membantumu.” Angin berbisik di telingaku dan aku tersentak kaget, memandang sekeliling untuk mencari setidaknya setitik bayangan.

“Siapa kau? Tolong tunjukkan dirimu.”

Tawa kecil memenuhi udara sebelum sebuah suara berat berbicara. “Namaku Wufan.”

Aku memperhatikan pintu beberapa saat dan melihat seorang pria jangkung bersurai pirang di ambang pintu. Ekspresinya tegas dan terlihat tak tertarik, entah mengapa mengingatkanku akan John Smith (meskipun akan terlihat lebih baik dengan rambut seperti pria di hadapanku ini.)

“Maaf mengganggu, aku—”

“Masuklah. Kau tak mau dibodohi oleh angin.” Ia berkata dan melangkah minggir agar aku bisa masuk.

 

“Dibodohi angin?” Aku bertanya, menerima tawarannya.

 

“Ia mungkin terlihat seperti temanmu, namun ia bukan. Aku bisa meyakinkanmu, akan lebih bijak untuk mempercayakan takdirmu pada orang lain.”

 

“Seseorang seperti... Zitao?” Aku bertanya kecil, mengikutinya menuju kamar tidur tanpa menyadari apa pun hingga aku melihat tiga tempat tidur.

Semuanya kosong dan terpisah dari beberapa mainan di sana-sini, ruangan ini benar-benar kosong. Wufan duduk di tempat tidur di sudut dan mengisyaratkan padaku di seberang ruangan untuk ikut duduk.

“Ya, seseorang seperti Zitao. Jongin mungkin terlihat ramah, namun aku telah berada disini lebih lama darinya untuk tahu mana yang benar. Aku tahu pada siapa harus bergantung dan ia bukan Jongin. Ataupun Yixing.”

Aku memilih untuk memandang kakiku, tak tahu bagaimana harus menyikapi pandangan dalam pria itu.

“Bagaimana dengan sebuah permainan?”

Aku kembali memperhatikannya, menahan keinginan untuk menghela napas. “Permainan apa yang sedang kau pikirkan?”

Kepalanya menyandar lunglai pada tangannya sementara ia masih memperhatikanku. Seolah ia mencari sesuatu dariku yang bisa ia benci.

“Aku kehilangan sesuatu yang berharga. Aku berharap kau bisa menemukannya untukku. Bila kau mampu, aku akan melepaskanmu. Bila tidak... yah, kau tahu apa yang akan terjadi.”

“Apa yang telah kau hilangkan?”

“Bayanganku. Bantu aku menemukannya kembali dan aku akan melepaskanmu.”

Bayanganmu?” Aku mengernyit.

“Kulihat kau masih punya milikmu. Tapi aku menginginkan milikku. Akan kuberikan kau waktu lima belas menit. Tapi sebelum kita mulai... seberapa pandai kau terbang?”

“Terbang? Maksudmu... terbang?”

“Jelas sekali, iya.” Ia berkata dengan nada yang jelas menyatakan bahwa itu nyata dan tiba-tiba meninggalkan lantai, melayang dengan aneh sebelum kembali turun.

“Oh.” Hanya itu yang bisa kukatakan. “Tentu saja.”

“Jadi?”

“Oh. Tidak. Aku tidak bisa... terbang. Maaf.”

Ia menghela napas. “Kau akan membutuhkannya untuk menangkap bayanganku. Lihat saja.”

Ia terbang keluar, meninggalkanku sendiri di dalam kamar dalam kebingungan. Apakah aku benar-benar diminta untuk menemukan kembali sebuah bayangan? Dengan terbang sebagai bantuan?

“Kau punya waktu tiga belas menit lagi.” Suara Zitao terdengar entah dari mana.

“Ia baru saja pergi!” teriakku balik karena tak mungkin dua menit penuh telah berlalu semenjak Wufan pergi.

“Kau punya dua belas menit.”

Aku memutuskan untuk tak mendebatnya lebih jauh dan memilih mencoba memikirkan sebuah cara untuk memecahkan masalah ini.

Terbang. Bayangan yang hilang.

