Luhan [1/2]

Get Your Mr.Right

 

*sudut pandang Huki*

 

"Jangan gugup. Jangan gugup."

Aku tidak bisa untuk tidak berhenti mengelap keringat tak terlihat di keningku. Jangan konyol, ini bukan kali pertama aku berkencan. Tapi entah kenapa, untuk kencan kali ini, rasanya aku menjelma menjadi anak sekolahan yang akan bertemu dengan senior idamannya. Gugup dengan nilai keatraktifan nol besar.

11.15.

Kupicingkan mata, memastikan kalau pandanganku tidak salah begitu kulirik jam besar yang menggantung di sudut kedai.

Serius, tapi ini sudah hampir satu jam menunggu Xi Luhan sialan itu di sini. Benar-benar bukan awal yang baik. Kita lihat saja nanti, kalau ternyata dia tidak semenyenangkan yang kukira, aku akan menggantungnya hidup-hidup di Space Needle nanti malam.

Satu jam sepuluh menit.

Satu jam lima belas menit.

Satu jam dua puluh menit.

Satu jam dua puluh--

"Samazaki Huki?"

Sebuah suara ringan mendadak terdengar, merobek stopwatch bayangan dalam otakku. Impuls, aku mendongakkan kepala, bersiap untuk memarahi orang yang salah mengeja namaku. "Namaku-"

O, oh. Tidak. Begitu melihat siapa orang yang memanggilku, tiba-tiba amukan yang awalnya akan kuluapkan sontak menguar.

Seorang pemuda yang terlihat lebih muda bertahun-tahun dariku terlihat sedikit membungkuk, setelah beberapa detik sebelumnya mataku mengontak cepat maniknya.

"Aku Xi Luhan." Setelah membungkuk, tanpa meminta izin atau berbasa-basi, pemuda itu langsung mengambil kursi di hadapanku. Satu tangannya tersembunyi di belakang punggung. Dan itu membuatku mengerutkan kening.

"Kamu Xi Luhan? Partner-ku?"

Tawa kecil terdengar bersamaan dengan anggukan mantap darinya. Sial, agensi Find berbohong padaku. Dikatakan, Luhan berusia 25 tahun. Nyatanya? Aku yakin Luhan masih anak sekolah. Aku bisa lihat dari bagaimana ia memandangku. Ia memandangku seperti memandang ibu kantin untuk minta digratiskan makanan.

"Apa kamu memalsukan identitasmu?"

Satu alis pemuda ini naik. "Maksudmu?"

Kuambil tas tangan yang tergeletak di pangkuanku, dan mengeluarkan kertas berisi profil Xi Luhan. "Lihat. Di sini tertulis, 25 tahun yang lalu, pasti itu maksudnya umurmu, kan?"

Orang yang mengaku sebagai Luhan mengangguk lagi. "Aku memang berusia 25 tahun. Dan aku Xi Luhan."

"Tuhan! Benarkah?" Jika kursi kedai ini ringan, aku sudah memastikan kalau tubuhku akan terpelanting ke belakang. Karena malu dan kaget. Malu karena perkiraanku salah, dan kaget karena usia serta wajah Luhan tidak koheren.

"Tentu saja." Laki-laki yang sudah dipastikan bernama Xi Luhan mengangkat bahunya. "Ah, maaf sudah membuatku menunggu, Samazaki Huki."

Kupaksakan untuk tersenyum mendengar Luhan menyebutkan namaku. "Sudah kumaafkan. Ah, dan anyways, namaku Sasazaki Huki. Bukan Samazaki seperti yang tadi kamu sebutkan. Juga, panggil saja aku Huki."

Luhan tertawa canggung. Pastinya. Baru saja bertemu, ia sudah membuat dua kesalahan yang tidak seharusnya dilakukan saat pertama kali berkencan. "Sebagai permintaan maaf atas kesalahan penyebutan namamu dan keterlambatanku," Ia tidak lagi menyembunyikan satu tangan di belakang punggungnya. "ini untukmu."

Wow. Setangkai mawar pink disodorkan Luhan. Impresif. "Pink. Melambangkan kekaguman dan terima kasih. Seharusnya kamu memberiku mawar kuning. Artinya permintaan maaf." Walaupun begitu, aku tetap mengambil mawar yang diberikan Luhan. "Terima kasih."

"Kamu tahu banyak tentang bunga?" Luhan menyentuh dagu dengan ibu jari dan telunjuknya.

"Tidak juga. Terkadang sesuatu yang kamu pernah baca walaupun hanya sekali akan selalu teringat. Bukan begitu?"

