Kelompok 5 anak autis

BABK kel 5 - 11

BAB I    

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam Pendidikan Luar Biasa kita banyak mengenal macam-macam Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK). Salah satunya adalah anak Autis. Anak autis juga

merupakan pribadi  individu  yang harus  diberi  pendidikan  baik  itu  keterampilan,

maupun akademik. Permasalahan yang terjadi dilapangan, yaitu terkadang setiap

orang tidak mengetahui  tentang anak  autis  tersebut.  Oleh  karenanya  diperlukan

pengkajian  lebih  dalam  tentang  perilaku  menyimpang  anak  autis  dan  cara

menghilangkannya.  Salah  satu  wadah  yang  membantu  anak  autis  untuk  dapat

berperilaku selayaknya orang normal adalah dengan adanya layanan pendidikan.

 

Dengan  adanya  layanan  pendidikan  khusus  yang  mampu  menangani

perilaku-perilaku menyimpang anak autis, diharapkan nantinya dalam masyarakat

anak-anak  autis  tersebut  dapat  lebih  mandiri  dan  dapat  menggali  potensi  yang

sebenarnya ia miliki. Oleh karena itu, makalah ini dibuat  untuk memaparkan itu

semua, sehingga diharapkan nantinya dapat membantu masyarakat, baik orang tua

yang memiliki  anak autis ataupun  siapa saja yang di  sekitarnya ada penyandang

autis, untuk membantu mereka “keluar dari keautisannya”, bukan justru membuat

mereka semakin betah dalam kesendiriannya.

B.    Rumusan Masalah

Adapun  rumusan  masalah  yang  akan  dibahas  dalam  makalah  ini  adalah

sebagai berikut:

1.    Apa saja layanan pendidikan yang tersedia bagi anak penyandang autis?

2.    Apakah ada terapi khusus bagi anak autis yang bisa dilakukan oleh orang

tua di rumah?

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain :

1.  Untuk mengetahui jenis-jenis layanan pendidikan untuk anak autis.

2.  Untuk mengetahui  terapi  bagi  anak  autis  yang bisa dilakukan oleh orang

tua dirumah.

 

BAB II    

LANDASAN TEORITIS

A.    Pengertian Anak Autistik

 

Kata Autism berasal dari bahasa Yunani kuno atau Greek yang berarti  self

atau diri sendiri, sehingga mereka berkecenderungan untuk hidup dalam dunianya

sendiri.

Penyandang kelainan syndrom semacam ini awalnya ditemukan oleh  Leo

Kanner (1943; dalam Ward, A.J. ,1970 : 350) dengan istilah Early Infantile

Autism atau anak autistik usia dini.

Menurut Sutadi (2002) anak autistik ialah anak yang mengalami gangguan

perkembangan  berat  yang  antara  lain  mempengaruhi  cara  seseorang  untuk

berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.

Menurut  Hanafi  (2002)  autisme  merupakan  gangguan  perkembangan

organik  yang  mempengaruhi  kemampuan  anak-anak  dalam  berinteraksi  dan

menjalani kehidupannya.

Menurut Matson (1987) autistik merupakan gangguan perkembangan yang

berentetan atau asif yang terjadi secara jelas pada masa bayi, masa anak-anak,

dan masa remaja.

 

Menurut Depdiknas (2002) autistik adalah suatu gangguan perkembangan

yang  kompleks  menyangkut  komunikasi,  interaksi  sosial,  aktivitas  imajinasi,

gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi.

 

Jadi, autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang terjadi pada masa

bayi  hingga  remaja  yang  mempengaruhi  kemampuan  berkomunikasi  dan

berinteraksi  dengan  orang  lain  sehingga  seseorang  yang  terkena  gangguan

tersebut cenderung hidup dalam dunianya sendiri.

 

B.    Penyebab Autistik

Menurut Depdiknas (2002) lahirnya anak autistik diduga dapat disebabkan

oleh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan dan

keracunan makanan pada masa kehamilan yang dapat menghambat pertumbuhan

sel otak yang menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama

fungsi pemahaman, komunikasi, dan interaksi. Efek virus dan keracunan tersebut

dapat  berlangsung  terus  setelah  anak  lahir  dan  terus  merusak  pembentukan  sel

otak, sehingga anak terlihat tidak memperoleh kemajuan dan gejala makin parah.

