Kelompok 5 anak autis
BABK kel 5 - 11BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Pendidikan Luar Biasa kita banyak mengenal macam-macam Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Salah satunya adalah anak Autis. Anak autis juga
merupakan pribadi individu yang harus diberi pendidikan baik itu keterampilan,
maupun akademik. Permasalahan yang terjadi dilapangan, yaitu terkadang setiap
orang tidak mengetahui tentang anak autis tersebut. Oleh karenanya diperlukan
pengkajian lebih dalam tentang perilaku menyimpang anak autis dan cara
menghilangkannya. Salah satu wadah yang membantu anak autis untuk dapat
berperilaku selayaknya orang normal adalah dengan adanya layanan pendidikan.
Dengan adanya layanan pendidikan khusus yang mampu menangani
perilaku-perilaku menyimpang anak autis, diharapkan nantinya dalam masyarakat
anak-anak autis tersebut dapat lebih mandiri dan dapat menggali potensi yang
sebenarnya ia miliki. Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk memaparkan itu
semua, sehingga diharapkan nantinya dapat membantu masyarakat, baik orang tua
yang memiliki anak autis ataupun siapa saja yang di sekitarnya ada penyandang
autis, untuk membantu mereka “keluar dari keautisannya”, bukan justru membuat
mereka semakin betah dalam kesendiriannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa saja layanan pendidikan yang tersedia bagi anak penyandang autis?
2. Apakah ada terapi khusus bagi anak autis yang bisa dilakukan oleh orang
tua di rumah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain :
1. Untuk mengetahui jenis-jenis layanan pendidikan untuk anak autis.
2. Untuk mengetahui terapi bagi anak autis yang bisa dilakukan oleh orang
tua dirumah.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Anak Autistik
Kata Autism berasal dari bahasa Yunani kuno atau Greek yang berarti self
atau diri sendiri, sehingga mereka berkecenderungan untuk hidup dalam dunianya
sendiri.
Penyandang kelainan syndrom semacam ini awalnya ditemukan oleh Leo
Kanner (1943; dalam Ward, A.J. ,1970 : 350) dengan istilah Early Infantile
Autism atau anak autistik usia dini.
Menurut Sutadi (2002) anak autistik ialah anak yang mengalami gangguan
perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk
berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.
Menurut Hanafi (2002) autisme merupakan gangguan perkembangan
organik yang mempengaruhi kemampuan anak-anak dalam berinteraksi dan
menjalani kehidupannya.
Menurut Matson (1987) autistik merupakan gangguan perkembangan yang
berentetan atau asif yang terjadi secara jelas pada masa bayi, masa anak-anak,
dan masa remaja.
Menurut Depdiknas (2002) autistik adalah suatu gangguan perkembangan
yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, aktivitas imajinasi,
gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi.
Jadi, autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang terjadi pada masa
bayi hingga remaja yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi dan
berinteraksi dengan orang lain sehingga seseorang yang terkena gangguan
tersebut cenderung hidup dalam dunianya sendiri.
B. Penyebab Autistik
Menurut Depdiknas (2002) lahirnya anak autistik diduga dapat disebabkan
oleh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan dan
keracunan makanan pada masa kehamilan yang dapat menghambat pertumbuhan
sel otak yang menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama
fungsi pemahaman, komunikasi, dan interaksi. Efek virus dan keracunan tersebut
dapat berlangsung terus setelah anak lahir dan terus merusak pembentukan sel
otak, sehingga anak terlihat tidak memperoleh kemajuan dan gejala makin parah.
Gangguan metabolisme, pendengaran, dan penglihatan, juga diperkirakan dapat
menjadi penyebab lahirnya anak autistik.
Dalam Alloy, L.B., ET. AL., 2005 : 497 faktor-faktor yang dianggap
sebagai penyebab autisme, yaitu :
a. Ketidakberfungsian sistem syaraf di otak
b. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perspektif kognitif dan beberapa
penilaian lainnya berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensi terhadap
dugaan adanya kerusakan-kerusakan secara fisik.