“Ini Peter Pan!” Aku bertepuk tangan saat aku melompat girang. “Kau terbang dengan kenangan bahagia dan sedikit serbuk peri! Tapi di mana Tinkerbell?”

Aku mematikan lampu dan berkeliling ruangan, mencari di balik setiap sudut dan kamar mandi hingga aku menemukan sebuah keranjang kecil bercahaya di bawah tempat tidur.

“Ketemu kau.” Aku tersenyum, lalu mengangkatnya dengan hati-hati, menyingkirkan penutupnya.

Makhluk kecil itu berhelai pirang panjang dan memakai gaun hijau pendek. Satu mata mengintip di balik bulu matanya yang panjang sebelum ia melompat terkejut, terbang menuju satu sudut di mana ia mencoba bersembunyi.

“Kau punya sepuluh menit tersisa.”

“Tenang saja, aku tak akan menyakitimu. Yang kubutuhkan hanyalah sedikit serbuk peri.” Aku mengabaikan suara Zitao dan fokus pada sang peri.

Ia menggeleng keras, membuat bel-bel kecil berbunyi di setiap gerakan.

“Aku temanmu.” Aku berbisik.

Ia mendongakkan kepala, ingin memastikan, mata bulat besarnya menatapku seolah ia berusaha mencari celah kebohongan.

“Mari berjanji, ya?” senyumku, berusaha mendapat kepercayaannya. “Aku akan menutup mataku dan memikirkan sesuatu yang membahagiakan. Bila kau datang padaku dan memberiku sedikit serbukmu maka aku berjanji aku tak akan mengintip. Janji.”

Aku menyilang jari di depan dada. Semua terasa hening sebelum bunyi bel halus terdengar di udara.

Aku tersenyum pada diriku sendiri dan menutup mataku. Aku tak punya banyak kenangan bahagia namun ada satu yang langsung terbayang dipikiranku. Kubiarkan kenangan itu memenuhi kepalaku, mengingat betapa bahagianya aku berada di rengkuhan anak di sebelahku. Kurasakan kakiku meninggalkan lantai sebelum kenangan itu berubah menyakitkan dan membuka mataku dengan cepat sementara sebuah senyum membayang di bibirku. Aku mengepakkan lenganku seperti burung dan terbang lebih cepat.

“Terima kasih banyak.”

“Jangan menyia-nyiakan waktu.” Suara halus terdengar di telingaku dan aku kembali mendarat di atas lantai hanya dalam waktu singkat.

Aku memandang sekeliling, berharap menemukan pemilik suara yang tampaknya selalu datang ketika aku amat membutuhkannya. Perhatianku teralih pada sebuah laci terdekat. Laci itu bergerak hebat, seolah sesuatu ingin keluar namun tak bisa. Aku menghampirinya dan menarik sekuat yang kubisa, bahkan hingga terjungkal sedikit kebelakang. Saat itu, semua terhenti. Aku melihat sebuah benda hitam dekat denganku dan melihat sebagian diriku di posisi yang aneh, namun aku tak mampu bergerak sama sekali. Seolah waktu terhenti tiba-tiba. Kecuali Wufan, yang datang dengan santai entah dari mana.

“Sudah kuberitahu lebih baik memilih Zitao sebagai teman.”

Aku ingin memberontak, bergerak, bicara, setidaknya sesuatu tapi tak ada yang terjadi ketika aku mencoba. Wufan menghampiriku, tangannya mencengkeram sesuatu tepat disampingku.

Ini dia. Inilah saatnya aku akan kalah.

Ibu, Ayah, maaf sudah mengecewakan kalian.

Aku menutup mata, menunggu sesuatu. Mungkin Zitao bicara, tertawa jahat. Namun tidak ada satupun yang terjadi. Sebuah tornado tiba-tiba masuk dari jendela, membawa semua hal kembali hidup. Aku dan Wufan terjatuh di lantai dalam ketekerjutan. Perbedaannya hanyalah aku menggenggam sebuah bayangan hitam di tanganku. Aku tak punya waktu menegakkan diri karena aku merasakan pusing yang sudah begitu familiar sebelum mendarat di luar lagi.

“Kau seharusnya memanggilku, Luhan.” Jongin berkata dan terdengar tak setuju. Marah bahkan.

Aku terjungkal mundur di lantai tempat ia menurunkanku dengan kasar. “Maaf, aku tak sadar bahwa aku membutuhkan bantuan.”

“Tahukah kau seberapa bahayanya Wufan?”

“Aku akan tahu, bila seseorang menjelaskan padaku tentang tempat ini. Bagaimana mungkin aku tahu bila tak ada seorangpun yang menjelaskan padaku? Selalu memperingatkanku tapi tak pernah menjelaskan mengapa.”

Ia hanya mengangkatku dan membawaku pada Yixing tanpa mengatakan apapun. Kepalaku berputar karena dua teleportasi cepat dan segera duduk untuk beristirahat sedikit. Butuh waktu agak lama bagiku untuk menyadari bahwa Yixing tak muncul secepat yang aku kira, jadi aku bertanya pada Jongin.

“Ia keluar.”

“Keluar?”

 

“Kau tak mungkin berpikir ia akan tinggal disini sepanjang hari, “kan?” jawabnya, setengah membentak.

Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Apa yang terjadi pada peri kecil di rumah Wufan? Tinkerbell?”

“Namanya Qian. Song Qian. Dan ia takut.”

“Akan apa?”

“Akan dunia ini dan semua orang di dalamnya.”

“Itulah yang kumaksud, Jongin! Kau tak pernah memberiku penjelasan rinci.” Aku menghela napas, mengusap kening.

Yixing muncul entah dari mana dengan teh panas dan makanan lalu duduk di samping Jongin di sofa dihadapanku. Ia menatapku seolah aku akan mati bila ia fokus pada hal lain barang sedetik saja.

“Aku butuh jawaban.” Aku berkata, menatap matanya, berharap mataku cukup memelas. “Tolong berikan aku jawaban yang jelas.”

“Aku tahu kau butuh, Luhan. Namun aku tak yakin kau siap untuk mendengarnya.” Ia menjawab kecil.

“Aku siap! Berikan aku sesuatu. Aku sekarat disini. Pikiranku penuh namun juga kosong. Itu membuatku gila!”

“Ini terlalu awal,” bisiknya.

Aku bangkit dan berlari keluar, tak tersandung satupun anak tangga di jalan. Kuraih gagang pintu dan menghirup nafas sementara angin berputar nyaman disekelilingku. Aku menghela napas dan duduk, pintu di belakang punggungku.

“Aku tak mengerti mengapa kita tak bisa bertemu.” Aku menghela napas. “Namamu Sehun, ‘kan?”

“Ya, Sehun.” Ia menjawab dengan kikikan. Yang entah bagaimana terdengar nyaman dan familier.

“Mengapa kau tidak mau keluar, Sehun-ah? Aku ingin bertemu denganmu.”

“Tidak cukupkah seperti ini?”

“Aku ingin melihat wajah dari suara menenangkan itu.”

“Menurutmu aku seperti apa? Katakan seperti apa aku dalam bayanganmu.”

Aku memejamkan mata. Bayangan seorang pemuda muncul di depan mataku. Wajahnya manis, hampir dewasa. Kulit putih, mata kelabu, bibir merah muda dan... rambut ungu. Helaan napas lain keluar dari mulutku.

“Aku ingin melihatmu. Bukan orang asing itu.”

“Mungkin aku seorang yang asing itu.” ia berujar santai. “Tidakkah kau senang?”

“Ya.” Kuakui.

“Kalau begitu mulai sekarang aku akan menjadi orang asingmu.”

“Sehun-ah... berikan aku jawaban.”

“Aku akan memberimu jawaban, bila kau memberiku pertanyaan.”

Aku tersenyum penuh harap, tahu bahwa mungkin sekali ini akan ada seseorang yang akan benar-benar memberitahuku. Menjelaskan padaku apa yang sedang terjadi daripada memberiku pertanyaan. Tawanya datang sebagai jawaban.

“Tapi apa poin utama sebuah jawaban bila kau tak mengerti pertanyaannya dengan jelas?”

“Tapi aku mengerti pertanyaanku.”