 

Gangguan  metabolisme,  pendengaran,  dan  penglihatan,  juga  diperkirakan  dapat

menjadi penyebab lahirnya anak autistik.

Dalam  Alloy,  L.B.,  ET.  AL.,  2005  :  497  faktor-faktor  yang  dianggap

sebagai penyebab autisme, yaitu :

a.    Ketidakberfungsian sistem syaraf di otak

b.    Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perspektif kognitif dan beberapa

penilaian  lainnya  berkaitan  dengan  konsekuensi-konsekuensi  terhadap

dugaan adanya kerusakan-kerusakan secara fisik.

 

C.    Gejala Anak Autistik

Gejala  –  gejala  penyandang   syndrome   autism  menurut  Delay  dan

Deinakeer (1952) serta Marholin dan Phillips (1976) adalah:

a.    Senang  tidur  bermalas –  malasan  atau  duduk  menyendiri  dengan  wajah

acuh, wajah pucat, mata sayu, dan pandangan mata selalu ke bawah.

b.    Selalu diam sepanjang waktu.

c.    Apabila  ada  pertanyaan  terhadapnya,  jawabannya  sangat  pelan  sekali

dengan nada monoton dan dengan suara yang aneh.

d.    Tidak tampak ceria.

e.    Tidak peduli terhadap lingkungannya kecuali pada benda yang disukainya,

misalnya boneka.

Pada  masa  bayi,  gejala  yang  muncul  pada  anak  autistik,  yaitu  anak

mengalami  jeritan  –  jeritan  pada  siang  hari  atau  malam  hari,  anak  sering

terbangun  pada  malam  hari  dan  waktu  tidur  anak  tidak  teratur.  Satu –  satunya

jalan  untuk  menghentikan  jeritannya  ialah  dengan  mengayun  –  ayun  atau

membawa  anak  naik mobil.Gejala  lain ialah si  bayi sangat  sulit dipegang,  sulit

dimandikan  (selalu  meronta),  dan  bayi  tidak  merasa  betah  jika  dipeluk.  Jika

perilaku seperti  ini  dapat kita kendalikan, maka  bayi sering melakukan aktivitas

temper  tantrum  (menyakiti  diri  sendiri  dengan  membenturkan  badan  atau

berguling  –  guling).  Gejala  perilaku  yang  lain  ialah  dapat  berupa perilaku  bayi

yang autistik sangat tenang, bayi tidak mempunyai banyak keinginan, bayi dapat

dibaringkan dengan tenang di tempat tidurnya, bayi kelihatan seperti tidak pernah

merasa lapar, dan jika terlambat jam makannya, si bayi yang autistik tidak pernah

protes dengan menangis.

Ada  satu  gejala yang membuat  orang tua  merasa khawatir akan  perilaku

anaknya,  yaitu  anaknya  yang  autistik  tidak  pernah  mengangkat  lengannya  atau

menunjukkan  gerakan  apabila  bayi  tersebut  akan  digendong.  Jika  digendong,

sikap anak yang autistik itu kelihatan selalu gelisah. Bayi yang autistik, juga lebih

tertarik  kepada  benda  tertentu  atau  lampu  yang  berkelip  –  kelip  dibandingkan

dengan kedatangan orang yang mendekatinya.

Untuk kasus autisme yang regresif, orang tua umumnya menyadari tentang

autisme ini, yaitu terjadi pada usia anak antara 1,5 – 2 tahun. Pada mulanya tidak

ada  kesulitan  karena  perkembangan  anak  ini  sama  dengan  perkembangan  anak

normal. Namun, tidak lama kemudian menjelang anak berusia 2 – 3 tahun tiba –

tiba  perkembangannya  terhenti.  Kontak  mata  yang  tadinya  bagus  tiba  –  tiba

hilang.  Kemampuan  berbicara  anak  yang  sebelumnya  sudah  ada  tiba  –  tiba

menjadi sirna. Perkembangannya yang sebelumnya progresif(maju) lalu tiba – tiba

menjadi regresif (mundur). Pada masa ini orang tua menjadi bingung karena tiba –

tiba anak tidak bicara lagi dan pada saat itu munculah gejala berupa anak kesulitan

untuk  memahami  suara,  kelemahan  pengucapan,  kesulitan  memahami  sesuatu

yang  nampak,  kesulitan  memahami  bahasa  tubuh,  anak  mengenali  dunianya

melalui indera peraba, perasa, dan pembau, dan gerakan ritmis anak memukau.

 

D.    Karakteristik Anak Autistik

Depdiknas (2002) mendeskripsikan karakteristik anak autistik berdasarkan

jenis  masalah  atau  gangguan  yang  dialami  oleh  anak  autistik.  Ada  enam  jenis

masalah atau gangguan yang dialami oleh anak autistik, yaitu :

a.    Masalah atau gangguan di  bidang  komunikasi, dengan karakteristik yang

nampak pada anak autistik berupa:

 

1)    Perkembangan bahasa anak autistik lambat atau sama sekali tidak ada.

Anak  tampak  seperti  tuli,  sulit  berbicara,  atau  pernah  berbicara 

lalu kemudian hilang kemampuan bicaranya.

2)    Kadang-kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.

3)    Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak

dapat dimengerti orang lain.

4)    Bicara  tidak  dipakai  untuk  alat  berkomunikasi.  Senang  meniru  atau

membeo.

5)    Bila  sebang  meniru,  dapat  menghafal  kata-kata  atau  nyanyian  yang

didengar tanpa mengerti artinya.

6)    Sebagian  dari  anak  autistik  tidak  berbicara  (bukan  kata-kata)  atau

sedikit berbicara (kurang verbal) saampai usia dewasa.

7)    Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia

inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.

 

b.    Masalah  atau  gangguan  di  bidang  interaksi  sosial,  dengan  karakteristik

berupa:

 

1)    Anak autistik lebih suka menyendiri.

2)    Anak  tidak  melakukan  kontak  mata  dengan  orang  lain  atau

menghindari tatapan muka atau mata dengan orang lain.

3)    Tidak tertarik untuk bermain bersama dengan teman, baik yang sebaya

maupun yang lebih tua dari umurnya.

4)    Bila diajak bermain, anak autistik itu tidak mau dan menjauh.

 

c.    Masalah atau gangguan di bidang sensoris, dengan karakteristik berupa:

 

1)    Anak autistik tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.

2)    Anak autistik bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.

3)    Anak autistik senang mencium – cium, menjilat mainan atau benda –

benda yang ada di sekitarnya.

4)    Tidap peka terhadap rasa sakit dan rasa takut.

 

d.    Masalah atau  gangguan  di  bidang  pola bermain,  dengan karakteristiknya

berupa:

 

1)    Anak autistik tidak bermain seperti anak – anak umumnya.

2)    Anak autistik tidak suka bermain dengan anak atau teman sebayanya.

3)    Anak autistik tidak memiliki kreativitas dan tidak memiliki imajinasi.

4)    Anak autistik  tidak  bermain  dengan  fungsi  mainan, misalnya  sepeda

dibalik lalu rodanya diputar – putar.

5)    Anak  autistik  senang  terhadap  benda  –  benda  yang  berputar  seperti

kipas angin, roda sepeda, dan sejenisnya.

6)    Anak  autistik  sangat  lekat  dengan  benda  –  benda  tertentu  yang

dipegang terus dan dibawa kemana – mana.

 

e.    Masalah  atau  gangguan  di  bidang  perilaku,  dengan  karakteristiknya

berupa:

1)    Anak  autistik  dapat  berperilaku  berlebihan  atau  terlalu  aktif

(hiperaktif) dan berperilaku berkekurangan (hipoaktif).

2)    Anak autistik memperlihatkan perilaku stimulasi diri atau merangsang

diri sendiri seperti bergoyang – goyang, mengepakkan tangan seperti

burung, berputar –  putar mendekatkan  mata  ke  pesawat  televisi,  lari

atau  berjalan  dengan  bolak  –  balik,  dan  melakukan  gerakan  yang

diulang – ulang.

3)    Anak autistik tidak suka terhadap perubahan.

4)    Anak autistik duduk bengong dengan tatapan kosong. 