C. Gejala Anak Autistik
Gejala – gejala penyandang syndrome autism menurut Delay dan
Deinakeer (1952) serta Marholin dan Phillips (1976) adalah:
a. Senang tidur bermalas – malasan atau duduk menyendiri dengan wajah
acuh, wajah pucat, mata sayu, dan pandangan mata selalu ke bawah.
b. Selalu diam sepanjang waktu.
c. Apabila ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan sekali
dengan nada monoton dan dengan suara yang aneh.
d. Tidak tampak ceria.
e. Tidak peduli terhadap lingkungannya kecuali pada benda yang disukainya,
misalnya boneka.
Pada masa bayi, gejala yang muncul pada anak autistik, yaitu anak
mengalami jeritan – jeritan pada siang hari atau malam hari, anak sering
terbangun pada malam hari dan waktu tidur anak tidak teratur. Satu – satunya
jalan untuk menghentikan jeritannya ialah dengan mengayun – ayun atau
membawa anak naik mobil.Gejala lain ialah si bayi sangat sulit dipegang, sulit
dimandikan (selalu meronta), dan bayi tidak merasa betah jika dipeluk. Jika
perilaku seperti ini dapat kita kendalikan, maka bayi sering melakukan aktivitas
temper tantrum (menyakiti diri sendiri dengan membenturkan badan atau
berguling – guling). Gejala perilaku yang lain ialah dapat berupa perilaku bayi
yang autistik sangat tenang, bayi tidak mempunyai banyak keinginan, bayi dapat
dibaringkan dengan tenang di tempat tidurnya, bayi kelihatan seperti tidak pernah
merasa lapar, dan jika terlambat jam makannya, si bayi yang autistik tidak pernah
protes dengan menangis.
Ada satu gejala yang membuat orang tua merasa khawatir akan perilaku
anaknya, yaitu anaknya yang autistik tidak pernah mengangkat lengannya atau
menunjukkan gerakan apabila bayi tersebut akan digendong. Jika digendong,
sikap anak yang autistik itu kelihatan selalu gelisah. Bayi yang autistik, juga lebih
tertarik kepada benda tertentu atau lampu yang berkelip – kelip dibandingkan
dengan kedatangan orang yang mendekatinya.
Untuk kasus autisme yang regresif, orang tua umumnya menyadari tentang
autisme ini, yaitu terjadi pada usia anak antara 1,5 – 2 tahun. Pada mulanya tidak
ada kesulitan karena perkembangan anak ini sama dengan perkembangan anak
normal. Namun, tidak lama kemudian menjelang anak berusia 2 – 3 tahun tiba –
tiba perkembangannya terhenti. Kontak mata yang tadinya bagus tiba – tiba
hilang. Kemampuan berbicara anak yang sebelumnya sudah ada tiba – tiba
menjadi sirna. Perkembangannya yang sebelumnya progresif(maju) lalu tiba – tiba
menjadi regresif (mundur). Pada masa ini orang tua menjadi bingung karena tiba –
tiba anak tidak bicara lagi dan pada saat itu munculah gejala berupa anak kesulitan
untuk memahami suara, kelemahan pengucapan, kesulitan memahami sesuatu
yang nampak, kesulitan memahami bahasa tubuh, anak mengenali dunianya
melalui indera peraba, perasa, dan pembau, dan gerakan ritmis anak memukau.
D. Karakteristik Anak Autistik
Depdiknas (2002) mendeskripsikan karakteristik anak autistik berdasarkan
jenis masalah atau gangguan yang dialami oleh anak autistik. Ada enam jenis
masalah atau gangguan yang dialami oleh anak autistik, yaitu :
a. Masalah atau gangguan di bidang komunikasi, dengan karakteristik yang
nampak pada anak autistik berupa:
1) Perkembangan bahasa anak autistik lambat atau sama sekali tidak ada.
Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara
lalu kemudian hilang kemampuan bicaranya.
2) Kadang-kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
3) Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak
dapat dimengerti orang lain.
4) Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi. Senang meniru atau
membeo.
5) Bila sebang meniru, dapat menghafal kata-kata atau nyanyian yang
didengar tanpa mengerti artinya.
