Terbiasa?

Terbiasa?
Please Subscribe to read the full chapter

Aku sering bertanya-tanya mengapa manusia bertahan pada sesuatu meski sudah tidak tahu lagi untuk apa.

-------- xxx ------

BEEP! BEEP! BEEP!

Sekelebat mata kucing itu terbuka. Pukul 3.00 dini hari. Ahh, dia memang memilih alarm dengan baik, selalu mampu memaksa dirinya sendiri membuka mata lebar-lebar, tidak perduli seberapa terlelapnya ia dalam tidur akibat kelelahan hari sebelumya. Ayolah, siapapun tahu bahwa tinggal di ibukota memaksa diri bangun lebih pagi dan lebih pagi lagi, serta jauh lebih siap lebih dahulu dibandingkan yang lainnya. Kalau tidak, ya, pasti kau akan tertinggal.

Tetapi terkadang, di akhir-akhir minggu seperti ini, ia tidak bisa memungkiri hasrat yang amat besar untuk meledakkan perangkat laknat itu, perangkat yang menganggu tidurnya.

Dengan gusar, mata setengah terbuka dan rambut acak-acakan, pria manis itu meraih alarm di meja nakas dan mematikannya dengan tidak sabaran, hanya untuk kemudian melemparkannya lagi tanpa berperi-ke-alarm-an. Tepat sebelum ia segera hendak melemparkan diri kembali ke alam mimpi, matanya melirik ke sisi tempat tidur lainnya, di mana seseorang yang masih berpakaian kantor lengkap terlelap dengan mulut menganga. Bau rokok, parfum, dan alkohol menguar dengan cukup tajam, sehingga ia cukup yakin bahwa orang di sisi tempat tidurnya itu belum lama tiba dan terlelap di sana.

‘Tumben.’ Batinnya berbisik.

Ahh, tapi ya sudahlah. Ia lebih memilih untuk tidur, mengembalikan dan memulihkan energinya yang nyaris habis.

----------- xxxx ----------

Sepertinya itu sudah pukul enam pagi, karena sejak ia memutuskan tinggal di ibukota, tidak pernah lagi tubuhnya bisa bangun lebih siang dari pada itu, bahkan pada akhir minggu sekalipun. Entah karena pamali, atau sekadar trauma pernah terlambat yang membuatnya kehilangan sebuah janji yang amat berarti. Maka meski antara sadar atau tidak, ia menyeret kaki keluar kamar. Apalagi, biasanya harus ada yang segera ia lakukan.

‘Tumben, kemana dia?’ Batinnya berbisik kala memperhatikan sisi tempat tidurnya kosong, terlebih lagi aroma mentega dan cokelat yang lekas-lekas memenuhi apartemen sempit itu.

‘Masa dia sudah bangun?’

Demi memastikan rasa penasaran itu, ia berjalan-cukup bergegas- menuju ke dapur dan benar saja, matanya menangkap sesosok manusia dengan celana pendek dan kaus. Sepertinya ia sudah mandi dan berganti pakaian dari yang sebelumnya.

“Pagi, ini sarapan sudah jadi.” Suara itu lekas menyambut indera pendengarannya, cukup membuatnya terkejut.

“Aah.. Iii..iyaa, baiklah. Aku gosok gigi dan cuci muka dulu.”

Demi mendengarnya, pihak yang satunya hanya mengangguk, dan mengantarkannya tipis lewat gerakan kepala.

---------------- xxx -----------------

“Tumben kau sudah bangun sepagi ini, setelah pulang sedemikian subuh.” Pria manis itu bergumam pelan sambil melirik jam dinding di belakang mereka, jam yang menunjukkan pukul 6.30 pagi.

“Oooh tidak apa-apa, aku hanya ingin, sekali-sekali. Sudah lama sekali sejak terakhir aku menjalankan giliranku menyiapkan sarapan, kan?”

Yang ditujukan hanya menarik garis bibirnya tipis, “Ya, kurasa sudah 3 tahun yang lalu sejak terakhir kau menjalankan giliran yang itu. Aku tidak keberatan sih karena dengan begitu, kau bersedia melakukan giliran yang lain, cuci piring, hal yang paling aku benci.”