 

f.    Masalah atau gangguan di bidang emosi, dengan karakteristiknya berupa:

 

1)    Anak autistik sering marah – marah tanpa alasan yang jelas, tertawa –

tawa dan menangis tanpa alasan.

2)    Anak autistik dapat mengamuk tak terkendali jika dilarang atau tidak

diberikan keinginannya.

3)    Anak autistik kadang agresif dan merusak.

4)    Anak autistik kadang – kadang menyakiti dirinya sendiri.

5)    Anak  autistik  tidak  memiliki  empati  dan  tidak  mengerti  perasaan

orang lain yang ada di sekitarnya atau di dekatnya.

 

 BAB III     

METODE

 

 Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data-data yang dibutuhkan

untuk menyusun makalah ini ada 2, yaitu melalui studi literatur dan observasi ke

sekolah atau  tempat yang khusus menangani terapi atau memberikan  pendidikan

bagi  anak  autis. Melalui metode studi literatur,  penyusun mengumpulkan  buku-

buku  yang  berkaitan dengan   syndrome   autisme dan pendidikan bagi anak  autis.

Sedangkan melalui metode observasi, penyusun mencoba mengaitkan antara teori

mengenai perilaku anak autis di buku dengan fakta yang ada di sekolah luar biasa

di  sumedang,  dimana  sekolah  tersebut  memiliki  sisw a  yang  merupakan

penyandang  syndrome  autisme.

 

Disamping  kedua  metode  tersebut,  sebenarnya  penyusun  juga

menggunakan metode wawancara  dimana narasumbernya berasal  dari  SLB  yang

penyusun observasi. Melalui ketiga metode tersebut penyusun mencoba menggali

pengetahuan lebih dalam mengenai jenis pelayanan pendidikan dan terapi khusus

yang  biasanya  diberikan  kepada  anak  autis.  Meskipun  dari  buku-buku  sumber

yang penyusun dapatkan tidak ada penjelasan yang rinci mengenai permasalahan

tersebut,  namun  melalui  kedua  metode  lainnya,  penyusun  akhirnya  bisa

mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam makalah ini.

 

 BAB IV     

PEMBAHASAN

 

Berdasarkan  observasi  yang  kami  lakukan  pada  tanggal  24  September

2012  di  RC  Autis  SLB  ABC  Muhammadiyah  yang  berada  di  kota  Sumedang,

dapat diperoleh hasil bahwa pendidikan untuk anak autis itu berbeda-beda sesuai

dengan karakteristik anak autis tersebut. Hal itu ditentukan oleh   assessment  awal

yang dilakukan oleh pihak guru pada saat anak autis tersebut pertama kali masuk

sekolah. Hasil  assessment  awal akan memberikan gambaran kepada guru tentang

jenis  terapi  yang  tepat  untuk anak  autis tersebut  dan hal  itu  pula  yang menjadi

landasan  guru  dalam  menyusun  kurikulum  pengajaran.  Sehingga  nantinya  di

dalam proses pengajaran atau terapi, guru akan memberikan perlakuan atau jenis

metode pengajaran yang tepat untuk anak tersebut sesuai dengan kurikulum yang

telah disusun oleh guru.

 

Dari hasil observasi tersebut,  serta teori yang ada dalam  bab 2 mengenai

karakteristik anak autis,  kami memfokuskan  permasalahan  kepada  jenis  layanan

pendidikan  seperti apa yang  disediakan baik  oleh  pemerintah,  yayasan,  ataupun

swasta,  dalam membantu  anak-anak  autis di  Indonesia  untuk  bisa  mendapatkan

pengajaran  ataupun  terapi  yang  tepat,  agar  mereka  tetap  dapat  merasakan

pendidikan  selayaknya  orang  normal,  meskipun  tetap  dengan  memperhatikan

karakteristik mereka yang tentunya berbeda dari anak normal. Akhirnya, melalui

diskusi  yang  kami  lakukan,  berdasarkan  data  yang  kami  peroleh  dari  hasil

pengumpulan  melalui  berbagai  metode,  baik  studi  literatur,  observasi  dan

wawancara,  maka  didapatkanlah  jawaban  atas  permasalahan  yang  telah

dirumuskan sebelumnya. Berikut pembahasan atau penjabarannya.

 

A.    Layanan Pendidikan Awal dengan Program Intervensi Dini

 

Depdiknas  (2002)  mengemukakan  bahwa  program  intervensi  dini  untuk

anak  autis  mencakup:  (a)  Discrete  Trial  Training  (DTT)  dari  Lovaas,  (b)

Intervensi LEAP (Learning Experience And Alternative Program for Preschooler

and  Parents),  (c)  Floor  Time,  dan  (d)  TEACCH  (Treatment  and  Education  of

Autistik and Related Communicate Handicapped Children).

 

Program  DTT  dari  Lovaas  didasari  oleh  model  perilaku  “Operant

Conditioning”, yaitu  pemberian  hadiah  atau  penguatan  terhadap  perilaku  positif

yang terjadi yang dikehendaki oleh guru, orang tua, dan masyarakat.

Intervensi  LEAP  menggabungkan  Developmentally  Appropiate  Practice

(DAP)  dan  teknik  ABA  dalam  sebuah  program  inklusi  dimana  beberapa  teori

pembelajaran  yang  berbeda  digabungkan  untuk  membentuk  sebuah  kerangka

konsep.

 

Pendekatan Floor Time berdasar pada teori perkembangan interaktif yang

mengatakan bahwa perkembangan keterampilan kognitif dalam 4-5 tahun pertama

kehidupan didasarkan pada emosi dan relationship.

 

Pendekatan  TEACCH  menyediakan  program  pelayanan  yang  kontinue

untuk  individu,  keluarga,  dan  lembaga  pelayanan  untuk  penyandang  autistik.

Konsep  pembelajaran  dari  model  atau  pendekatan  TEACCH  berdasar kan  pada

tingkah  laku,  perkembangan  dan  dari  sudut  pandang  teori  ekologi  yang

berhubungan dengan teori dasar autisme.

 

B.    Layanan Pendidikan Awal dengan Program Terapi Penunjang

Depdiknas  (2002)  mengemukakan  bahwa  terdapat  delapan  jenis  terapi

sebagai  terapi  penunjang  untuk  anak  autistik.  Kedelapan  jenis  terapi  tersebut,

yaitu  terapi  wicara,  terapi bermain, terapi okupasi (melatih motorik  halus anak),

terapi dengan obat-obatan, terapi dengan makanan, terapi integrasi sensorik, terapi

integrasi pendengaran dan terapi biomedik. Berikut penjelasan mengenai beberapa

terapi yang termasuk kedalam terapi penunjang.

1.    Terapi Okupasi

Menurut  Kusnanto “Terapi  okupasi  adalah usaha penyembuhan terhadap

anak  yang  mengalami  kelainan  mental  dan  fisik  dengan  jalan  memberikan

keaktifan  kerja,  keaktifan  itu  mengurangi  penderitaan  yang  dialami  anak”.  Jika

anak  autis  dapat  melakukan  sesuatu  yang  menjadi tugasnya maka  harga  dirinya

tumbuh,  yang akhirnya menimbulkan rasa  bahagia, dan mengurangi rasa rendah

diri  maupun  sakit  yang  dideritanya.  Terapi  okupasi  bukan  usaha  penyembuhan

semata. Namun, perpaduan beberapa disiplin ilmu, antara lain seni dan pendidikan

sehingga dapat membantu anak untuk pengobatan fisiknya, juga pengobatan segi-

segi lain, seperti emosi dan sosial. Seni dalam melakukan terapi ini adalah ketika

anak tidak akan merasa dipaksa, tetapi anak memahami kegiatan ini sebagai suatu

kebutuhan dan akhirnya menjadi suatu keahlian yang dapat dijadikan bekal hidup.

Ilmu  pengetahuan  dalam  melakukan  terapi  adalah  ketika  sebelum  memberikan

kegiatan,  seorang  terapis  harus  menguasai  materi  latihan,  suasana,  pendekatan,

alat,  tempat,  dan  waktu  yang  disesuaikan  dengan  keadaan anak.  Jika  disiapkan

dengan  baik,  anak akan senang  melakukan kegiatan, tidak  merasa  terpaksa  atau

terbebani.