6) Sebagian dari anak autistik tidak berbicara (bukan kata-kata) atau
sedikit berbicara (kurang verbal) saampai usia dewasa.
7) Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia
inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.
b. Masalah atau gangguan di bidang interaksi sosial, dengan karakteristik
berupa:
1) Anak autistik lebih suka menyendiri.
2) Anak tidak melakukan kontak mata dengan orang lain atau
menghindari tatapan muka atau mata dengan orang lain.
3) Tidak tertarik untuk bermain bersama dengan teman, baik yang sebaya
maupun yang lebih tua dari umurnya.
4) Bila diajak bermain, anak autistik itu tidak mau dan menjauh.
c. Masalah atau gangguan di bidang sensoris, dengan karakteristik berupa:
1) Anak autistik tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
2) Anak autistik bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
3) Anak autistik senang mencium – cium, menjilat mainan atau benda –
benda yang ada di sekitarnya.
4) Tidap peka terhadap rasa sakit dan rasa takut.
d. Masalah atau gangguan di bidang pola bermain, dengan karakteristiknya
berupa:
1) Anak autistik tidak bermain seperti anak – anak umumnya.
2) Anak autistik tidak suka bermain dengan anak atau teman sebayanya.
3) Anak autistik tidak memiliki kreativitas dan tidak memiliki imajinasi.
4) Anak autistik tidak bermain dengan fungsi mainan, misalnya sepeda
dibalik lalu rodanya diputar – putar.
5) Anak autistik senang terhadap benda – benda yang berputar seperti
kipas angin, roda sepeda, dan sejenisnya.
6) Anak autistik sangat lekat dengan benda – benda tertentu yang
dipegang terus dan dibawa kemana – mana.
e. Masalah atau gangguan di bidang perilaku, dengan karakteristiknya
berupa:
1) Anak autistik dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif
(hiperaktif) dan berperilaku berkekurangan (hipoaktif).
2) Anak autistik memperlihatkan perilaku stimulasi diri atau merangsang
diri sendiri seperti bergoyang – goyang, mengepakkan tangan seperti
burung, berputar – putar mendekatkan mata ke pesawat televisi, lari
atau berjalan dengan bolak – balik, dan melakukan gerakan yang
diulang – ulang.
3) Anak autistik tidak suka terhadap perubahan.
4) Anak autistik duduk bengong dengan tatapan kosong.
f. Masalah atau gangguan di bidang emosi, dengan karakteristiknya berupa:
1) Anak autistik sering marah – marah tanpa alasan yang jelas, tertawa –
tawa dan menangis tanpa alasan.
2) Anak autistik dapat mengamuk tak terkendali jika dilarang atau tidak
diberikan keinginannya.
3) Anak autistik kadang agresif dan merusak.
4) Anak autistik kadang – kadang menyakiti dirinya sendiri.
5) Anak autistik tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan
orang lain yang ada di sekitarnya atau di dekatnya.
BAB III
METODE
Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data-data yang dibutuhkan
untuk menyusun makalah ini ada 2, yaitu melalui studi literatur dan observasi ke
sekolah atau tempat yang khusus menangani terapi atau memberikan pendidikan
bagi anak autis. Melalui metode studi literatur, penyusun mengumpulkan buku-
buku yang berkaitan dengan syndrome autisme dan pendidikan bagi anak autis.
Sedangkan melalui metode observasi, penyusun mencoba mengaitkan antara teori
mengenai perilaku anak autis di buku dengan fakta yang ada di sekolah luar biasa
di sumedang, dimana sekolah tersebut memiliki sisw a yang merupakan
penyandang syndrome autisme.