Keduanya tertawa, tetapi tawa itu sama seperti 5 tahun terakhir ini, hambar, tidak bermakna. Seperti jenis tawa yang kau lontarkan saat berbincang dengan mereka yang baru kau temui pertama kali di bis atau metro.

“Apakah sesuatu telah terjadi sampai kau terinspirasi melakukannya lagi, ritual lama ini?” pria manis itu akhirnya sekali lagi memberanikan diri bertanya, amat hati-hati.

“Oooh, tidak-tidak. Hanya menjalankan tanggung jawabku saja. Manusia kan seharusnya begitu?”

“Rasanya tidak terdengar sepertimu.”

“Ternyata kau memang mengenaliku.”

Dari dua kalimat terakhir yang saling bertarung itu, keheningan lekas menyelimuti. Mungkin, bila ini adalah pertandingan tinju, keadaan yang terjadi semacam, apa ya, babak istirahat sejenak?

“Aku hanya merindukan ini semua, terlebih karena sebentar lagi, aku harus terbiasa menghadapi kebiasaan baru, kebiasaan lainnya yang tidak pernah terbayangkan olehku, kebiasaan yang harus menghapus sepuluh tahun terakhir ini begitu saja.”

Demi mendengarnya, sang pria manis itu hanya meremat taplak meja erat-erat. Lekas diletakannya alat makan di sisi piring, dan bangkit, menuju ke kamar.

“Baekhyun!”

Diacuhkannya suara itu, dan tetap dilangkahkannya kaki-kaki kecilnya.

“Kau tau kan kita tidak bisa mengalihkan pembicaraan ini selamanya!”

Samar-samar, suara itu masih bisa terdengar.

---------------------------- xxxx ------------------------

Baekhyun menyalakan shower yang mengalirkan air dingin untuk membasahi kepalanya, dengan harapan itu mampu meredam rasa panas yang tiba-tiba memenuhi seluruh sistem tubuhnya.

Sembari air mengalir dan jatuh ke sisi-sisi wajahnya, ingatannya melayang ke masa-masa itu, sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun yang lalu ia mendaratkan kaki di ibukota dengan cukup uang tetapi tidak cukup kerabat dan hal-hal lainnya.

Harus dikatakan, hidup memang se lucu itu. Sebagaimana anak manusia lainnya, ia jatuh cinta, kemudian menjalin hubungan dengan seorang pria. Seorang pria tampan yang ia kenali dari salah satu pementasan musikal yang amat ia gilai, sama-sama semi mapan, kelewat tinggi, jatuh cinta pada segala jenis performing arts, dan berbagai kesempurnaan hakiki lainnya, bernama Chanyeol. Dan demi, entahlah demi apa, ia juga tidak tahu, ia mengizinkan dirinya sendiri terbawa dalam keputusan gila yang tidak pernah dibayangkannya, tinggal bersama kekasihnya di dalam apartemennya sendiri.

Siapapun yang pernah berkata jangan pernah bermain-main dengan api asmara memang pernah benar-benar jatuh cinta, karena itulah yang terjadi pula pada dirinya. Tinggal se-rumah, saling mengisi peran setiap hari, bercinta kala purnama tiba, menghabiskan akhir pekan sambil bercengkrama di sofa dan menonton tayangan di layar, ahh, ketika api itu masih kecil, rasanya memang hangat dan menyenangkan, seperti api unggun.

Diusap rambutnya dengan kasar setelah menuangkan shampoo sekenanya, kala ingatan itu memenuhi benaknya, ingatan lima tahun yang lalu, pembicaraan yang membawa mereka pada titik ini, suatu sarapan di akhir minggu pula,

“Dari mana kau dua malam yang lalu?”

“Aku ke bar dengan teman-teman kantorku, bukan hal yang baru kan?”

“Sampai harus pulang subuh?”

“Tidak ada yang masalah untuk hal itu, kita kan sudah dewa,”

“Dan harus melepaskan baju di atas ranjang, dengan punggung yang berkeringat?”

Diam, lelaki di hadapannya tidak lagi berbicara demi mendengarkan tuduhan tajam yang benar adanya itu.

“Baekhyun, aku bisa jelas,”

“Terkadang kebenaran sudah bicara lebih keras daripada yang kau butuhkan.”

Dan setelahnya, Baekhyun pergi begitu saja, meneteskan air mata setelah entah ber

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet