Tamat

Woohyun, Balikan Yuk!
Please Subscribe to read the full chapter

“Woohyun, ayo putus.”

Seketika dunia Woohyun jungkir balik. Senyum lebar yang ia tampilkan mengendur, perlahan berubah menjadi garis lurus. Tangannya mencengkeram bola sepak sekuat tenaga.

“Kenapa?”

“Aku malu pacaran sama bocah.”

Sejak hari itu, Woohyun punya beberapa prinsip. 1) jangan mau pacaran sama orang seperti mantannya; 2) jangan mudah terbujuk orang yang sudah ia kenal dekat untuk menjadi pacar; 3) jangan pacaran dengan siapa-siapa karena banyak keluar tenaga; 4) jangaan pacaran dengan anak SMA kalau kamu masih SMP; serta 5) jangan berpenampilan seperti bocah.

Layaknya daun berguruan awal musim kemarau, Woohyun merelakan pacar pertamanya pergi. Tidak menangis atau mengamuk. Hanya saja senyumnya hilang dan hatinya lenyap tanpa sisa.

**^^**^^**

“Ah, Hyuna hari ini juga cantik, ya.” Sunggyu bergumam kagum. Matanya mengikuti gerak juniornya yang mempesona. Tak sadar mulutnya terbuka lebar.

“Aku sangat menghargai apresiasimu pada kaum hawa, tapi Sunggyu, tolong fokus pada rapat.” Teman Sunggyu, Hyesun, mencubit pipinya lumayan keras. Ia mendengus saat Sunggyu mengacuhkan, tetap fokus menguntit Hyuna dengan lirikan mata.

“Hei, berhentilah ngiler pada gadis berpacar. Kamu bisa semakin jomblo jika begini.” Telinga Sunggyu langsung tegak mendengar kata jomblo. Dia memang sensitif perihal asmara.

“Kudengar, fakultas sebelah banyak gadis cantik dan lelaki tampan. Bukankah mereka lebih menggiurkan?” Bora, teman Sunggyu yang lain menopang dagu. Ia mencolek Sunggyu dibahu.

“Kabarnya, di jurusan arkeologi ada cowok-cowok ganteng, loh. Kamu tidak ingin lihat? Siapa tahu bisa move on.”

Ups. Seisi ruangan langsung menatap tajam Bora. Sunggyu punya beberapa kata sensitif, seperti sipit, jomblo, tua, gempal dan move on.  Sebut salah satunya, bersiap saja repot luar biasa.

“Aku tidak ingin jomblo. Kenapa kamu terus menyumpahiku? Salah apa aku padamu, Bora?” Sunggyu memasang wajah sedih luar biasa. “Aku juga ingin bermain dengan pacar. Nonton bareng, jalan bareng, ditungguin pulang kuliah. Dihibur waktu sedih, dikelonin, dicium, diback hug, di ewepun jadi.” Dramatis, tetes air mata membasahi pipi Sunggyu yang semulus kulit telur burung puyuh.

Bora menggaruk kepalanya. Bingung menghadapi Sunggyu. “Sudah, sudah. Aku tidak sengaja, Sunggyu. Jangan baperan, dong.”

Sunggyu terkesiap. Ia menutup mulut dengan tangan kanan sambil tangan kirinya meremas pena. Menjiwai sekali. “Baperan? Apa aku benar baperan? Apa karena ini aku tidak punya pacar?”

Aduh. Salah bicara si Bora. Tangis Sunggyu makin menjadi, membuat ruang HIMA Jurusan Filsafat itu beralih fungsi menjadi ruang konseling kilat.

**^^**^^**

“Prof, apa kami harus ikut kemah bakti? Tapi kami ‘kan bukan anggota HIMA.” Woohyun protes mendengar pengumuman dari ketua jurusannya. Susah payah dia menunggu libur, malah harus dipakai membantu anggota HIMA. Seolah Woohyun ini senggang saja.

“Ohohohoho, sebenarnya tidak harus, Woohyun.” Profesor berjalan keliling ruangan dengan tangan dibelakang punggung. “Tapi aku mendapat kabar banyak mahasiswa baru yang menolak pergi, padahal kemah bakti merupakan tradisi penting yang sayang dilewatkan.” Pria tambun berusia 40 tahun itu berdiri di depan Woohyun dengan senyum lebar. “Untuk itu, sebagai mahasiswa dengan popularitas tertinggi se-fakultas, kamu harus membantu jurusan tercinta ini.”

Woohyun menggeleng tegas. “Prof, kita baru selesai ujian akhir kemarin. Aku butuh istirahat. Aku butuh tidur nyenyak, bukan berkeliling membantu junior beradaptasi. Itu tugas HIMA, mereka pasti bisa mengemban tugas itu dengan baik.”

Profesor tergelak. “Jika mereka tidak kesulitan, kamu pikir saya mau repot-repot memanggil kalian ke sini?”

Woohyun kembali buka mulut, siap protes. Waktu tidurnya yang berharga harus ia lindungi.

“Kalian, paksa Woohyun ikut bagaimanapun caranya. Saya ijinkan.” Setelah itu, ketua jurusan berlalu. Meninggalkan Woohyun dengan anggota HIMA yang memasang blokade tubuh untuk menghalanginya.

“Woohyun, tuan muda, bantulah hamba, hm?” Mohon Jin ah, sekretaris HIMA berlutut memohon. Woohyun dengan dingin menatapnya sambil berkata: tidak.

“Aaaahhh, Woohyun tolonglah. Kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Cukup datang saja kami sudah sangat terbantu.” Cheol Yeong, divisi olahraga HIMA Jurusan Arkeologi memeluk kaki Woohyun, menatap penuh kesedihan. Lagi, Woohyun menjawab: tidak. Tanpa peduli dengan Cheol Yeong menggelayut dikakinya, Woohyun berjalan terseret-seret menuju pintu keluar. Tapi jangan dulu bahagia. Barikade tubuh yang dibuat anggota HIMA ada empat lapis. 43 orang anggota HIMA berkomplot dengan ketua jurusan untuk menyeret Woohyun ikut kemah bakti. Jika mahasiswa baru yang ikut tidak sesuai target, dana kegiatan tidak turun dan mereka bisa dikunyah saat sidang akhir tahun.

Oleh karena itu, tidak peduli caranya, mereka harus membuat Woohyun ikut serta. Manusia popular yang sering buat pangling karena tubuh atletis, suara merdu, wajah yang enak dipandang, serta kepintaran atas rata-rata idaman mahasiswa arkeologi. Ingat, segala cara akan mereka lakukan. Menyuap pasti muncul prakteknya jika Woohyun terus menolak.

Tanpa Woohyun minta, puluhan orang itu bersimpuh sambil memohon padanya. “Senior Woohyun, kabulkanlah permintaan kami.”

Bersama dengan kemampuan positif Woohyun yang lain, Woohyun tersenyum lebar sambil berkata.

“Tidak.”

**^^**^^**

“Minumnya, paduka.” Woohyun menerima kaleng soda dingin dari Jin Ah. Mengipas diri dengan kertas seadanya, manusia cuek satu ini menenggak minumnya cepat.

“Mau sampai kapan pembukaannya? Bukankah kemah diadakan pekan depan?” keluh Woohyun. Keringat mengalir deras karena ruang pertemuan para anggota HIMA tidak punya AC. Kipas angin penunjang udara hanya ada dua, satu di depan untuk dekan, satu lagi di tengah dan jangkauannya tidak sampai ke barisan belakang.

“Tidak tahu juga. Pertemuan ini permintaan dekan. Katanya kemah bakti kali ini kita gabung sama fakultas sebelah.” Bisik Jin Ah. Mata Woohyun langsung berkedut.

“Terus untuk apa aku disini?” Jin Ah mengalihkan pandang ke depan, pura-pura tidak mendengar. Melihat sepertinya ia ditipu, Woohyun menghela napas, meraih tas lalu beranjak keluar ruangan. Tidak peduli sama sekali dengan bisikan Jin Ah untuk tetap di tempat.

“Eh, nak Woohyun, mau kemana?” dekan yang tadi sibuk mendengar paparan ketua HIMA Sejarah, langsung menegur Woohyun. Berbekal kertas ditangan, Woohyun menyindir seluruh anggota HIMA yang kurang persiapan.