Disamping kedua metode tersebut, sebenarnya penyusun juga
menggunakan metode wawancara dimana narasumbernya berasal dari SLB yang
penyusun observasi. Melalui ketiga metode tersebut penyusun mencoba menggali
pengetahuan lebih dalam mengenai jenis pelayanan pendidikan dan terapi khusus
yang biasanya diberikan kepada anak autis. Meskipun dari buku-buku sumber
yang penyusun dapatkan tidak ada penjelasan yang rinci mengenai permasalahan
tersebut, namun melalui kedua metode lainnya, penyusun akhirnya bisa
mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam makalah ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan observasi yang kami lakukan pada tanggal 24 September
2012 di RC Autis SLB ABC Muhammadiyah yang berada di kota Sumedang,
dapat diperoleh hasil bahwa pendidikan untuk anak autis itu berbeda-beda sesuai
dengan karakteristik anak autis tersebut. Hal itu ditentukan oleh assessment awal
yang dilakukan oleh pihak guru pada saat anak autis tersebut pertama kali masuk
sekolah. Hasil assessment awal akan memberikan gambaran kepada guru tentang
jenis terapi yang tepat untuk anak autis tersebut dan hal itu pula yang menjadi
landasan guru dalam menyusun kurikulum pengajaran. Sehingga nantinya di
dalam proses pengajaran atau terapi, guru akan memberikan perlakuan atau jenis
metode pengajaran yang tepat untuk anak tersebut sesuai dengan kurikulum yang
telah disusun oleh guru.
Dari hasil observasi tersebut, serta teori yang ada dalam bab 2 mengenai
karakteristik anak autis, kami memfokuskan permasalahan kepada jenis layanan
pendidikan seperti apa yang disediakan baik oleh pemerintah, yayasan, ataupun
swasta, dalam membantu anak-anak autis di Indonesia untuk bisa mendapatkan
pengajaran ataupun terapi yang tepat, agar mereka tetap dapat merasakan
pendidikan selayaknya orang normal, meskipun tetap dengan memperhatikan
karakteristik mereka yang tentunya berbeda dari anak normal. Akhirnya, melalui
diskusi yang kami lakukan, berdasarkan data yang kami peroleh dari hasil
pengumpulan melalui berbagai metode, baik studi literatur, observasi dan
wawancara, maka didapatkanlah jawaban atas permasalahan yang telah
dirumuskan sebelumnya. Berikut pembahasan atau penjabarannya.
A. Layanan Pendidikan Awal dengan Program Intervensi Dini
Depdiknas (2002) mengemukakan bahwa program intervensi dini untuk
anak autis mencakup: (a) Discrete Trial Training (DTT) dari Lovaas, (b)
Intervensi LEAP (Learning Experience And Alternative Program for Preschooler
and Parents), (c) Floor Time, dan (d) TEACCH (Treatment and Education of
Autistik and Related Communicate Handicapped Children).
Program DTT dari Lovaas didasari oleh model perilaku “Operant
Conditioning”, yaitu pemberian hadiah atau penguatan terhadap perilaku positif
yang terjadi yang dikehendaki oleh guru, orang tua, dan masyarakat.
Intervensi LEAP menggabungkan Developmentally Appropiate Practice
(DAP) dan teknik ABA dalam sebuah program inklusi dimana beberapa teori
pembelajaran yang berbeda digabungkan untuk membentuk sebuah kerangka
konsep.
Pendekatan Floor Time berdasar pada teori perkembangan interaktif yang
mengatakan bahwa perkembangan keterampilan kognitif dalam 4-5 tahun pertama
kehidupan didasarkan pada emosi dan relationship.
Pendekatan TEACCH menyediakan program pelayanan yang kontinue
untuk individu, keluarga, dan lembaga pelayanan untuk penyandang autistik.
Konsep pembelajaran dari model atau pendekatan TEACCH berdasar kan pada
tingkah laku, perkembangan dan dari sudut pandang teori ekologi yang
berhubungan dengan teori dasar autisme.
B. Layanan Pendidikan Awal dengan Program Terapi Penunjang
Depdiknas (2002) mengemukakan bahwa terdapat delapan jenis terapi
sebagai terapi penunjang untuk anak autistik. Kedelapan jenis terapi tersebut,
yaitu terapi wicara, terapi bermain, terapi okupasi (melatih motorik halus anak),
terapi dengan obat-obatan, terapi dengan makanan, terapi integrasi sensorik, terapi
integrasi pendengaran dan terapi biomedik. Berikut penjelasan mengenai beberapa
terapi yang termasuk kedalam terapi penunjang.