 

2.    Terapi Bermain

Terapi bermain merupakan penyembuhan untuk mencapai perkembanngan

fisik, intelektual, emosi, dan  sosial anak  secara optimal. maksud  dari  mengobati

atau  menyembuhkan  fisik  adalah  mengembangkan  kekuatan  otot,  motorik,

meningkatkan  ketahanan  tubuh  (jantung  dan  paru-paru),  mencegah  dan

memperbaiki  sikap  tubuh  kurang  baik  (otot-otot,  organ  tubuh  atau  motorik).

Maksud dari menyembuhkan aaspek rohani adalah melespaskan anak dari hal-hal

yang merugikan, menimbulikan perasaan  lega, bebas,  berarti,  menimbulkan dan

mengembalikan  rasa  percaya  diri,  mengartikan  peraturan,  mengembangkan  rasa

rela,  menunggu  giliran,  dan  jujur.  Ruang  lingkup  terapi  bermain  anak  autis

dirumuskan berdasarkan karakteristik anak, tujuan, maupun sasarannya.

3.    Terapi Sensori Integrasi

Terapi  sensori integrasi  adalah teori  yang  dikembangkan  oleh  DR.Ayres

dan  rekan-rekannya  terhadap  sejumlah  anak  di  Amerika  dan  Kanada.  Teori  ini

menjelaskan  proses  biologis  pada  otak  untuk  mengolah  serta  menggunakan

berbagai  informasi  secara  baik  dan  sesuai  situasi.  Dengan  terapi  ini,  anak

dibimbing  melakukan  berbagai  aktivitas  yang  akan  memberinya  berbagai  input

sensori secara aktif. Terapi dirancang untuk memberikan perangsangan vestibuler

(keseimbangan),  proprioseptif  (gerak,  tekan, dan posisi sendi otot), taktil (raba),

auditori (pendengaran), dan visual (penglihatan).

 

4.    Terapi Wicara

Anak  autis  yang  masih  memiliki fungsi  bicara  dan  berbahasa  yang  baik

atau  mampu  melakukan  komunikasi  bicara,  perlu  mendapatkan  terapi  wicara.

Berikut ini tiga tahapan terapi yang perlu dilakukan saat terapi wicara.

a.    Terapi  propilactic pre-speech

Mengajarkan  anak  agar  bisa  melakukan  kemampuan  bicara  awal,

misalnya mengucapkan kata “ba-ba-ba” ketika bergumam. 

b.    Terapi  etiologic

Pada  terapi  ini  peran  orang  tua  penting  karena  harus  memberikan

makanan  dan  minuman  yang  tepat  (diet),  meningkatkan

perkembangan bicaranya, kemampuan persepsinya,  dan  posisi tulang

punggungnya.  Di  samping  itu,  dibarengi  jiga  dengan  mengajarkan

artikulasi  dan  irama  bicara.  Jadi,  semaksimal  mungkin  mengurangi

kekurangan berbicara.

c.    Terapi  symptomatic

Bertujuan  untuk  meningkatkan  kemampuan  anak  berbicara  sesuai

kemampuan  sendiri  atau  ekspresif,  misalnya  jika  anak  ingin  makan

buah maka anak akan berujar “saya mau buah” bukan sekedar “buah”.

Jika  sudah  bisa  mengucapkan  dan  memahami  beberapa  kata  dan

bahasa, seperti mengatakan “minum”, berarti anak bisa mengucapkan

“saya mau minum, saya belum minum”.

 

C.    Layanan Pendidikan Lanjutan

Dari hasil observasi dan studi literatur yang kami lakukan, dapat diketahui

bahwa  di  Indonesia  ada  beberapa  jenis  layanan  pendidikan  yang  memberikan

pengajaran  dan  terapi  khusus  bagi  anak  autis,  diantaranya  layanan  pendidikan

terpadu, pendidikan inklusi, sekolah khusus autis, dan  program sekolah di rumah

( home schooling ). Contoh dari layanan pendidikan terpadu untuk anak autis, yaitu

SLB-ABC  Muhammadiyah  yang terdapat  di  Sumedang. Dimana  dalam sekolah

tersebut  ada  SDLB,  SMPLB  dan  SMALB  kategori  A,  B,  dan  C,  serta  ada

resource  centre   untuk  anak  autis.  Di  sekolah  tersebut,  layanan  yang  diberikan

untuk anak autis termasuk kedalam jenis layanan terapi. Disini perilaku anak yang

menyimpang diperbaiki oleh staf pengajar atau terapis di sekolah tersebut. Anak

dibiasakan untuk dapat membantu dirinya sendiri melakukan hal-hal kecil seperti

memakai kaus kaki dan sepatu yang benar.