Lagi, Luhan tertawa. Tapi kini tawanya sedikit lebih rileks. Sedikit membuatku lega, karena itu berarti ia tidak takut padaku--atau merasa aku aneh. "Ceritakan tentang hidupmu."

"Hidupku?" Keningku berkerut mendengar pertanyaan Luhan. Hidupku? Apa yang akan aku ceritakan pada Luhan tentang hidupku yang datar? Tapi, "baiklah."

Seulas senyum terbentuk di bibir tipis Luhan. Ia memperbaiki posisi duduknya, seolah akan mendengar sebuah cerita sebelum tidur siang yang akan membuatnya terlelap.

"Tapi akan lebih baik kalau kamu memesan sesuatu terlebih dahulu. Atau kamu mau latte bekasku ini?"

***

Luhan sudah kembali dari kasir dengan membawa sebuah cup caramel macchiato berukuran grande. Tadi, begitu aku menawarkan latte milikku, Luhan kontan menolaknya dengan mengatakan 'kalau aku meminum latte-mu, maka kita akan melakukan ciuman secara tidak langsung. apa kamu mau?' dan dengan telak aku langsung mencibir serta meminum latte-ku sampai habis.

Setelah Luhan menyesap macchiato-nya, ia mengalihkan pandangannya padaku. "Aku sudah memesan sesuatu juga meminumnya, jadi kamu bisa mulai menceritakan tentangmu, dan hidupmu."

Sengaja, aku berdeham beberapa kali. Seolah akan mendeklarasikan kemerdekaan negara. "Aku, Sasazaki Huki. Lahir 23 tahun yang lalu di Saitama. Aku anak pertama dan satu-satunya. Itulah alasan kenapa aku sangat menyukai anak kecil, dan ingin menculik mereka untuk tinggal bersamaku. Aku pindah ke Seattle karena aku benar-benar terobsesi dengan Seattle. Aku suka kabut dan cuaca mendung. Tapi aku benci hujan. Hidupku sangat amat datar. Dan aku tidak punya lagi sesuatu untuk diceritakan padamu."

Aku bisa memastikan Luhan adalah orang yang benar-benar periang, karena sekarang aku melihat lagi-lagi ujung bibir pemuda ini terangkat.

"Sekarang ceritakan tentang hidupmu. Selain apa yang sudah dijelaskan dalam profilmu di suratku."

Luhan bersender dan menggosokkan kedua telapak tangannya sebelum ia bicara. "Lima tahun yang lalu, aku adalah mahasiswa pertukaran dari Cina ke Seattle. Dan, pada akhirnya aku jatuh cinta dengan Seattle. Itulah kenapa walaupun masa kuliahku sudah habis, aku tetap memilih untuk tinggal di sini. Aku senang karena Seattle punya banyak kedai kopi. Bahkan, di satu jalan kita bisa menemukan puluhan kedai di kanan-kiri. Satu lagi, aku benci ketinggian."

"Kita sama-sama menyukai Seattle." Aku terkikik begitu mendengar penjelasan Luhan. "Ah, ya. Kamu perlu tahu, aku benci orang Cina."

Kini Luhan memajukan tubuhnya. Kedua tangan laki-laki ini menopang dagunya. "Karena?"

"Ibuku pecinta film aksi. Dan beliau benar-benar jatuh cinta pada Bruce Lee. Di rumahku, Ibu memasang poster Bruce Lee dengan jumlah Hanya-Tuhan-Yang-Tahu. Bruce Lee benar-benar mengambil alih pikiran Ibu, hingga akhirnya suatu hari Ayah-ku kesal, dan menyobek semua koleksi poster itu." Aku memelankan suaraku, seolah menimbulkan efek horror. "Kontan, Ibu pun marah besar. Hari itu, Ayah dan Ibu bertengkar habis-habisan. Hingga akhirnya, Ibu dan Ayah memutuskan untuk bercerai karena sudah merasa tidak ada kecocokan lagi. Konyol, bukan?"

Bisa kupastikan, sekarang Luhan menganga dengan sangat lebar. Aku memandangnya intens, dan berpikir keras kenapa ia tetap terlihat tampan dengan ekspresi seperti itu. "Sungguh? Ibu dan Ayahmu bercerai hanya karena...poster Bruce Lee?"

Aku mengangguk mantap. "Itulah kenapa aku sangat membenci orang Cina."

Tawa Luhan seketika menguar. "Demi Tuhan, ini sulit dipercaya." Ia terlihat berusaha mengendalikan tawanya. Aku menyernyit melihat reaksi Luhan yang menurutku sedikit berlebihan. Lagipula, ia seharusnya mengatakan 'sungguh menyedihkan' atau sejenisnya, 'kan? Tapi ini...

"Ini bukan lelucon. Tapi tragedi, Tuan Xi."

Setelah dua menit menunggu Luhan menghentikan tawanya yang berlebihan, ia kembali meneguk macchiato pesanannya—entah karena memang benar-benar haus atau semata-mata ingin menyembunyikan gurat tawa di wajahnya. “Maaf, Huki. Tapi ceritamu benar-benar sulit dipercaya.”

Acuh tak acuh, kutiup poni yang sedikit menghalangi pandanganku. “Jangankan kamu, aku saja masih tidak bisa percaya orang tuaku bisa sebegitu bodohnya sampai bercerai hanya untuk orang yang sama sekali tidak mengenal mereka. Cih.”

“Baiklah.” Luhan berdeham kecil sembari sedikit tertawa—lagi dan lagi. “Daripada nanti malam hantu Bruce Lee mendatangimu karena kamu sudah menghinanya habis-habisan siang ini, lebih baik kita berganti topik.”

Kuberikan jawaban ‘ya’ dengan menaikkan kedua alis. Membenarkan posisi, aku bersandar lebih dalam pada rangkulan sofa yang kududuki. Luhan terlihat memikirkan sesuatu—mungkin topik baru yang akan kami bicarakan—karena matanya memandang tanpa arah ke luar kedai.

Luhan; wajah yang sangat tidak sesuai dengan usia dan senang tertawa, minimal tersenyum.

Kenapa bisa pemuda macam ini mengikuti acara pencarian jodoh? Aku yakin, di luar sana pasti ada banyak gadis yang mengejarnya. Ditambah lagi, Luhan memiliki sifat yang manly walaupun ekspresinya sweety.

“Kenapa kamu mengikuti acara ini?”

Pertanyaan Luhan yang tiba-tiba mengempaskan pemikiran yang berseliweran di kepalaku mengenai dirinya.

Kenapa?

Kenapa aku mengikuti acara ini?

Kenapa aku mengikuti acara pencarian jodoh sialan ini?

“Aku—Aku tidak tahu.” Jawabku jujur.

“Maksudmu?” Kerutan tipis terbentuk di kening Luhan.

 

(Satu bulan yang lalu)

“Permisi, Nona.”

Aku menyernyit begitu merasa seseorang menepuk pundakku. Secepat kilat aku membalikkan tubuhku, dan menemukan seorang pria dalam balutan jas Topman keluaran terbaru membungkuk. Setelahnya, ia tersenyum ramah.

“Maaf kalau aku membuatmu takut.”

“Aku tidak takut.” Kuputar bola mataku, berusaha menyembunyikan rasa khawatir  yang mulai menjalar.

“Em, begini, Nona. Aku hendak menawarkan sebuah formulir padamu. Jika Anda mengisinya, dan terpilih, maka ini merupakan suatu keajaiban bagi Anda. Tapi sebelumnya, apakah Anda sudah memiliki kekasih?”

Lagi, aku menyernyit. Siapa laki-laki sialan ini? Apa urusannya kalau aku sudah punya kekasih atau tidak? Apa ia menyukaiku dan berusaha memastikan kalau ia bisa mengencaniku? Please, tapi aku masih punya standar untuk laki-laki yang akan kukencani. “Belum. Memangnya kenapa?”

Laki-laki itu tersenyum puas dan buru-buru mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. “Bagus kalau begitu. Ini adalah formulir yang harus Anda isi. Cukup isi dengan data lengkap Anda.”

Begitu ia menyodorkan kertas berupa formulir sebagaimana yang dikatakannya, aku melangkah mundur beberapa jarak. “Itu bukan formulir women trafficking, kan?”

Pria berjas tertawa kecil dan menggeleng. “Tentu saja bukan.”

“Bukan surat pelimpahan hutangmu?”

Kembali, pria tadi menggeleng.

“Bukan juga surat penyerahan diri kepada mucikari?”

Mungkin karena sedikit merasa risih dengan pertanyaanku, ia mendecakkan lidah. “Nona, kurasa Anda terlalu banyak menonton telenovela.”

“Maaf, tapi sebagai perempuan, aku tidak boleh sembarangan menerima sesuatu dari orang yang baru kukenal.” Aku menengadahkan tangan, bermaksud untuk menerima kertas dari si pemiliknya. “Ah, satu lagi.” Cepat-cepat kulipat tangan di dada sebelum pria itu sempat menyerahkan formulirnya. “Ini gratis, ‘kan? Kalau aku perlu membayar, maka aku tidak mau mengisi atau bahkan menyentuh formulir itu.”

Sedikit menyeringai, pria itu kemudian menyerahkan formulirnya padaku. “Tentu, ini gratis. Anyways, aku akan menunggumu mengisi formulir ini. Jadi mohon percepat.”

Dengan enggan, aku mengisi formulir yang diberikannya. Demi Shakespeare, kenapa aku mau-maunya menuruti perkataan pria itu?

Jerk.

 “Ini.” Setelah rumpang, aku menyerahkan kembali formulir tersebut.

Dengan wajah sumringah, ia menerima formulirku. “Terima kasih.”

“Kalau boleh aku tahu, memangnya itu formulir apa?”

Satu lagi seringaian dari pria ini terbentuk. “Anda tidak perlu mengetahuinya sekarang. Kalau Anda beruntung, maka Anda akan mengetahuinya. Sampai berjumpa nanti.”

 

 

“Wow!” Luhan berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seusai mendengar penjelasanku. Penjelasan langsung bagaimana aku bisa terpilih dari sekian ribu gadis di Seattle. Dan penjelasan secara tidak langsung kalau aku menyukai hal-hal yang berbau gratis. “Benar-benar sebuah ketidaksengajaan yang sempurna.”

Aku mendengus mendengar komentar Xi Luhan. “Kamu sendiri, kenapa kamu mengikuti acara ini? Apa kamu benar-benar belum punya kekasih?”

Luhan mengangkat bahu dan menggaruk bagian belakang kepalanya. “Aku belum memiliki kekasih. Lagipula, itulah alasanku mengikuti acara ini.”

“Sayangnya aku tidak percaya. Aku tidak percaya kalau laki-laki sepertimu belum memiliki kekasih.”

“Sebegitu tampannya kah aku sampai kamu tidak bisa percaya?”

Kupicingkan mata, dan cepat mengalihkan pandanganku ke arah lain. Sial, mendadak aku tidak bisa mengendalikan kadar kalor di pipiku.

“Sasazaki Huki.” Panggil Luhan dengan nada errrr—lembut?—setelah beberapa saat diam menyelubungi udara di sekitar kami.

“Jangan memanggilku dengan nada seperti itu.” Aku bisa merasakan nada merajuk pada suaraku. Aih, aku benci nada suara seperti ini.

“Baiklah. Sasazaki Huki.” Kini Luhan mengubah nada suaranya seperti nada pemimpin upacara tahunan pada hari kemerdekaan Amerika.

“Tidak perlu seperti itu juga.” Kekehku kecil.

“Kita masih punya banyak waktu sampai matahari terbenam—saat di mana waktu kencan kita habis.”

Aku mengangguk dan sedikit—tolong dicatat, sangat sedikit—merasa kecewa begitu Luhan mengatakan waktu kencan kami habis.

“Bagaimana kalau kita belajar bagaimana cara pembuatan kopi?”

“Belajar cara pembuatan kopi?” Dengan bodoh aku mengulang pertanyaan Luhan.

Tawa kecil Luhan menyeruak. “Benar. Perlu kamu ketahui, aku tidak sembarangan memilih Kedai Starbucks sebagai tempat kita berkencan. Ayo masuk ke pantry.”

“Tunggu dulu.” Kuarahkan tubuhku menghadap penuh Luhan sebelum laki-laki ini sempat menyentuh lenganku. “Apa maksudmu?”

Luhan mendesah. Ia melipat kedua tangannya di dada. “Aku memilih kedai Starbucks ini sebagai tempat kita berkencan bukan tanpa alasan. Aku memilih tempat ini karena, kedai ini milikku.” Sengaja, ia menekan kata terakhirnya.

Kontan, kedua mataku membulat mendengar pengakuan Luhan. Man, Kedai Starbucks ini miliknya?!

“Sudah jelas, bukan, Nona Sasazaki? Sekarang, ayo kita ke pantry.”

**

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
naelkim #1
Chapter 2: ah baca part 1 nya aja udah gereget gini gimana hubungan si huki sama luhan. aku belum bisa milih soalnya nasih ada 5 orang selanjutnya, tapi si luhan boleh juga, manis dan lucu gitu hehe. ditunggu part selanjutnya loh! :D
naelkim #2
Chapter 1: seru nih ceritanya! :D kayanya bakal jadi favorit nih
lovidovi #3
esya, sambungannya kapan nih? penasaran :)
lovidovi #4
Chapter 2: duh lucuuu banget, suka deh bacanya :)
haha, Luhan itu emang pria yg manly walopun tingkahnya sweety, lol.
jadi penasaran!
wah aku pengen cerita ini dibaca banyak org lain, menarik soalnya!
lovidovi #5
Chapter 1: kayaknya lucu nih! I'm convinced & subscribed.
menunggu update-an selanjutnya :)