ONE

Fiction

 

Kim Hyuna POV

 

Ku renggangkan sejenak tanganku. Mataku sesekali melirik jam tangan Levis’ yang ku kenakan –hadiah terakhir dari mantan pacarku, Hyunseung yang sudah tenang di alam sana. Aku menghela nafas panjang. 1:42 pagi dan aku masih terjaga ditemani secangkir teh panas dan laptopku. Aku seorang penulis –novel lebih tepatnya. Aku baru akan menyelesaikan novelku yang ke -3. Novel yang ku tulis sebagian besar mewakili apa yang ku rasakan. Novel pertama dan keduaku bercerita tentang kehidupan kelamku sewaktu terpuruk tatkala Hyunseung meninggal. Naif memang mengeruk kembali luka dalam hati yang sudah lama ingin aku hapus. Namun tiap kali mengenakan jam tangan itu, semua memori tentang Hyunseung seakan tak ada habisnya untuk menjadi topik bahasan dalam ceritaku.

          Aku menghela nafas untuk kedua kalinya, kali ini lebih dalam, lalu kuseruput teh panas –yang sekarang sudah menjadi es teh, menutup laptopku dan mengambil frame foto di meja kamarku. Ku dekap erat lalu ku kecup perlahan, dimana foto kami –aku dan Hyunseung, masih bersama. Mungkin terlalu melow untuk melakukan hal tersebut bagi beberapa orang, namun hal itu cukup membantuku mengatasi rindu yang tak tersampaikan selama 2 tahun. Hyunseug mungkin sudah tidak bisa memelukku erat seperti dulu, namun setidaknya, di foto itu, Hyunseung memelukku erat. Itu sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa dia mencintaiku sampai kali terakhir dia bernafas.

          “Annyeong,” aku tersenyum melihat foto itu, lalu tidur dengan mendekapnya.

***

          “Hyuna!” aku mengenali suara itu, suara yang selalu menyapaku tiap kali aku melewati koridor kampus.

          “Annyeong, Seobbie!” aku membalas senyuman yang terkembang di wajahnya –dia selalu begitu. Penuh dengan senyuman. Dia satu –satunya orang yang kupercayai. Disamping itu, dia juga sahabat Hyunseung. Dia tahu persis perasaanku waktu kehilangan Hyunseung.

          “Umm, bagaimana dengan anakmu –eh maksudku novel yang sedang kau garap?” Ia menyeringai lebar yang kubalas dengan tatapan tajam. Buru –buru ia menutup mulutnya dengan tangan,

          “Maaf maaf!” Aku hanya tersenyum kecil mendengar pernyataan maafnya,

          “Well, semuanya berjalan seperti biasa.. Kau tahu –tidur sangat larut, hujan air mata, dan bla bla bla” Yoseob menatapku dalam, menepuk pundakku lalu menghela nafas panjang. Ia mulai mengutarakan argumennya kali ini,

          “Kau tau, Hyun.. Aku rasa kau harus ber—“ belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, aku mengacungkan jari telunjukku dan memotong argumennya secepat kilat,

          “Berhenti menulis masalah Hyunseung, dan menerima kepergiannya.” Yoseob hanya tersenyum dan melepaskan tangannya dari pundakku. Matanya menatapku lekat.

          “Dengar, ini sudah 2 tahun sejak kepergian Hyunseung dan kau belum merelakannya?” Aku hanya menatap lurus ke depan dan menghela nafas panjang seakan menjawab, ‘aku belum merelakannya –sungguh, Demi Tuhan!’ Yoseob hanya menghela nafas panjang sembari berkata,

          “Semua orang pasti akan meninggal. Aku, kamu –semua hanya menunggu giliran untuk dipanggil olehNya.”

          “Kau bicara seperti seorang motivator gagal.” Aku hanya mendengus dan memberinya death –glare. Yoseob mengerti gaya bercandaku, ia tertawa kecil dan mengangkat bahu

          “Aku hanya memberi tahu,”

          “Tapi aku sudah tahu.”

          “Then, move on! Oke, time’s up, Hyun. Kelas menungguku. Annyeong! Sampai bertemu di kelas!” Ia melambaikan tangan kearahku dan berlari kecil menuju ruangannya. Aku hanya tersenyum kecil, lalu melangkah pergi.

          Kelas hari ini sama seperti kelas –kelas hari yang lain –membosankan! Apalagi tanpa Hyunseung. 2 tahun belum cukup untukku melupakan semua kenangan tentang Hyunseung. Kami telah bersama sejak kami masih berumur 14 tahun. Dan dia meninggalkanku begitu saja 5 tahun kemudian. Aku mengutuki diriku sendiri waktu itu –mengutuki diriku karena terlalu mencintainya, mengutuki diriku karena bertemu dengannya, dan juga mengutuki Hyunseung karena telah memilihku menjadi kekasihnya –yang ditinggalkan dan merasa kesepian pada akhirnya. Saat aku merenungi hubunganku dan Hyunseung, kata –kata dari Yoseob tiba –tiba muncul di kepalaku, ‘Then, move on!’. Aku menggeleng perlahan. Apa yang aku pikirkan? Berpaling dari Hyunseung? Hey! Kami telah berjanji tidak akan putus selama masing-masing masih saling menyayangi. Dan sampai sekarang, aku menyayangi Hyunseung –aku menganggap Hyunseung masih ada.. Terus disampingku.

          Aku menatap atap ruang kelasku,

          “Hyunseung, apa kamu masih mencintaiku di sana?” ujarku dalam hati. Aku menghirup udara dalam –dalam,

          “Aku mulai gila” kataku perlahan

          “Tepat sekali!” aku menoleh kebelakang untuk mencari sumber suara itu,

          “Jangan ikut campur, Seobbie!” aku memutar badanku dan mendengus kesal.

          “Aku hanya menyampaikan pendapatku, dan kau tahu? Kau memang benar –benar gila! Maksudku belum –gila-seutuhnya, tapi-akan.” Aku membalikkan badanku ke arahnya lalu menatapnya sinis. Yoseob hanya menghela nafas panjang,

          “Saat pendapat kita ditolak tanpa kata –kata, itu sangat menyakitkan.” Aku hanya memberikan setengah senyumku dan kembali fokus ke mata kuliahku.

          ----At Cafetaria----

          Ku letakkan nampan berisi makananku di meja. Aku duduk bersebelahan dengan Yoseob.

          “Hey, kau Kim Hyuna, kan?” sapa seorang-mahasiswa-tak-dikenal.

          “Iya. Maaf, tapi apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Mahasiswa itu hanya tersenyum sambil menggeleng pelan,

          “Tidak, tapi aku membaca novel –novelmu. Oh maaf, aku Yoon Doojoon” ternyata, mahasiswa-tak-dikenal itu bernama Doojoon. Aku hanya tersenyum, tanganku mengisyaratkan Doojoon untuk duduk tanpa menghiraukan Yoseob.

          “Well, terima kasih. Jadi, apa tujuanmu kemari?” Tanyaku to the point. Aku tak suka basa basi –sama sekali..

          “Ya, harus ku katakan, novel –novelmu sangat bagus, rating 4,5 dari 5 bintang,” Kata Doojoon. Aku tersenyum bahagia,

          “Namun harus ku akui juga, terkadang seseorang bisa merasa bosan akan cerita yang itu –itu saja. Ku dengar kau sedang menulis novelmu yang ketiga dan berisi masalah mendiang mantanmu juga. Apa itu benar? Kalau benar, aku rasa kau harus mencari topik bahasan baru. Pasar membutuhkan cerita yang bervariasi, kau tahu?” Aku melempar pandangan pada Yoseob yang duduk di sampingku, dan dia memberiku tatapan ‘apa-kubilang’. Seakan terbakar api, kurasakan telingaku mulai panas mendengar statement yang dikeluarkan Doojoon. Tanganku mengepal, namun kurasakan Yoseob menggenggam tanganku, aku menoleh ke arah Yoseob dan kudapatkan Yoseob menggeleng pelan. Aku rasa dia tahu apa yang ingin ku lakukan. Ia bersahabat denganku sejak bertahun –tahun lalu, dan otomatis, dia sudah mengenali bagaimana perangaiku.