1. Terapi Okupasi
Menurut Kusnanto “Terapi okupasi adalah usaha penyembuhan terhadap
anak yang mengalami kelainan mental dan fisik dengan jalan memberikan
keaktifan kerja, keaktifan itu mengurangi penderitaan yang dialami anak”. Jika
anak autis dapat melakukan sesuatu yang menjadi tugasnya maka harga dirinya
tumbuh, yang akhirnya menimbulkan rasa bahagia, dan mengurangi rasa rendah
diri maupun sakit yang dideritanya. Terapi okupasi bukan usaha penyembuhan
semata. Namun, perpaduan beberapa disiplin ilmu, antara lain seni dan pendidikan
sehingga dapat membantu anak untuk pengobatan fisiknya, juga pengobatan segi-
segi lain, seperti emosi dan sosial. Seni dalam melakukan terapi ini adalah ketika
anak tidak akan merasa dipaksa, tetapi anak memahami kegiatan ini sebagai suatu
kebutuhan dan akhirnya menjadi suatu keahlian yang dapat dijadikan bekal hidup.
Ilmu pengetahuan dalam melakukan terapi adalah ketika sebelum memberikan
kegiatan, seorang terapis harus menguasai materi latihan, suasana, pendekatan,
alat, tempat, dan waktu yang disesuaikan dengan keadaan anak. Jika disiapkan
dengan baik, anak akan senang melakukan kegiatan, tidak merasa terpaksa atau
terbebani.
2. Terapi Bermain
Terapi bermain merupakan penyembuhan untuk mencapai perkembanngan
fisik, intelektual, emosi, dan sosial anak secara optimal. maksud dari mengobati
atau menyembuhkan fisik adalah mengembangkan kekuatan otot, motorik,
meningkatkan ketahanan tubuh (jantung dan paru-paru), mencegah dan
memperbaiki sikap tubuh kurang baik (otot-otot, organ tubuh atau motorik).
Maksud dari menyembuhkan aaspek rohani adalah melespaskan anak dari hal-hal
yang merugikan, menimbulikan perasaan lega, bebas, berarti, menimbulkan dan
mengembalikan rasa percaya diri, mengartikan peraturan, mengembangkan rasa
rela, menunggu giliran, dan jujur. Ruang lingkup terapi bermain anak autis
dirumuskan berdasarkan karakteristik anak, tujuan, maupun sasarannya.
3. Terapi Sensori Integrasi
Terapi sensori integrasi adalah teori yang dikembangkan oleh DR.Ayres
dan rekan-rekannya terhadap sejumlah anak di Amerika dan Kanada. Teori ini
menjelaskan proses biologis pada otak untuk mengolah serta menggunakan
berbagai informasi secara baik dan sesuai situasi. Dengan terapi ini, anak
dibimbing melakukan berbagai aktivitas yang akan memberinya berbagai input
sensori secara aktif. Terapi dirancang untuk memberikan perangsangan vestibuler
(keseimbangan), proprioseptif (gerak, tekan, dan posisi sendi otot), taktil (raba),
auditori (pendengaran), dan visual (penglihatan).
4. Terapi Wicara
Anak autis yang masih memiliki fungsi bicara dan berbahasa yang baik
atau mampu melakukan komunikasi bicara, perlu mendapatkan terapi wicara.
Berikut ini tiga tahapan terapi yang perlu dilakukan saat terapi wicara.
a. Terapi propilactic pre-speech
Mengajarkan anak agar bisa melakukan kemampuan bicara awal,
misalnya mengucapkan kata “ba-ba-ba” ketika bergumam.
b. Terapi etiologic
Pada terapi ini peran orang tua penting karena harus memberikan
makanan dan minuman yang tepat (diet), meningkatkan
perkembangan bicaranya, kemampuan persepsinya, dan posisi tulang
punggungnya. Di samping itu, dibarengi jiga dengan mengajarkan
artikulasi dan irama bicara. Jadi, semaksimal mungkin mengurangi
kekurangan berbicara.
c. Terapi symptomatic
Bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak berbicara sesuai
kemampuan sendiri atau ekspresif, misalnya jika anak ingin makan
buah maka anak akan berujar “saya mau buah” bukan sekedar “buah”.
Jika sudah bisa mengucapkan dan memahami beberapa kata dan
bahasa, seperti mengatakan “minum”, berarti anak bisa mengucapkan
“saya mau minum, saya belum minum”.
C. Layanan Pendidikan Lanjutan
Dari hasil observasi dan studi literatur yang kami lakukan, dapat diketahui
bahwa di Indonesia ada beberapa jenis layanan pendidikan yang memberikan
pengajaran dan terapi khusus bagi anak autis, diantaranya layanan pendidikan
terpadu, pendidikan inklusi, sekolah khusus autis, dan program sekolah di rumah
( home schooling ). Contoh dari layanan pendidikan terpadu untuk anak autis, yaitu
SLB-ABC Muhammadiyah yang terdapat di Sumedang. Dimana dalam sekolah
tersebut ada SDLB, SMPLB dan SMALB kategori A, B, dan C, serta ada
resource centre untuk anak autis. Di sekolah tersebut, layanan yang diberikan
untuk anak autis termasuk kedalam jenis layanan terapi. Disini perilaku anak yang
menyimpang diperbaiki oleh staf pengajar atau terapis di sekolah tersebut. Anak
dibiasakan untuk dapat membantu dirinya sendiri melakukan hal-hal kecil seperti
memakai kaus kaki dan sepatu yang benar.
Anak autis juga bisa dimasukkan ke sekolah-sekolah inklusi yang banyak
tersebar di Indonesia. Dalam pelaksanaan program inklusi ini, anak autistik
diintegrasikan ke kelas anak normal. Untuk anak normal diajar oleh guru kelas
anak normal yang telah diberikan wawasan tentang anak autistik, sedangkan
untuk anak autistik juga diajar oleh guru kelas untuk anak normal tetapi
didampingi oleh guru pembimbing khusus (GPK).
Selain dua jenis layanan pendidikan untuk anak autis yang sebelumnya
telah disebutkan, ada pula sekolah yang khusus diselenggarakan untuk anak-anak
penyandang syndrome autis. Sekolah khusus tersebut dibuka karena mengingat
tidak semua anak autistik begitu mudah dapat transisi ke sekolah reguler akibat
kesulitan berkonsentrasi dan ketidakmampuan lainnya.
Adapun program sekolah dirumah ( home schooling ) diperuntukkan bagi
anak autistik yang tidak mampu mengikuti program pengajaran di kelas transisi,
sekolah, atau kelas inklusi, dan sekolah atau kelas khusus. Ketidakmampuan anak
autistik tersebut disebabkan karena anak non-verbal, anak terbelakang mental,
anak mengalami masalah motorik, dan sebagainya. Dengan program ini, anak
mendapatkan bimbingan dari para guru atau terapis di rumah.
D. Terapi di Rumah
Seharusnya pendidikan dan terapi untuk anak autis juga diimbangi dengan
terapi-terapi khusus yang dilakukan di rumah oleh keluarganya. Karena jika
hanya mengandalkan terapi dari ahlinya, maka proses menormalkan anak autis
sehingga bisa bersaing dengan anak normal yang sebaya akan membutuhkan
waktu yang sangat lama. Apalagi jika mengingat bahwa kehidupan anak selama
24 jam sehari itu lebih banyak berada dalam lingkungan keluarganya. Maka
sebenarnya orang tua lah yang memiliki peranan paling penting dalam normalisasi
anak autis.
Dari delapan jenis terapi penunjang yang sebelumnya telah dijelaskan,
hanya ada satu terapi yang tidak bisa dilakukan dirumah, yaitu terapi biomedis.