“Mau pulang, pak. Saya bukan anggota HIMA, kesini karena permintaan HIMA Arkeologi untuk bantu-bantu, tapi nyatanya saya ditipu. Saya mau istirahat di rumah, menikmati momen liburan saya sejenak sebelum kembali diseret membantu urusan kegiatan yang tidak saya pedulikan.” Untung saja dekan Fakultas Ilmu Budaya itu kekinian, selow badai. Tambah, dia sudah paham sifat Woohyun, jadi tidak sakit hati dapat tanggapan seperti itu. Membungkuk, Woohyun berlalu dari ruang pertemuan.

“Sampai sekarang saya kagum dengan kemampuan Woohyun untuk menyindir. Sakit plus nyelekit, tapi tidak menghina. Untung bukan saya yang disindirnya.” Komentar dekan. Anggota HIMA Arkeologi cengengesan, merasa beruntung dekan tidak mengambil hati ucapan Woohyun barusan.

 

“Eh, eh, Sunggyu. Lihat disana!” Bora menyentak lengan Sunggyu. Ia, Sunggyu, Hyesun dan Junhyung sedang makan es serut di kedai dekat kampus mereka, sekalian menemani Sunggyu ngeceng.

“Ganteng, gak? Aku dengar dia mahasiswa paling populer dari jurusan Arkeologi.” Antusias Bora. Sunggyu menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas orang yang disebut temannya itu.

“Oh, yang ngelawan waktu ospek itu? Aku dengar dia single, menolak pacaran. Tipe setia, tuh.” Komentar Hyesun. Mendengar itu, Sunggyu tambah antusias. “Namanya siapa?”

Bora bergumam, mencoba ingat nama lengkap target baru Sunggyu. “Duh, kok aku lupa. Tunggu sebentar, barusan aku chat sama Jin Ah. Kutanya dulu padanya.”

Sambil menunggu Bora, Sunggyu celingukan. Tubuhnya dibuat meninggi agar bisa mengamati lebih jelas. Jarak mereka terbilang jauh, apalagi orang itu hanya menunduk sejak tadi. Sunggyu jadi tidak bisa melihat, ‘kan.

“Kalau aku tidak salah ingat, bukankah namanya Woohyun?” Junhyung nyeletuk. Sunggyu menoleh cepat, hingga lehernya berbunyi. Tenggorokannya langsung kering.

“Apa?” desis Sunggyu.

“Ah, iya! Namanya Woohyun, semester 4 jurusan Arkeologi. Bukan anggota organisasi manapun tapi sering jadi cadangan tanding futsal.” Cerita Bora. Gadis itu menepuk bahu Sunggyu bangga, wajah aku-sukses-mencarikan-yang-terbaik kentara sekali.

Sunggyu menelan ludahnya berat. “Woohyun? Apa nama lengkapnya… Nam Woohyun?”

Orang yang tadi mereka bicarakan mengangkat wajah. Dia menoleh kiri-kanan kemudian menyeberang, melewati empat manusia itu dengan kertas mengipasi leher.

Sunggyu merasa jantungnya berhenti saat sosok itu meliriknya. Mungkin hanya sebentar, tidak lebih tiga detik, namun lirikan itu mampu meluruhkan seluruh tulang Sunggyu.

“Hei, dia melihat padamu!” Hyesun jadi ikut menggoda Sunggyu. Orang yang digoda? Berusaha lenyap, menyatu dengan es serutnya yang mulai mencair.

“Sunggyu? Kamu tidak suka?” Junhyung mengernyit heran.

“Mati saja aku. Tolong kuburkan aku. Sampaikan pada ibuku, maaf sudah membuang lipstik barunya sebagai balas dendam karena menyuruhku mandi.”

Bora, Hyesun dan Junhyung jadi bingung. Mereka saling tatap dalam diam. “Ada apa, Sunggyu?” tanya Bora pelan.

“Dia mantanku.”

Krik…

 

Krik…

 

Krik…

 

“APAAAA???”

**^^**^^**

Sunggyu menggigit bibirnya gundah. Berkat bantuan Bora, Hyesun dan Junhyung, ia yakin bahwa Woohyun jurusan arkeologi itu adalah mantannya, pacar pertama yang Sunggyu putuskan lima tahun silam.

Sunggyu tidak menyangka mereka akan bertemu lagi. Lebih tidak menyangka lagi, selama lima tahun ini Sunggyu tidak bisa melupakan bocah itu. Karma, mungkin?

Kini, Sunggyu tidak tahu harus bagaimana. Kemah bakti sebagai bentuk pendekatan antara mahasiswa Fakultas Filsafat digabung dengan Fakultas Ilmu Budaya, tempat jurusan arkeologi berada. Lebih parah, Woohyun ikut acara kemah bakti. Dia bahkan sekarang tidak begitu jauh dari Sunggyu, bersandar pada tembok sambil menunggu anggota HIMA Arkeologi selesai memuat bawaan ke bus.

“Sunggyu, bicaralah padanya.” Hyesun mencolek bahu Sunggyu. Mendengar cerita cinta Sunggyu-Woohyun beberapa hari lalu, ia berkesimpulan Sunggyu merasa bersalah karena memutuskan Woohyun dengan kejam, makanya tidak bisa move on. Mereka sepakat Sunggyu harus minta maaf untuk melihat apakah ia bisa move on setelahnya atau tidak.

“Aku gugup sekali. Kami tidak bicara selama lima tahun, bagaimana jika dia lupa padaku?”

“Tidak ada orang yang lupa pacar pertama mereka, apalagi jika diputuskan seperti itu.” Serobot Junhyung tanpa perasaan. Bora memukul belakang kepala Junhyung pelan, kemudian berdiri dari duduknya.

“Ayo, Sunggyu. Kutemani sampai dia melihatmu.”

Menghela napas, Sunggyu bangkit berdiri. Saatnya berhadapan dengan masa lalu.

Semua berdiri, waktunya beraksi~

“Woohyun.”

Diam. Sunggyu tidak ditanggapi.

“Nam Woohyun.”

Dia masih saja diam. Bahkan memejamkan mata seolah tidak ada yang memanggil.

Sunggyu jadi kesal sendiri. Ia menyentuh lengan Woohyun lalu menggoyangkannya pelan. “Namu.”

Woohyun membuka mata, menoleh pada Sunggyu dengan wajah datar.

“Apa.” Datar. Sunggyu jadi tambah gugup.

Bora dan Hyesun menyenggol Sunggyu.

Okay Sunggyu, tarik napas. Tenang. Ayo, minta maaf padanya.

Saking gugupnya, Sunggyu berteriak. Ia menutup mata, takut melihat reaksi Woohyun.

“Woohyun, balikan yuk!”

Eh, bukan itu!

Sunggyu membuka matanya lebar, terkejut pada ucapannya sendiri. Seluruh orang di parkiran menatap Sunggyu. Hyesun dan Junhyung sibuk menutupi wajah mereka, takut viral. Bora mengusap wajah lelah, menyerah atas kelakuan Sunggyu.

Woohyun memperhatikan Sunggyu. Atas-bawah, atas-bawah.

“Ogah.”

Kemudian dia berlalu, masuk ke bus sambil memasang earphone. Seolah mantan terindah sekaligus terbangsatnya baru saja tidak bicara.

Hueee, Sunggyu ingin menangis.

Malu aku malu~

Pada semut merah~

**^^**^^**

Sepanjang jalan menuju perkemahan, Sunggyu merajuk malu. Telinganya sangat panas luar dalam. Apalagi seluruh orang membicarakannya, penasaran kok Sunggyu yang biasa cengengesan melihat perempuan berani mengajak Woohyun yang popular itu balikan. Spekulasi berkembang. Ada yang bilang Sunggyu fans berat yang desperate (sembarangan!), ada yang bilang Sunggyu keputusan urat malu (separuh benar), ada yang membuat cerita sendiri kalau Sunggyu dan Woohyun dulu pacaran tapi putus karena orang ketiga (nyaris benar seluruhnya), bahkan ada yang bilang Sunggyu serius ngajak balikan (well…).

Bora, Hyesun dan Junhyung menutupi wajah mereka dengan masker. Ikut malu, apalagi jika bus mereka berpapasan dengan bus anak arkeologi, wah, rasanya seperti monyet yang dilihat pengunjung kebun binatang. Bukan berarti mereka tahu rasanya jadi monyet. Yah, kalian taulah.

Begitu tiba di lokasi perkemahan, seluruh mahasiswa dikumpulkan di lapangan besar, upacara pembukaan. Senior yang bertugas berkumpul di depan, sedang junior yang menjadi peserta duduk berdempetan. Tidak ada jurusan dan fakultas disini. Mereka berada dibawah nama yang sama, jadi nanti tendanya dicampur. Satu tenda berisi sepuluh orang, terbagi dari jurusan arkeologi, sejarah, antropologi, dan filsafat. Berhubung sekarang sudah mahasiswa, jadi seniornya tidak akan bergabung dengan tenda junior. Sudah besar, tidak perlu diawasi lagi. Lagian ini bukan pramuka, cuy. Cuma kemah biasa.

“…yang nanti bisa kalian temui jika ada apa-apa. Ingat, kita disini untuk menjalin kedekatan, jadi kami berharap setelah kemah bakti, hubungan kalian tidak terbatas kepada teman satu jurusan saja. Baik, ada pertanyaan?” Dongwoo, wakil ketua HIMA jurusan arkeologi menyudahi sambutannya yang panjang dan penuh motivasi dalam. Harusnya dia masuk jurusan filsafat saja. Terlalu filosofis.

Beberapa junior angkat tangan, bertanya seperti kapan mandi (dua kali, pagi pukul 8 dan sore pukul 4), siapa yang buat tenda (tanggungan penghuni tenda), jadwal makan (piket yang sudah dibagi sebelumnya yang urus), kapan api unggun (malam terakhir, lah), sampai bertanya kapan pulang (baru juga sampai).

Sunggyu kebagian tenda dengan anak laki-laki dari jurusan arkeologi dua orang (Kibum dan Cheol Yeong), sejarah tiga orang (Minseok, Howon dan Minhyuk), antropologi tiga orang (Hongki, Soohyun dan Wooyoung) serta temannya dari jurusan filsafat (Henry). Selama mereka membangun tempat bermalam itu, para cowok rempong malah bergosip. Topiknya? Ajakan balikan Sunggyu, dong. Walau Sunggyu sudah mengancam tidak akan ikut buat tenda jika terus dibicarakan (ya gak apa, sih. Kamu ikutan buat malah tendanya tambah lama berdiri—Henry), mereka tidak peduli. Masih saja mengoceh seperti ibu-ibu di tempat jual sayur keliling.

Kesal, Sunggyu meninggalkan teman sekemahnya. Memutuskan untuk mengawasi para junior saja, daripada telinganya tambah panas. Selagi berjalan, sayup-sayup Sunggyu mendengar para cewek membicarakannya.

“Eh, jadi itu mantannya senior Woohyun?”

Iya! Mau apa, hah?

“Heran deh, padahal tidak spesial. Kok kak Woohyun mau?”

Sembarangan! Biarpun begini, dulu Woohyun sayang, tau!

“Dia bendahara HIMA Filsafat, ‘kan? Semester 6?”

Kenapa? Mau hutang? Huh!

“Aku ingat kok. Kak Sunggyu sering ikut nyanyi waktu festival fakultas. Suaranya bagus banget.”

Ah, akhirnya. Puji aku terus, dek.

“…tapi sayang norak banget.”

Astaga, kretek hatiku.

Sunggyu menggembungkan pipinya, hendak kembali ke tenda ketika netranya menangkap sosok Woohyun. Berjalan kearahnya sambil memperhatikan kertas. Jinah, sekretaris HIMA arkeologi sesekali menunjuk kertas, sementara Dongwoo si wakil ketua tertawa tidak jelas. Sunggyu seketika salah tingkah. Mau balik badan, Woohyun terlanjur melihat. Sunggyu berusaha tersenyum walau canggung.

SYUHH~

Woohyun lewat begitu saja. Tidak menyapa, tidak melirik, tidak senyum. Wajahnya datar seperti kanebo kering. Wah, dicuekin nih, Sunggyu.

Apoooo salah denaaaiiii, oh uda oiiii~

**^^**^^**

“Woohyun, apa tidak kesempitan?”

“Tidak kok pak. ‘Kan ini memang tenda untuk dua orang.” Woohyun menanggapi pak Ahn, dosen Etika yang terkenal humoris dan sering mampir ke fakultasnya. Menurut kabar angin, pak Ahn sedang PDKT dengan bu Seo, pegawai TU fakultasnya. Makanya selalu nampak di Fakultas Ilmu Budaya.

“Iya, saya tau. Tapi barang saya agak banyak. Nanti waktu kasur anginnya datang, muat tidak ya?”

“Diusahakan muat, pak. Bisa diurus nanti.” Woohyun memeriksa isi tas, mencari handuk dan alat mandi.

“Woohyun, ayo cepat! Anak perempuan sudah mandi semua. Eh, pak Ahn. Ikut mandi sama kami, pak?” Cheol Yeong dan Kibum cengengesan. Handuk dan baju ganti tersampir di pundak, sementara peralatan mandi ditenteng. Sudah seperti anak kos yang niat mandi di masjid.

“Lanjut saja. Saya masih ada diskusi dengan dosen yang lain.”

Ketiganya berlalu. Sungai tempat mandi berjarak delapan menit jalan kaki dari lokasi kemah. Jadi sambil jalan, mereka bercerita. Siapa sangka topiknya adalah Sunggyu dan balikan.

“Eh, Woohyun! Kok gak pernah cerita kalau mantan kamu itu kak Sunggyu?” Kibum mencolek bahu temannya. Si objek mengendik, ogah menjawab.

“Kaget, loh, tadi. Tanpa aba-aba dia ngajak balikan gitu. Jadi dia alasanmu nggak pernah pacaran lagi?” Cheol Yeong ikutan. Dia merangkul bahu Woohyun sok akrab.

“Denger cerita anak Filsafat, katanya kak Sunggyu sering ngejar-ngejar cewek jurusan mereka. Siapa yang nyangka ternyata dia belok juga, kan.”

Sambil ganti baju dan masuk ke sungai, duo berisik itu masih membicarakan Sunggyu. Woohyun sih terlihat tidak peduli. Santai banget.

“Terus kamu bakal balikan, gak?” Tanya Kibum sambil sampoan.

Mata kanan Woohyun berkedut. Lama-lama sebel juga. “Apa, sih? Kepo.”

Cheol Yeong tertawa. “Wih, seorang Woohyun kesal karena cinta?” memang, sejauh mereka berteman, jika topik pembicaraan menyangkut Woohyun dan mantannya, Woohyun tidak pernah menunjukkan emosinya. Ini kali pertama, wajar kalau Cheol Yeong dan Kibum semangat.

“Apa? Apa? Ada gosip apa?” orang sekitar yang mendengar seruan Cheol Yeong tadi spontan mendekat. Woohyun menghela napas dalam, mencoba sabar.

“Woi, aku juga peng—HUWAAA.”

 

 

“Tuh, kan. Nakal, sih.” Dongwoo berceloteh, menegur juniornya yang tidak hati-hati sampai terpeleset di sungai tadi.

“Yee maaf, bang. Mana tau kalau disana dalam banget. Gak keliatan dari atas.” Myungsoo, semester dua arkeologi, meringis saat Minseok mengurut kakinya pelan.

“Gimana, Min? Parah?” Howon mengipasi Myungsoo yang berkeringat, menahan sakit di kakinya.

“Nggak, keseleo dikit. Istirahat hari ini juga sembuh besok, kok.” Beruntung ada Minseok, ahli sejarah merangkap anggota PMR.

“Yang udah selesai mandi, anterin Myungsoo ke tendanya. Nggak usah ikut upacara penutupan nanti, Myung. Biar besok bisa ikut kegiatan.” Minhyuk membantu Myungsoo berdiri. Untung mereka udah ganti baju, jadi gak perlu malu-maluin ke perkemahan handukan doang.

“Kasihan, ya. Niat mau have fun malah cedera.” Komentar Dongwoo.

“Ini kita tandain aja, gimana? Kasian kalo sampe ada yang jatuh lagi. Apalagi yang cewek. Bisa kesurupan mereka.” Kibum menarik batu besar, memberi batas di tepi sungai agar tidak ada yang mandi disana. “Ntar laporin ke anak cewek, jadi bisa aman.”

Para lelaki itu melanjutkan kegiatan mandi mereka. Beberapa orang yang telat datang bertanya, kok Myungsoo di papah begitu. Sunggyu salah satunya.

“Seriusan? Wah, kasihan. Pasti sakit rasanya.” Ungkap Sunggyu simpati. Sambil celinguk sana-sini, Sunggyu melepas baju.

“Disini gak ada yang agak dangkalan?”

“Diseberang dangkal, tuh. Cuma kalau mau nyebrang lewat batu disana.” Tunjuk Henry pada batu besar berlumut. “Bahaya kalau jatuh.”

Sunggyu menimbang, lantas memungut peralatan mandinya dan berjalan menuju deretan batu besar berlumut. “Tak apalah, daripada aku kelelep air setinggi kepala.”

Sebenarnya tepian sungai itu tidak begitu dalam, tapi bebatuan untuk menopang tubuh sedikit dan ukurannya juga kecil. Jika beruntung, Sunggyu bisa berendam dengan air setinggi bahu. Jika tidak, tentu dia bisa tenggelam. Sunggyu tidak bisa berenang, gaes.

**^^**^^**

“Bangun, bangun!!” sorak anggota panitia kemah bakti. Perlahan, kepala mengantuk tersembul dari balik tenda. Woohyun mengerjap pelan. Dia masih mengantuk, tubuhnya juga sakit karena berbaring di tanah keras semalaman.

“Woohyun, kamu ‘kan bukan panitia. Nanti kasur angin bakal dateng. Bisa bantu saya angkat?” Pak Ahn mengusap rambutnya yang basah. Gercep sekali dia sudah mandi.

Setengah sadar, Woohyun mengangguk. Ia lantas keluar tenda, berniat mandi agar tubuh kakunya menjadi lebih segar.

 

“Kak Sunggyu, mau apa? Kakak bukan termasuk anggota piket dapur, loh.” Lee Sojung, juniornya dari jurusan filsafat menangkap basah Sunggyu yang putar balik di area dapur perkemahan. Bendahara HIMA itu menggaruk tengkuk, menutupi rasa canggung.

“Aku dengar sarapan kita sereal, roti sama susu?”

“Iya. Bahan makanan lain ikut nyasar bareng kasur angin, jadi pagi ini kita makan seadanya dulu. Nanti siang udah masak yang lain, kok.” Bora datang dengan piring dan gelas di tangan. “Kenapa? Kamu mau minta dua porsi?” selidiknya curiga.

“Bukan!” sergah Sunggyu. “Sekarang ada bahan apa aja? Cukup gak, buat menu lain?”

“Ada telur, sih. Nasi semalem juga ada lebihnya.”

Sunggyu menggigit bibirnya. Berpikir apa ia harus melibatkan dua orang ini atau tidak.

“Woi, Sunggyu! Kamu ngapain disini? Gak mandi?” Hyesun baru datang langsung menepuk punggung Sunggyu keras. Meringis, Sunggyu mengusap punggungnya sambil cemberut.

“Astaga, Hyesun! Sakit, tau!”

Please Subscribe to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
woogyuie #1
Chapter 2: SUMPAHHHHHH GEMES BGTTTTTTT AAAAAAA. SERIUS AKU GABISA BERENTI SENYUM2 PAS BACA><
yulianichang #2
Chapter 2: Gemes bgt inii ceritanya wkwk
irenewijaya06 #3
Chapter 2: aaaaaaa mereka cute sekaliii !!! Aku suka ff manissss² begini nihhhhh .. perutku ada kupu² semuaaaa
akitou
#4
Chapter 2: Kenapa setiap bc ff mu selalu bisa menggogoti jiwa ku...... Woogyu momentny itu lo..... Bnr2 manis....
kaisoo_meanie #5
Chapter 2: k yaa aa aa aaaaaaaaa,, imut bangettttt

pengen lagiiiiii, yang ceritanya imut2 kaya gini
Zd7394
#6
Which language is it?
gari_chan #7
Yup yup semangat thor!1!