          Yoseob langsung mengambil alih semua pembicaraan,

          “Well, time’s up. Doojoon-shi, aku rasa kita bisa bicara kapan –kapan. Annyeong!” Yoseob berdiri lalu menggandeng tanganku. Aku masih berkutat dalam pikiranku tentang kalimat –kalimat yang diucapkan Dojoon.

          “Aish Hyuna! Sudahlah..” Yoseob memutar kedua bola matanya. Aku hanya terdiam,

          “Kau memang harus benar –benar berhenti menulis masalah Hyunseung,” Aku memberinya tatapan seakan berkata ‘kau-bercanda?’

          “Sekali lagi, hanya saran. Kau dengar sendiri penggemarmu berkata bahwa dia bosan membaca ceritamu tentang Hyunseung, dan asal kau tahu. Aku tak pernah membaca bukumu karena aku selalu takut terbayang lagi masalah sahabatku itu. Kau boleh mengatakan bahwa aku seorang pengecut untuk tidak berani membahas lagi masalah Hyunseung, tapi aku hanya mencoba untuk merelakan kepergiannya setiap saat. Tapi kau selalu mengungkitnya kembali, dan akhirnya rasa sakit itu tak kunjung hilang dari dirimu, lalu menggerogotimu secara perlahan. Kau menyedihkan, Kim Hyuna!” Ia berlalu meninggalkanku. Meninggalkanku yang tertunduk sembari meneteskan air mata. Apa aku begitu menyedihkan? Apa aku masih belum bisa menerima kepergiannya? Apa aku harus berhenti menulis masalah Hyunseung? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepalaku.

          Hariku di kampus telah habis. Kuputuskan untuk sejenak singgah di makam Hyunseung.

          “Hei bad boy,” aku mengusap batu nisannya. Aku tersenyum sejenak sebelum meneruskan kata-kataku,

          “Apa kabar? Aku harap kau tak menemukan malaikat yang lebih cantik dari aku di sana.” Aku tertawa kecil –menahan tangis yang sudah ada di pelupuk mata. Mencoba menenangkan diri, ku tarik nafasku dalam-dalam.

          “Kau tahu, semua orang belakangan ini selalu berkata bahwa aku harus merelakan kepergianmu. Aku sudah merelakanmu, sungguh. Tapi tetap, kau tidak bisa hilang begitu saja dari hidupku. Tidak secepat itu,” pertahananku goyah. Air mataku tidak lagi bisa dibendung.

          “Hey, aku hanya.. hanya belum siap. Kau janji kita akan menikah setelah kuliah kan? Kau mengingkarinya,” aku memandang batu nisannya dengan tatapan kosong.

          “Jadi, Tuan Hyunseung,” lidahku seakan kelu saat akan mengucapkan kalimat lanjutannya, aku menangis tersedu.

          “Aku hanya ingin mengatakan, pergilah. Kau boleh mencari malaikat yang lebih cantik dari aku. Aku sudah merelakanmu. Izinkan suatu saat nanti aku mencintai orang lain, tanpa menggeser posisimu di hatiku.” Seakan terjawab, embusan angi menerpa rambutku. Aku tersenyum mengusap air mata. Aku tahu disana Hyunseung sudah tenang mendengar pekataanku.

 


 

~~To be continued~~

Dengdengdeng *zoom in zoom out(?)* jadi gimance? *digampar tas* butuh komen dan saran dari para readers untuk lebih meningkatkan kualitas #tsah tulisan-tulisan author selanjutnya. Happy reading ^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
michellejanety #1
Chapter 3: Misteri meninggalnya Hyunseung dong TyT
HanJiHee
#2
Chapter 3: TAMAT???!!???! o_O
Asli..!! Gw guling-guling bneran stelah baca part ini..>.<