Diluar dari terapi penunjang pun, masih ada terapi lain yang bisa dilakukan
dirumah oleh orang tua, diantaranya:
1. Terapi Perilaku
Metode ini dapat melatih setiap keterampilan yang tidak dimiliki anak,
mulai dari respon sederhana, misalnya memandang orang lain atau kontak mata,
sampai keterampilan kompleks, misalnya komunikasi spontan dan interaksi sosial.
metode ini diajarkan secara sistematik, terstruktur dan terukur. Dimulai dengan
sistem one on one (satu guru satu murid). metode ini secara bertahap, dialihkan
dari instruksi satu guru-satu murid ke kelomppok kecil, kemudian kelompok
besar. Terapi perilaku bertujuan mengajarkan anak bagaimana belajar dari
lingkungan normal, bagaiamana berespon terhadap lingkungan, dan mengajarkan
perilaku yang sesuai agar anak dapat membedakan berbagai hal tertentu dari
berbagai macam rangsangan.
2. Terapi Snoezelen
Snoezelen bersal dari bahasa Belanda, snuffelen (to sniff atau mencium)
dan doezelen (to doze atau tidur sebentar), yang bermakna nyaman dan rileks.
Terapi Snoezelen merupakan aktivitas yang dirancang untuk mempengaruhi
sistem saraf pusat (SSP) melalui pemberian rangsangan yang cukup pada sistem
sensori primer anak, seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah,
pembau, dan juga pada sistem sensoris internal (vestibular dan proprioseptif).
Snoezelen mengarahkan anak untuk relaks, mengeksplorasi, dan
mengeksperisikan dirinya di dalam atmosfer yang terbuka pada faktor
kepercayaan dan kesenangan.
3. Terapi Musik
Menurut bapak filsafat Sigmund Freud, “Penggunaaan musik dapat
menghilangkan rasa tidak percaya diri, menghilangkan perasaan gelisah dalam
hidup seseorang tanpa sebab tertentu”. Pandangan ini berkembang terus sehingga
terapi musik bukanlah semata-mata untuk penyembuhan, tetapi juga mencakup
usaha pengembangan atau peningkatan keadaan individu. Tujuan terapi musik
bagi anak autis tidak terlepas dari tujuan terapinya secara keseluruhan, yaitu
mengembangkan dan memperbaiki kemampuan fisik, melatih kemampuan
persepsi, mengembangkan dan mengaktualisasikan potensinya, mengembangkan
kemampuan emosi, dan mengembangkan kemampuan sosialisasi.
BAB V
KESIMPULAN
Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang terjadi pada masa bayi
hingga remaja yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi
dengan orang lain sehingga seseorang yang terkena gangguan tersebut cenderung
hidup dalam dunianya sendiri.
Ada tiga jenis layanan pendidikan untuk anak autis, yaitu layanan
pendidikan awal dengan program intervensi dini, layanan pendidikan awal dengan
program terapi penunjang dan layanan pendidikan lanjutan.
Layanan pendidikan awal dengan program intervensi dini untuk anak
autistik mencakup DTT (Descrete Trial Training) dari Lovaas, Intervensi LEAP
( Learning Experience and Alternative Program for Preshooler and Parents), Floor
Time, dan TEACCH (Treatment and education of Autistik and Related
Communication Handicapped Children).
Layanan pendidikan awal dengan program terapi penunjang untuk anak
autistik terbagi ke dalam delapan jenis terapi, yaitu terapi wicara, terapi bermain,
terapi okupasi (melatih motorik halus anak), terapi dengan obat-obatan, terapi
dengan makanan, terapi integrasi sensorik, terapi integrasi pendengaran dan
terapoi biomedik.
Layanan Pendidikan Lanjutan untuk anak autistik dapat berupa layanan
pendidikan terpadu, program inklusi, sekolah khusus, dan program sekolah di
rumah.
Semua layanan pendidikan tersebut tentunya tetap membutuhkan peranan
dari pemberian perilaku orang tua terhadap anak. Sehingga, sebaiknya pendidikan
dan terapi yang diberikan kepada anak autis diluar, diimbangi dengan terapi yang
dilakukan oleh orang tua di rumah. Tentunya hal tersebut akan sangat membantu
para terapis dan guru sekolah dalam mendidik dan memberikan terapi kepada
anak. Jika orang tua, guru dan atau terapis dapat bekerjasama dengan baik, bukan
tidak mungkin anak autis dapat berperilaku seperti anak normal, dan mengukir
prestasi yang cemerlang.
Comments