 

Anak autis juga bisa dimasukkan ke sekolah-sekolah inklusi yang banyak

tersebar  di  Indonesia.  Dalam  pelaksanaan  program  inklusi  ini,  anak  autistik

diintegrasikan ke  kelas anak  normal.  Untuk anak  normal  diajar  oleh  guru kelas

anak  normal  yang  telah  diberikan  wawasan  tentang  anak  autistik,  sedangkan

untuk  anak  autistik  juga  diajar  oleh  guru  kelas  untuk  anak  normal  tetapi

didampingi oleh guru pembimbing khusus (GPK).

 

Selain  dua  jenis  layanan  pendidikan  untuk  anak  autis  yang  sebelumnya

telah disebutkan, ada pula sekolah yang khusus diselenggarakan untuk anak-anak

penyandang   syndrome   autis.  Sekolah  khusus  tersebut  dibuka  karena  mengingat

tidak semua anak autistik  begitu  mudah dapat  transisi ke sekolah  reguler akibat

kesulitan berkonsentrasi dan ketidakmampuan lainnya.

 

Adapun  program  sekolah  dirumah  ( home  schooling )  diperuntukkan  bagi

anak autistik yang tidak  mampu mengikuti program pengajaran di  kelas transisi,

sekolah, atau kelas inklusi, dan sekolah atau kelas khusus. Ketidakmampuan anak

autistik  tersebut  disebabkan  karena  anak  non-verbal,  anak  terbelakang  mental,

anak  mengalami  masalah  motorik,  dan  sebagainya.  Dengan  program  ini,  anak

mendapatkan bimbingan dari para guru atau terapis di rumah.

 

D.    Terapi di Rumah

Seharusnya pendidikan dan terapi untuk anak autis juga diimbangi dengan

terapi-terapi  khusus  yang  dilakukan  di  rumah  oleh  keluarganya.  Karena    jika

hanya  mengandalkan  terapi  dari  ahlinya,  maka  proses  menormalkan  anak  autis

sehingga  bisa  bersaing  dengan  anak  normal  yang  sebaya  akan  membutuhkan

waktu yang  sangat  lama. Apalagi  jika mengingat  bahwa kehidupan  anak  selama

24  jam  sehari  itu  lebih  banyak  berada  dalam  lingkungan  keluarganya.  Maka

sebenarnya orang tua lah yang memiliki peranan paling penting dalam normalisasi

anak autis.

 

Dari  delapan  jenis  terapi  penunjang  yang  sebelumnya  telah  dijelaskan,

hanya  ada  satu  terapi yang  tidak  bisa dilakukan dirumah,  yaitu  terapi  biomedis.

Diluar  dari  terapi  penunjang  pun,  masih  ada  terapi  lain  yang  bisa  dilakukan

dirumah oleh orang tua, diantaranya:

1.    Terapi Perilaku

Metode  ini  dapat  melatih  setiap  keterampilan  yang  tidak  dimiliki  anak,

mulai dari respon sederhana, misalnya memandang orang lain atau kontak  mata,

sampai keterampilan kompleks, misalnya komunikasi spontan dan interaksi sosial.

metode  ini  diajarkan  secara sistematik,  terstruktur dan  terukur.  Dimulai dengan

sistem   one on  one  (satu guru satu murid). metode  ini  secara bertahap,  dialihkan

dari  instruksi  satu  guru-satu  murid  ke  kelomppok  kecil,  kemudian  kelompok

besar.  Terapi  perilaku  bertujuan  mengajarkan  anak  bagaimana  belajar  dari

lingkungan normal, bagaiamana berespon terhadap lingkungan, dan mengajarkan

perilaku  yang  sesuai  agar  anak  dapat  membedakan  berbagai  hal  tertentu  dari

berbagai macam rangsangan.