“Yakinkah?” ia bertanya dalam suaranya yang tenang.

“Ya!”

“Tanyakan aku, kalau begitu.”

“Apa yang terjadi pada peri kecil itu? Qian?”

“Ia takut pada dunia ini. Zitao menakutinya. Karena ia cemburu.”

“Cemburu? Zitao cemburu pada seorang peri?” aku mengernyit bingung.

“Ia mempunyai sesuatu yang Zitao inginkan.”

“Apa? Apa yang mungkin dimiliki seorang peri hingga ia menginginkannya?”

“Cinta. Peri itu punya cinta yang ia inginkan.”

“Sehun-ah, jangan memberiku pertanyaan lebih dari yang kupunya.” Aku memelas.

“Itulah masalahnya di dunia ini. Lebih banyak jawaban yang kau dapat, lebih banyak lagi pertanyaannya. Itulah mengapa Yixing dan Jongin memperingatkanmu untuk tak mencari tahu. Karena akan ada titik di mana kau tak akan mampu menerimanya lagi. Ini bukanlah mimpi indah yang polos, Luhan. Ini adalah mimpi buruk melebihi apa yang mampu kau bayangkan.”

“Baiklah.” Aku menghela napas, kalah. “Baik. Aku akan berhenti mencari jawaban. Tapi kau harus memberiku satu lagi sebagai balasan. Hanya itu yang kuminta. Kumohon.”

Ia tertawa kecil. “Penasaran sekali. Tapi tentu, akan kuberikan kau satu jawaban. Hanya satu.”

Aku mengangguk. “Cinta seperti apa yang Qian punya?”

“Pertanyaannya bukan seperti apa, namun milik siapa.”

“Lalu milik siapa?” Aku meninggikan suaraku lagi.

“Wufan.”


translated by _fanboy 

edited by amusuk

t/n: maaf, apdetannya ngadat lama, padahal Dan sudah lama nyelesaiin chapter ini. 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
babyhaechannie #1
ini uda g ada yg ver aslinya ya? yg ing? dimana ya bs nemuin yg ver asli nya?
teresaginny
#2
Chapter 9: Sedih!!!!! Sebenernya sih ngebayangin Luhan - Kai agak sulit ya, cuz i'm more to HunHan couple.. cuma dari segi ceritanya, emang paling pas dipairingin powernya Luhan sama Kai.. plus, i appreaciate your translation..
sedikit kritik aja, ada beberapa bagian yg jadi kaku setelah di-Indonesia-kan.. sebaiknya sih lain kali ngga usah nerjemahinnya terlalu harafiah, kata perkata gitu.. misalnya (dicontohin aja ya, saya lupa kalimat tepatnya gimana); "you are already here anyway" bisa dijadiin "lagipula kamu sudah di sini" daripada ditulis jadi "kamu sudah di sini, lagipula".. misalnya begitu...
Di luar yg tadi udah disampaikan sih, terjemahannya udah sangat baik, berasa baca novel terjemahan kelas Harry Potter.. good job!!!
ps. mau tanya aja, kan Rendeboo akunnya udah didelete tuh, dimana ya bisa baca versi aslinya? I prefer reading English actually.
crownprc #3
Chapter 9: Bagus banget~
Ini bakalan jadi ff favorite ku~ apalahi main castsnya kai luhan. .

Sedih sumvah
xiaohunnie
#4
jadi aku balik kesini re-read karna bagus bgt ceritanya dan sekalian upvote soalnya dulu point gacukup buat upvote hehe
fresh-salad
#5
Chapter 9: keren ih ide ceritanya, sumpah!!! makasih ya ka amu udah nerjemahin, enjoy bgt bacanya, ga kaku :D
parkshinyoung #6
Chapter 1: ga ngerti sepertinya saya, lanjut aja yaaa~
Luiizy #7
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
Luiizy #8
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
callaghan
#9
Chapter 9: Keren banget *-* cerita yang keren selalu berakhir nggantung. Tapi sumpah ini keren banget. Thanks for translate amusuk sshii....
sunggaeul #10
Chapter 1: masih blum ngerti..
Next