2.    Terapi Snoezelen

Snoezelen bersal  dari bahasa Belanda,   snuffelen   (to sniff  atau  mencium)

dan   doezelen   (to  doze  atau  tidur  sebentar),  yang  bermakna  nyaman  dan  rileks.

Terapi  Snoezelen  merupakan  aktivitas  yang  dirancang  untuk  mempengaruhi

sistem saraf pusat (SSP) melalui pemberian rangsangan yang  cukup pada sistem

sensori  primer  anak,  seperti  penglihatan,  pendengaran,  peraba,  perasa  lidah,

pembau,  dan  juga  pada  sistem  sensoris  internal  (vestibular  dan  proprioseptif).

Snoezelen  mengarahkan  anak  untuk  relaks,  mengeksplorasi,  dan

mengeksperisikan  dirinya  di  dalam  atmosfer  yang  terbuka  pada  faktor

kepercayaan dan kesenangan.

3.    Terapi Musik

Menurut  bapak  filsafat  Sigmund  Freud,  “Penggunaaan  musik  dapat

menghilangkan  rasa  tidak  percaya  diri,  menghilangkan  perasaan  gelisah  dalam

hidup seseorang tanpa sebab tertentu”. Pandangan ini berkembang terus sehingga

terapi  musik  bukanlah  semata-mata  untuk  penyembuhan,  tetapi  juga  mencakup

usaha  pengembangan  atau  peningkatan  keadaan  individu.  Tujuan  terapi  musik

bagi  anak  autis  tidak  terlepas  dari  tujuan  terapinya  secara  keseluruhan,  yaitu

mengembangkan  dan  memperbaiki  kemampuan  fisik,  melatih  kemampuan

persepsi,  mengembangkan  dan  mengaktualisasikan  potensinya,  mengembangkan

kemampuan emosi, dan mengembangkan kemampuan sosialisasi. 

 

BAB V     

KESIMPULAN

 

Autis  adalah  suatu gangguan perkembangan yang  terjadi  pada  masa  bayi

hingga  remaja yang mempengaruhi kemampuan  berkomunikasi  dan berinteraksi

dengan orang lain sehingga seseorang yang terkena gangguan tersebut cenderung

hidup dalam dunianya sendiri.

 

Ada  tiga  jenis  layanan  pendidikan  untuk  anak  autis,  yaitu  layanan

pendidikan awal dengan program intervensi dini, layanan pendidikan awal dengan

program terapi penunjang dan layanan pendidikan lanjutan.

Layanan  pendidikan  awal  dengan  program  intervensi  dini  untuk  anak

autistik mencakup DTT  (Descrete Trial Training) dari  Lovaas,  Intervensi  LEAP

( Learning Experience and Alternative Program for Preshooler and Parents), Floor

Time,  dan  TEACCH  (Treatment  and  education  of  Autistik  and  Related

Communication Handicapped Children).

 

Layanan  pendidikan  awal  dengan  program  terapi  penunjang  untuk  anak

autistik terbagi ke dalam delapan jenis terapi, yaitu terapi wicara, terapi bermain,

terapi  okupasi  (melatih  motorik  halus  anak),  terapi  dengan  obat-obatan,  terapi

dengan  makanan,  terapi  integrasi  sensorik,  terapi  integrasi  pendengaran  dan

terapoi biomedik.

 

Layanan  Pendidikan  Lanjutan  untuk  anak  autistik  dapat  berupa  layanan

pendidikan  terpadu,  program  inklusi,  sekolah  khusus,  dan  program  sekolah  di

rumah.

 

Semua layanan pendidikan tersebut tentunya tetap membutuhkan peranan

dari pemberian perilaku orang tua terhadap anak. Sehingga, sebaiknya pendidikan

dan terapi yang diberikan kepada anak autis diluar, diimbangi dengan terapi yang

dilakukan oleh orang tua di rumah.  Tentunya hal tersebut akan sangat membantu

para  terapis  dan  guru  sekolah  dalam  mendidik  dan  memberikan  terapi  kepada

anak. Jika orang tua, guru dan atau terapis dapat bekerjasama dengan baik, bukan

tidak mungkin  anak autis  dapat  berperilaku  seperti  anak  normal,  dan  mengukir

prestasi yang cemerlang.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet